Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Segala konflik yang terjadi di wilayah Indonesia belakangan, tak lepas dari hancurnya mitologi dan kesakralan di tiap wilayah. Ini karena kesalahan rencana pemerintah Republik Indonesia dalam membangun makna persatuan di masa lalu.
Kepala desa, kepala kampung, kepala hutan, para datuk dan pemuka adat, yang semula dihormati, lengkap dengan segala kesakralannya selama puluhan tahun telah digantikan pejabat pemerintahan sejak masa Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru. Keunikan masing-masing daerah ditinggalkan dan fokus pada kebudayaan nasional. Seolah, kebudayaan Indonesia adalah satu.
Demokrasi Terpimpin mengeluarkan indoktrinasi, sementara Orde Baru mengeluarkan kebijakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Persatuan dan kesatuan dipaksakan untuk kesewenangan terhadap keberagaman budaya. Penyamaan sistem kepemimpinan masyarakat ini bukan hanya di level provinsi, tapi juga hingga pedesaan.
Seperti diungkapkan sejarawan Taufik Abdullah, kebijakan yang paling parah adalah kebijakan Orde Baru yang melahirkan undang-undang tentang pemerintahan desa yang diberlakukan dari wilayah Sabang sampai Merauke. Ini membuat sistem pemerintahan pun menjangkau hingga desa.
“Undang-undang yang mengatur hingga ke sistem desa itu adalah puncak dari kesewenangan kebudayaan Orde Baru. Sistem pemerintahan disamakan dari Sabang sampai Merauke, mitos daerah hilang, krisis kepemimpinan mengalami tingkat keparahan. Palembang dan Minang masih lumayan, tapi bagaimana dengan di Aceh, Maluku, misalnya. Pemerintah beranggapan mereka bisa kuat ketika kekuatan sosial di daerah-daerah dihancurkan,” ungkapnya.
Karena itulah, sewaktu Habibie tampil setelah lengsernya pemerintahan Soeharto, yang pertama dilakukan adalah otonomi daerah. “Nah, ketika itulah orang jadi mengingat kembali, muncullah masyarakat adat yang menuntut tempat mereka di wilayah Bhinneka Tunggal Ika. Itu kan ikatan lama, mereka pun mencoba menegakkan kembali,” papar Taufik.
Desalah yang kemudian porak poranda. Ketika Orde Baru jatuh, misalnya, pedesaan kehilangan jaring pengamannya, ikatan lama sudah hancur oleh kekuasaan. Maka, seperti yang kerap diberitakan di media massa, konflik kerap diselesaikan bukan oleh tokoh, pemimpin, kepala adat yang berwibawa.
Konflik terjadi, mulai dari wilayah di Maluku, Palu, Kalimantan, hingga Jawa dan Sumatera. Taufik menyebutnya sebagai “spiral kebodohan yang menukik ke bawah”, satu tindakan bodoh ditanggapi tindakan bodoh, tahu-tahu antartetangga desa pun berkelahi.
Kesalahan lain, bagi Taufik, pandangan pemerintah bahwa bangsa ini adalah warisan nenek moyang. “Kalimat 'kita ini warisan nenek moyang' adalah konyol. Bangsa adalah sesuatu yang direncanakan, sesuatu yang konstruktif, bertolak dari cita-cita dan aspirasi satu dengan yang lain. Indonesia didirikan dari sikap bahwa kita bersatu, wilayah yang sengaja dibuat dan bukan diwarisi,” tambah Taufik.
Dukungan Merdeka
“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan Ingkang Sinohoen Kanjeng Soesoehoenan Pakoeboewono Senopati Ing Ngalogo Abdoerrahman Sayidin Panotogomo Ingkang Kaping XII, ing Soerakarta-Hadiningrat pada kedoedoekannya dengan kepertjayaan bahwa Seri Padoeka Kanjeng Soesoehoenan akan mentjoerahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia...”
Cuplikan piagam kedudukan itu diberikan Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 kepada Soesoehoenan Pakoeboewono XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII pada kedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa.
Inilah secuplik dari rentetan pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan dari pascapenculikan yang dilakukan aktivis mahasiswa di Rengasdengklok, pernyataan dan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur hingga kumandang kemerdekaan Republik Indonesia. Setiap wilayah akhirnya menyatakan kedaulatan Indonesia sebagai kedaulatan bersama.
“Ketika proklamasi sebutlah ada sekitar 100 orang yang tahu tentang kemerdekaan itu. Tetapi, beberapa hari kemudian, Jakarta mengadakan demonstrasi untuk mendukung ratusan ribu orang di Ikada. Mereka mendukung Soekarno-Hatta. Jadi bagi saya, 10 November dapat dijadikan seabgai konfirmasi keabsahan momen 17 Agustus itu,” ujar Taufik.
Indonesia telah merajut tonggak sejarah sejak Sumpah Pemuda yang dihadiri wakil gerakan pemuda di masa itu. Proses ini juga merupakan konfirmasi dari proses yang telah berjalan baik oleh pemuda Indonesia di Belanda, misalnya. Sumpah itu seakan merupakan sebuah komuni. “Bangsa ini kan bangsa yang dibikin oleh orang kota dan terpelajar,” papar Taufik.
Sebagaimana disebut oleh Taufik, Indonesia banyak menampung sejarah pergolakan dan negeri ini mampu semakin berdaulat.
“Hanya repotnya, belakangan ada kecenderungan Jawanisasi yang kelewat berlebihan. Konsep warisan nenek moyang itu lama dipertahankan oleh Soeharto dari pusat. Itu pola pikir pusat yang merupakan ciri khas tradisi Jawa. Pinggiran yang tersingkir itu terasa benar, ketika saya mempelajari perbatasan di wilayah Asia Tenggara. Kita tak menggubris dua pulau yang lepas – Sipadan dan Ligitan – sedangkan Malaysia telah memelihara wilayah itu,” katanya.
Kendati tak mudah, menurut Taufik, yang harus dilakukan adalah menegakkan tradisi yang kekuatan sosialnya pernah diambil. Menata kembali fenomena itu mahal harganya. Demokrasi, selama ini telah dibangun oleh personality yang otoriter.
“Namun jangan lupa juga, ikatan kesejarahan kita itu kuat. Bagaimana kita bisa menerangkan bahwa dari Sabang sampai Merauke orang memakai bahasa Indonesia. Juga ikatan kerajaan yang kait-mengkait. Kesamaan kedatangan Islam di wilayah Indonesia. Banyak lagi hal lainnya,” papar Taufik.
Pernyataan Kebudayaan
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis Paeni, mengatakan bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan sehingga otomatis menjadi satu bangsa yang baru. Sehingga, papar Mukhlis, masalah etnisitas dan kesukuan pun sudah melebur menjadi satu negara yaitu Indonesia, yang tak bisa menafikan bahwa etnik suku bangsa itu masih tetap ada.
Sudah ada nasionalisme Indonesia yang telah mentransendensi dan melampaui pemahaman kedaerahan. “Pluralisme sudah selesai, kita paham antara lain bahwa kita berbeda. Itu satu komitmen politik yang telah selesai. Kita sepakat bahwa 'kamu dan aku' yang berbeda, namun kita sepaham satu negara yaitu Indonesia,” paparnya.
Yang belum selesai, bagi Mukhlis, adalah “aku dan kamu” itu punya peluang harkat dan martabat yang sama. Dengan demikian, pernyataan politik yang sudah selesai itu tak diikuti pernyataan kebudayaan, bahwa “kamu dan aku” punya peluang yang sama, kesempatan yang sama, dan kedudukan yang sama di dalam penyelenggaraan negara. “Komitmen kebudayaan-lah yang harus diselesaikan,” ujarnya.
Perhatian yang adil itu diungkapkan juga oleh budayawan Eka Budianta. Tak bisa lain, semua wilayah memang ingin mendapatkan perhatian. Hanya, Eka justru melihat masyarakatlah yang sebenarnya harus berbesar hati dan rela mengembangkan antara satu suku dengan suku yang lain.
“Ibarat kereta ditarik delapan ekor kuda maka kecepatan yang lemah memengaruhi yang kuat. Tetapi, semua harus bersatu mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan Indonesia jadi kaya asalkan dilandasi kebesaran hati dan kerelaan,” katanya.
Eka melihat bahwa fenomena negara yang berusaha memiliki sistem politik yang ideal kerap terbentur realitas di lapangan, termasuk kendala kemiskinan yang menjadi kelemahan kita.
“Bukan semata karena sistem politik, Orde Baru sejahat apa pun tak punya pikiran seperti itu. Seperti apa kita mendidik guru, ya karena memang kita tak ada kemauan, ketidakmampuan juga ketidakbisaan,” ujarnya.
Eka mengaku suka sekali kebudayaan Indonesia, namun 500 bahasa di wilayah Nusantara sulit sekali dipelajari semuanya. “Ibarat air, Indonesia itu air terjun besar, sedangkan kita hanya punya satu mangkuk. Mengambil kebudayaan Indonesia, itu bukan hanya satu gelas air,” katanya.
Dia mencontohkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mencari seberapa banyak data kebudayaan di tiap suku di Nusantara, namun ternyata perusahaan swasta di dunialah yang berhasil mendapatkan data sekaligus mengembangkan kebudayaan di Flores.
Selain itu, Eka mengingatkan kecenderungan adanya genius lokal yang menarik perhatian masyarakat mancanegara sehingga mereka pun datang ke sana karena kekuatan budaya – bukan karena pembesaran dari pemerintah.
“Saya sendiri merasakan, anak, teman dan keluarga saya ingin tahu masyarakat di sebuah daerah, namun sulit karena tak ada bahan dan petunjuk dari pemerintah. Info itu kan mestinya dimiliki Menkominfo, atau Menbudpar, misalnya,” ujar Eka.
20.08.2011 10:43
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar