Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Antologi cerpen, baik karya perseorangan, maupun karya bersama, tentu dengan mudah dapat kita jumpai di sejumlah toko buku atau perpustakaan. Buku antologi cerpen semacam itu, biasanya tidak spesifik mengangkat tema tertentu, meskipun mungkin saja ada maksud dan harapan tertentu yang melatarbelakangi dan melatardepaninya. Tetapi, bagaimana dengan antologi cerpen yang sengaja mengusung tema tertentu, seperti yang dilakukan Kompas lewat Korma: Cerpen-Cerpen Puasa—Lebaran?
Sejauh pengamatan, usaha mengangkat satu tema tertentu dalam sebuah antologi cerpen bersama, boleh dibilang, masih langka. Dilihat dari sudut ini, niscaya langkah ini bakal menjadi penting, apalagi jika kita rajin mencermati cerpen-cerpen yang beredar di majalah, tabloid, jurnal cerpen atau koran hari Minggu. Begitu beragam tema-tema yang ditawarkannya dan sungguh kaya cara penyajiannya. Di balik keberagaman dan kekayaan itu, ada kecenderungan bahwa cerpen-cerpen itu lahir dari kegelisahan yang sama: jeritan atas keterpurukan negeri ini. Di sana, ada empati atas tragedi Mei, manipulasi atas nama agama, konflik antar-etnis, dan entah apa lagi. Jika tema-tema yang sama dihimpun, sangat mungkin ia menjadi sebuah potret sosial atas carut-marut yang terjadi di negeri ini.
Kompas telah memulai lewat Korma: Cerpen-Cerpen Puasa—Lebaran. Lalu adakah signifikansinya dalam kaitannya dengan potret sosial masyarakat kita? Sekadar mengumpulkan cerpen yang bertema sama, tanpa mempertimbangkan nilai estetiknya, tentu juga tidaklah elok. Namun mengingat hanya 10 cerpen yang termuat dalam antologi ini, padahal cerpen-cerpen yang bertema puasa dan lebaran yang pernah dimuat Kompas, jumlahnya jauh lebih banyak, maka pastilah ada pertimbangan lain dan alasan-alasan tertentu yang melandasinya. Oleh karena itu, patutlah kiranya kita mencermati lebih jauh: Adakah sesuatu yang penting yang dapat kita tangkap dari sana? Apakah antologi ini juga mengisyaratkan sebuah potret sosial masyarakat kita –khasnya umat Islam-Indonesia— berkenaan dengan ihwal puasa dan lebaran, atau tema itu sekadar tempelan belaka?
***
Antologi Korma: Cerpen-Cerpen Puasa—Lebaran, memuat 10 cerpen karya sembilan cerpenis yang posisinya tergolong berada di jajaran depan dalam peta cerpen Indonesia. Jadi, secara kualitatif, nama-nama penulisnya –secara apriori— dapatlah dianggap sebagai jaminan, meskipun kita berkewajiban untuk tetap bersikap kritis. Sebagaimana tersurat dalam judulnya, cerpen-cerpen dalam antologi ini semua berkisah tentang puasa dan lebaran. Dalam konteks perjalanan cerpen Indonesia, secara estetik, mesti diakui, kehadiran cerpen-cerpen dalam antologi ini, tidaklah menyodorkan sesuatu yang baru. Demikian juga, secara tematik cerpen-cerpen yang berkisah tentang puasa dan lebaran, sudah sejak zaman Pandji Poestaka menghiasai lembaran budaya media massa. Lalu, apanya yang penting dari antologi ini jika ia tidak menyodorkan sesuatu yang baru?
Puasa dan lebaran an sich bagi umat Islam, pasti juga bukan sesuatu yang baru. Meskipun begitu, mengingat di dalamnya ada dimensi sosio-kultural, maka pemaknaan dan penafsiran atas puasa dan lebaran, secara meyakinkan terus-menerus mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat bersangkutan. Sekadar contoh, periksa misalnya, cerpen Armijn Pane, “Jika Pohon Jati Berkembang” (Pandji Poestaka, No. 15, 1937) yang juga bercerita tentang lebaran. Dalam cerpen itu digambarkan, bagaimana orang-orang berkumpul dan terheran-heran mendengarkan suara gamelan atau khotbah lebaran cukup dari sebuah kotak yang bernama radio. Pada masa itu radio tentu saja masih dianggap sebagai benda ajaib. Dalam cerpen Muhammad Dimyati, “Lebaran di Kampung” (Madjalah Indonesia, 21 Juni 1952) dikisahkan bagaimana kedatangan seseorang di kampung halamannya –kini disebut mudik— disambut bagai pahlawan perang, meskipun ia tidak membawa barang apapun jua untuk dibagi-bagikan kepada sanak familinya. Cerpen Dimyati lainnya yang juga bercerita tentang puasa dan lebaran menunjukkan potret sosial pada zamannya yang tentu sudah sangat berbeda dengan keadaan puasa dan lebaran sekarang. Bahkan terkesan, puasa dan lebaran dalam cerpen-cerpen Dimyati, sekadar latar waktu yang tak punya nilai religius. Hal yang juga terjadi pada cerpen “Kartjis Lebaran …” karya Nur St. Iskandar (Pandji Poestaka, 1 Januari 1935) yang menempatkan lebaran sekadar latar waktu yang kurang memberi kontribusi bagi unsur intrinsik lainnya. Sementara Soeman Hs dalam Kasih tak Terlarai (1929), melihat lebaran sebagai momentum rekonsiliasi antara anak muda dan orang tua, meskipun di sana tidak ada acara halalbihalal dan maaf-memaafkan.
Demikianlah, makna puasa dan lebaran terus mengalami pergeseran ketika ia ditempatkan dalam konteks perkembangan sosio-kultural. Dalam hal itulah, antologi Korma: Cerpen-Cerpen Puasa—Lebaran, dapat juga dipandang sebagai representasi kultur masyarakat Islam—Indonesia masa kini yang dalam perjalanan waktu, pasti juga akan mengalami perubahan. Dengan demikian, antologi cerpen ini penting artinya sebagai usaha melihat, betapa sesungguhnya umat Islam di Indonesia sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan sosial-budaya yang melahirkan dan membesarkannya. Yang kemudian tampak ke permukaan adalah umat Islam-Indonesia yang lengkap dengan kulturnya yang tidak hitam-putih. Ada warna pelangi di sana yang sekaligus sebagai potret keindonesiaan yang pluralis dan heterogen.
***
Secara struktural, ke-10 cerpen dalam antologi ini dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, yang menempatkan puasa dan lebaran sebagai bulan yang penuh barokah atau yang menyimpan kisah-kisah gaib. Dalam kisah-kisah itu pula sengaja dihadirkan peristiwa supernatural ke dalam struktur cerita. Cerpen-cerpen yang termasuk kelompok ini adalah “Lailatul Qadar” (Danarto), “Korma” (Yanusa Nugroho), “Reuni” (Hamsad Rangkuti), “Tamu yang datang di Hari Lebaran” (A.A. Navis), dan “Gambar Bertulisan ‘Kereta Lebaran’” (Gus tf Sakai). Kedua, yang secara konvensional menempatkan puasa dan lebaran melalui kacamata sosio-kultural. Dengan begitu, dilihat dari dimensi itu, puasa dan lebaran selalu saja menghadirkan problem sosial yang dari tahun ke tahun sepertinya tak akan pernah berakhir. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah “Puasa Itu” (Senu Subawajid), “Tiga Butir Korma per Kepala” (Yusrizal KW), “Menjelang Lebaran” (Umar Kayam), “Malam Takbir” (Hamsad Rangkuti), dan “Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari” (Jujur Prananto).
Di dalam cerpen-cerpen kelompok pertama, kita dapat melihat betapa ramadhan senantiasa menyimpan misteri tentang kisah-kisah gaib yang mencekam, berbagai peristiwa ajaib yang menakjubkan, dan serangkaian cerita irasional yang tak masuk akal.
Sesungguhnya, kisah-kisah itu merepresentasikan potret sosial umat Islam—Indonesia yang tidak dapat meninggalkan keberimanannya pada dunia gaib. Bahkan, bagi mereka yang dekat dengan kehidupan pesantren, kisah-kisah seperti itu, diyakini sebagai sesuatu yang niscaya. Tidak jarang pula ia sengaja dihadirkan guna menambah nilai sakralitas suasana bulan suci itu. Pembacaan kitab kuning atau cerita tentang kehidupan para aulia dalam menjalankan peribadatannya di bulan ramadhan, hampir selalu menjadi rujukan penting dalam menerjemahkan dan memaknai kesucian ramadhan. Dalam kisah-kisah itulah, berbagai peristiwa yang terjadi dalam dunia yang kasat mata dan dunia gaib, dapat berjalin kelindan dan tumpang-tindih, tanpa jelas batas-batasnya. Maka, tidaklah menjadi soalan benar, jika kisah-kisah semacam itu dipandang sebagai dongeng yang tidak sejalan dengan tuntutan logika formal. Ia juga tak berpretensi memaksa pembaca atau pendengar memahaminya, lantaran memang bukan itu tujuannya.
Kisah-kisah dunia jungkir balik yang terjadi dalam kehidupan di negeri entah-berentah itu, tentu saja bukan cuma milik orang Islam. Cerita sejenis itu ternyata telah menjadi khazanah tradisional etnik yang berserakan di wilayah Nusantara ini. Ia justru telah menyatu sebagai bagian penting yang tumbuh subur dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Dalam kisah-kisah itu, label agama dan etnik sekadar sebagai ciri dominan, meskipun di dalamnya ada warna pelangi yang berasal dari pengaruh kepercayaan lain. Dengan demikian, kisah-kisah gaib macam apapun, bagi masyarakat kita sesungguhnya bukanlah hal baru, termasuk di dalamnya, berbagai peristiwa seputar ramadhan, takbir, dan lebaran. Ia merupakan representasi dari kultur keindonesiaan yang tidak hitam-putih itu. Dan itu sudah sejak lama mengejawantah dalam tradisi narasi masyarakat kita. Dalam konteks itulah, meskipun di sana ada baju Islam –ramadhan, takbir, dan iedul fitri (:lebaran)— mengingat ia sudah sejak lama menjadi warna pelangi Indonesia, maka sesungguhnya baju Islam itu telah melesap dalam kultur keindonesiaan.
Cerpen-cerpen dalam kelompok kedua memperlihatkan bahwa puasa dan lebaran, selain memunculkan berbagai kisah supernatural, juga nyaris selalu melahirkan problem sosial yang sama: mudik dan keterpurukan wong cilik. Mudik menjadi begitu penting dan menenggelamkan hakikat puasa dan makna iedul fitri, karena makna mudik ditafsirkan menyangkut status sosial dan martabat jati diri. Akibatnya, ia dianggap sebagai simbol keberhasilan mengeruk materi, sekaligus sebagai ajang dan kesempatan memamerkan kesuksesan (semu). Mudik pada akhirnya seperti telah menjelma menjadi sebuah ritual untuk melegitimasi keberhasilan perjuangan seseorang mencari kekayaan di kota. Dalam konteks kultur Islam—Indonesia, mudik seolah-olah sengaja ditempatkan sebagai puncak prosesi perjalanan ramadhan; puasa, tarawih, sahur, takbir, lebaran, dan mudik.
Sesungguhnya, mudik lahir lantaran pandangan keliru mengenai hubungan desa—kota. Itulah salah satu sisi gelap dampak terjadinya pemusatan sentra-sentra ekonomi di perkotaan. Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik dengan Jakarta dan beberapa kota besar lainnya sebagai pusat segala kegiatan ekonomi dan pemerintahan, dunia pedesaan diperlakukan secara marjinal. Ia bagai wilayah yang secara de facto ada, tetapi dipandang sekadar bayang-bayang. Apapun yang terjadi di desa –kecuali musibah banjir dan tanah longsor— seperti tidak punya makna dan daya pikat sama sekali. Raja-raja kecil di desa, tetap saja kalah pamor oleh para punggawa kota. Akibatnya, kota dengan berbagai impiannya menjadi pusat segala orientasi masyarakat pedesaan. Itulah buah yang lahir dari pohon yang ditanam pemerintahan sentralistik.
Bahwa penduduk desa kemudian memilih mencari penghidupan di kota, soalnya lantaran desanya sendiri tak mampu menjanjikan apa-apa. Setidak-tidaknya, kehidupan di desa dipandang belum dapat menjamin warganya hidup layak sebagai manusia. Wajarlah jika penduduk desa berbondong-bondong pergi ke kota, sekadar hendak mewujudkan cita-citanya menjadi “manusia”. Dan lebaran lalu dianggap sebagai momentum untuk menunjukkan keberhasilannya mencari penghidupan di kota. Maka, mudiklah mereka, yang bagi masyarakat perkotaan, justru menimbulkan problem tersendiri. Itulah akar masalahnya! Mudik, di satu pihak sebagai sarana penduduk desa memamerkan jati dirinya, dan di lain pihak meninggalkan problem bagi penduduk kota.
Beberapa masalah itulah –kegaiban puasa, problem mudik, keterpurukan wong cilik— yang ditampilkan dalam antologi Korma: Cerpen-Cerpen Puasa—Lebaran. Untuk memberi gambaran mengenai potret keindonesiaannya, eloklah jika kita mencermatinya lebih menukik.
***
Danarto dalam “Lailatul Qadar” mewartakan perjalanan mudik keluarga Satoto. Sekeluarga dalam satu mobil. Mereka memilih jalur selatan, menghindar kemacetan. Nyatanya, di situ juga macet. Pada saat itulah, ia melihat sebuah jalan terbentang panjang dan longgar. Lewat jalan itu, terbanglah mobil keluarga Satoto hingga sampai tujuan.
Seperti kebanyakan cerpen Danarto, cahaya (:malaikat) acap kali dimanfaatkan sebagai alat membaurkan peristiwa surealis ke dalam peristiwa realis. Bagi umat Islam, peristiwa itu sangat mungkin terjadi dan dapat menimpa siapa saja. Ia menjadi bagian keajaiban ramadhan. Dengan begitu, hubungan antara peristiwa kasat mata dan peristiwa gaib, bisa leluasa bertumpang-tindih, bebas dari dimensi ruang dan waktu. Dalam kisah-kisah semacam itu tak diperlukan lagi penjelasan logis—rasional, mengingat ia telah menjadi bagian keberimanan yang suprarasional. Maka substansi dan pesan (message) yang disembunyikan cerita bukanlah pada peristiwa surealis itu, melainkan justru pada lanturannya (digression). Jadi, kelebat cahaya, jalan panjang dan longgar, dan alam musik yang mengejawantah, sesungguhnya merupakan siasat Danarto untuk mengecoh dan menyelimuti kritiknya atas perilaku para pemburu karcis, calo, lembaga pelayanan publik, dan para pemudik yang justru lebih tidak rasional dibandingkan dunia gaib yang hidup dalam kepercayaan masyarakat kita.
Untuk mengungkap hal itu, perhatikan struktur alur cerpen ini. Ada sejumlah peristiwa yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perkembangan watak si tokoh. Apa maknanya peristiwa makan rujak, antrean panjang para pemburu karcis dan khotbah Kiai Zarkasi dengan perkembangan sikap tokoh Satoto, jika keluarga itu tetap saja mudik? Apakah peristiwa-peristiwa itu memojokkan si tokoh pada konflik yang memaksanya harus melakukan pilihan? Berdasarkan konsep alur konvensional yang menekankan pada hubungan kausalitas, cerpen ini tentu saja dapat dianggap berantakan. Tetapi, kisah-kisah model yang disampaikan Danarto memang tidak memerlukan logika. Dalam hal ini, Danarto bertindak macam dalang, meskipun ia memberi kebebasan pada tokoh-tokoh cerita bergerak menjalankan perannya. Jadi, ia sengaja mengembalikan hakikat cerita sebagai cerita dan bukan sebagai rangkaian peristiwa yang didasarkan pada hubungan sebab-akibat. Dengan cara itu, Danarto justru lebih leluasa menyampaikan pesannya. Ia bisa seenaknya menggugat selera arsitek yang doyan makan rujak atau menempatkan para pemburu karcis sebagai orang-orang yang tidak rasional. Dan di sisi lain, ia juga bisa berkhotbah melalui pesan kiai Zarkasi.
Jika cerpen (:sastra) diyakini sebagai refleksi evaluatif atas peri kehidupan, maka Danarto lewat cerpennya telah memainkan peran itu. Di balik lanturan yang dibangunnya, ia secara tajam menggugat politik transportasi dan lembaga pelayanan publik (:Perumka). Bagaimana mungkin problem yang sama, selalu berakhir dengan kesalahan yang sama. Kalaupun berbeda, kesalahannya jauh lebih parah lagi. “Hidup rasanya akan sengsara jika tak beroleh karcis mudik,” seperti telah menjadi sikap hidup para pemudik yang mau saja diperlakukan atau memperlakukan dirinya macam pepes ikan manakala mereka harus berhimpitan di dalam bus atau kereta api. Dalam kondisi seperti itu, martabat manusia entah berada di mana lagi, jika tidak di keranjang sampah. Jadilah, mudik dalam banyak kasus, justru menjadikan manusia tidak lagi manusia.
Agak berbeda dengan Danarto, Yanusa Nugroho menempatkan puasa sebagai sarana melayangkan konflik desa—kota atau anak—bapak. Nasihat-nasihat sang ayah tentang korma, puasa, dan kebersahajaan menjalani kehidupan menjadi seperti mubazir ketika si tokoh aku dililit kesibukan kota. “… Jakarta ini kota yang aneh sekali… Hubungan silaturahmi dengan sanak famili dan orang tua sudah sangat jarang dilakukan dengan ciuman punggung tangan dan canda ria segar seperti dulu. Telepon sudah menggantikan semuanya; entahlah, apakah ini sebuah karunia kemajuan zaman ataukah bencana….” Dan momentum puasa, juga sama sekali tidak mengurangi kesibukannya.
Maka, korma yang berdasarkan othak-athik mathuk orang Jawa bermakna “cukupkanlah apa yang kau makan di bulan romadon ini dan itu artinya ampunan bagimu,” seperti tak relevan lagi. Jadilah korma tak lagi penting karena sudah ada makanan lain yang menggantikannya. Dan pesan sang Bapak tentang korma diperlakukan sebagai sesuatu yang mengada-ada, bahkan teror. Di sinilah korma menjadi katalisator konflik desa—kota yang menempatkan desa sebagai wilayah yang secara de facto ada, tetapi dipandang sekadar bayang-bayang, sebagaimana sikap tokoh aku yang melalaikan pesan Bapaknya.
Yanusa Nugroho tentu saja tak mungkin menempatkan konflik itu secara hitam- putih. Ada kultur Islam—Jawa yang dilekatkan pada diri tokoh-tokohnya. Dengan memposisikan tokoh aku sebagai pusat penceritaan (focus of narration), ia seperti hendak menggugat dunia kota yang acapkali terbelenggu oleh kesibukan duniawi. Dan gugatan itu justru berasal dari subjeknya sendiri. Dengan begitu, korma yang secara lahiriah tidak berbeda dengan makanan lain, hadir tidak hanya sebagai simbol penghayatan puasa, tetapi juga sebagai sarana mendedahkan terjadinya perubahan hubungan ayah—anak.
Bahwa kemudian Yanusa mengakhiri konflik itu ketika si tokoh aku berada di puncak kesibukannya, dalam kesia-siaan berusaha menebus dosa kelalaiannya dengan mencari korma ke seantero toko, dan saat berencana buka puasa bersama sekaligus syukuran atas jabatan barunya, mengisyaratkan, bahwa pada saat-saat kritis, manusia (Indonesia) cenderung lari pada dunia irasional. Dengan begitu, pertemuan si tokoh aku dengan lelaki sederhana yang tak jelas asal-usulnya, yang kemudian memaksanya buka puasa dengan segelas air dingin dan tiga butir korma di gubuk lelaki itu, sesungguhnya merupakan bentuk pelarian pada dunia yang irasional itu. Di situlah ia menemukan penyadaran. Maka, saat ia sampai di rumahnya dan melihat makanan berlimpah, ia sama sekali tak bisa menikmati apapun dari kemewahan itu. Buka bersama dan syukuran jadinya tak punya nilai spiritual.
Pola seperti itu, tampak juga dalam cerpen Hamsad Rangkuti, “Reuni”. Dengan memulai peristiwa yang punya cantelan dengan peristiwa dalam cerpen Hamsad yang ditulis menjelang lebaran sebelumnya “Malam Takbir”, pembaca seperti sengaja digiring pada satu situasi menjelang malam takbir: pemilik warung, si tokoh aku, dan lelaki tukang kebun keliling. Kini pemilik warung tampak sudah semakin tua, tukang kebun keliling sudah punya pekerjaan tetap mengurus kebun orang tua si anak gadis yang dulu bola bulu ayamnya jatuh ke piring lelaki itu, dan mushola yang terang benderang. Kini, mereka juga hendak berbuka dengan hidangan-hidangan mewah. Serangkaian perubahan yang terjadi dalam waktu setahun itu tentu saja wajar dan alamiah, meskipun terasa terlalu cepat: tukang kebun keliling, anak gadis, dan ibunya, sudah tidak mengenal lagi tokoh aku. Rumah di depan warung telah berubah gedung besar. Sampai di situ, Hamsad berhasil “menipu” pembaca lewat peristiwa yang tampak realis, dan di balik itu sekaligus menunjukkan adanya beberapa kejanggalan sebagai sinyal.
Jika saja peristiwa itu benar-benar terjadi dan bukan di dalam konteks peristiwa gaib, maka beberapa kejanggalan itu dapat ditafsirkan sebagai kelalaian Hamsad. Tetapi soalnya menjadi lain manakala kesadaran si tokoh aku dikembalikan lagi pada apa yang sebenarnya terjadi. Tak ada warung. Tak ada mushola. “Aku terpaku… tak menemukan pekarangan …dan rumah itu. Aku berjalan di dalam gelap….” Keadaan di sekitar itu semua telah berubah dan hanya ada rentangan seng gelombang yang memagari kedua sisi jalan. Tempat itu telah digusur oleh tangan raksasa pemilik modal. Mungkin di tempat itu akan dibangun kompleks perumahan mewah, pertokoan modern, atau lapangan golf. Dengan demikian, kelinglungan si tokoh aku dapat dianggap sebagai representasi kelinglungan wong cilik yang selalu tak berdaya dan tak dapat mengikuti perubahan cepat atas nama pembangunan. Dalam banyak kasus, pembangunan itu pula yang selalu menafikan keberadaan rakyat, karena pembangunan di negeri ini, memang bukan untuk rakyat, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan.
A.A. Navis dalam “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” juga menyinggung soal kekuasaan melalui gambaran perasaan hopeless mantan pejabat dan istrinya. Lebaran menjadi sebuah penyiksaan ketika ia tak lagi memegang kekuasaan dan anak-anaknya tak ada seorang pun yang datang. Saat ia masih menjadi gubernur, anak buahnya, para pejabat, dan anak-anaknya berdatangan, berkumpul merayakan lebaran. Kini, suami-istri itu seperti dicampakkan. Lebaran seperti tak bermakna.
Dalam keadaan hopeless seperti itulah, seorang tamu (:malaikat) datang mencabut nyawa istrinya dan membiarkan mantan pejabat itu tetap hidup. Tanpa kekuasaan, ia tak bakal merugikan orang banyak lagi. Dalam hal ini, kekuasaan menjadi alat yang justru bakal merugikan orang banyak Dan di hari lebaran, kekuasaan itu seolah-olah menjelma sebuah magnet: Di mana padi masak di sana pipit berbondong-bondong. “Setelah Idul Fitri jadi kebudayaan baru, bawahan dan orang miskin yang wajib datang ke penguasa untuk minta maaf. Penguasa akan merasa tidak pantas minta maaf kepada rakyat.” Itulah makna lebaran yang telah menjadi ritual dalam kebudayaan yang menempatkan kekuasaan dan kekayaan lebih penting dari segala-galanya. Itulah potret kekuasaan di zaman ini!
Meskipun kritik Navis atas mantan pejabat itu terasa tak begitu tajam, setidaknya, dengan membiarkannya tetap hidup, Navis seperti hendak berkata: biarlah kesepian dan ketercampakan terus menyiksa mantan pejabat itu; biarlah ia merasakan hidup tanpa kekuasaan; biarlah kesepian yang akan membunuhnya.
Berbeda dengan cerpen-cerpen sebelumnya yang menempatkan peristiwa gaib sebagai pengalaman spiritual, Gus tf Sakai dalam “Gambar Bertulisan ‘Kereta Lebaran’” justru melesapkannya ke dalam karakter tokoh utamanya, masinis kereta api. Dengan begitu, peristiwa gaib itu menyatu, berjalin kelindan dalam lakuan dan kegelisahan batin.
Di sana ada dua fokus yang dibidik Sakai: kegelisahan sosok seorang masinis dan harapan kandas si bocah kecil yang tertabrak kereta.
Mudik ke rumah nenek dan berlebaran di sana adalah harapan si bocah itu. Tetapi mudik memerlukan ongkos dan kekuatan untuk berdesak-desakan. Dua hal itu ternyata tak dimiliki oleh ibu si bocah. Maka, si bocah hidup dalam angan-angan itu sampai akhirnya sebuah kereta melumatnya. Bagi si masinis yang sudah diteror oleh tangis lirih, musibah yang menimpa si bocah makin menggenapkan kegelisahannya. Dalam kisahan yang memanfaatkan pola arus kesadaran (stream of consciousness) itu, pikiran, kegelisahan batin, dan lakuan bercampur aduk membangun peristiwa tragis si bocah, derita ibu, dan trauma masinis. Jangan-jangan, masinis itu yang menabrak anaknya sendiri hingga ia dibayang-bayangi kegelisahan yang tak tersembuhkan.
Kembali, di balik serangkaian peristiwa yang tumpang-tindih itu, orang kecillah yang jadi korban. Dengan demikian, lebaran yang mestinya menjadi kebahagiaan semua orang –kaya—miskin, pada akhirnya tetap saja milik orang-orang kaya.
***
Dalam cerpen-cerpen kelompok kedua, makna lebaran sebagai sebuah kemenangan selepas berpuasa 30 hari lamanya, juga tidak lagi relevan ketika kita berhadapan dengan problem sosial. Mengingat cara bertutur dalam cerpen-cerpen kelompok ini disajikan dalam bentuk konvensional, maka problem sosial yang diangkatnya terasa lebih dekat menggambarkan potret buram yang terjadi dalam masyarakat kita.
Cerpen “Puasa Itu” karya Senu Subawajid, misalnya, mengangkat problem keluarga yang pada hakikatnya menampilkan konflik kaya—miskin. Melalui keadaan ibu yang sakit, cerita berputar pada tokoh Burhan –dokter, Pri –pejabat, dan Has –guru. Si Ibu yang mula-mula dirawat di rumah sakit, kemudian dipindahkan ke rumah Burhan. Lalu, pindah lagi ke rumah Pri, dan terakhir dirawat di rumah Has yang secara ekonomi sebenarnya berada di bawah Burhan dan Pri. Tampaknya, Senu hendak menempatkan tokoh Has sebagai hero. Sebagai cerpen yang mengangkat problem keluarga, Senu cukup berhasil menempatkan tokoh ibu berada di pusat masalah. Tetapi, bagaimana kaitannya dengan puasa itu? Dalam hal ini, latar ramadhan cenderung sebagai tempelan belaka. Periksa misalnya, dialog tentang safari ramadhan, THR, dan buka bersama, justru terasa artifisial ketika semua itu tidak dilesapkan dalam lakuan tokoh-tokohnya.
Boleh saja Senu secara tersirat hendak menempatkan ramadhan sebagai bulan yang penuh rahmat bagi seorang guru yang ikhlas dan hidup pas-pasan. Tetapi, pesan itu tak cukup kuat lantaran ia terlalu banyak mengobral dialog yang beberapa di antaranya justru terkesan dipaksakan. Meski begitu, potret keluarga yang ditampilkannya cukup berhasil mengisyaratkan, betapa harta dan jabatan, dapat mengubah perilaku orang, termasuk sikap anak kepada ibunya sendiri.
Problem keluarga yang kemudian berkaitan dengan lebaran dan mudik, terasa lebih koheren dalam cerpen Umar Kayam, “Menjelang Lebaran”. Dikisahkan, rencana matang keluarga Kamil untuk mudik, berantakan ketika Kamil tiba-tiba di-PHK. Masalahnya tambah rumit karena harga-harga mendadak melambung tinggi. Dampaknya juga menimpa Nah, pembantunya yang sudah sekian tahun mengabdi pada keluarga itu. Dengan berat hati, akhirnya diputuskan: mudik batal dan Nah akan diberhentikan. Bagi Nah, keputusan itu tentu saja merupakan “kiamat”. Pada saat itulah, Kamil mengusulkan, bahwa selama Kamil belum memperoleh pekerjaan, Nah tetap tinggal pada keluarga itu, tanpa dibayar. Statusnya akan dikembalikan jika Kamil sudah bekerja lagi.
Dalam cerpen ini, mudik tidak diposisikan sebagai sumber masalah, melainkan sebagai pembuka menuju masalah yang sebenarnya: PHK. Dengan demikian, lebaran dan mudik sekadar katalisator belaka untuk mengungkap ketegaran seorang istri dan kesetiaan seorang pembantu. Jika Kamil yang kena PHK berani mempertahankan pembantunya, lalu mengapa perusahaan-perusahaan besar itu tidak melakukan hal sama. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, dan ketidakberesan itu selalu membawa korban wong cilik. Barangkali memang sudah suratan takdir, bahwa dunia ini bukanlah milik orang-orang kecil.
Penggambaran suasana puasa dan lebaran sebagai alat mengungkapkan warna pelangi masyarakat kita, tampak kental pada cerpen Yusrizal KW, “Tiga Butir Korma per Kepala”. Di sana, ada orang yang hidup dalam keikhlasan, pengabdian, kepedulian, kesombongan, kemunafikan, dan entah perilaku apa lagi yang mengejawantah. Dengan menempatkan kampung sebagai objek para perantau (:masyarakat kota), Yusrizal lewat tokoh aku, dapat dengan tenang menjadi pengamat. Mudik bagi para perantau itu laksana pamer sedekah sekadar untuk menunjukkan kesuksesan atau memperoleh pujian. Jika ada pendatang yang tak disukai masyarakat kampung, seorang yang lebih tua akan berkata: “Ambil saja yang baik. Yang buruk buang, biar dimakan anjing.” Artinya, dalam diri masyarakat kampung, masih terpelihara kearifan, dan bukan sikap anarkis yang kini banyak terjadi dalam diri masyarakat kota.
Berbeda dengan para perantau lainnya, Pak Ayub, si Tuan Korma, di bulan puasa selalu mendatangi setiap rumah dan memberi tiga buah korma per kepala. Dan ia melakukan itu dengan keikhlasan, tanpa pilih kasih. Maka, ketika dalam dua ramadhan Pak Ayub tak mudik, orang kampung pun jadi bertanya-tanya. Di sinilah, pemberian apapun hanya akan bermakna jika dilakukan dengan ikhlas, sebagaimana yang diperlihatkan si Tuan Korma. Dengan begitu, makna mudik mestinya ditempatkan dalam konteks keikhlasan itu, dan bukan sebagai ajang pamer kesuksesan.
Tokoh aku sebagai pengamat hadir juga dalam cerpen “Malam Takbir” Hamsad Rangkuti. Kegetiran tukang kebun keliling yang tak beroleh pekerjaan sampai menjelang malam takbir itu, seperti sengaja dipertemukan dengan orang kaya melalui peristiwa ajaib malam takbir. Bola bulu ayam si anak perempuan yang sedang bermain badminton, tiba-tiba menclok di nasi yang akan dimakan lelaki itu. Hamsad menempatkan puasa dan malam takbir sebagai peristiwa yang acap kali menghadirkan keajaiban. Meski begitu, dengan memposisikan tokoh aku sebagai pengamat, keajaiban itu jadi terasa lebih netral.
Di balik itu, Hamsad seperti hendak menggugat tanggung jawab sosial para orang kaya. Dan malam takbir merupakan momentum untuk mengejawantahkan kepedulian antarsesama manusia, tanpa harus “dipaksa” melalui peristiwa bola bulu ayam. Dalam konteks itu, kembali wong cilik selalu berada dalam posisi yang tak berdaya.
Ketakberdayaan orang-orang kecil itu, juga menyembul sangat kuat dalam “Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari” Jujur Prananto. Keluguan Mudakir yang hendak menengok anaknya di Jakarta, harus berhadapan dengan dunia keras dan tipu daya. Tempat kontrakan anaknya yang sudah berubah, kamar penginapan yang kumuh, dan perempuan pemeras-pencuri pada akhirnya membawa Mudakir menggelandang di Jakarta sampai entah kapan.
Potret Jakarta (: Tanahabang) yang ditampilkan Jujur Prananto mengesankan, betapa kehidupan di sana seperti tak punya belas kasihan. Hubungan desa-kota, anak-ayah, menjadi sesuatu yang tak penting lagi ketika seseorang telah berhasil merenggut sukses. Dan itu diperlihatkan Wanti dan suaminya yang tidak pernah mengirim kabar apapun kepada ayahnya. Kembali, lebaran yang mestinya menjelma kemenangan, bagi wong cilik justru menjadi sebuah musibah.
***
Demikianlah, puasa dan lebaran sebagaimana yang digambarkan dalam antologi ini, seperti menciptakan dua dunia. Dilihat melalui sudut keberimanan, ia menghadirkan begitu banyak kisah-kisah gaib yang ajaib dan menakjubkan, dan dilihat dari perubahan sosio-kultural, puasa dan lebaran selalu saja menghadirkan problem sosial yang justru makin menegaskan kekalahan nasib orang-orang kecil. Lalu, apakah dengan begitu, antologi ini bermaksud hendak mengharu-biru makna puasa dan lebaran? Dalam konteks itulah, antologi cerpen ini justru penting sebagai sebuah cermin yang diharapkan dapat menggugah kita untuk melakukan pemaknaan kembali konsep puasa, lebaran, dan mudik, dalam kerangka solidaritas sosial.
Puasa yang dalam berbagai khotbah selalu digembar-gemborkan sebagai sarana meningkatkan kepedulian sosial, dalam kenyataannya justru melahirkan problem sosial, sebagaimana yang dapat kita cermati dalam banyak kasus mudik. Lebaran yang sering dimaknai sebagai kelahiran kembali dan kemenangan, makna itu hanya relevan dilekatkan pada orang-orang kaya, dan tidak pada wong cilik. Jika saja otonomi daerah sudah berjalan dengan baik, sangat mungkin masyarakat pedesaan tidak lagi perlu ke Jakarta dan mudik menjelang lebaran. Sebaliknya, selama kehidupan desa dipandang sebagai bayang-bayang, selama itu pula penduduk desa akan pergi ke kota-kota besar dan mudik, niscaya akan terus melahirkan problem sosial.
Begitu buramkah puasa dan lebaran sebagaimana yang tergambarkan dalam antologi ini? Di situlah sastra sesungguhnya hendak memainkan peranan sosialnya. Sisi gelap yang ditampilkannya, justru untuk memberi penyadaran, betapa masyarakat di sekeliling kita, memerlukan kepedulian kita. Dalam kondisi carut-marut kehidupan sosial di negeri ini, antologi cerpen ini patutlah menjadi salah satu bahan renungan. Sangat boleh jadi, dari antologi ini kita tidak hanya memperoleh penyadaran atas nilai-nilai solidaritas kemanusiaan kita, tetapi juga menyelusupkan secercah pencerahan agar bangsa ini segera bangun dan membenamkan keterpurukannya. Insya Allah!
Bojonggede, 23 Oktober 2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
1 komentar:
sastra harus memainkan pesan2 positif bagi perkembangan sosial yang lebih baik
tabek.salam
Posting Komentar