Rabu, 05 Oktober 2011

Harga Diri Ayam

Emha Ainun Nadjib
http://sastra-indonesia.com/

AYAM memang hewan atau binatang, tetapi tak sekadar hewan atau binatang, ia adalah juga ayam. Ia bahkan punya banyak identitas dan kemungkinan eksistensi yang lain.

Ayam juga makhluk dunia, warga dunia, bagian dari alam, peliharaan Pak Kardjo, temannya ayam lain, putra atau putrinya bapak ayam ibu ayam, penghuni kandang ayam pojok RT. Ayam adalah juga hewan, bukan bebek, bukan angsa, bukan burung bukan anjing, bahkan bukan manusia. Identitas mana yang primer mana yang sekunder, itu soal cara pandang.

Mana kedirian yang “sekadar”, mana yang “bahkan”, mana yang “utamanya”, itu soal konsep nilai dan bisa berbeda-beda. Sebuah cara pandang bisa meletakkan ayam sebagai “sekadar ayam”. Namun cara pandang lain menyebut “mending ayam”, maksudnya: umpamanya “dibandingkan manusia”. Lho kok dibandingkan manusia? Cara pandang itu menemukan bahwa ayam sangat mungkin lebih berguna bagi kehidupan seluruh makhluk alam semesta ini, sekurang-kurangnya bagi umat manusia, dibandingkan manusia sendiri.

Umpamanya masih lebih baik ayam yang tidak mungkin mencuri manusia dibandingkan “manusia pencuri ayam”. Bahkan ada cara pandang nilai yang meletakkan ayam di wilayah kemuliaan: segala perilaku ayam, langkahnya, makan minumnya, mati hidupnya, 100% menaati sunnah Tuhan atau tradisi penciptaan yang di-set up Tuhan. Ayam sepenuhnya patuh kepada Tuhan, sementara manusia dikasih peluang demokrasi: berpikir sendiri, menentukan sendiri keputusan-keputusan hidupnya.

Maka manusia bergerak ke berbagai kemungkinan arah: ada yang menjadi lebih baik dari ayam, ada yang lebih hina dari ayam. Ayam disembelih saja berguna dan hasil masakannya enak dimakan manusia. Sementara manusia tak enak dimakan dan tidak punya posisi nilai untuk baik disembelih. Ketika ayam disembelih, digoreng atau digodok: itulah puncak kemuliaan kemakhlukannya.

Kata Alquran lagi: bersuku-suku, berbangsa-bangsa itu tak lain tak bukan untuk berkenalan, berempati satu sama lain, saling menghormati, menyayangi, bekerja sama, menjadi negara, kerajaan, PBB, parpol, ormas, perusahaan, warung, masjid dan gereja, gardu, SMS, cyber world, dan segala macam produk kerja sama kemanusiaan yang lain. Maka lima pilar yang menyangga berdirinya Republik Indonesia – rakyat, kaum intelektual, TNI/Polri, kekuatan adat dan tradisi serta sumber-sumber keagamaan – harus diterjemahkan secara matang di dalam budaya dan konstitusi, harus dijadikan pijakan setiap inisiatif transformasi sejarah yang menentukan arah pembangunan di bidang apa pun.

Selama 62 tahun merdeka yang pegang kendali hanya dua: kaum intelektual dan tentara-polisi. Rakyat hanya tunggangan, agama, dan adat tradisi hanya dieksploitasi dan dikomoditaskan. Salah satu akibatnya, etnisitas menjadi sama dengan kekerdilan, identitas keagamaan menjadi eksklusivisme. Begitu kita berpikir tentang pluralisme, maunya ayam kita tak anggap ayam, melainkan kita sebut hewan saja. Ayam tak boleh menonjolkan keayamannya.

Bahkan ayam harus disembunyikan penampakan ayamnya. Ayam harus agak kebebek-bebekan, bebek harus keangsa-angsaan, kerbau harus jangan terlalu jelas kerbaunya, lembu kalau bisa mirip kerbau, anjing seyogianya mirip manusia dan manusia bagus kalau seperti anjing. Orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan tak terbiasa melihat orang lain sebagai diri orang lain. Orang hanya siap melihat dirinya dalam keseragaman dengan kebanyakan orang. Orang sakit hati kalau menemukan orang lain tidak seperti dirinya.

Orang tidak tahan hati untuk berbeda. Kalau saya suka bergurau dengan kambing, para tetangga menyimpulkan saya adalah kambing. Kalau saya hadir ke acara partai komunis internasional, orang menyimpulkan saya sudah murtad dan keluar dari Islam. Padahal saya senang bergaul dengan setan, saya tidak pernah memusuhi setan, karena antara setan dengan saya sudah ada pemahaman dua pihak bahwa saya tidak mungkin mampu memengaruhi setan, sementara saya juga insya Allah tidak akan pernah membiarkan diri saya dipengaruhi oleh setan.

Maka setan lebih merupakan partner dialektika, sebagaimana kegelapan diperlukan untuk mempertegas cahaya, hitam diperlukan untuk menghayati putih dan warna-warna lain. Pada suatu waktu bersama kelompok Kiai Kanjeng kami tiba di Roma sesudah Aberdeen, London, dan Berlin. Begitu mendarat, layar televisi mengumumkan bahwa Paus Johannes Paulus II gerah alias sakit. Beberapa hari kemudian wafat. Kami pun ikhlas tidak jadi pentas. Karena kalau beliau wafat, pertandingan sepak bola di Roma atau mungkin seluruh Italia harus ditunda.

Semua tempat hiburan tutup. Yang buka cuma restoran dan warung. Tatkala Paus masih sakit, kami sempat berpentas di Teatro Dalmazia. Kemudian ketika kami menyiapkan pementasan di Teramo dan Napoli, ternyata Wali Kota Roma senang atas rencana pementasan Kiai Kanjeng di Roma sehingga memberi izin. Maka kami kembali menyiapkan diri dan membangun empati. Kami menyusun sejumlah aransemen baru untuk obituari Paus; saya menulis puisi:

Poesia per un Grande

L’uomo buono non puo’ morire Perche’ la bonta’ e’ piu’ forte della morte L’ uomo dal cuore sublime E’ il sole che irradia la terra Se lui muore Il sole si sposta Dal cielo Nell’anima di ogni essere umano L’uomo dall’animo puro Deve essere pronto a perdere se stesso Perche’ ognuno sente il diritto di possederlo E perche’ per amare tutti gli uomini Dovrebbe vivere mille anni Se l’uomo dall’animo puro Fa il suo dovere Di lasciare la terra In realta’ la terra non lo vuole lasciar andar via Milioni di persone lo piangono Mare e monti desiderano andare con lui Anzi la vita vorrebe fermarsi Piuttosto che continuare il suo cammino Senza essere accompagnata dall’uomo dall’animo sublime

Roma,5 Aprile 2005.

TENTU saja jangan menyangka saya bisa berbahasa Italia, apalagi menulis puisi berbahasa Italia. Sedangkan menulis puisi bahasa Indonesia saja dibolak-balik tetap tak kan sampai pada tingkat kemampuan Sutardji Calzoum Bachri, penyair asal Riau yang lahir dari rahim ibunya bahasa Indonesia.

Untunglah kekurangan berbahasa bisa bermanfaat untuk memperdekat hubungan kemanusiaan. Pluralisme tidak hanya berbekal kemampuan. Ketidakmampuan pun menjadi bekal yang baik, asal digoreng dari ketulusan hati. Ketika saya keliling Filipina pada 1980 bersama teman Ambon yang bahasa Inggrisnya hanya dua biji – “Yes” dan “No” – saya kalah dari dia soal memperoleh banyaknya teman. Dengan menggunakan bahasa badan, sorot mata, ekspresi wajah, teman saya itu menerobos siapa saja dan akhirnya menjadi sahabatnya.

Sementara saya sibuk minder karena bahasa Inggris saya juga hanya unggul beberapa biji dibanding dia. Kalau di luar negeri di mana kita berkomunikasi dengan bahasa Inggris, saya selalu mengawali pidato saya dengan, “Memohon maaf atas kacaunya bahasa Inggris saya karena dulu studi saya lebih fokus ke bahasa Arab.” Sementara kalau ke negara-negara Timur Tengah tinggal saya balik: “….fokus studi saya pada bahasa Inggris.”

Hadirin selalu tertawa. Semakin saya berusaha memperbaiki bahasa saya sehingga semakin tampak begonya, mereka semakin sayang sama saya. Puisi untuk Paus itu bahasa Indonesianya dibaca oleh istri saya, bahasa Italianya dibaca oleh teman Italia, musiknya oleh KiaiKanjeng dibikin sangat ‘gerejawi’ (sesungguhnya tidak ada musik, nada, irama yang beragama apa pun…).

Ditambah beberapa nomor lain yang memang kami aransemen khusus untuk publik Italia – penonton Indonesia hanya 5 sampai 7 orang, yang duduk di depan hanya 1 orang: cukuplah untuk membuat banyak orang menangis. Mungkin dalam bayangan mereka orang Islam itu hobinya makan orang, menggoreng jari-jari, kuping, dan buah pelir. Mungkin mereka selama ini berpendapat bahwa bagi orang Islam semua penghuni dunia yang tidak beragama Islam wajib dibunuh, disembelih, ditembak atau dibom. Mungkin secara antropologis mereka punya hipotesis bahwa kaum Muslimin kayaknya bukan berasal dari homo erectus atau homo sapien, mungkin homo bombus….

Ternyata orang Islam kenal cinta juga. Seusai pentas, selalu, tiga kali standing ovation, soundman KiaiKanjeng dijunjung duduk di atas pundak soundman setempat yang semula cemberut melulu sebelum pementasan. Rizki KiaiKanjeng terbesar di muka bumi ini adalah selalu diremehkan ke manapun mereka pergi, kemudian disayang dengan kadar yang plus karena menyesal meremehkan sebelumnya. Kecuali di Indonesia: KiaiKanjeng tidak diremehkan, juga tidak dijunjung karena tidak ada.

Yang jelas, setelah pementasan di Vatikan itu, juga setelah sekian puluh kali di berbagai negara, Kiai Kanjeng pentas dengan audiens lintas agama atau lain agama sama sekali, tidak seorang pun dari anggota KiaiKanjeng yang berganti agama, malah semakin pintar menggali dan mengembangkan rasa syukur.

Kiai Kanjeng juga tidak pernah berpikir bahwa orang non-Islam akan menjadi Muslim sesudah nonton Kiai Kanjeng karena kata Allah, “Sesungguhnya engkau tak bisa memberi petunjuk kepada siapa pun saja yang kau cintai, melainkan Allah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Ia maui.” Tahun 2008 Kiai Kanjeng diundang ke Belanda berdasarkan pertimbangan sesudah adanya kasus Theo van Gogh.

Barusan di sebuah kampung Katolik di Sleman Utara Yogyakarta KiaiKanjeng juga diminta kasih pengajian, padahal penduduk Islamnya hanya penghuni tiga rumah. Di Pasuruan, Pesantren Darut Taqwa yang punya Universitas Yudharta, baru saja minggu kemarin membuka panggung untuk Kiai Kanjeng memandu silaturahmi antara para pastor, kiai-kiai, tokoh-tokoh Budha dan Hindu, dengan audiens yang juga campuran. Acara-acara semacam itu bukan untuk mencampuradukkan antara agama Islam dengan agama lain.

Justru dipakai untuk menarik bersama garis-garis “offside”, “handsball”, “cornerball” dst. di antara koridor-koridor teologi yang tegas perbedaannya, namun membuka pintu-pintu butulan kultural, kerja sama ilmu, kongsi ekonomi, dan komitmen politik menjunjung keadilan plural. Saya pribadi melakukan kontrak seumur hidup dunia akhirat tidak akan memasukkan kata “permusuhan” di dalam harddisk kalbu saya. Kalau dimusuhi saya oke, bahkan berterima kasih, sebab itu menguji cinta saya dan menambah kualitas cinta saya jika mampu saya pertahankan di hadapan kebencian dan permusuhan orang lain kepada saya.

Bagi saya, permusuhan tidak ada hubungannya dengan kehidupan, permusuhan hanya punya jodoh kematian. Permusuhan tidak punya ekspresi apa pun kecuali membunuh atau memusnahkan. Tak ada permusuhan dengan perang kata, debat pendapat, persaingan dagang, atau politik. Semua yang ada dalam kehidupan adalah cinta. Jika dipaksa melakukan permusuhan, langkah cuma satu: mati.

Maka saya tak pernah tega melihat orang didorong ke kematian di luar kehendak Tuhan. Misalnya disakiti, dianiaya, ditindas. Seorang sopir ditendang petugas di Bandara Juanda dengan sangat kasar, saya langsung meloncat ke petugas itu, saya banting, saya kunci dan baru saya lepaskan sesudah dia minta maaf kepada orang yang ditendangnya. Sedangkan ayam punya harga diri, apalagi sopir.

Pendalaman ilmu dan nilai seperti ini bisa kita perluas sampai detail dan beribu-ribu halaman kita hasilkan. Substansi yang akan kita ambil adalah bahwa ayam adalah ayam: ia tidak bisa hanya disebut hewan. Si Abdul, Bambang, John, bukan “hanya” manusia: ia juga orang Arab, Jawa atau Amerika. Ia juga orang Islam, orang Kristen, atau atheis. Pada mereka juga terdapat berbagai dimensi identitas: etnik, agama, budaya, golongan, jenis, spesies, gen, kelompok, kata Alquran: syu’ub wa qabail. Itulah pluralisme.

Suatu siang saya tiba di Tinambung, 350 km Makassar ke utara, keributan terjadi. “Pasukan Mandar”, sekitar 200 orang rakyat, beramai-ramai membawa senjata tajam naik motor, truk, Kijang, dll., menuju Kota Majene. Mereka akan menyerbu kelompok masyarakat di sana yang katanya “menghina Balanipa”. Balanipa adalah Kerajaan Mandar, 7 di pantai 7 di pegunungan, pusatnya di Tinambung. Balanipa adalah kata yang padanya terletak kehormatan dan harga diri suku Mandar. Ada orang-orang di Pasar Majene bilang bahwa Balanipa sudah tinggal khayalan dan omong kosong.

Orang-orang Tinambung naik pitam, ramai-ramai menyerbu Majene. Saya ajak seseorang sekenanya naik motor, ngebut sengebut-ngebutnya, kami kejar mereka, kami balap, dan sekitar 200 meter di depan rombongan motor saya hentikan dan saya parkir melintang di tengah jalan. Saya turun dan mencegat menghentikan mereka. “Kembali semua! Saya tunggu di masjid Jami’ bersama Mara’dia!”.

Mara’dia adalah sebutan untuk Raja Mandar. Mereka berbalik arah, saya menguntit di belakang mereka. Memasuki Tinambung mereka ke masjid, saya ke rumah Mara’dia, lapor ini itu kemudian kami sama-sama ke Masjid”. Suasana sangat tegang, sunyi, namun semua menundukkan muka. Saya membaca Surah An-Nur ayat 35, surat cahaya. Saya katakan kepada mereka “….musuh kita bukan manusia.”

Musuh kita adalah sistem yang sedang dibangun oleh sebagian manusia yang akan menghancurkan manusia. Sebentar lagi Jembatan Sungai Mandar di utara itu akan dibangun, kelak truk-truk akan masuk dan keluar wilayah Anda. Pikirkan truk itu akan membawa rezeki bagi masyarakat Tinambung ataukah akan merampok kekayaan Anda. Kalau Anda mulai berpikir untuk menjawab itu, maka itulah harga diri Mandar yang kembali dibangkitkan…”(*)

Dijumput dari: http://muhammad-abid.blogspot.com/2008/07/harga-diri-ayam.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi