Wawancara pada Sapardi Djoko Damono
http://layar.suaramerdeka.com/
PROFESOR Dr Sapardi Djoko Damono lahir 20 Maret 1940 di Surakarta. Ia, kita tahu, adalah salah satu budayawan penting Indonesia. Pada 1986 penyair ini mendapatkan SEA Write Award. Ia juga menerima penghargaan Achmad Bakrie pada 2003. Tentu sebagai orang Jawa pendiri Yayasan Lontar ini memahami benar makna Lebaran. Apa komentar dia tentang pesona mudik dan makna pulang kampung? Berikut perbincangan dengan dia di Jakarta, belum lama ini.
Sebagai individu yang telah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, Anda jelas-jelas menjadi manusia global. Manusia yang mungkin tidak lagi memiliki getaran yang dahsyat untuk ”pulang”. Apakah kata ”pulang” masih punya makna penting dalam kehidupan Anda?
Bukan hanya sekarang, sejak dulu kata ”pulang” tidak pernah menjadi kata penting. Tidak jelas lagi pulang itu ”balik ke mana”. Makna rumah pun bagi saya tidak begitu jelas. Saya tidak pernah merasa punya rumah, sehingga tidak punya getaran untuk pulang. Jika saya pergi ke Solo, memang terasa lain. Ini akibat sampai SMA saya masih di kota itu. Saya memang benar-benar menikmati masa kanak-kanak sejati di situ. Hanya bukan rumah yang menyebabkan perbedaan, melainkan Solonya.
Anda tidak pernah merasa memiliki ikatan dengan tanah asal?
Ya, Solo itu tanah asal saya. Hanya, tidak ada satu rumah pun di kota itu yang saya anggap sebagai rumah, tempat untuk pulang.
Jadi, selama itu pula Anda tidak pernah terpesona dengan makna mudik?
Tidak pernah. Jika saya mudik, itu berarti saya hanya ingin bertemu dengan ibu saya. Jadi home saya itu ibu, bukan tempat, bukan rumah. Nah, ketika ibu saya sudah meninggal, ya saya tidak home lagi. Tidak mudik lagi. Apalagi kini saya anak tertua, tidak mungkin saya mudik hanya untuk bertemu adik.
Yang juga menarik, keluarga saya itu bukan tipe komunitas yang suka mudik. Tidak ada aturan yang muda harus sowan kepada yang tua. Maka, getaran dahsyat untuk pulang memang tidak ada.
Lebaran identik dengan kembali ke kesucian, kembali ke asal muasal, apakah dengan demikian saat orang beramai-ramai mudik, sesungguhnya mereka sedang melakukan identifikasi terhadap akar kebudayaan?
Saya kira tidak begitu. Lebaran telah menjadi rutin dan tidak berkait dengan proses kembali seseorang ke akar kebudayaan. Sebenarnya jika hanya ingin pulang dan mendapat akar kebudayaan, tidak harus pada saat Lebaran. Memang harus saya akui Lebaran memiliki sihir yang aneh, yang menggerakkan sebagian besar manusia pulang ke kampung untuk bertemu dengan orang-orang tercinta. Akan tetapi fungsinya tidak sebesar keinginan orang untuk kembali ke akar kebudayaan. Mereka pulang untuk bertemu orang yang masih harus dikunjungi. Bukan untuk kepentingan-kepentingan agung kebudayaan.
Tradisi sungkem saat mudik, misalnya, dulu muncul karena radius orang bepergian masih sempit. Jika sekarang masih ada tradisi semacam itu —dengan radius yang lebih luas— itu hanya pelanjutan kebiasaan orang-orang yang dulu melakukan sungkem. Yang sejak dulu tidak melakukan, ya sekarang tidak akan repot-repot sungkem-sungkeman juga. Demikian juga ujung-ujung terjadi karena orang ingin melanjutkan sesuatu yang dulu pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Dengan kata lain, orang-orang yang sejak dulu tidak memiliki ”akar kebudayaan” semacam itu, pada saat Lebaran juga tidak akan menyelenggarakan sesuatu yang dianggap sebagai kembali ke akar kebudayaan itu.
Lebaran saya kira menjadi pemicu untuk melaksanakan ”kebiasaan untuk pulang” bersama-sama sekalipun kadang-kadang kampung asal mereka sudah menjadi waduk, sudah jadi lokasi pabrik, atau lenyap sama sekali.
Lebaran juga tidak identik dengan warna keagamaan yang jelas. Karena itu, ia bukan ritual. Siapa pun bisa ber-lebaran. Jadi bukan agama, bukan akar kebudayaan, atau apa pun yang menggerakkan orang pulang ke tanah asal pada saat Lebaran. Penggeraknya hanyalah sesuatu yang profan bernama kebiasaan.
Dalam kehidupan pribadi Anda, apakah ”akar budaya” itu penting sekali? Jangan-jangan akar atau asal muasal itu sudah sulit dicari?
Akar budaya itu sesuatu yang kita terima dalam saat-saat pembentukan. Akar-akar budaya itu memang tidak akan pernah hilang dari kepala saya. Setelah kita berkembang ke mana-mana, akar itu tetap saja. Akar-akar budaya itu muncul dalam setiap tulisan kita. Semua —perasaan, bau, atau apa pun— muncul secara otomatis. Nah, akar kebudayaan saya sejak dulu tidak pernah mengistimewakan Lebaran atau mudik.
Energi (kebudayaan) macam apa yang sesungguhnya membuat orang melakukan selebrasi Lebaran secara besar-besaran? Mengapa ”kepulangan” seakan-akan menjadi ideologi tunggal yang tak bisa dilawan? Apa ia telah menjadi mitos?
Apa ya…? Sekali lagi energi itu bernama kebiasaan. Namun, saya menduga ini hanya merupakan bentuk ikatan orang terhadap orang, bukan orang terhadap tempat. Jika seseorang tidak lagi memiliki ikatan dengan seseorang di suatu tempat, saya yakin benar mereka tidak akan melakukan tindakan tak masuk akal itu.
Kumpul juga merupakan fenomena unik dalam kebudayaan Jawa. Bisa saja mereka bersusah-susah bepergian dari Jakarta ke suatu tempat di Solo hanya karena digerakkan oleh keinginan berkumpul dengan kawan-kawan atau saudara yang berasal dari kota lain di Indonesia. Mereka, dengan demikian, kan tidak pulang ke rumah mana pun. Bisa saja mereka akan bertemu di sebuah hotel di Solo. Tentang mengapa harus berkumpul pada hari Lebaran, itu memang dianggap waktu yang paling memungkinkan untuk berkumpul.
Dengan berkumpul mereka merasa at home. Untuk orang-orang semacam ini pulang tidak menjadi kosa kata yang penting. Yang sangat diinginkan adalah berkumpulnya.
Dulu, ketika ibu saya masih tinggal bersama saya di Depok, saudara-saudara saya menganggap pulang itu ya ke rumah saya. Rumah saya menjadi tempat berkumpul karena ibu sebagai home atau sentral tinggal di situ. Tempat, karena itu, bisa diboyong ke mana-mana sebagaimana berkumpul itu bisa juga diselenggarakan di mana-mana.
Sekali lagi, makna rumah sesungguhnya sudah bergeser. Rumah bisa dipindah-pindah sesuai mobilitas orangnya. Jika rumah sudah tak berkait lagi dengan tanah asal, bagaimana kita akan memaknai istilah pulang atau mudik.
Yang mengerikan lagi, begitu banyak orang pulang ke tanah asal, mereka menggila pergi ke daerah lain setelah Lebaran usai. Ini kan aneh?
Ya, sangat aneh. Karena itu tak banyak saya tulis tentang tema ”pulang” dalam sajak-saja saya. Jika pun ada, pasti tidak berisi ajakan untuk pulang ke rumah. Dan dalam kenyataan orang pulang karena mencari ”trah”. Bukan mencari tempat. Tak ada jalan pulang sekarang ini. Sebab begitu sampai ke tanah asal, mereka tidur di hotel.
Bagaimana kebudayaan menjelaskan kegilaan orang untuk menegakkan spiritulitas Lebaran?
Pertama, untuk kumpul. Kedua, untuk bertemu orang. Mereka akan melakukan identifikasi kolektif gila-gilaan jika ada dua unsur yang menjadi penyebabnya.
Kegilaan semacam ini ada di belahan dunia lain atau tidak sih?
Di Barat memang ada homecoming. Namun, tetap saja hal itu terjadi karena seseorang ingin bertemu dengan orang lain. Bukan sedang mati-matian menghormati tempat asal atau rumah asal.
Anda apakah mengira Lebaran kali ini akan praktis dan pragmatis?
Pada mulanya orang memang akan mencari tanah atau tempat asal-usul pada saat Lebaran. Namun begitu zaman berubah, saya yakin mereka tidak lagi mencari tanah asal. Itu sebabnya sikap praktis dan pragmatis menghadapi Lebaran akan muncul. Jadi, ngapain memistifikasi Lebaran ketika konsep tempat, pulang, dan segala hal yang berkait dengan mudik berubah. Jadi, lupakan saja bahwa sihir Lebaran itu sebagai sihir kembali ke asal.
Menurut saya istilah ”pulang” lebih baik dimaknai sebagai pulang ke masa kecil. Dan pulang ke masa kecil bisa dilaksanakan kapan saja tidak hanya pada saat Lebaran. Lebaran yang pulang kampung adalah Lebaran agraris. Lebaran yang sekarang jelas sudah merupakan Lebaran yang industrialis…dan saya tak tergerak untuk pulang oleh sihirnya…
Biografi
Prof Dr Sapardi Djoko Damono
Surakarta, 20 Maret 1940
Riwayat Pendidikan:
Setelah kuliah di Jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengikuti program doktor di Universitas Indonesia, studi pada Basic Humanities Program, Honolulu, Universitas Hawaii AS (1970-1971). Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada Majalah Horison, Basis, dan Kalam.
Penghargaan:
Pada 1986 ia mendapatkan anugerah SEA Write Award.
Pada 2003 menerima penghargaan Achmad Bakrie.
Karya-karya:
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisi yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer. ”Aku Ingin” (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), ”Hujan Bulan Juni”, ”Pada Suatu Hari Nanti”, ”Akulah si Telaga”, dan ”Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” kerap dimanfaatkan sebagai ungkapan liris dalam kartu.
Buku-buku:
- Duka-Mu Abadi, Bandung (1969)
- Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
- Mata Pisau (1974)
- Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
- Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
- Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
- Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
- Perahu Kertas (1983)
- Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
- Water Color Poems (1986; translated by JH McGlynn)
- Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by JH McGlynn)
- Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
- Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama RF Brissenden dan David Broks)
- Hujan Bulan Juni (1994)
- Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
- Arloji (1998)
- Ayat-ayat Api (2000)
- Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
- Mata Jendela (2002)
- Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
- Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
- Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870-an -1910-an) (2005; salah seorang penyusun)
- Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar