Kamis, 11 Agustus 2011

Subakir Mati Metingkrang

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.radarmojokerto.co.id/

Obrolan di cafe ”Sidade” itu makin menghangat. Kopi disuguhkan. Bila mau pilih teh boleh juga. Yang wasgitel atau sariwangi. Bisa pesan jika minat teh rosella Malang yang berdaun gelap kecoklat-coklatan. Rokok Jisamsoe disesap, seperti menghirup seisi cafe dari ingatan yang pudar. Ia berjalan mondar-mandir melayani pembeli. Pangsit dan Mie ayam Jakarta, pun es campur tersedia di sini: Jl. Manukan Tama 10 A, Tandes, Surabaya. Dulu, lelaki berkumis tebal dan bertubuh gempal ini pemain bass di grup pertunjukan Gambus Misri. Ia termasuk penonton ludruk yang setia.

”Saya itu hampir tidak ingat sama sekali Gambus Misri. Apalagi tentang ludruk Jombang ataupun yang di Surabaya. Ingat sedikit-sedikit, dan kayaknya kalau dipancing tanya sana-sini, tak banyak yang bisa keluar,” ia melirik garing. Lalu omongannya mblakrak ngalor-ngidul. Teringat tiba-tiba ia akan masa kecilnya di Desa Nglele, Sumobito, Jombang, saat karibnya Jazuli bercerita, seperti kadal kalap dilempar sandal, tentang orang-orang yang dikepung ketakutan di masa Gestok. Masa silam itu seperti mengeprukkan ganden ke dengkul hingga remuk. ”Pokoke sing gak sembahyang diarani PKI,” begitu patahan kalimatnya, yang diulang 3 kali. Lalu saya teringat cerita orang-orang tua di kampung tentang hubungan ludruk dan PKI. Ada memang beberapa grup ludruk yang digandeng PKI untuk ikut memuluskan program-program pemberdayaan kaum petani, pemuda-pemuda rakyat, dan para buruh. Mereka kadang menyelingi cerita soal lakon yang dipentaskan. Misalnya ”Gusti Allah Sunat”, atau ”Gusti Allah Mantu”, atau ”Tujuh Setan Desa”. Lakon-lakon itu kini tenggelam, lamat-lamat, tapi tetap terdengar angker. Seperti darah yang merembes dari mata dan telinga. ”Wah, kalau cerita itu saya nggak menangi (tidak di masanya) Mas. Tapi, ketika ramai-ramainya ludruk di Surabaya, tahun 1980-an, yang masih teringat kuat ya lakon ’Subakir Mati Metingkrang’ itu. Ceritanya lupa bagaimana. Para pemainnya sudah lupa. Ludruknya apa juga lupa,” sela Cak Memet. Tampaknya, orang-orang agak lawas kayak Cak Memet, sebagai bagian kecil dari apresian ludruk, satu potong dua potong, masih mengingat ludruk sebagai kepingan dari kenangan hidupnya.

Cak Memet tak tahu persis kapan ia lahir. Ingatannya sudah ”butek”, kacau dan kotor. Barangkali sekitar tahun 1956. Tak terlalu tua. Ia pendek dan tegap. Sorot matanya teduh tapi menembus. Rambutnya cepak berombak. Namun ingatannya kerap dihajar bayang-bayang kematian di rimba Timor-Timur pada 1976-1979. Ia bercerita dengan bangganya saat membunuhi tentara pemberontak di sana. Dibunuh atau membunuh. Terbayanglah film Platoon garapan Oliver Stone itu. Tahun 1980-an ia keluar dari dinas ketentaraan. Karena sering bikin kisruh dan pernah sekali menghajar komandannya. Ia lantas merantau ke Surabaya. Menggelandang dan jadi preman. Kini, hampir seluruh orang pasar dan warga sekitar Manukan mengenalnya sebagai orang baik dan telah meninggalkan pekerjaan lamanya itu.

Pada seseorang lain. Di malam 23 April 2011 sehabis hujan di sore hari yang deras. Si penjual kacang godok, Mbah Munawi (65 tahun), asal Gayungsari, dengan sepeda onthelnya, rutin berjualan di sekitar Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), di Jl. Genteng Kali 85 Surabaya. Sejak awal Februari 2011, ia sudah mencatat dari brosur agenda pertunjukan kesenian yang secara periodik digelar di pendopo Jayengrono TBJT itu. Di situ sepanjang 2011 diadakan banyak pertunjukan kesenian. Ada wayang kulit, ludruk, pakeliran, festival balet, tayuban, seminar seni budaya, pertunjukan musik, festival dalang, revitalisasi budaya daerah, dan lain-lain. Yang paling digemarinya adalah pertunjukan ludruk. Ia sangat terkenang lakon ”Subakir Mati Metingkrang” yang pernah ditontonnya di daerah Krian di awal 1980-an yang dipentaskan ludruk Begidhak Massa pimpinan Saji Wibowo dari Jombang. Saya jadi teringat sejenak cerita Cak Memet dan kembali saya bertanya-tanya, pernahkah ada lakon itu atau semata halusinasi belaka? Biarlah saja dulu. Pak tua ini mungkin keliru atau lupa-lupa ingat.

Di balik kertas pembungkus kacang, Mbah Munawi, menunjukkan kepada saya agenda ludruk periodik itu: Ludruk Budhi Wijaya Jombang, lakon ”Babat Tunggorono” (di pendopo TBJT, 26 Februari 2011); ludruk Warna Jaya Sidoarjo, lakon Kabut di ”Lereng Gunung Pananjakan” (di Taman Krida Budaya Malang, 25 Maret 2011); ludruk RRI Surabaya, lakon ”Tragedi Bumi Rungkut” (di pendopo TBJT, 26 Maret 2011); ludruk Suromenggolo Ponorogo, lakon ”Asal-usul Reog Ponorogo” (di pendopo TBJT, 23 April 2011); ludruk Wahyu Budaya Lamongan, lakon ”Bandit Blandong Selo Guno” (di pendopo TBJT, 28 Mei 2011); ludruk Merdeka Jember, lakon ”Maryati Gila” (di pendopo TBJT, 25 Juni 2011); ludruk Bintang Baru Jombang, lakon ”Dendam Membara” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Juli 2011); ludruk Subur Budaya Malang, lakon ”Selor Pancuran Mergosono” (di pendopo TBJT, 24 September 2011); ludruk Armada Malang, lakon ”Putri Guwo Buring” (di Taman Krida Budaya Malang, 22 Oktober 2011); ludruk Timbul Jaya Probolinggo, lakon ”Brandal Gunung Anyar” (di pendopo TBJT, 26 November 2011); ludruk Karya Budaya Mojokerto, lakon ”Pasir Kali Brantas” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Desember 2011).

Wah, lengkap betul catatannya. Lalu saya membayar satu contong kacang seharga 2000 rupiah. ”Gimana Mbah, pertunjukan ludruknya yang kemarin, menarik?” tanya saya. ”Podo wae ambek sing saiki Mas, kurang nyes dirasakno. Lakone kok model iku-iku terus,” timpalnya. Lantas ia bercerita agak panjang dan putus-putus tentang lakon ”Subakir Mati Metingkrang”. Kisahnya, Subakir itu juragan becak yang sombong, keminter, gatal menggoda perempuan, penjudi, suka adu jago, tapi baik hati dan royal mentraktir makan siapapun terutama terhadap penggenjot becaknya. Ia juga tukang pukul semasa mudanya. Musuh-musuhnya banyak. Bla-bla-bla. Di akhir cerita, saat ia duduk di kursi pentil sambil cedat-cedut merokok, di sebuah warung kopi, bersama puluhan tukang becaknya, tiba-tiba ia meninggal dalam posisi metingkrang. Semua orang di situ kaget. Bingung. Histeris. ”Wak Bakir mati metingkrang, Wak Bakir mati metingkrang!!” teriak seorang dari mereka.

Mbah Munawi sempat terhenti sejenak. Memungkasi cerita. Saya menoleh ke panggung. Tampak 2 personil ludruk Suromenggolo sedang mendagel, setelah mengidung soal susahnya jadi petani dan mirisnya jadi seniman ludruk di jaman ini. Terasa garing. Kira-kira 25-an menit penonton membisu. Tak ada ledakan tawa. Lakonnya malam itu ”Asal-usul Reog Ponorogo”. Lalu saya bergeser lima langkah ke warung kopi sebelah. Ada Cak Imam CB, seniman teater, di situ bersama 2 temannya. Kami saling menyapa. ”Jaman wis majune koyok ngene, kenapa nggak ngangkat lakon misale ’Cuci Otak’? Ini kan lagi rame-ramenya NII. Atau tentang terorisme. Dulu orang nonton ludruk itu seperti menyerap energi jaman. Sekarang nggak tahu apa yang mereka serap,” komentarnya. ”Bisa juga seperti itu Cak. Ludruk seperti ’mati metingkrang’: ditinggalkan jaman sekaligus kehilangan spirit masa silamnya. Yang kita tonton seolah hanya panggung kosong. Cuma hawa dingin sepi yang kita bawa pulang,” sambung saya. ”Bukan, Mas. Tapi orang-orang ludruk sendiri yang tak mau atau tak mampu mengikuti perubahan jaman yang terus berderap. Jadi yang ’mati metingkrang’ itu utopianya. Sebab urusan perut yang jadi pokoknya. Tak menggerakkan jiwa dinamisnya.”

Dan, sejenis cerita apakah yang seakan-akan fiksi itu tiba-tiba menyembul dari Cak Memet, lalu secara kebetulan juga keluar dari Mbah Munawi? Sosok Subakir yang mati unik itu bisa saja sebagai cermin persoalan keseharian kaum kelas bawah. Tak begitu penting apakah itu pernah sebagai lakon ludruk ataukah semata halusinasi dari dunia klangenan publik ludruk.

---
Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi