Hasnan Bachtiar *
__Shohifah SM Edisi 1 – 2012
ISLAM itu adalah dua hal. Pertama, adalah agama, sedang maknanya yang lain adalah ilmu. Dua kesimpulan ini terangkum jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an, maupun Sunnah Rasulullah sebagai cahaya-cahaya yang menerangi.
Namun sayang, sebagian golongan tidak pernah mengakui bahwa Islam itu adalah ilmu yang mulia. Bahkan, pengetahuan mereka hanya sebatas bahwa Islam hanyalah citra kebengisan, kepentingan politik dan iman masyarakat tribal, seolah belum pernah meraih peradaban. Itulah ironi, dari arogansi pengetahuan sebagian ummat. Suatu bentuk pengingkaran yang nyata.
Menggambarkan hal ini, Roger Garaudy di dalam bukunya yang terkenal, Promeses de l’Islam (1981), mencontohkan bahwa ada sebagian masyarakat yang tidak pernah mengakui kebesaran Islam. Misalnya saja, masyarakat Barat sejak abad ke 13, tidak pernah mengakui bahwa peradabannya yang sedang berkembang “sedikit” itu, sejatinya telah mewarisi dan berhutang budi pada peradaban Islam yang luhur.
Dalam buku dengan isi yang sama, namun berjudul L’Islam habite nore avenir, seorang filsuf Perancis ini mengungkapkan kekecewaannya pada peradaban Barat bahwa, “Telah sampai waktunya untuk insyaf, karena perkembangan Barat mendorong kita untuk hidup tanpa tujuan dan kematian. Mereka membenarkan dirinya dalam suatu kebudayaan dan ideologi yang keji” (1981: 17).
Para intelektual dunia telah mafhum bahwa, kegagalan Barat tersebut, antara lain karena anggapan dan sikap mereka yang terlampau meninggikan tiga hal. Pertama, meninggikan arogansi kepemilikan alam. Menurut mereka, alam adalah miliknya sendiri, bukan miliki dunia. Kedua, mereka mengimani konsepsi yang tak mengenal belas kasihan tentang hubungan manusia. Individualisme adalah ciri khas keseharian yang nampak positif, padahal juga bersifat mengekang diri sendiri maupun orang lain. Ketiga, mereka punya nilai yang menyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan. Dengan kata lain, menanggalkan kebenaran tentang ketuhanan.
Kiranya perlu contoh-contoh agar lebih terang persoalan-persoalan ini. Pertama, soal arogansi kepemilikan alam. Seolah-olah bagi mereka, manusia di seberang teritori, kebudayaan dan peradaban lainnya tidak berhak atas dunia. Dunia hanya patut mereka warisi. Perdamaian, HAM, kemajuan sains dan teknologi, seluruh bidang pengetahuan, citra dunia, hingga sumber daya alam seperti minyak, uranium (nuklir) dan kekayaan tambang lainnya, merekalah yang berhak mengelola, serta tentu saja “memilikinya”. Tidak heran jika dewasa ini, Israel, Perancis, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat hendak menggencarkan serangan militer ke Iran yang disinyalir telah mengembangkan nuklir.
Kedua, alih-alih mengapresiasi privasi dan hak pribadi, manusia Barat menciptakan masyarakat persaingan pasar, konfrontasi, dan kekerasan, di mana kehidupan ekonomi dan politik memihak yang kuat, sekaligus memperbudak atau memangsa mereka yang lemah. Tidak pernah ada di dalam sejarah bahwa negara dunia ketiga akan bangkit dan bersaing dengan negara adikuasa. Indonesia jelas tidak sebanding dengan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kekuasaan ekonomi dan politik (Barat), tidak pernah rela agar negara berkembang turut andil dalam pesta peradaban.
Ketiga, masyarakat Barat memelihara ateisme. Namun di sini, bentuk ateisme tersebut adalah spesifik. Memang ada banyak jenis ateisme. Misalnya saja, ada ateisme yang menyanyikan kematian Tuhan (Requiem aeternam deo) seperti Nietzsche, ada yang sangat relijius namun menolak agama (kekafiran relijius) seperti kisah Doktor Faust, ada pula ateisme yang mengakui agama dan tuhan namun memanfaatkannya untuk menjerat, merampok dan menguasai manusia lainnya yang mereka anggap sebagai liyan. Ateisme yang terakhir inilah yang lebih dekat dengan rasa putus asa akan masa depan. Sejatinya mereka beragama, namun tidak sungguh-sungguh menjalankannya, karena yang berlaku adalah birahi imperialismenya. Dalam khazanah latin, tradisi itu disindir dengan menyandang sebutan conquistadores atau kaum penakluk. Itu bukan sebuah prestasi.
Itulah persoalan-persoalan, di mana Islam sebagai al-din yang agung, pada akhirnya diremehkan atau bahkan hanya menjadi hal yang sepele saja. Namun ternyata yang mengagetkan, hal ini juga terjadi dalam kultur Timur, bahkan menjadi tutur dan laku masyarakat Islam itu sendiri. Kendati, dengan cara-cara yang berbeda, namun sama-sama merugikannya, bahkan jauh lebih buruk dari sikap masyarakat Barat. Orang Islam, merendahkan ketinggian Islamnya.
***
Pernah ada suatu ungkapan dari intelektual Mesir yang menghabiskan studinya di Perancis bahwa, Barat itu sedemikian maju karena meninggalkan agamanya. Berbeda dengan dunia Islam yang menjadi sangat merosot, karena para penganutnya telah meninggalkan Islam itu sendiri. Barat meraih peradaban, karena terbebas dari belenggu agama yang lebih banyak menekan dan menghilangkan dimensi kebebasan dan kemanusiaan. Namun sebagian masyarakat Islam, justru meninggalkan agamanya dengan membuat belenggu-belenggu baru, sehingga menghapus segala kebebasan. Demikianlah, manusia yang tidak merdeka adalah terpenjara oleh nafsu duniawi.
Meninggalkan Islam yang membebaskan, barangkali bisa dilakukan dengan memberinya makna yang kolot, bebal dan terlampau menjerat kebebasan atau kemerdekaan terhadap agama itu sendiri. Hal itu mungkin bisa “dimaklumi” karena terbentuk dalam kultur dan kondisi sosial yang beragam dan rumit. Menurut catatan Fazlurrahman, ada sebagian masyarakat Islam yang memilih untuk menjadi konservatif, pembela skripturalisme Islam dan sangat ketat terhadap hukum agama, hanya karena gagal membuat strategi kreatif dalam menghadapi modernitas, kolonialisme dan persaingan internasional.
Di Indonesia hal itu bisa disaksikan dengan mata telanjang. Yang miris, bahwa hal itu menjadi semacam penyakit (ironi) yang menjangkiti para intelektual Muslim. Ada banyak orang terpelajar, cendekia atau sarjana yang gagap dan gagal untuk menjawab tantangan zaman. Al-Quran dan hadits nabi dianggap sebagai hukum-hukum agama yang ketat, rigid dan tidak pernah kompromis dengan pelbagai bentuk hikmah dan kemanusiaan.
Setelah runtuhnya menara kembar WTC pada 11 September 2001, masyarakat Barat, antara lain Eropa dan Amerika menciptakan citra terorisme bagi keseluruhan masyarakat Islam. Ini semakin memperburuk keadaan, karena menambah langgeng tafsiran-tafsiran Islam yang membelenggu. Justru dari sini, yang menjadi pertanyaan mendesak bahwa, apakah dengan memperketat dan mendangkalkan makna Islam, maka akan menyelesaikan problem krusial di dunia internasional, khususnya menyangkut modernitas?
Kondisi-kondisi negatif yang menimpa sebagian umat Islam itu, paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pengetahuan yang sempit akan Islam, lahir karena kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan itu bisa berupa hasrat atau kehendak. Dalam beberapa kesempatan, salah seorang Grand Syeikh dari Universitas al-Azhar, Kairo, Profesor Abu Zahro’ menegaskan bahwa itulah arogansi atas pengetahuan Islam mereka. Karena otoritas kultur Islam yang tidak seberapa, mereka mengklaim paling tahu tentang Islam.
Kedua, kurangnya pengetahuan akan Islam yang tinggi (ya’lu wala yu’la ‘alaih), karena rasa minder yang akut. Sebagian masyarakat Islam, terjangkit inferiority complex (merasa rendah diri) tatkala bergumul dengan realitas dunia yang sangat rumit, bahkan kerumitannya melampaui solusi tekstual sederhana dari kitab suci. Mereka rendah diri dengan kemajuan masyarakat lainnya dalam pelbagai bidang. Alih-alih teori-teori, khazanah intelektual dan peradaban Barat, – yang sedang populer dan menanjak – adalah tidak sebanding dengan tingginya agama, namun sebenarnya, secara tidak sadar, justru mereka memalingkan makna agung dari agama tersebut, yang sejak dari wataknya adalah menerima kebenaran dan kebaikan dari manapun. Bukankah dalam Islam kita mengenal tradisi tentang, hendaknya membuka mata terhadap ayat-ayat kauniyah? Hendaknya kita berlapang dada dengan ilmu-ilmu Allah yang ada di mana-mana? Pernahkah kita merenungkan kredo, al-maslahah, syariatun (setiap kebaikan, itulah agama yang sejati)?
Ketiga, pengetahuan mereka berasal dari rasa kecewa yang mendalam akan peradaban lain, di luar apa yang mereka miliki. Eropa dan Amerika barangkali, merekalah yang paling gencar berkampanye soal demokrasi, HAM dan kemanusiaan, namun faktanya, mereka pula pelanggar nomor wahid di dunia. Tapi apa jadinya jika pengetahuan alias tafsiran akan Islam adalah buah dari kekecewaan? Bukankah Nabi SAW. mengajarkan bahwa makanlah makanan yang baik, berasal dari hal yang baik? Dalam falsafah yang lebih mendalam bahwa, bukankah kebaikan itu mestinya berasal dari kebaikan pula dan bukan kekecewaan? Artinya bahwa, kebaikan Barat, hendaknya juga diapresiasi, tanpa harus latah ke-barat-barat-an (Eurosentrisme).
Inilah gambaran nyata, fenomena yang unik, suatu ironi yang menimpa masyarakat Muslim sendiri, yang kiranya kesulitan untuk menjawab tantangan zaman. Karena seluruhnya adalah pemalingan makna yang “tinggi” dari Islam, baik itu karena arogansi maupun kebebalan, maka untuk menyelesaikannya adalah mengembalikan Islam pada maknanya yang sejati. Islam itu adalah agama dan pengetahuan yang agung.
***
Ada beberapa jalan untuk merubah ironi akan arogansi pengetahuan Barat dan Islam, yaitu mengapresiasi prinsip progresivitas, bersikap terbuka dan optimis, serta tidak terlampau emosional tatkala mencandra teks-teks keagamaaan.
Pertama, menurut Doktor Muhammad Iqbal, dalam the Reconstruction of Religious Thought of Islam (1951), Islam itu secara alamiah memiliki prinsip gerak yang mengarah pada kemajuan. Prinsip ini sangatlah universal dan berlaku menjangkau semua golongan. Seperti tuturan ummu al-kitab, “Alhamdulillahi rabbi al-alamin,” yang berarti segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, seluruh umat manusia pula. Prinsip ini dalam khazanah syariah, lazim disebut sebagai ijtihad. Ijtihad itu adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan manusia dengan sungguh, untuk mewujudkan bahwa al-Islamu, ya’lu wala yu’la ‘alaih, Islam itu tinggi dan paling puncak. Jika umat Islam berpegang pada prinsip progresivitas ini, maka dia akan melepas segala pikiran negatif, kebelakang maupun terbelakang dan obskurantis atau kehilangan nyali untuk menatap kemajuan.
Kedua, adalah open minded dan optimis. Seorang sufi besar Imam Ghazali pernah menuturkan bahwa, segala ilmu yang benar (al-‘ilmu al-syar’iyyah), datangnya tiada lain dari Allah SWT. semata. Kita sangat sulit mengabaikan hal ini, bahkan seorang intelektual Barat Non-Muslim, Karen Amstrong mengakuinya dengan segenap kerendahan hati. Segala teori, pengetahuan, kultur, kebiasaan, tradisi dan peradaban, dari manapun datangnya, selama tidak bertentangan dengan akidah karena sifatnya yang positif, maka Islam menerimanya. Kemajuan sains dan teknologi misalnya, harus dihargai dengan baik karena mengandung manfaat yang besar. Nabi mengajarkan bahwa, “Ilmu yang paling baik, adalah ilmu yang bermanfaat.”
Ketiga, dalam menafsirkan teks keagamaan, Islam mensyaratkan adanya pikiran yang sehat, hati yang bersih dan niat yang suci. Tradisi ini, seperti digambarkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri, adalah tradisi irfani atau nilai dan prinsip kebaikan batin tatkala berijtihad. Rasulullah SAW. memberi teladan akan adanya pikiran yang waras, tidak emosional, dengan pembawaan yang tenang , bijaksana, solutif, namun strategis. Umat Islam akrab dengan kisah adanya salah seorang sahabat yang kencing di dalam masjid, kemudian hendak dipenggal kepalanya oleh Umar ibn Khattab ra. yang saat itu sangat emosional dan tidak terkendali. Namun Rasul mencegahnya dengan senyum dan langkah yang penuh hikmah, menjelaskan bahwa di dalam Islam itu, kebersihan adalah sebagian dari iman. Itu adalah sikap terhadap hal sederhana, apalagi tatkala menafsirkan al-Quran yang mulia. Apakah diperkenankan seorang mufassir secara arogan memberi makna atas ayat-ayat Allah? Tentu saja tidak.
Para pembaca yang budiman, khususnya kaum Muslimin yang dirahmati Allah, marilah senantiasa menjunjung Islam yang tinggi di hadapan dunia, mengapresiasinya, mempelajari, memperdalam dan menyalakan api-api kegemilangan dalam hidup sehari-hari. Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.
*) Penulis pernah nyantri di bawah bimbingan KH. Abdullah Hasyim, Malang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar