Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/
AKAN kurampungkan kisah ini lebih cepat karena memang aku bukan Syahrazad. Dan aku bukan pula seorang pelaut dalam dongeng pengembaraan Simbad. Aku hanya pelaut yang mendadak kehilangan selera hidup setelah apa yang tak pernah kuangan-angankan (pun kuingin-inginkan) datang kemudian berlalu begitu saja.
Sore itu, seusai mengeja kabar yang dibawa sekawanan camar dan kelepak elang laut perut putih yang muncul dari balik cakrawala, dan setelah genap angin barat mereda, kami pun mulai berkemas untuk kemudian bergegas. Berjalan di atas dermaga yang sepanjang waktu termangu, naik ke geladak dan mulai mengembangkan layar.
Jika diriku yang dulu, sebagai pelaut sejati, tak pernah betah berlama-lama menjejakkan kaki di daratan, kini kakiku terasa tertanam di darat. Lekat dan berat. Karena aku telah menyemai rindu yang menanamnya di dada seorang perempuan.
Ia tinggal berdua dengan ibunya yang sudah renta dan kerap sakit-sakitan di sebuah gubuk kecil dekat pantai. Ia dengan tekun mengurus orang tua satu-satunya itu. Kudengar dari cerita tetangganya, ayahnya seorang pelaut, sudah mati dipulun gelombang diterkam badai puluhan tahun lalu ketika ia masih kanak.
Ketika kami merapat, perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri di mulut dermaga dengan mata berbinar-bercahaya. Seolah seseorang yang telah lama dinantinya telah tiba. Dan aku terlambat menyadari bahwa perempuan itu sesungguhnya menanti kedatanganku. Aku tak cukup mengerti untuk menjawab segala tanya, baik yang terlontar dari mulut kawan-kawanku maupun yang muncul dari dalam benakku.
Tiba-tiba saja perempuan itu menyambutku dengan penuh sukacita. Aku mulai curiga, apakah aku pernah mengenalnya? Apakah aku seseorang dari masa lalunya dan ia seorang dari masa laluku? Tapi tanya itu tak kunjung menemu jawaban. Perempuan itu seolah hadir begitu saja dalam diriku. Tanpa basa-basi. Tanpa kompromi. Dia sudah ada begitu saja.
Namun, kemudian dengan sendirinya aku larut dalam hidupnya. Seperti ia yang dengan sengaja melarutkan diri dalam hidupku. Tiba-tiba saja kami seolah memiliki ikatan. Tanpa kusadari benar, tanpa terlihat. Lama-lama aku tak lagi memasalahkannya. Barangkali aku memang seseorang dari masa lalunya dan ia seseorang dari masa laluku. Tak perlu kuungkit dan kupertanyakan lagi. Apalagi di hadapannya.
Menyambutku di tubir dermaga ia mengajakku pulang ke rumahnya. Sementara kawan-kawanku mencari penginapan. Tiba di gubuk kecil itu kembali aku merasa gamang, tak menemukan cara harus berbuat apa dan bagaimana. Aku tetaplah merasa sebagai pelaut yang tak sengaja menyinggahi tempat asing ini. Di dalam gubuk kecil itu, sang ibu yang tampak layu karena tubuh rentanya disarangi penyakit mendadak berubah wajahnya menjadi berbinar ketika mendapati kehadiranku.
“Sudah pulang kau rupanya, Nak. Kami di sini selalu menantimu dengan doa dan air mata, mengharapkan keselamatanku.” Aku agak tergeragap. Sebisa mungkin kukuasai diriku. Perempuan yang menyambutku tadi melirikku. Tak tahu harus bagaimana menjawab, aku hanya tersenyum. Mungkin saja terlihat janggal. Tapi mereka tak sedikitpun menangkap kejanggalan pada diriku.
Perempuan itu sangat baik dan perhatian kepadaku. Berhari-hari kami hidup bersama. Aku menjadi bagian darinya dan ia menjadi bagian dariku. Segala yang kubutuhkan selalu ada dan terpenuhi. Bahkan yang kurasakan adalah perhatian yang berlebihan terhadapku. Padahal aku kerap berpikir: Siapakah sebenarnya aku dan apa hubunganku dengannya? Dan semakin hari ia semakin perhatian dan melayaniku dengan amat baik.
Ketika suatu waktu kutanyakan kepada tetangganya kenapa ia berbuat demikian terhadapku. Mereka malah balik bertanya, sembari terheran-heran.
“Kenapa kamu bertanya demikian?” aku semakin tak mengerti.
“Bukankah kamu suaminya? Jadi wajar bila ia perhatian dan melayanimu sebagaimana mestinya.”
Suami? Mereka bilang aku suaminya? Kukira mereka pintar mengada-ada. Padahal menikah pun aku belum pernah. Sejak umur belasan tahun aku sudah ikut berlayar dan hingga kini belum sempat memikirkan untuk menikah. Dan sekarang mereka bilang aku adalah seorang suami dari perempuan yang baru pertama kali kutemukan di tempat asing ini?
Ketika kutanyakan kepada tetangga yang lain, jawaban yang kuperoleh sama saja. Akhirnya aku memutuskan untuk tak bertanya-tanya lagi, baik kepada orang lain maupun diriku sendiri. Aku tak perlu mempermasalahkan lagi, itu keputusanku. Toh apa yang kubutuhkan tak kurang satu apa pun. Bahkan kasih sayang seorang ibu yang sedari kecil tak pernah kudapatkan juga cinta layaknya dari seorang istri kudapatkan di sini.
Aku membayangkan kawan-kawanku sedang sibuk mencari pelacur-pelacur murahan di pelabuhan kecil ini. Atau masih sempat menawar-nawar. Kubayangkan mereka sedang mabuk dan bersenang-senang di pangkuan perempuan belia di rumah bordil yang masih sulit dicari.
***
MALAM itu, seusai bercinta, ia menempelkan telinga di dadaku yang masih berkeringat. Entah apa yang ia dengar di sana. Kukira hanya detak jantung dan desah napas yang masih tak beraturan. Ia tersenyum kepadaku.
“Kenapa?” aku bertanya. Dia menggeleng manja. Tiba-tiba aku yang bertanya.
“Mencintai lelaki pelaut memiliki banyak risiko. Kenapa kamu memilih mencintai lelaki pelaut sepertiku?”
“Lelaki pelaut seperti seekor anak penyu, sejauh mana ia berlayar akan selalu rindu tempatnya bermuasal. Aku mencintai lelaki pelaut karena di dadanya selalu terdengar gemuruh ombak, jerit camar, dan badai. Di dalam dirinya tertanam kepekaan, ketegaran, dan tanggung jawab. Dari keringat dan tubuhnya meruap aroma asin keluasan samudera. Di dalam matanya terpijar gairah rindu yang meluap-luap. Kau tahu, yang melingkupiku kini adalah rasa damai yang menjalar dari dadamu.”
“Tidakkah kamu takut mencintai seorang lelaki pelaut?”
“Takut atas apa?”
“Jika orang yang kau cintai akan hilang selamanya?”
“Aku tidak takut,” jawabnya.
Beberapa malam berikutnya, ia kembali menempelkan telinganya di dadaku yang masih berkeringat. Lalu aku berkata.
“Kami para pelaut terkadang merasa jenuh berbulan-bulan berada di tengah samudra tanpa ada yang menghibur. Tentu saja banyak pelabuhan-pelabuhan yang minta disinggahi dan di sana banyak wanita-wanita cantik yang akan menghibur melepas segala kejemuan. Selama di darat menjadi waktu yang baik buat menyinggahi kedai tuak, warung judi, dan rumah pelacuran.”
“Aku tak memasalahkan itu. Yang penting kamu selalu ingat kepadaku dan masih ingin pulang karena menyimpan rindu.”
Kemudian ia memintaku menceritakan kisah-kisah pelayaran. Dengan senang hati aku menuruti kemauannya. Dan ia selalu menempelkan telinga di dadaku, menagih kisah-kisah pelayaran yang akan mengantarkannya tidur dengan sangat lelap.
***
KAMI harus segera berlayar karena telah terlalu lama kami berada di daratan. Kawan-kawanku sudah naik ke geladak ketika perempuan itu menyusulku ke ujung dermaga. Ia menyerahkan serantang makanan kepadaku. Aku berharap ia akan menangis dan memelukku erat, seolah tak ingin melepaskanku. Tapi dugaanku salah. Ia tak melakukan itu.
“Ini untuk makan di kapal nanti, supaya selalu ada hasrat untuk kembali ke sini.”
Tiba-tiba saja dadaku telah koyak oleh cemas. Kenapa aku yang cemas? Bahkan ia yang akan kutinggalkan terlihat lebih tegar seolah telah terbiasa oleh kepergian seorang yang dicintai. Ah, mungkinkah aku akan singgah kembali ke pelabuhan ini?
“Janganlah lupa pesanku, bila rindu telah tanak di dadamu bersegeralah pulang. Aku akan menyambutmu di sini. Dan kamu harus tahu, akhir-akhir ini aku merasa di dalam perutku telah terisi sesuatu, mungkin umurnya baru satu bulan. Kamu akan jadi ayah sebentar lagi.”
Sungguhkah aku akan menjadi ayah? Kenapa baru sekarang ia sampaikan kabar bahagia ini di saat perpisahan sudah di ambang mata?
Lalu terdengar suara kawanku berteriak dari atas geladak memanggilku. “Sahdan! Cepatlah naik, kita harus segera berangkat!”
Ia tak berusaha merengkuh tanganku untuk menahanku beberapa jenak. Untuk pertama kalinya aku merasa jadi pecundang. Aku kalah oleh diriku sendiri. Setelah itu tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutnya. Desau angin yang terdengar. Tak ada yang bisa kutinggalkan selain sepotong kalimat yang akan memperteguh keyakinannya. “Aku akan kembali sebelum kamu melahirkan.” Itu saja. Tak lebih.
Setelah itu aku meninggalkannya. Ia masih membisu menatap kepergianku dari tubir dermaga. Aku melambai, ia tetap membeku. Rambutnya yang panjang dan ujung kainnya dikibarkan angin laut yang berembus kencang. Bayangannya semakin menjauh dan ia masih mematung di tubir dermaga memandang ke kapal kami yang segera hilang dari pandangannya.
***
TELAH kami singgahi bandar-bandar dan pelabuhan. Bersama perompak kami melayari badai. Telah kami arungi tujuh samudera. Telah kami telusuri tiap lekuk tanjung, ceruk teluk, semenanjung dan selat di dunia. Sekian purnama kami berlayar, mengembara di segenap penjuru angin. Sekian kali kami membuang sauh, menggulung layar, dan menyinggahi daratan. Sekian waktu kami ingin melihat curam karang dan gugus bebukitan. Atau berhari-hari menatap keluasan laut yang kosong. Namun tetap saja aku merindui pelabuhan di sebuah tanjung yang menyimpan dirimu.
Telah lama kami jadi tualang, seperti yang ditingkahi puyang. Dari tiang-tiang layar yang setiap waktu mengukir angin, lambung kapal yang dibantun ombak dan di tengah geladak senantiasa aku menulisi rindu yang mulai berkarat. Di dalam dadaku menyimpan debur ombak. Dan aroma tubuhmu masih tertinggal di tubuhku, tak hilang sampai berhari-hari berminggu-minggu berbulan-bulan membuatku selalu berhasrat untuk mengunjunginya sewaktu-waktu. Bukankah aku telah berjanji kapadamu bahwa aku akan segera kembali sebelum bayi di rahimmu dilahirkan?
Ah, sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Dan seorang pelaut adalah lelaki yang peka, bertanggung jawab, dan tegar seperti karang. Maka kutolak mentah-mentah ajakan kawanku meneruskan kebiasaan lama kami: tenggelam dalam lautan tuak dan perempuan.
Dan tatkala rinduku mulai tanak, entah purnama ke berapa telah kulewati, maka kulunasi janjiku untuk kembali ke pelabuhanmu. Bukankah benih yang telah kubenamkan di perutmu telah matang sekarang? Kita hanya akan menghitung minggu-demi minggu. Lalu segera kita akan menjadi sosok sepasang orang tua.
Bukankah kau akan selalu merindukan gemuruh di dadaku dan suatu malam akan kautempelkan telingamu? Dan di ujung dermaga kau menungguku sembari termangu. Dan ketika ujung layar kapal kami telah terlihat kau sudah akan menyiapkan ritual penyambutan. Dan hatimu mulai tak sabar menyaksikan kapal kami mulai merapat.
Namun, di ujung dermaga itu tak kutemukan dirimu. Memang kami tiba di dermaga saat malam mulai menua, tentu tak mungkin bagimu menantiku sampai larut begini. Segera kutepis segala prasangka. Dan aku tak mungkin menyimpan rasa kecewa lantaran kau tak menyambutku di mulut dermaga. Aku pun mengerti keadaanmu yang tengah hamil tua.
Kapal kami merapat. Kami ke penginapan terlebih dahulu. Setelah itu aku datang ke gubukmu. Sengaja aku ingin memberi kejutan. Tak sabar aku ingin bertemu. Namun di sana tak kutemukan siapa-siapa selain gubuk yang kosong. Tak ada tanda-tanda kau berada di sana. Lalu aku kembali ke penginapan dengan menanggung kecewa.
Tatkala pagi mulai meriap, kutanyakan keberadaanmu kepada para tetangga. Mereka menjawab dengan nada murung. Seperti juga burung-burung di pagi buta itu berkabung. Dan setiap tetangga yang kutanyai menyampaikan jawab yang sama:
“Ia selalu menantimu sepanjang waktu. Ibunya telah meninggal sebulan setelah kepergianmu, setelah itu ia sebatangkara. Ia hanya menghabiskan waktu duduk termangu di ujung dermaga. Lalu pulang berjalan tersuruk di malam buta. Tak pernah ada yang mengira ia terjerembab di sisi dermaga. Pagi itu kami menemukan mayatnya mengambang di laut dengan kedua belah tangan membekap kandungannya.”®
Demi mendengar itu, lututku lunglai. Apa yang dulu tak pernah kuangan-angankan (pun kuingin-inginkan) datang kemudian berlalu begitu saja.
Kotaagung, 20 Oktober 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 24 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar