Abdul Aziz Rasjid
Bulletin Sastra Pawon edisi 29 III/2010
Lewat tengah hari, 21 Maret 1868, Kapten Nemo menggelar bendera hitam bertuliskan huruf emas N yang terputus–putus di atas kain tipis. Dia, lalu berpaling ke arah matahari yang mengirimkan sinar terakhirnya menjilati laut. Di Kutub Selatan, Kapten yang penuh teka-teki itu berdiri di puncak medan yang setengah porfiris setengah basalt, memandang hamparan ice-field yang menyilaukan, terkesima oleh Nautilus kapal selamnya yang terlihat seakan cetace sedang tidur.
Di Lingkungan udara yang berbau belerang itu, Kapten Nemo teringat pada pelaut-pelaut yang selalu gagal menginjakkan kaki di Kutub Selatan. Dia pun lalu berucap: “Selamat berpisah, matahari! Pergilah, benda langit yang berkilau! Tidurlah di bawah laut tanpa es ini. Biarkan malam enam bulan mengembangkan kegelapannya di atas tanah milik saya yang baru ini!”
Tapi, Kapten Nemo tak ditakdirkan untuk kembali ke Kutub Selatan. Nautilus, kapal selam yang perkasa itu terseret ke dalam Maelstrom —pusaran samudera— di perairan Norwegia. Dengan sengaja atau tidak, ke pusaran itulah Nautilus telah dibawa oleh sang Kapten setelah bertualang 20.000 mil di bawah lautan, mengunjungi Suez sampai Amazon, menemukan Atlantis, memandang penduduk asli Papua, mengamati penyelam di Kreta dan menenggelamkan sebuah kapal perang bersama seluruh kelasi-kelasinya. Di ujung petualangannya, Kapten Nemo hanya berucap, “Tuhan yang Maha Kuasa! Cukup! Cukup!”, dadanya yang ditekan tampak membusung oleh tangis.
/I/
Begitulah, sekelumit cerita Jules Verne dalam novel Vingt Mille Liues Sous Les Mers [1]. Kegemaran Verne memperdalam pengetahuan di bidang matematika, fisika, geografi, biologi fauna & flora untuk menunjang kerja kepengarangannya, pada akhirnya mengangkat namanya sebagai pionir sains fiction. Bahkan yang menarik, alat-alat yang ia imajinasikan dan ia idamkan dalam novelnya itu lalu menjadi realita di abad ke-20. Kapal selam nuklir pertama yang berhasil diciptakan manusia dinamakan Nautilus, serupa dengan nama kapal selam Kapten Nemo dalam novel itu.
Jules Verne yang lahir di Nantes, bagian utara negeri Prancis pada tahun 1828, memang menempatkan alat-alat yang ia imajinasikan dan idamkan bukan sekadar sebagai penunjang cerita. Verne seakan ingin membuat semacam rancangan yang dapat difungsikan oleh ilmuwan di masa mendatang, maka tak mengherankan jika ia juga menjelaskan secara rinci bayangan pembuatannya. Semisal tentang peralatan yang dibutuhkan dan bagaimana kapal selam Nautilus mendapat energi di bawah laut. Simak kutipan ini:
Inilah peralatan yang harus dimiliki untuk membikin Nautilus bergerak … Beberapa telah anda kenal. Barometer memantau tingkat kekeringan atmosfir, ‘strormglass’ jika terurai, campurannya mengabarkan kedatangan badai. Kompas menunjukkan jalan saya; sextan, melalui ketinggian matahari memberitahu saya garis lintang saya; akhirnya kaca pengintip cakrawala, di saat nautilus naik ke permukaan air (hlm. 91) … Anda mengetahui komposisi air laut. Dari seribu gram diperoleh sembilan puluh enam-perseratus setengah air, kira-kira dua-perseratus duapertiga klorur sodium, dalam jumlah kecil klorur magnesium dan potasium, bromur magnesium, sulfat magnesium, sulfat dan karbonat kapur. Jadi, Anda lihat bahwa di situ ada cukup klorur sodium. Dengan sodium yang saya ambil dari air laut itulah saya menciptakan kekuatan energi dari laut (hlm. 92-93)
Apakah dengan perincian semacam itu, novel Verne akan membosankan jika dibaca? Jawabnya tidak. Karena Verne juga piawai membentuk tokoh yang berkarakter dalam novelnya, meramu konflik, memerkarakan mitos dan tentu memuat unsur-unsur filosofis. Semisal saja, ketika kapten Nemo menjelaskan mengapa ia lebih memilih kehidupan di bawah laut. Simak kutipan berikut:
“Dapat dikatakan bumi dimulai dari laut, dan siapa tahu dia akan berakhir lewat laut pula. Laut adalah ketenangan yang paling tenang. Laut bukan milik orang-orang yang lalim. Di permukaan laut, orang-orang itu masih bertindak sewenang-wenang, berkelahi, saling melahap, menyebabkan semua kengerian duniawi. Tetapi pada 30 kaki di bawah permukaan laut, kekuasaan-kekuasaan itu berakhir. Pengaruh mereka berhenti, kekuatan mereka hilang … di situ ada kemerdekaan! Di situ saya tidak mengenal majikan. Hanya di situ saya bebas.!” (hlm. 81)
Teringat pada pentingnya kepiawaian memadukan sains dan pengolahan cerita dalam novel semacam Vingt Mille Liues Sous Les Mers karya Jules Verne itulah, saya kemudian ingin membicarakan novel Lovinesha (penerbit Galur&Inti Media Jogja: 2010) karya Inneke Eko[2]. Sebab setelah membaca 192 halaman selama dua malam, saya kira dalam beberapa sisi, novel Inneke —jika ditulis dengan kedetailan, ramuan konflik, keberanian mengembangkan daya ucap dan wawasannya— memiliki potensi untuk menjadi penuh wawasan dan memukau semacam karya Jules Verne. Sebab, tokoh dalam dua novel itu sama-sama digambarkan secara realis dengan memuat unsur tentang peralatan yang belum berhasil diciptakan oleh manusia di zamannya —Kapal Selam dalam novel Verne dan Mesin Waktu dalam novel Inneke— untuk bukan sekedar sebagai penunjang plot, bukan sekedar sebagai penguatan hukum sebab-akibat.
/II/
20 September 1980. Nesha menulis catatan hariannya dalam diary yang sampulnya bertuliskan LOVINESHA. “Dia bilang…dia hanya ingin menunda punya anak, sampai aku berumur 40 tahun! Ya Allah, apa artinya ini!!!”
Sebuah catatan yang mengejutkan, mungkin pula tampak konyol. Apalagi bila alasan keputusan hadir dari seorang suami dan tak dimengerti oleh sang istri, “Ya Allah, apa artinya ini!!!”. Bukankah anak adalah berkah tak terkira dalam hubungan rumah tangga. Lalu mengapa mesti menunggu sampai 40 tahun? Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Empat tahun kemudian, tepatnya 29 Agustus 2009. Nesha meneruskan catatan di diary-nya: “Dhias sayang, aku sudah tahu dari ayahmu tentangmu. Aku tak percaya. Tapi apa si yang Vino pikirkan waktu membuat mesin begitu… Tidak seharusnya dia mengorbankan kamu untuk membantu kami. Kalau seandainya Vino tidak berpikir cepat dan mengetahui kalau kamu itu anak kami dua puluh tahun yang akan datang, kemungkinan besar kamu akan kehilangan banyak waktumu di sana.”
Dalam catatan itu, ada seseorang yang memutuskan untuk mengubah sesuatu di masa lalu, sedang di pihak yang lain ada yang tak ingin mengubah masa depan. Masa lalu itu adalah orang tua bernama Nesha dan Vino, masa depan itu adalah seorang anak bernama Dhias. Ada perantara yang kemudian berhasil mempertemukan keluarga itu di masa lalu: Mesin Waktu yang dibuat demi LOVINESHA.
Tapi, mesin waktu itu tak menghasilkan kebahagiaan yang final, ada hal yang mampu diubah dan tak mampu diubah. Nesha dan Vino memang kemudian menikah di usia 20 tahunan —sebab sebelumnya mereka menikah di usia 40 tahun— karena sang Anak kembali ke masa lalu bersama mesin waktu untuk mengubah takdir pernikahan orangtuanya. Tetapi pada akhirnya sang anak, Dhias namanya ditunda kelahirannya sampai 20 tahun kemudian.
Pasalnya: Bila Dhias lahir sebelum usianya ibunya 40 tahun, maka Dhias dimungkinkan akan tiba di masa depan dengan keadaan berbeda. Maka disinilah menariknya, ibunya sebenarnya memilih mati saat melahirkan anaknya di usianya yang menuju renta[3]. Lewat Diary, ibu Dhias menuliskan pesan yang sebenarnya mengharukan walau ditulis dengan kesan ceria: Ibu mohon, kunjungi ibu kalau ada kesempatan. Oke, sayang.
Begitulah, sekelumit cerita yang dikisahkan Inneke Eko dalam novel Lovinesha. Berpangkal pada seorang anak yang menggunakan mesin waktu ciptaan ayahnya untuk mengubah takdir keluarga. Dalam novel Lovinesha, mesin waktu menjadi pintu, namun sayangnya ada yang terasa absen disana: kurang adanya kesungguhan untuk perhatian menggambaran secara detail guna menunjang kekuatannya sebagai imajinasi yang dapat mendudukkan potensi keluasan wawasan dan keberanian berpikir si juru cerita untuk memperkuat novelnya. Tak ada penggambaran rinci bagaimana mesin ini mesti dibuat. Inneke hanya menggambarkan wilayah permukaan. Simak paragraf ini:
Lampu-lampu aneh itu itu pastinya bukan lampu biasa. Entah cahaya dari mana. Hingga efek cahaya merah tadi membuat dia terperanjat kagum. Selama dia menggeluti sains, belum pernah ia melihat cahaya begitu (hlm. 32) … Kertas-kertas berisi sketsa dan juga kerangka-kerangka mesin. Di situ dia menemukan catatan bagaiman ayahnya membuat mesin pertama kali. Cara kerjanya, dan pembuatannya seperti apa (hlm. 33).
Cara kerja, gambaran sketsa juga kerangka-kerangka dan unsur-unsur pembuatan memang tak tampak untuk lebih dijelaskan. Maka, dapatlah diasumsikan bahwa mesin waktu hanya sekedar menjadi penunjang cerita. Yang saya sesalkan, Inneke sudah menyinggung Novel bertajuk The Time Machine karya H.G. Wells yang mencetuskan ide tentang perjalanan waktu dan kemungkinannya untuk menjadi kenyataan lewat pembenaran teori relativitas Einsten (hlm.39), sayangnya novel itu hanya dijadikan sebatas informasi, bukan referensi yang memperkuat, memperkaya cerita.
/III/
Dalam novel ini, mendudukkan pengimajinasian mesin waktu sebagai pusat cerita yang memperkaya kekhasan keluasan wawasan, kepiawaian dalam pengucapan juru cerita, atau keberanian untuk menyumbang masukan bagi penelitian ilmuwan di masa depan, agaknya harus dilupakan. Tapi, mungkin pula pernyataan saya akan terjawab tuntas ketika Dhias dalam cerita selanjutnya hendak menggunakan mesin waktu untuk bertemu dengan Albert Einsten (hal 192), dan menjelaskan dengan rinci tentang mesin waktu di antara petualangan-petualangan seru macam Kapten Nemo dalam Nautilus.
Untuk saat ini, saya lebih cocok, untuk menengok novel Lovinesha sebagai novel yang memiliki ciri sebagai novel populer[4] ketimbang novel serius, sebab setelah mencermati indikator dalamnya yang menyangkut unsur-unsur intrinsik novel, Lovinesha cenderung lebih mengangkat gambaran lika-liku keusilan dan kenakalan remaja di usia pubertas –tokoh-tokoh pentingnya bertemu sebagai siwa SMU dan latar peristiwa banyak di sekolah— dengan sifat khas remaja semacam mudah berkelahi dan minggat (ditampakkan lewat tokoh Vino) saat terjadi konflik semacam rebutan kekasih atau pertengkaran dengan orang tua. Penggambaran kekhasan remaja yang umum itu membuat tak ada kemungkinan lain bagi pembaca untuk memperoleh gambaran yang unik dan berbeda tentang remaja.
Garis besar yang saya tandai dalam Lovinesha, adalah pesan tentang upaya-upaya perencanaan manusia dalam mengidamkan keidealan hubungan keluarga. Dimana, setiap perencanaan tak mesti menghasilkan kebahagiaan yang final, harapan tak seratus persen berkesesuaian dengan kenyataan. (aar)
[1] Dalam edisi Bahasa Indonesia, novel ini berjudul 20.000 Mil di Bawah Lautan. Terj. Nh. Dini. Diterbitkan oleh Enigma Publishing: 2004.
[2] Lovinesha merupakan novel perdana Inneke eko, novel ini diberi kata pengantar berjudul “Telah Lahir Penulis Berbakat” oleh Ahmad Tohari. Inneke sendiri masih tercatat sebagai mahasisiwi fakultas KIP program Studi Pendidikan Matematika dan bergiat di Komunitas Sastra Bunga Pustaka Purwokerto.
[3] Baca hlm 26, paragraf tiga, novel Lovinesha. Di paragraf itu Dhias menceritakan bahwa ibunya meninggal sehari setelah Dia lahir.
[4] Uraian lengkap tentang ciri novel Populer dapat dibaca dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia. Sebuah Orientasi Kritik yang ditulis Maman S. Mahayana (Bening Publishing, Jakarta Timur, 2005)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar