Ribut Wijoto
http://sastra-indonesia.com/
Bila engkau tanyakan tiga tema paling sering muncul dalam khazanah puisi Indonesia, aku menyebutkan tiga hal: kesunyian, religiusitas, dan cinta. Ketiganya bergerak dalam pertautan tiga wilayah kebahasaan, yaitu ketuhanan, alam raya, dan pesona tubuh manusia. Sejarah puisi Indonesia, tidak kurang tidak lebih, dihidupi oleh ketiga tema tersebut.
Bahkan sejak awal sastra hingga sastra terkini, ketiganya senantiasa menggelibati puisi. Lihatlah puisi Kriapur, Acep Zamzam Noor, Arief B. Prasetya, Indra Tjahyadi, Mashuri ataupun Binhad Nurrohmat. Atau lihatlah kejelasan yang dituliskan A. Teeuw tentang masa silam sastra Nusantara. “Jelaslah dalam pendekatan estetik Jawa Kuno ini pun, seperti dalam Melayu, estetik tidak bersifat otonom: Fungsi seni (baca: sastra) diabdikan pada fungsi agama; lewat seni, manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan menghilangkan diri (atau kehilangan diri) dalam keagungan pesona itu (Melayu) atau seniman lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan Dewa yang akhirnya akan membawa kehampaan mutlak dan kehilangan diri rantai eksistensi manusia (Jawa Kuno)”.
Tema kesunyian, religiusitas, dan cinta sering menggerakkan puisi, semoga anggapan saya benar, ini berasal dari kemauan penyair; puisi mesti melampaui dunia keseharian. Puisi mesti berkelebat dalam “keagungan sempurna” atau sekalian “jatuh dalam gairah birahi”. Pertentangan pilihan, bukannya jarang terjadi, puisi mempersandingkan keduanya seakan keduanya sejajar dan tinggal dalam satu aras. Lihatlah puisi Chatedrale de Charthes dari Sitor Situmorang.
Namun di tahun 1962, di Surabaya, ada terjadi interupsi dalam tradisi puisi tanah air. Puisi-puisi tidak menghadirkan keagungan atau kehinaan yang melangit. Para penyair Surabaya lebih tersedot oleh kerumitan, kegelisahan, kesementaraan, dan tragedi dunia kerja. Sebuah dunia yang tidak berlumuran dengan doa dan cinta. Dunia ini penuh dengan tetesan keringat, tawa, dan obsesi keseharian. Kesemuanya termaktub dalam kumpulan puisi Laut Pasang terbitan Surabaya tahun 1962. Sebuah kumpulan puisi yang menarik bukan karena agung atau hina tetapi karena aneh, berbeda, dan kesepian di tengah-tengah kanon tradisi puisi Indonesia.
Sublimasi Puisi atas Kota Surabaya
Adalah wajar dan tidak menarik untuk mengatakan Surabaya, “kota yang sesak dengan kerja”, kota industrial, dan karenanya puisi-puisi yang muncul pun bertemakan kerja. Benar memang, puisi sebagai bayang-bayang realitas. Kerja yang merebak di kota Surabaya tercover dalam puisi para penyair Surabaya. Namun yang lebih penting untuk dicatat dari kumpulan puisi Laut Pasang, puisi sebagai wilayah dalam dari kota Surabaya. Sebuah pencermatan yang berusaha mencari jawab, mengapa Surabaya dijejali oleh orang-orang yang sibuk dengan kerja.
Surabaya. Kota Surabaya menarik oleh sejarah politik dan industrinya. William H. Frederick dalam buku Pemandangan dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia, Surabaya 1926-1946 (Jakarta, Gramedia, 1986) menggambarkan kondisi menjelang akhir abad kesembilan belas, Surabaya termasuk kota terbesar di Hindia Belanda. Penghuni Surabaya, ketika itu, mirip dengan proporsi penghuni sekarang, penuh dengan orang-orang yang tidak berasal dari Surabaya an sich. Penduduk Surabaya hanya sebagian kecil dibanding luberan pendatang yang singgah dan menetap untuk berdagang, berwiraswasta, atau pun kerja kantoran. Tidak saja pendatang lokal Jawa; di Surabaya berjubelan warga keturunan Cina, Arab, dan India. Tentu saja, ditambah dengan orang-orang Belanda dan Eropa. Jumlah pendatang yang prosentasenya lebih besar dibanding pendatang di kota-kota lain di Indonesia. Surabaya lahir dan besar dengan menanggung beban kosmopolitan. Sebuah kota yang mimpi dengan mata terbuka.
Oleh sifatnya yang plural, dan oleh penduduknya yang bukan asli, orang Surabaya kurang mempunyai hubungan mistis atau sakral dengan tanah dan alam Surabaya. Bila di Yogyakarta, Bali, bahkan Banten, alam dikaitkan dengan ritual-ritual mistis. Orang Surabaya menganggap alam sebagai sahabat karib yang akrab. Alam bukanlah sosok dunia lain, alam ada sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Surabaya. Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa sewaktu-waktu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi alam didaya-gunakan untuk kepentingan umat manusia, dan bukannya untuk kepentingan jin atau genderuwo. Alam sah untuk digali dan diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev, seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib alam.
Bermula dari hubungan masyarakat Surabaya dengan alam, puisi-puisi Laut Pasang menemukan spiritualitas yang menggerakkan aktivitas kultural. Surabaya dituntut untuk merubah alam demi bertahan hidup. Sebuah perubahan alam dan aktivitas kultural yang mewujud dalam bentuk kerja. Di sini, mungkin lain dengan di tempat-tempat beda, tindak kerja berubah jadi transendental.
Spiritualitas Kerja
Sama seperti penyair kebanyakan, aku berhasil membaca, pertanyaan yang coba dicari oleh para penyair Surabaya tahun 1962 sebenarnya sederhana dan fundamental. Pertanyaan itu mengenai kondisi-kondisi kejiwaan yang telah memungkinkan adanya perkembangan peradaban manusia. Langkah-langkah tempuhannyalah yang berbeda.
Ada tercetak dalam puisi “Matahari Dikening Kami”: Berkatalah sekarang, berkatalah, kemana kami mesti melangkah, kepertjajaan yang kami dukung ialah milik orang-orang djujur, berkatalah, kerdja apa jang mesti dilembur (Andi Amaruliah Machmud). Aku lirik, tokoh aku pada puisi, mempersandingkan sifat kejujuran dengan keinginan untuk bekerja. Tidak hanya kerja semestinya atau kerja sesuai jadwal, lebih dari itu, aku lirik meminta tambahan waktu melalui jam lembur. Suatu pasangan aneh dalam kenyataan; jujur dan lembur. Seseorang yang ingin menunjukkan kejujuran, sikap etis bermasyarakat, dengan usaha kegilaan dalam jam kerja lembur. Di situ, aku menyangka, kerja menjadi penanda dari tindakan, yang menurut konsepsi aku lirik, bernilai benar!
Keinginan atau kebutuhan dalam kerja begitu besar. Jam-jam berlarian menuju kerja. Effendi M.S. menuliskan puisi “Pelajaran”: Nelajan jang berkatja dibulan pagi, dibenam hatinja dilubuk laut, adalah dendam jang datang setiap saat, membajang ombak dimatanja. Penting diperhatikan kata “dendam” yang dituliskan penyair Effendi. Kata itu mengandaikan obsesi berlebihan, aku rasa nyaris tidak rasional, terhadap hal-hal yang dikenai. Engkau tahu, dendam terhadap seseorang seringkali membikin si pendendam rela melakukan apapun, yang bagi saya melampaui kewajaran, agar keinginan terkabul. Di sini, di puisi Effendi, dendam mengejawantah dalam wujud kerja nelayan. Dengan latar bulan di pagi hari, nelayan melihat laut dengan ombak beriaknya sebagai tugas “penting dan mendesak” untuk disikapi. Pilihan-pilihan lain terabaikan, sang nelayan berangkat kerja dengan langkah tegap, mantap. Mencari ikan adalah pilihan tunggal tak terbantah.
Kekuatan diri pada kerja dalam dua puisi tersebut merupakan isyarat, tindakan kerja bukan tugas yang berasal dari luar diri. Kerja telah inheren, melekat di dalam diri nelayan. Bukan saja tugas kemasyarakatan yang mengarah kepada kepentingan orang banyak, ini kerja ialah obsesi pribadi, bertempat dan meledak di dalam diri. Kerja menjadi tindakan spiritual.
Kerja bertukar tangkap dengan diri pribadi: Tjintanja datang karena kerdja ditangan tua jang gemetar. Dipunggung pungguk anak desa jang matinja kelaparan. Ditindakan jang sarat oleh jawaban untuk zamannja, dalam hati jang selalu berbisik: O, usia berbijih rasa, nikmatnja berumah dan bekerdja (Hadi S, “Usia Penyair”). Kegairahan dalam bekerja memperbesar sangkaan, ia berputar-putar secara irasional pada diri aku lirik. Tindakan yang bukan saja tidak terbantah, resiko ringan atau berat, sedikit saja, tiada melintas dalam pikiran. Kerja dirasakan murni sebagai tugas terakhir dalam diri. Kerja sebagai satu-satunya alasan untuk menjalani hidup dan kehidupan. Dimensi ketuhanan melekat di dalam kerja. Lebih lanjut, inilah yang aku tangkap, di dalam kerja ada terdapat kelengkapan kemanusiaan, estetika, dan pandangan hidup.
Kegilaan terhadap kerja, sebagai manifestasi ketuhanan, sangat menarik diperbandingkan dengan pemahaman umum tentang sembahyang. Konon di kisah-kisah, sembahyang yang berkualitas tinggi ditemui berada dalam orang seorang yang seharian bertafakur, merenung, atau kurang melakukan aktivitas keseharian kecuali berdoa. Pada orang tersebut, semoga pemahaman saya salah, hidup yang hanya dipenuhi dengan kerja dianggap jauh dari nilai religius. Bersandar dari puisi para penyair Surabaya, runutan logika menjadi terbalik. Kehidupan “merenung” bukanlah sama sekali tanpa nilai sebagai sarana pembenaran di hadapan Tuhan, akan tetapi kehidupan itu juga berarti penolakan kewajiban di dunia ini sebagai hasil egoisme diri, dengan tindakan menyingkir dari kewajiban-kewajiban di dunia. Yakni, suatu pernyataan bahwa pemenuhan kewajiban duniawi di dalam segala kondisi merupakan saatu-satunya jalan untuk bisa hidup dan dikehendaki oleh Tuhan, dan karenanya kerja pasti mempunyai manfaat yang sama di dalam pandangan Tuhan.
Adanya dimensi spiritual membuat resiko-resiko dalam dunia kerja sebagai sesuatu yang layak diterima. Kerja dan kepahitan jang djadi satu, betapa pedihpun, dari sini nilai dibangun, betapa indahnja, Mobil mewah dan rumah jang gemerlapan, Lidah jang didjual, harga diri jang digadaikan, atau, Keringat jang dihisap dan darah jang disadap (Hadi S, “Sadjak-sadjak Hitam”). Lihatlah larik-larik puisi tersebut, problem-problem kerja dijadikan sumber nilai. Kemegahan muncul dalam semangat kerja. Keindahan bersumber pada atau dari kerja.
Mengapa tercipta kondisi seaneh ini? Jawabnya tentu bukan jawaban keduniawian. Sangat mungkin, semoga pemahaman saya benar, kerja bukan semata-mata sarana atau alat ekonomi. Kerja adalah tujuan akhir spritual. Transenden. Sikap lemah lesu, iri hati, atau keceriwisan apabila dianggap membahayakan jiwa, maka sikap ini masih lebih baik dibandingkan dengan pilihan hidup tanpa kerja.
Di lain puisi, yaitu di puisi berjudul “Ave Maria” tertulis larik: Diudjungnja aku terbangun, disentak malam disentak dunia, Pergulatan betapa gemuruh sedang kerdja belum selesai (Hadi S, “Ave Maria”). Pengambilan lagu dari kisah “Ave Maria” ini menarik dicermati. Beberapa sastrawan juga mengambil inspirasi dari lagu yang sama dalam mencipta karya. Chairil Anwar menggunakan latar lagu “Ave Maria” untuk memberi lompatan estetik bagi kisah cinta lelaki-perempuan. Idrus, lewat cerita pendek dengan judul sama, “Ave Maria”, memfungsikan lagu tersebut untuk memuntahkan kisah kerinduan yang menyayat. Bahkan, Pramodya Ananta Toer pun pada kumpulan cerpen Cerita dari Blora mengambil latar lagu “Ave Maria” untuk memberi kesan sedih, merintih, senyap. Pada ketiga sastrawan, antara karya dan lagu “Ave Maria” menemukan kesejajaran; tragikal. Pada puisi Hadi S., nuansa tragik dan melankoli justru ditolak. Alasannya jelas, kerja. Dunia kerja membutuhkan suasana penuh semangat dan situasi hiruk pikuk.
Dunia kerja tidak cocok dengan ikon “Ave Maria” yang nglangut, nestapa, dan penuh iba. Dunia kerja tidak cocok juga dengan ikon sunyi, senyap, hijau daun, keangkeran gunung, atau jimat-jimat misteri. Antologi Laut Pasang menerbitkan satu ikon yang lebih sesuai. Inilah yang dituliskan penyair Rumambi tentang ikon: Mentjutjurkan keringat ganggang matahari, tangan-tangan kapalen mengajunkan tjangkul (puisi “Bagi Selembar Tanah”). Ikon “cangkul”, alat para petani untuk mengolah sawah dan tegalan, sangat mewakili dunia yang penuh tetes keringat dari mobilitas kerja. Penyair Amruliah pun menemukan kegembiraan dan cintanya melalui ritmis ayunan cangkul: Ajunan tjangkul jang dalam, adalah harapannja siang dan malam, peluh membanjir ditubuhnja, adalah tjintanja pada kerdja sawah (puisi “Petani Lantjokang”). Penyair Effendi justru menganggap cangkul selayak kekasih: Kemana hatimu kau bawa pergi, dari padang dimana tjangkul dan arit berdentjing, kasih jang tak terlupa, sajang jang tak ‘kan hilang (puisi “Tjangkul”). Pada cangkul, penyair Surabaya menemukan kedirian, panggilan hidup.
Pesona dan tawaran kerja begitu menubuh. Sampai-sampai, penyair Hadi S menggunakan untuk menghibur kekasih, perempuan yang hendak ditinggalkan pergi, dituliskannya larik-larik puisi: Jarak antara kita manis, penaka lagu mengalun, pergi. Diudara ia tiada, namun hatinja jang pasti kita menangkan, samudera lagu, kasih dan sajang (puisi “Perpisahan”). Demi menempuh dunia kerja, sang perempuan rela ditinggalkan. Sentimentil, memang, tetapi kalau kerja sudah inheren pada diri, segala hal bisa dikesampingkan. Pertimbangan-pertimbangan dicari atau dipilih hanya untuk realisasi kerja. Pada kerja diperoleh kemanusiaan.
Seseorang merasa dirinya ada, meyakini ada, karena seseorang tersebut bekerja. Seperti tergambar dalam puisi yang menjadi judul antologi ini “Laut Pasang”: Dia jang lahir dalam kerdja setiap hari, darimana dunia dilahirkan, Dia tahu harga dirinja, tahu dimana harus dimulai (Hadi S, “Laut Pasang”). Oleh sebab itu kerja, semoga pemahaman saya benar, adalah kebenaran diri. Dan oleh sebab estetika adalah hal-hal mengenai kebenaran, kerja adalah estetika itu sendiri.
Epilog Kerja
Kerja, bekerja, mengerjakan alam untuk kepentingan manusia; itulah yang terbaca dari puisi Surabaya tahun 1962. Saya percaya, puisi-puisi Laut Pasang tercipta oleh peleburan dengan dunia dalam dari kultur Surabaya, dulu dan waktu-waktu mendatang. Kultur kerja. Selanjutnya, setelah peleburan, puisi-puisi Laut Pasang melegitimasi kultur kerja, bukan saja sebagai tugas umum, lebih dari segalanya, kerja sebagai tugas spiritual.
Kerja adalah transenden, karena itu, tanpa kerja, orang Surabaya merasa salah dan berdosa. Sekali lagi, kerja, inilah kebenaran. Inilah estetika. Selamat bekerja.
_______Komunitas Epik Surabaya
Sumber: http://www.facebook.com/notes/ribut-wijoto/surabaya-1962-kerja-sebagai-sumber-estetika/10150393649684024
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar