Senin, 24 Juni 2013

Pulau Asap

Jefri al Malay
http://www.riaupos.com/

Setelah merasa tidak memiliki apa-apa selain kata-kata, akhirnya kuputuskan saja menulis surat ini padamu, Alifya. Hanya ini yang kubisa. Sedikit banyak, ianya mampu mengobati kerinduan yang tertancap di hati. Serupa pancang yang terpacak menjulang bertahun-tahun di tepian jambat, hanya berteman gelombang pasang surut, arus, terpaan angin, juga kebat tali sampan atau pompong yang melingkarinya. Sesekali singgah juga burung raja udang sekedar menjengah mangsanya kemudian terbang lagi, senyap lagi. Aku risau Alifya, takut kalau-kalau kerinduan itu menjadi usang, lapuk dan rapuh disebabkan terlalu lama meniti waktu yang tak pasti.
Tapi kau tahu, kenangan yang tak bisa kuungkai dalam pikiran ini kadangkala menjelma impian, seringkali membuat aku menginginkan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski kutahu itu bisa saja hanya menjadi sesuatu yang disebut mustahil.

Begitulah, akhirnya yang lebih berharga di sini, di keterasingan ini, kesepian ini, hanya kata-kata. Barangkali juga ianya tidak mampu merubah apa-apa, selain hanya serak dan remah yang kian lama tertimbun membusuk. Tapi sudah mutlak benarkah bahwa kata-kata tidak ada gunanya dan hanya sia-sia disebabkan terlalu banyak orang yang cuma bisa berkata-kata? Kemudian siapakah yang sudi mendengarkan dan mempercayainya? Siapakah yang peduli?

Entahlah. Setahuku, di dunia yang pernah kita ciptakan berdua dari untaian sajak-sajak cinta, dari kejujuran yang bersemayam di ceruk jiwa terdalam, roh kasih mencuat ke permukaan menjelma bahasa-bahasa kalbu, aku masih yakin, setidak-tidaknya engkau masih setia mendengarkan kata-kata serta mampu mengucapkannya sekaligus memahami maknanya. Bukankah itu lebih penting ketimbang terlalu banyak yang berkata-kata tanpa peduli dengan apa yang diucapkannya. Dan kau juga pernah berkata terlalu banyak kepedulian yang hanya sebatas ucapan ketimbang dilakukan. Aku setuju itu, mungkin ini jugalah alasan salah satunya kenapa kutuliskan surat ini untukmu, Alifya. Karena hanya engkau yang mungkin bisa percaya.

Akan kulanjutkan isi surat ini dengan menyebutkan kepadamu bahwa aku telah pun menemukan tujuan dari perjalananku selama ini. Perjalanan yang mengakibatkan cinta kita harus kandas sebatas cerita-cerita asmara di bawah batang getah, di dalam kebun ubi, atau di celah-celah kayu bakau di pantai. Tapi seperti yang telah kukatakan padamu perpisahan hanya butuh waktu untuk mengobatinya, percayalah.

Tetapi kalau sekiranya diperkenankan aku kembali bisa mengulang waktu, maka aku memilih menanti daripada pergi dengan memikul beban cinta dan setia. Apalagi kepergian yang tidak ada kepastian kapan bisa pulang membangun keping-keping rindu untuk utuh kembali menjadi cinta yang berujung kepada dermaga kebahagiaan. Dalam perjalan inilah kusadari satu hal. Dengan janji yang terlanjur terucap, aku telah mempertaruhkan “kebebasanku” sebagai seorang lelaki lajang untuk menutup rapat-rapat bilik asmara yang sejatinya pasti dimiliki oleh setiap manusia. Adakalanya hal tersebut mengganggu keseimbanganku, Alifya.

Tapi kau harus percaya. Itu tidak lagi menjadi persoalan. Lagi-lagi kukatakan hanya butuh waktu untuk membiasakannya. Jika kita ikhlas dan sabar menjalani hidup dan persoalan yang ada, tanpa disadari sebenarnya waktulah yang mampu mengobati segalanya.

Baiklah, akan kuceritakan bagaimana akhirnya aku mampu memutuskan untuk pergi ke suatu tempat, suatu tujuan yang jelas meskipun kedengarannya mustahil tapi tekadku telah bulat. Barangkali saja inilah tujuan terakhirku hingga sesudahnya bisa kutemui dirimu, dengan kesiapan yang mantap untuk bisa menerima apapun yang berlaku atas dirimu dan cinta yang sekian lama kutitipkan. Setidaknya kita bisa bertemu, bukan?

Sore itu aku duduk santai di sebuah jambat reot yang terdapat tidak jauh dari tempatku bekerja. Jambat yang senantiasa setia menerima keberadaanku untuk menumpahkan segala kisah dalam kesendirian ini. Di situlah aku mengungkai segala kenangan sambil menggoreskan bahasa kerinduan. Di jambat yang batang sungainya bermuara entah sampai di mana, yang airnya keruh, kuning kecoklatan, budak-budak yang menceburkan tubuh ke dalamnya, membasuh hari-hari mereka menjadi gelak dan tawa. Kadang aku larut bersamanya, seolah-olah ikut dalam ritual alam tersebut. Tentu saja aku juga menyaksikan orang-orang mendayung sampan, menumpangi harapan dari wajah-wajah mereka yang lelah. Tetapi air sungai itu, meski keruh dan berlinyang tetap saja sejuk sekaligus memberiku harapan ketika kususupkan kaki ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba saja aku melihat seseorang. Lelaki paruh baya yang setiap hari menghalakan sampannya ke arah timur, ke arah matahari terbit. Ya, setiap hari pula ia melambaikan tangannya kepadaku seraya menunjukan satu arah dengan memberikan isyarat dari telunjuknya itu. Selama ini memang tidak pernah kugubris tetapi hari itu saat dimana gerimis jatuh dari langit aku membalas lambaianya. Entah kenapa itu kulakukan, yang jelas lelaki itu kemudian mendayungkan sampannya ke arahku. Air sungai ketika itu naik pasang, sehingga dengan mudah ia merapatkan sampannya. Setelah bersalaman ia langsung mengambil tempat duduk disebelahku.

“Setiap hari aku melihat engkau duduk di sini, Nak?” ia memulai bicara.

“Mhhm…” anggukku singkat.

“Kerja di mana, Nak?” ia bertanya dengan ramah.

“Di pelabuhan itu, Pak…” sambil mengarahkan telunjukku ke pelabuhan satu-satunya yang memunggah penumpang di kota ini. “Sebagai cleaning service,” tambahku pula.

Ia hanya mengangguk beberapa kali. Kemudian dengan nada yang agak berat ia melanjutkan. “Di kota mencari kerja tidak mudah, apalagi bagi orang-orang yang tidak memiliki saudara atau kenalan yang mempunyai pengaruh atau jabatan. Skill dan ijazah saja tidak menjamin untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi pasti engkau juga mengetahuinya Nak, setiap hari selalu saja ramai orang datang ke kota walau hanya dengan modal nekat, mereka datang untuk memburu sesuatu, entah itu impian, cita-cita atau apa sajalah yang ada dalam pikiran mereka. Dan kita tentu memakluminya itu sebagai perjuangan.” Lalu ia tertawa kecil. “Itulah hidup, harus diperjuangkan Nak…”

Gerimis masih berjatuhan menciptakan riak kecil di air sungai serupa jarum-jarum halus yang turun dari langit. Alifya kekasihku, akhirnya seperti yang telah kuduga sebelumnya, ia menceritakan banyak hal kepadaku. Meski menurutku tidak ada satupun yang menarik, tetap saja aku menjadi pendengar yang setia. Ia terus sibuk bercerita dan tak menghiraukan sekeliling, hingga sampailah akhirnya ia menceritakan sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Pulau itu sudah ada sejak dahulu kala, katanya. Meski tak terdeteksi abad ke berapa ianya mulai dihuni namun tak pernah terjamah oleh manusia kebanyakan kecuali orang-orang pilihan.
“Pulau yang terbungkus kabut asap?” aku memotong ceritanya. “Bagaimana bisa?”

“Apa yang tidak bisa di alam yang luas terbentang ini, Nak? Khayalan yang ada dalam pikiranmu bisa saja menjadi kenyataan di lain tempat atau di lain waktu, siapa yang tahu? Pernahkah suatu saat kau ingin melarikan diri dari berbagai persoalan yang dihadapi. Lari ke suatu tempat, di dalamnya terdapat kehidupan serupa taman. Dengan bunga yang dipinang cinta dan kejujuran, bangku-bangku, meja dan pot bunga serta pohon-pohon rindang yang ditata dalam kesetaraan. Orang-orang saling berbincang dalam kesopanan, berkata sambil menghayati kata-katanya, peduli dan segera melakukan apa yang diucapkan, kemudian ada banyak waktu untuk meresapi wajah mentari dan rembulan di balik tahta kerajaan alam, pernahkah Nak?”

Aku hanya melongo sambil melihat wajah lelaki itu. Ada energi aneh yang menarikku sehingga seolah-olah aku masuk ke dalam tatapannya. Tatapan kebahagian yang mengatasi keduniawian. Samar-samar aku seperti dapat melihat sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Dari jauh ia berbentuk seperti gumpalan-gumpalan awan sementara disekelilingnya adalah samudera maha luas. Benarkah itu sebuah pulau?

Sayangnya aku tidak dapat melihat lebih banyak lagi Alifya. Lelaki itu buru-buru berkata dan tiba-tiba saja penglihatanku itu lenyap dalam sekejap. “Itulah pulau yang disebut sebagai Pulau Asap.”

Tapi kau jangan berpikiran asap yang mengelilingi pulau itu seperti kabut asap yang ada di tempat kita, Alifya. Ianya bukan asap yang ditimbulkan dari pembakaran hutan. Bukan kabut asap yang dapat menyebabkan kita terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bukan pula kabut asap yang datang selayaknya musim panas atau musim hujan yang menjadi ritual tahunan di negeri kita ini, tidak Alifya.

Menurut lelaki itu, asap yang menyelubungi pulau tersebut hanya serupa gumpalan asap namun tidak memiliki resiko apa-apa bagi yang menghirup udara di sana. Bahkan konon asap tersebut menjadi perisai agar sesuatu yang buruk, baik itu manusia dan niatnya maupun hal-hal yang tidak baik tidak bisa dan tak akan pernah sampai ke sana.

“Ini aneh, jika pulau itu memang ada, bagaimana mungkin tidak banyak orang tahu tentang pulau asap itu?” tanyaku penuh curiga, jangan-jangan lelaki paruh baya ini hanya bersenda-gurau atau malah mau mempermainkanku.

Ia diam sejenak, menatapku dan sepertinya ingin meluruskan keraguanku. “Hanya orang-orang pilihan yang bakal tahu sebab aku tahu dengan siapa saja boleh kuberitakan hal itu, dan aku adalah juru kunci menuju pulau asap, akulah yang mengangkut para penumpang yang benar-benar siap berangkat menuju ke sana, tentunya dengan beberapa syarat, bijak dan jujur, ingat itu!” ia segera turun ke sampan dan meraih dayung, memutar haluan lalu berkayuh.

Aku ditinggalkannya dengan sejuta tanya di kepala, tapi kemudian kudengar ia berseru, “Kalau Anak hendak ke sana, siap-siaplah jam dua belas malam ini, aku jemput engkau di jambatmu itu,” lalu ia menolehku sambil tersenyum penuh misteri. Kemudian ia melaju dalam kayuhnya, menghilang ditelan rintik gerimis yang belum jua berhenti.

Alifya, seperti kataku tadi, tekadku telah bulat. Aku akan berkemas dan segera berangkat menuju ke Pulau Asap. Sebuah pulau di mana kata-kata tidak hanya jadi slogan, tidak hanya sebatas semboyan dan janji-janji belaka. Di mana kata-kata diucapkan untuk segera dilakukan, tidak terbiar begitu saja menjadi baliho-baliho usang, spanduk-spanduk lapuk dan undang-undang yang berkarat seperti di negeri kita ini.

Selamat tinggal Alifya. Ingat selalu padaku. Berilah doa restu. Jika kelak aku kembali, pasti kuceritakan perihal negeri asap itu dan jika ada kesempatan mungkin saja aku akan membawamu ke sana. Ke pulau impian seperti yang pernah kita bayangkan, sebuah negeri yang tidak hanya dimabukkan dengan sebatas kata-kata belaka.

Pekanbaru, 9 April 2009
Tuan Junjunganmu, Wahidin
***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi