Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah,
bahkan jika rumahnya hanya ada di balik iklan
yang ia baca di perjalanan.
Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu
yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada
di bingkai foto yang mulai kusam…
–Joko Pinurbo, sajak Tiada (2003)
Sebuah foto hitam putih tergeletak di dinding tua. Foto itu menampilkan kesunyian para pemudik. Dengan warna hitam-putih yang menonjol, foto itu memotret dengan jeli dua sosok manusia yang tengah melintas tepat di tengah-tengah rel kereta sambil menenteng sebuah koper. Di kiri dan kanan rel yang tampak berwarna hitam pekat, terlihat kerumunan orang yang berdesakan menunggu kereta tiba.
Foto itu tentu tak dimaksudkan sebagai teror mental, tapi lebih sebagai foto realis yang menyuguhkan tempat atau rumah bagi seorang penyair. Atau pulang bagi para pemudik. Atau mudik akbar bagi para peziarah yang resah.
Menapa dengan foto? Ketika puisi ternyata tidak sepenuhnya mampu menangkap gelora kerinduan, dan ketika prosa hanya menyuguhkan narasi yang terasa aus dan metafora porak-poranda, sebuah foto bisa jadi mampu menyumbang bagi tafsir kamera dalam permainan.
Bahkan, jika buku-buku analekta puisi tak juga membuat kita bertanya tentang apa dan untuk apa peristiwa yang terekam di dalamnya, apalagi tak memberikan kedalaman makna sehabis membacanya, maka gambar atau foto bisa berlaku sebaliknya: Karya foto—dengan realisme yang menuding-nuding realita sekali pun—bisa memainkan dengan lincah arti sebuah peristiwa, juga kesunyian dan kemenjadian.
Foto karya Yuniadhi Agung itu dimuat di harian Kompas bersama sebuah tulisan tentang “pulang”, menampilkan empati dengan sebuah kesunyian; empati bukan muncul dari sebuah kenenesan, apalagi kecengengan, sebagaimana banyak kita temukan dalam puisi bertema kampung halaman. Sang fotografer memotret kebimbangan dua orang yang sedang menyeberang rel, tapi tak bermaksud menghadirkan masa silam sebagai ratapan.
Bahasa gambar, foto, bisa jadi sebuah pilihan ketika puisi kian kehilangan tenaga. Ia bisa melampaui keindahan dan keterfanaan kita dalam menghayati tempat berpijak, atau rumah. Ia juga dapat mengajak kita untuk ikut merasakan apa yang orang-orang sedang berjalan pulang itu rasakan: merasakan usaha mereka yang penuh harap dan cemas dalam menempuh stasiun demi stasiun dalam mencari tanda-tanda kehidupan di mana kita merasa menemukannya kembali sebelum kita melupakannya.
Dengan menyinggung tafsir kamera di latar depan tulisan ini, saya telah memasang semacam ancang-ancang untuk tak sekadar berselancar ke dalam puisi yang saya singgung di bawah ini. Puisi-puisi yang saya pilih secara acak namun menghadirkan tematik yang sesuai dengan konteks pembicaraan yang saya pilih. Pulang dan rumah adalah dua persoalan yang hampir tak pernah absen dalam puisi sejak Pujangga Baru sampai puisi tahun 2000-an. Penyair Pujangga Baru dan angkatan 45 sudah banyak melukiskan semangat mudik dan balik. Goenawan Mohamad kerap kali mencemooh penyair atau sastrawan yang merayakan alam lokal, tanah air, atau warna setempat, yang telah melahirkan esai-esai yang menggugah seperti “Puisi Yang Berpijak Di Bumi Sendiri” (1960), “Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan” (1968), dan “Masa Lampau Tak Mati-mati” (1970). Puluhan esai pendek ”Catatan Pinggir” juga tak luput memperkarakan persoalan rumah dan pulang dalam pemaknaannya yang beragam dan sangat luas.
Kita tahu, Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis puisi tentang semangat meninggalkan tasik yang tenang. Asrul Sani pernah menulis puisi Surat Dari Ibu, yang menampilkan konflik seorang anak yang merindukan kampung halaman setelah jauh ditinggalkan. Asrul mengekspresikan situasi kejiwaan seorang anak yang tersang, yang pergi ke alam bebas selama angin masih buritan dan mentari pagi menyinari daun-daunan:
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutupi pintu waktu-lampau
Jika bayang-bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
bolehlah engkau datang padaku
Kembali pulang anakku sayang
kembali ke balik malam
jika kapalmu telah rapat ke tepi
aku akan bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari
Demikian pula pada Sitor Situmorang yang begitu rindu kembali ke Danau Toba, Ajip Rosidi rindu pada bahasa Sunda, dan banyak lagi penyair generasi 1945-1965 yang merindukan tanah kelahiran. Tahun 1950-an, ajakan untuk pulang ke desa memang sempat mewarnai banyak puisi dan berlanjut hingga tahun 1970-an. Pulang sering dilukiskan melalui aku lirik yang hidup terlunta-lunta di tikungan jalan, di ruang antara, desa dan kota, lokal dan global sebagai “si anak hilang” kata Sitor, yang berjalan dengan tujuan rutin yang nyaris kehilangan arti.
Begitulah perjalanan puisi modern Indonesia. Persoalan rumah dan pulang akan terus merundung sebagian penyair. Apa boleh buat, kota bukan dunia yang cocok bagi daya khayal dan fantasi kebanyakan penyair kita yang memang berasal dari desa. Puisi memang tak pernah lahir 100 % di kota. Keliaran kata dan imaji tak mampu mengungkai kedalaman renungan dan pikiran, dan sering masih takut dianggap pendurhaka, sebagaimana kata Goenawan Mohamad pernah melukiskan: ”kita tak ingin melihat kepongahan menjadi pemberontakan, reda dan usai, yang kepada kita rasa bersalah tradisional pun muncul kembali: kita tak ingin jadi manusia yang terkutuk, kita takut seperti Malin Kundang yang mendurhakai ibunya, sebagaimana dalam cerita lama, dan kita juga tak mau jadi pengembara yang bermahligai di atas langit terus-menerus sementara kaki masih berpijak di bumi”.
Sampai pada tahun 1980-an, daya tarik puisi pulang ke rumah asal semakin kencang, seiring hangatnya perdebatan tentang sastra kontekstual. Ajakan pulang menggema kembali dengan kehadiran gerakan postmodernisme di tahun 1990-an di negeri ini. Pulang dan rumah memang tak mati-mati, sebagaimana pernah diharapkan Goenawan. Rumah dan kampung halaman tak kunjung bisa dilupakan, mungkin karena kuatnya imajinasi tentang bahasa ibu yang pertama di desa, maka ia menjelma semacam jejak tanda dan penanda yang tak mudah dilupakan, nostalgia yang bersemai di kala gebalau memuncak di kota.
Kampung halaman berikut segudang nostalgia masa lalunya akan terus dipahat kembali kandungan rasa jati diri di kalangan para penyair kita. “Tuan bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan rumah”, kata Goenawan dalam esai “Rumah”: “Saya cenderung bertanya kembali dengan pertanyaan panjang yang tak menarik: apa yang kini tersisa dari lokalitas dan stabilitas yang pernah ada dahulu? Tuan lihat: kini begitu banyak orang digusur, begitu banyak orang mengungsi. Mahia menjadi yang mustahak. Rumah—meskipun bukan sebuah puri yang angker—bisa merupakan kehadiran yang membatasi. Kedalaman adalah kata yang meniscayakan keterbatasan dalam pencarian. Takutkah saya kehilangan rumah? Bukankah kita akan selalu kehilangan rumah?”
Ragam puspa pertanyaan Goenawan itu tak membuat masa lalu dengan mudah bisa dilupakan dan rumah dengan cepat dapat digusur. Rumah dan masa lalu tak akan pernah terkikis dan terbuang dalam puisi dan dalam ingatan penyair. Ramalan dan harapan Goenawan tak selalu terbukti. Beberapa esainya belakangan ini menunjukkan kegamakan atau kegamangan dan pembelaan dengan retorika tulisan yang nyaris menjelma semacam antitesa retorika spontan dari Sutardji. Sampai pada generasi penyair mutakhir, generasi angkatan Ulfatin Ch, Joko Pinurbo, Jimmy Maruli Alfian, Y. Wibowo, dan Inggit Putri Marga, dan masih banyak lagi, rumah dan masa lalu masih terus ditulis dan dikenang dalam puisi.
Saya merasakan bagaimana penyair Ulfatin Ch berusaha menjernihkan tema pulang dalam puisi Keberangkatan (1998): “Duduk di stasiun tugu/kita menunggu malam, kereta tak juga datang/mengiring gelisah/sampai kapan”. Keberangkatan adalah sebuah perjalanan ke hulu kehidupan ibu, bahkan ke dalam semesta, atau kosmos. Keberangkatan menjadi semacam korelasi budaya bagi keranjang takakura dalam hidup kita. Segala bentuk, residu masa lalu, yang semula didaur-ulang oleh alam, mulai membalik kemanusian. Dan ajakan kembali ke asal primordial seakan niscaya.
Apa yang terjadi jika keinginan pulang yang menggebu-gebu tapi di stasiun “kereta tak juga datang”? Ulfatin punya jawaban yang umum dalam sebuah laku menunggu: “menggiring gelisah” entah “sampai kapan”. Joko Pinurbo masih sempat juga menulis puisi bertajuk “Tiada” (2003) dengan kata-kata yang nyaris menjelma kesimpulan: “Tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah, bahkan jika rumahnya hanya ada di balik iklan yang ia baca di perjalanan. Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada di bingkai foto yang mulai kusam…”
Dan ada juga yang berterus terang secara telanjang: “Pulanglah,” kata Jimmy Maruli Alfian dalam puisi Ayat Hikayat (2007). Lalu ia pun berpantun: ”Biji gandum serak di kebun. Ranumnya sampai ke teluk semangka. Aku pergi isak mengalun. Daripada capai dikutuk wasangka”. Pantun ini masih dekat dengan imaji puisi Bukit Barisan yang pernah dirilis Muhammad Yamin sebelum kemerdekaan: “Hijau tampaknya Bukit Barisan. Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang. Putuslah nyawa hilanglah badan. Lamun hati terkenang pulang”.
Dengan menghadirkan pantun Melayu kembali, nostalgia masa kecil seakan hadir lagi dalam kekinian. Dengan berpantun rasa rindu seakan terobati. Namun dengan pantun pula hidup di antara dua dunia tak selamanya bisa bikin hidup lebih hidup. Terkadang justru sang penyair merasa sebagai orang yang belum sempat menambatkan hati di tempat yang baru, sementara tak lagi berarti untuk mencintai tempat asal. Terkadang juga merasa terlanjur melupakan kampung halaman, sementara merasa gagal tinggal di tempat yang baru.
Dan inilah yang dirasakan Ulfatin Ch: “jiwaku sendiri telah pergi, mengunjungi Tuhan tak kembali. Dalam kesendirian, aku memuja tahta, lalu menghitung jari: kapankah berakhir waktu yang memenjara ruang dengan ruang” (sajak Aku Sendiri).
Dengan kembali pada ”isi”, seorang akan merasa terbebas dari ”bentuk”. Karena isi dengan bebas menyuarakan suara hati, tapi dengan bentuk tidak. Lebih lagi terhadap bentuk formal. Tapi mengapa harus melulu isi, tidakkah ruang tak selamanya memenjara waktu, atau sebaliknya ”waktu yang memenjara ruang demi ruang”. Bukankah puisi sesunggunya makhluk yang melampaui ruang dan waktu? Bukankah masih ada yang namanya wilayah tranhistoris, pasca-misteri, yang melintasi penjara ruang dan waktu hingga tak lagi terikat oleh keduanya?
Dalam sajak Jimmy, si aku memang ditunjukkan sebagai yang tak pernah menyerah untuk terus mengajak si istrinya pulang. Namun pada akhirnya ia sampai pada pertanyaan mencemaskan: “ke mana lagi hendak pulang/sedang kampung halamanku ialah kau”, tulisnya sambil mengurungkan niat tokohnya untuk pulang.
Wachid BS punya alasan lain mengapa setelah di kota harus kembali lagi pulang ke desa: karena tuntuk apa kita tetap tinggal terus-menerus di rantau, sedang kota telah menjelma “sebuah chaos, yang seluruh perabotnya mengubah diri menjadi cosmos”, tulisnya dalam puisi “Gentayangan Pulang”.
Penyair Lampung dari generasi muda yang sangat produktif menulis puisi tentang pulang dan rumah di media lokal, di antaranya adalah Y. Wibowo. Dalam antologi puisi Operasi Kebun Lada (2005). Y. Wibowo melakukan traveling ke desa-desa yang sunyi. Sebuah tempat untuk kembali. Salah satu puisinya tentang tema ini adalah puisi berjudul “Kutempuh Jalan Pulang, Kenangan Mencipta Lambang-lambang”. Membaca puisi ini tak ayal membuat kita ikut merasakan kerinduan si aku lirik untuk segera pulang ke lubuk mata air sumber kecemerlangan.
Hasrat untuk pulang kampung tak tertahankan lantaran semakin lama meninggalkan tanah kelahirannya, justru kian kuat aroma kopi dan lada sulah memanggilnya. Rupa-rupanya anggapan bahwa “semakin kita melupakan justru semakin kita mengingat” berlaku dalam prinsip kepengarangan Y.Wibowo. Dalam puisinya ia banyak menggunakan majas tentang batang jelatang yang gatal itu—yang banyak tumbuh di desa di Lampung—sebagai petanda dari rasa rasa ke-kesih-an (kegatalan) untuk segera bersua kembali dengan mak-bapak, adik-kakak, minan-mamak, tamong-kajong, dan sebagainya.
Si aku akhirnya hengkang dari kota lantaran apa yang ia saksikannya setiap hari di kota hanyalah pemandangan yang rutin dan membosankan; papan reklame di sudut-sudut jalan, silau kaca plaza, gedung-gedung tinggi yang bisu, suara bising kendaraan di jalan raya, yang membuatnya bimbang. Namun, ketika kerasukan untuk pulang tak lagi bisa dihalang, maka pulang adalah pilihan hidup yang realistis dan paling punya alasan dan retaorika—lisan mau pun tulisan. Terlepas apakah si aku menyadari atau tak atas pilihannya itu akan dianggap sebagai bentuk kecengengan, nostalgis, atau romantis.
Secara ekstrim si aku lirik melukiskan situasi dunia rantau sebagai apa yang disebutnya “pembuangan paling tersembunyi” atau “pengasingan dari petilasan kerabat” atau “berpendaran ke pelosok desa dan riuh-gaduh sudut kota”.
Ungkapan-ungkapan semacam itu menampilkan suara eksistensialis yang keras, yang tak tertahankan, tak tertangguhkan, yang bisa melahirkan sebuah pemberontakan. Di sini lagi-lagi saya bertanya: apa yang membuat aku harus pulang? Rindu? Bagaimana kalau yang dirindukan di desa itu ternyata tak lagi bisa ditemukan, kecuali hanya “kelainan yang jauh” atau “noktah yang membosankan?” Atau, seperti yang pernah ditegaskan juga oleh Dina Oktaviani—penyair yang lahir dan besar di Lampung dan hijrah dan membangun keluarga di Yogyakarta—dalam puisi Agoni-nya: bagaimana jika “engkau bukanlah pulang itu?”
Tak lengkap rasanya jika Bowo tak mengenang dan mencicipi kembali riak gelombang Wai Semangka yang tenang itu—Bowo tak pernah melihat apalagi mandi di Teluk Semangka— kendati di hatinya sudah terpaut di kota rantau. Tabiat puisi semacam ini sering digolongkan kritikus yang lalu sebagai puisi pelancong atau traveling, namun travelingnya hanya di negara sendiri, itu pun terbatas hanya Lampung dan Yogya.
Bila biografi penyair kita kenakan dalam membaca puisi-puisi Bowo, maka puisinya merefleksikan kegundahan diri sendiri. Ia pernah trans dan menetap di Yogyakarta dalam rangka studi dan mencari pengalaman, atau mungkin juga demi sebuah alasan untuk berjarak sejenak dari Lampung yang mulai gersang—kalau bukan malah demi alasan untuk menanjak.
Semua itu ditempuh dengan harapan ketika sudah berada di kampung halaman kembali akan membawa sekoper penuh ide yang tercerahkan, kalau bukan malah terkalahkan. Pada momen ketika aku sudah berada di kampung lagi, tampak koper ide dan pengalaman yang dibawanya dari dunia rantau memang tak sia-sia.
Puisi-puisi Bowo sangat dekat dengan bentuk pengucapan Terry Mc Donagh—penyair Irlandia, yang buku puisinya telah diterjemahkan Sapardi dan Dami N. Toda menjadi Tiada Tempat di Rawa. Geografi puisinya—seperti puisi “Orang-orang Teluk Semangka”, “Labuhan Maringgai, Arus Masih Menderas”, “Membaca Senja di Kalianda”—bisa dengan mudah dituduh sebagai puisi yang menampilkan “romantika banal”.
Puisi yang melukiskan arus sungai di Labuhan Maringgai, secara geografi memang bisa dicari jejaknya dalam sebuah peta Lampung, namun tidak demikian sesungguhnya kondisi arus sungai dalam arti faktual. Sebab yang saya tahu—saya sering mandi di sungai Maringgai itu—bahwa sungai tersebut tak memiliki arus yang deras dan lebar, melainkan hanya sungai kecil—yang oleh orang Lampung disebut siring—yang dibuat kolam-kolam pemandian dengan cara menumpuk batu agar membentuk sebuah kolam.
Ketajaman intuisi Y. Wibowo dalam menghadirkan arus sungai di Maringgai, terlepas masih dangkalnya arus imaji sang penyair dalam menyelam peta wilayah itu, memberikan pada kita bagaimana warna lokal mesti dihadirkan. Y. Wibowo bukan tidak tahu bahwa di Labuhan Maringgai terdapat tradisi dan kesenian Malinting yang menurut para penyair dan kritikus sastra yang keranjingan pada tema local genius di Lampung, dianggap sebagai warisan penting dari seni/tradisi subkultur. Bowo lebih memilih sungai sebagai kerinduan masa kecil yang tak kunjung bisa dilupakan.
Nama-nama tempat seperti Teluk Semangka, Way Nipah, Terbaya, Batu Tegi, Negeri Ratu, Cukuh Balak, dan Pringsewu, semuanya berada di kabupaten Tanggamus propinsi Lampung, yang selama ini memang jarang dijamah oleh penyair Lampung yang lain.
***
Puisi Indonesia modern rupa-rupanya tak pernah berhenti bersinggungan dengan masalah rumah sejarah atau rumah eksistensial. Sebagaimana saya singgung di muka, puisi-puisi terbaru pasca-1990-an, tampak secara tematik masih kuat mengekspresikan kedesaan sebagai geografi merayakan kebalauan yang nonsens. Peta perjalanan—kalau memang layak disebut begitu—semacam itu sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa penyair kita punya indra penciuman yang tajam tentang masa lampau dan kampung halaman.
Menghadirkan geografi dalam puisi memang sulit mengelak dari keranjingan untuk menempatkan desa sebagai latar depan. Kofi Awnoor—novelis Ghana—pernah berseru: mari kembali ke cenayang desa agar penyair memperoleh inspirasi. Rendra menyerukan tak sekadar inspirasi lagi.
Afrizal secara lebih ekstream ingin membalik kota ke latar belakang penciptaan seraya mencoba menempatkan kembali desa sebagai latar depan proses kreatif. Afrizal bahkan pernah menegaskan bahwa kebanyakan penyair Indonesia telah meletakkan “desa sebagai latar belakang” bagi kreativitasnya. Oleh karena itu, apa yang dinamakan puisi Indonesia kata Afrizal adalah, puisi urban; puisi yang lahir dari pembunuhan terhadap etno di desa lewat bahasa Indonesia”.
Para penyair yang puisinya dibicarakan di atas adalah para pemudik yang terus hidup dalam kesinambungan masa lalu yang tak ingin diputuskan karena mereka tak ingin terus-terusan dihinggapi kecemasan, rasa bersalah, yatim piatu yang meragu, yang lahir dari pengingkaran terhadap waktu lampau. Masa lalu adalah mata rantai yang menghubungkan tiga waktu secara berkesinambungan: waktu kini, esok, dan yang akan datang, lalu kembali berputar terus-menerus dalam persilangan waktu primordial.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar