Sabtu, 20 Agustus 2011

Refleksi Kebudayaan 66 Tahun Merdeka

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Segala konflik yang terjadi di wilayah Indonesia belakangan, tak lepas dari hancurnya mitologi dan kesakralan di tiap wilayah. Ini karena kesalahan rencana pemerintah Republik Indonesia dalam membangun makna persatuan di masa lalu.

Kepala desa, kepala kampung, kepala hutan, para datuk dan pemuka adat, yang semula dihormati, lengkap dengan segala kesakralannya selama puluhan tahun telah digantikan pejabat pemerintahan sejak masa Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru. Keunikan masing-masing daerah ditinggalkan dan fokus pada kebudayaan nasional. Seolah, kebudayaan Indonesia adalah satu.

Demokrasi Terpimpin mengeluarkan indoktrinasi, sementara Orde Baru mengeluarkan kebijakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Persatuan dan kesatuan dipaksakan untuk kesewenangan terhadap keberagaman budaya. Penyamaan sistem kepemimpinan masyarakat ini bukan hanya di level provinsi, tapi juga hingga pedesaan.

Seperti diungkapkan sejarawan Taufik Abdullah, kebijakan yang paling parah adalah kebijakan Orde Baru yang melahirkan undang-undang tentang pemerintahan desa yang diberlakukan dari wilayah Sabang sampai Merauke. Ini membuat sistem pemerintahan pun menjangkau hingga desa.

“Undang-undang yang mengatur hingga ke sistem desa itu adalah puncak dari kesewenangan kebudayaan Orde Baru. Sistem pemerintahan disamakan dari Sabang sampai Merauke, mitos daerah hilang, krisis kepemimpinan mengalami tingkat keparahan. Palembang dan Minang masih lumayan, tapi bagaimana dengan di Aceh, Maluku, misalnya. Pemerintah beranggapan mereka bisa kuat ketika kekuatan sosial di daerah-daerah dihancurkan,” ungkapnya.

Karena itulah, sewaktu Habibie tampil setelah lengsernya pemerintahan Soeharto, yang pertama dilakukan adalah otonomi daerah. “Nah, ketika itulah orang jadi mengingat kembali, muncullah masyarakat adat yang menuntut tempat mereka di wilayah Bhinneka Tunggal Ika. Itu kan ikatan lama, mereka pun mencoba menegakkan kembali,” papar Taufik.

Desalah yang kemudian porak poranda. Ketika Orde Baru jatuh, misalnya, pedesaan kehilangan jaring pengamannya, ikatan lama sudah hancur oleh kekuasaan. Maka, seperti yang kerap diberitakan di media massa, konflik kerap diselesaikan bukan oleh tokoh, pemimpin, kepala adat yang berwibawa.

Konflik terjadi, mulai dari wilayah di Maluku, Palu, Kalimantan, hingga Jawa dan Sumatera. Taufik menyebutnya sebagai “spiral kebodohan yang menukik ke bawah”, satu tindakan bodoh ditanggapi tindakan bodoh, tahu-tahu antartetangga desa pun berkelahi.

Kesalahan lain, bagi Taufik, pandangan pemerintah bahwa bangsa ini adalah warisan nenek moyang. “Kalimat 'kita ini warisan nenek moyang' adalah konyol. Bangsa adalah sesuatu yang direncanakan, sesuatu yang konstruktif, bertolak dari cita-cita dan aspirasi satu dengan yang lain. Indonesia didirikan dari sikap bahwa kita bersatu, wilayah yang sengaja dibuat dan bukan diwarisi,” tambah Taufik.

Dukungan Merdeka

“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan Ingkang Sinohoen Kanjeng Soesoehoenan Pakoeboewono Senopati Ing Ngalogo Abdoerrahman Sayidin Panotogomo Ingkang Kaping XII, ing Soerakarta-Hadiningrat pada kedoedoekannya dengan kepertjayaan bahwa Seri Padoeka Kanjeng Soesoehoenan akan mentjoerahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia...”

Cuplikan piagam kedudukan itu diberikan Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 kepada Soesoehoenan Pakoeboewono XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII pada kedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa.

Inilah secuplik dari rentetan pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan dari pascapenculikan yang dilakukan aktivis mahasiswa di Rengasdengklok, pernyataan dan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur hingga kumandang kemerdekaan Republik Indonesia. Setiap wilayah akhirnya menyatakan kedaulatan Indonesia sebagai kedaulatan bersama.

“Ketika proklamasi sebutlah ada sekitar 100 orang yang tahu tentang kemerdekaan itu. Tetapi, beberapa hari kemudian, Jakarta mengadakan demonstrasi untuk mendukung ratusan ribu orang di Ikada. Mereka mendukung Soekarno-Hatta. Jadi bagi saya, 10 November dapat dijadikan seabgai konfirmasi keabsahan momen 17 Agustus itu,” ujar Taufik.

Indonesia telah merajut tonggak sejarah sejak Sumpah Pemuda yang dihadiri wakil gerakan pemuda di masa itu. Proses ini juga merupakan konfirmasi dari proses yang telah berjalan baik oleh pemuda Indonesia di Belanda, misalnya. Sumpah itu seakan merupakan sebuah komuni. “Bangsa ini kan bangsa yang dibikin oleh orang kota dan terpelajar,” papar Taufik.

Sebagaimana disebut oleh Taufik, Indonesia banyak menampung sejarah pergolakan dan negeri ini mampu semakin berdaulat.

“Hanya repotnya, belakangan ada kecenderungan Jawanisasi yang kelewat berlebihan. Konsep warisan nenek moyang itu lama dipertahankan oleh Soeharto dari pusat. Itu pola pikir pusat yang merupakan ciri khas tradisi Jawa. Pinggiran yang tersingkir itu terasa benar, ketika saya mempelajari perbatasan di wilayah Asia Tenggara. Kita tak menggubris dua pulau yang lepas – Sipadan dan Ligitan – sedangkan Malaysia telah memelihara wilayah itu,” katanya.

Kendati tak mudah, menurut Taufik, yang harus dilakukan adalah menegakkan tradisi yang kekuatan sosialnya pernah diambil. Menata kembali fenomena itu mahal harganya. Demokrasi, selama ini telah dibangun oleh personality yang otoriter.

“Namun jangan lupa juga, ikatan kesejarahan kita itu kuat. Bagaimana kita bisa menerangkan bahwa dari Sabang sampai Merauke orang memakai bahasa Indonesia. Juga ikatan kerajaan yang kait-mengkait. Kesamaan kedatangan Islam di wilayah Indonesia. Banyak lagi hal lainnya,” papar Taufik.

Pernyataan Kebudayaan

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis Paeni, mengatakan bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan sehingga otomatis menjadi satu bangsa yang baru. Sehingga, papar Mukhlis, masalah etnisitas dan kesukuan pun sudah melebur menjadi satu negara yaitu Indonesia, yang tak bisa menafikan bahwa etnik suku bangsa itu masih tetap ada.

Sudah ada nasionalisme Indonesia yang telah mentransendensi dan melampaui pemahaman kedaerahan. “Pluralisme sudah selesai, kita paham antara lain bahwa kita berbeda. Itu satu komitmen politik yang telah selesai. Kita sepakat bahwa 'kamu dan aku' yang berbeda, namun kita sepaham satu negara yaitu Indonesia,” paparnya.

Yang belum selesai, bagi Mukhlis, adalah “aku dan kamu” itu punya peluang harkat dan martabat yang sama. Dengan demikian, pernyataan politik yang sudah selesai itu tak diikuti pernyataan kebudayaan, bahwa “kamu dan aku” punya peluang yang sama, kesempatan yang sama, dan kedudukan yang sama di dalam penyelenggaraan negara. “Komitmen kebudayaan-lah yang harus diselesaikan,” ujarnya.

Perhatian yang adil itu diungkapkan juga oleh budayawan Eka Budianta. Tak bisa lain, semua wilayah memang ingin mendapatkan perhatian. Hanya, Eka justru melihat masyarakatlah yang sebenarnya harus berbesar hati dan rela mengembangkan antara satu suku dengan suku yang lain.

“Ibarat kereta ditarik delapan ekor kuda maka kecepatan yang lemah memengaruhi yang kuat. Tetapi, semua harus bersatu mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan Indonesia jadi kaya asalkan dilandasi kebesaran hati dan kerelaan,” katanya.

Eka melihat bahwa fenomena negara yang berusaha memiliki sistem politik yang ideal kerap terbentur realitas di lapangan, termasuk kendala kemiskinan yang menjadi kelemahan kita.

“Bukan semata karena sistem politik, Orde Baru sejahat apa pun tak punya pikiran seperti itu. Seperti apa kita mendidik guru, ya karena memang kita tak ada kemauan, ketidakmampuan juga ketidakbisaan,” ujarnya.

Eka mengaku suka sekali kebudayaan Indonesia, namun 500 bahasa di wilayah Nusantara sulit sekali dipelajari semuanya. “Ibarat air, Indonesia itu air terjun besar, sedangkan kita hanya punya satu mangkuk. Mengambil kebudayaan Indonesia, itu bukan hanya satu gelas air,” katanya.

Dia mencontohkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mencari seberapa banyak data kebudayaan di tiap suku di Nusantara, namun ternyata perusahaan swasta di dunialah yang berhasil mendapatkan data sekaligus mengembangkan kebudayaan di Flores.

Selain itu, Eka mengingatkan kecenderungan adanya genius lokal yang menarik perhatian masyarakat mancanegara sehingga mereka pun datang ke sana karena kekuatan budaya – bukan karena pembesaran dari pemerintah.

“Saya sendiri merasakan, anak, teman dan keluarga saya ingin tahu masyarakat di sebuah daerah, namun sulit karena tak ada bahan dan petunjuk dari pemerintah. Info itu kan mestinya dimiliki Menkominfo, atau Menbudpar, misalnya,” ujar Eka.

20.08.2011 10:43

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi