Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/
Indonesia tak akan pernah lahir baru dalam satu kuartal. Jika Bung berpikir bahwa sebuah perubahan yang besar akan terjadi dalam waktu 100 hari, inilah yang harus saya bisikkan kepada Bung: angka “100″ di sini mirip dengan “1001 malam” atau “langit ketujuh”: bilangan yang lebih bersifat retoris ketimbang matematis. Kita tak dapat menggunakannya sebagai mistar pengukur. Kita hanya dapat memperlakukannya sebagai pembangkit imajinasi.
Tapi Bung jangan menganggap bahwa sesuatu yang retoris adalah sesuatu yang tak bersungguh-sungguh. Imajinasi bukanlah bagian dari khayal kecil. Maka ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (“SBY”) berkata akan menunjukkan sebuah prestasi dalam waktu “100 hari”, Bung dan saya tak perlu berpikir tentang sesuatu yang akan tiba cepat, tapi kita siap untuk menyaksikan sesuatu yang berarti.
Sesuatu yang berarti itu adalah harapan. “Harapan” di Indonesia dewasa ini artinya bersahaja tapi tak dapat didefinisikan. Ia hanya dapat dimaknai sebagai lawan kata dari sinisme. Mempunyai harapan adalah tidak bersikap serta-merta mencemooh dan berburuk sangka kepada apa saja dalam kehidupan bersama. “Harapan” juga lawan kata dari apati, sikap yang tak peduli lagi terhadap apa pun yang dilakukan bagi kepentingan publik.
Pemerintahan ini sebenarnya lahir dari harapan sebagai lawan kata sinisme dan apati. Bung tahu, kan, Presiden yang sekarang duduk di Istana karena ia dipilih dengan puluhan juta suara yang bersemangat. Harus saya katakan bahwa optimisme rakyat berada dalam dosis yang tak berlebihan tapi memadai: mereka memilih “SBY” karena percaya bahwa perubahan?bukan mukjizat, Bung?akan terjadi.
***
Tapi Bung menangkis: pemerintahan ini juga lahir dalam keadaan genting. Harapan yang kini terbentuk di Indonesia bergerak bagaikan sebuah sekoci di tengah lautan gelap ketidakpercayaan dengan ombak yang gusar. Bila pemerintah gawal sedikit saja, harapan itu akan hilang, dan Indonesia akan selama-lamanya mencemooh dirinya sendiri.
Dari mana sinisme dan apati itu berasal? Bung tunjukkan: dari beribu-ribu arus kekecewaan langsung atau tak langsung yang mengalir dari sumber-sumber yang luas dan menyebar. Sumber itu punya satu nama: korupsi.
Korupsi, kata Bung, akhirnya memang bukan sekadar kejahatan mencuri milik Republik. Korupsi di Indonesia membunuh Republik itu sendiri.
Ingat, kata Bung pula, sebuah kehidupan bersama membentuk sebuah negeri oleh jalinan sosial dan politik yang spontan, efektif, dan lumintu. Jalinan itu sendiri tersusun dari yang sering disebut sebagai “modal sosial”, meskipun saya lebih suka memakai istilah “buhul sosial”. Dengan kata lain: sesuatu yang memperkuat tali-temali antar-warga masyarakat, karena saling mempercayai.
Korupsi di Indonesia telah merusak buhul sosial itu sampai ke sudut yang paling kecil.
Bung tunjukkan kenyataan ini: begitu orang keluar dari rumah, ia langsung punya alasan untuk bersangka-buruk. Misalnya suatu hari dalam kehidupan Susilo Bambang Gentolet, (“SBG”), seorang warga Jakarta di Tanah Abang:
7:00?SBG berjalan menunggu bus lewat dekat rumah. Hujan di hari keempat itu telah merusak jalan. Aspal bengkah, lubang menganga, comberan mendadak terbentuk. Ia harus berhati-hati agar celananya yang baru dicuci tak tersiram becek yang terlontar dari roda sepeda motor yang lewat kencang.
SBG tahu jalan itu gampang rusak karena si pemborong perbaikan tak memenuhi syarat dalam mengaduk bahan dan menggarap kerja. Ia tahu si pemborong melakukan itu karena menyogok pejabat kota praja.
7:15?Bus datang. Tidak di halte. Jakarta adalah salah satu dari ibu kota di dunia di mana bus tak pernah mematuhi halte dan pada saat yang tepat. Penumpang berdesak bahkan sampai setengah keluar pintu. Bus itu sudah 45 persen rusak, dan di tengah kemacetan yang berjam-jam, berdiri dalam bus adalah siksaan sehari-hari.
SBG tahu bus kota tak bisa diperbanyak sekian kali lipat, sebab kendaraan pribadi tak dibatasi dengan peraturan perizinan dan pajak yang tinggi. Bagaimana jika tiap peraturan dan tiap pajak dapat dibengkokkan dengan uang sogok?
9:27?SBG tiba di tempat ia bekerja, sebuah perusahaan impor alat-alat kedokteran. Hari itu teman sekerjanya dapat tugas mengantarkan beberapa puluh juta uang tunai untuk pejabat di Departemen Anu. Begitu ia duduk ia dengar kepala bagian pemasaran berkata mengeluh, “Ah, kita bakal terpukul oleh banyaknya barang selundupan?.”
SBG menghela napas. Bagaimana mencegah penyelundupan jika dinas bea cukai dapat dilewati dengan gampang?
Bung bilang cerita itu dapat diperpanjang dan dibuat dalam pelbagai variasi. Buruk sangka sudah jadi bagian dari percakapan sehari-hari.
Bung pun bertanya, apa gerangan yang kini menjalin hubungan yang spontan, efektif, dan lumintu antara orang dengan orang, lembaga dengan lembaga. Pasti bukan sebuah “negeri”! Jika untuk naik pangkat seorang pegawai negeri harus menyuap pegawai negeri lain, jika wewenang menyelenggarakan hukum bisa diperjual-belikan oleh polisi, jaksa, dan hakim, sebuah negeri bukan lagi sebuah negeri.
Di situlah Indonesia lenyap. Bung katakan secara lebih dramatis: Indonesia adalah sebuah Republik yang berhenti sebagai “re-publik”. Ia dicincang-cincang oleh pamrih privat yang terpisah-pisah?sejak dari perlunya kepentingan tambahan penghasilan pak polisi lalu lintas sampai kepentingan mereka yang jauh tinggi di atas.
Saya kira Bung benar. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan dan kesempatan. Di Indonesia, ia sebuah anarki yang melanjutkan hidupnya dengan baju dinas.
***
Yang menakutkan, kata Bung pula, sebuah paradoks terjadi: anarki akhirnya jadi “lembaga” ketika merasuki sebuah sektor yang paling takut akan anarki?yakni birokrasi dan militer.
Kita bisa bicara banyak tentang anarki di kantor-kantor pemerintah. Memang mereka pakai baju seragam, berolahraga bersama tiap pekan, salat bersama tiap Jumat. Tapi dari kantor mereka, beribu-ribu kalimat dikeluarkan dan disebut peraturan, dan dari tiap peraturan terselip keharusan penduduk untuk punya izin ini dan itu. Kemudian, tiap kali orang mengetuk untuk dapat izin, birokrat itu akan siap untuk disuap. Walhasil, 1000 peraturan adalah tanda disiapkannya 1000 pelanggaran.
Anarki di kalangan militer tak kalah memasygulkan. Dengan anggaran pertahanan hanya 1 persen dari GDP, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pernah menghitung bahwa hanya 30 persen dari kebutuhan militer Indonesia yang dipenuhi oleh anggaran Negara. Selebihnya, angkatan bersenjata harus mencari sumber pendapatannya sendiri. Tapi, menurut angka yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch dalam sebuah buku tentang bisnis militer di Indonesia yang terbit pada tahun 2003?angka itu dikutip dari laporan audit resmi?jumlah dana yang diserahkan oleh unit usaha Yayasan Kartika Eka Paksi yang dimiliki Angkatan Darat hanya Rp 142,331 miliar. Seorang perwira di bagian perencanaan Markas Besar TNI dikutip mengatakan bahwa seluruh kontribusi yayasan militer hanya mencapai 0,7 sampai 1 persen dari anggaran yang diperlukan.
Ingat, kata Bung pula, akhirnya korupsi bisa membunuh dalam arti harfiah. Bulan Juli 2003, seorang pengusaha ditembak mati di Jakarta. Bersama dia, tewas juga pengawalnya. Kemudian diketahui bahwa sang pengawal adalah seorang sersan Kopassus. Sementara itu, polisi kemudian menemukan bahwa para pembunuhnya adalah empat anggota marinir, yang disewa oleh seorang pengusaha lain dengan bayaran Rp 4 juta.
Apa yang terjadi jika polisi dan militer mendapatkan penghasilan samping dengan memperdagangkan kekerasan, selain menjadi pengawal dan pembunuh dan menjaga sarang judi?
Dapat diperkirakan, kian tak aman keadaan, akan kian mahal pula biaya keselamatan yang ditawarkan oleh polisi ataupun tentara. Bukan mustahil bahwa di daerah di mana kekerasan berkecamuk, uang adalah, untuk mengutip kata seorang peneliti, the silent force of the conflict. Bayangkan sesuatu yang bukan mustahil terjadi: petugas keamanan menjual senjata kepada orang swasta dan seorang prajurit yang membawa M-16 (jenis senjata) akan pulang dengan membawa 16-M (“M” dari million). Sang petugas mungkin merasa bersalah, tapi ia juga bisa dengan tenang mengatakan ia tak sendirian.
Inilah cemooh Bung yang lebih lanjut, menirukan cemooh seorang perwira negeri tetangga yang pernah latihan bersama dengan TNI dan polisi: Indonesia adalah sebuah republik yang tentaranya berangkat bertugas dengan peralatan yang bobrok dan ransum yang buruk, sementara jenderal-jenderal polisi dan militernya punya rumah megah di dalam dan di luar negeri.
Di sini, anarki bertaut dengan ketidakadilan. Dan ketika keduanya berkembang terus, buhul sosial pun ambruk.
***
Lalu apa yang akan terjadi? Bung memang pantas mencemooh, tapi mana mungkin Indonesia jadi baru dalam 100 hari? Ketika pemerintah SBY menyatakan akan memerangi korupsi, ia sebenarnya ingin mengawetkan harapan?sebab harapan itulah yang justru rusak berat oleh ambruknya buhul sosial.
Peluang itu bukan omong kosong. Bung jangan mencibir. Korupsi di Indonesia tak datang bersama nenek moyang. Seorang peneliti pernah mengatakan, korupsi di Mahkamah Agung baru terjadi pada tahun 1980-an, dan sebelum masa itu, para hakim adalah manusia-manusia yang bersih.
Sementara itu, korupsi yang meluas dan besar-besaran baru mulai setelah Presiden Soekarno memperkenalkan konsep “Ekonomi Terpimpin”. Ketika itu perusahaan-perusahaan swasta asing diambil alih oleh Negara, dan pejabat-pejabat sipil dan militer pun duduk mengurus perkebunan, pertambangan, perdagangan, bahkan usaha penerbitan buku bacaan.
Ketika “Ekonomi Terpimpin” bertaut dengan “Demokrasi Terpimpin”, kekuasaan yang begitu besar di kalangan birokrasi (yang oleh PKI kemudian disebut “kapitalis birokrat”) akhirnya tak terkendali. Itu sebabnya dalam soal korupsi, Indonesia paling mencolok di Asia Tenggara. Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina relatif bebas dari kejahatan itu. Mereka tak pernah mengambil alih secara besar-besaran perusahaan swasta asing, tak pernah tergoda oleh sosialisme yang menjanjikan pemerataan, tapi akhirnya hanya pandai memproduksi 1000 pengendalian. Itulah sebabnya, kini korupsi yang buruk terjadi di Vietnam dan RRC: birokrasi sosialis yang seperti gurita tetap dipertahankan, namun kini berjabat tangan dengan kapitalisme.
Indonesia di bawah Presiden Soeharto tak mengubah struktur dasar yang disiapkan Soekarno. Birokrasi tetap penting, dan seperti di Vietnam dan RRC sekarang, melahirkan sebuah sistem yang mengkombinasikan yang terburuk dari sosialisme (yakni “kontrol”) dan yang terburuk dari kapitalisme (yakni “keserakahan”).
Siapa pun tak gampang memangkas gurita kontrol dan keserakahan itu. Korupsi telah menjalar ke peradilan, parlemen daerah ataupun nasional, merasuki kehidupan partai politik, lembaga agama, dunia pers, bahkan NGO. Pemerintahan Indonesia?anarki yang melanjutkan hidupnya dengan baju dinas itu?kini jadi tauladan siapa saja di Indonesia. Tapi Bung tak bisa terus-menerus mencemooh.
Siapa tahu Presiden yang dipilih rakyat dengan mayoritas yang meyakinkan itu tak akan terus maju-mundur?meskipun itulah konon kelemahannya yang terbesar. Siapa tahu ia akan memperlakukan hal-hal yang luar biasa seperti bencana di Aceh dan korupsi di seantero negeri dengan sikap “kita berada dalam keadaan perang total”. Banyak pencoleng mengatasnamakan “kebanggaan nasional” dan “patriotisme” untuk memelihara kepentingan mereka, tapi sikap patriotik utama sekarang adalah melawan sinisme dengan sesuatu yang luar biasa.
Artinya, teruskan tangkap para pencoleng besar, tahan mereka, dan bila terbukti, kirim mereka ke Pulau Buru, bukan cuma Nusakambangan.
Bung bilang perang total mengharuskan pekik pertempuran yang spektakuler, dan saya setuju. Kita harus menjaga sekoci harapan itu tak tenggelam dalam lautan ketidakpercayaan yang dalam. Kita tak ingin Indonesia ikut tenggelam. Kita tak ingin kehilangan sebuah negeri yang begitu berharga.
28 Januari 2005
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar