Ahda Imran
http://www.pikiran-rakyat.com/
DALAM sejarahnya, Aceh tak pernah sepi dari perbincangan. Mulai dari kekayaan alamnya, masa lalu yang gemilang dengan sejumlah kerajaan besar, perlawanan rakyatnya terhadap kolonialisme, masa suram di tengah berbagai konflik, hingga bencana tsunami. Seluruhnya terekam dalam perkembangan karya sastra di Aceh, mulai sejak Hamzah Fanzuri, Nuruddin Ar-Raniry, Chik Pante Kulu, hingga generasi terkini, karya sastra Aceh merepresentasikan perkembangan sejarah yang menarik, baik sejarah ihwal Aceh dan kekayaan budayanya ataupun sejarah dalam kesusastraan itu sendiri.
Satu hal yang senantiasa tak lepas dari karya-karya sastra Aceh adalah perlawanan. Karya-karya perlawanan tak hanya muncul semasa kolonialisme Belanda, ketika “Hikayat Perang Sabil” karya Chik Pante Kulu menggerakkan seluruh rakyat untuk melakukan perlawanan. Bahkan hingga hari ini, semangat perlawanan terus terasa kuat dalam karya para sastrawan Aceh, termasuk perlawanan terhadap Jakarta semasa Orde Baru, menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Tak ada satu pun antologi puisi karya para penyair Aceh, yang tidak menyuarakan perlawanan dan tuntutan terhadap keadilan. Di lain sisi, Aceh pun menghadirkan tangis ketika tsunami melanda di akhir tahun 2004 lalu. Sekali lagi, Aceh diliputi kemurungan yang amat terasa dalam sajak-sajak penyairnya yang terkumpul dalam antologi “Ziarah Ombak”.
Aceh dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tak hanya bersebab pada sejarah estetika pengucapannya, melainkan juga sejarah yang merepresentasikan fenomena kekuasaan yang berlangsung. Terakhir, sejarah Aceh hadir dalam lanskap bencana tsunami, perdamaian, dan perubahan besar, yang terjadi di tengah arus kehidupan sosial masyarakatnya.
**
MEMANDANG dan membaca kembali perkembangan sastra Aceh sebagai bagian dalam perkembangan sastra Indonesia inilah tampaknya yang hendak diusung oleh Aceh International Literary Festival di Banda Aceh, 5-7 Agustus 2009. Selain menghadirkan sejumlah sastrawan dari Jakarta, Medan, Yogyakarta, Solo, Bali, Bandung, Cirebon, dan Kudus, festival ini juga diikuti oleh para sastrawan dan peserta dari Italia, Austria, Australia, Cina, dan Malaysia. Selain pembacaan karya para sastrawan, festival ini juga menggelar seminar yang menghadirkan pembicara kritikus sastra Katrin Bandel dan Maman Mahayana serta penyair Aceh, D. Kemalawati.
Ketiga pembicara seminar meletakkan Aceh sebagai fokus perbincangan dengan berbagai konteks persinggungannya dalam isu kesusastraan Indonesia, termasuk ihwal politik sastra. Meski semangat perlawanan dalam karya-karya sastra Aceh tampaknya menjadi sorotan menarik, seperti mengemuka dalam pandangan Katrin Bandel. Merujuk pada sajak-sajak Fikar W. Eda, Katrin melihat bahwa ada semacam semangat perlawanan yang sama antara puisi-puisi Fikar dan Wiji Thukul.
“Hanya saja, jika Wiji Thukul menggunakan sajaknya untuk menyuarakan perlawanan suatu kelas yang ditindas oleh sebuah rezim kekuasaan, maka semangat perlawanan dalam sajak Fikar W. Eda lebih pada perlawanan suatu etnis yang diperlakukan tidak adil, bukan pada kelas sebagaimana Wiji Thukul,” ujar Katrin.
Sementara itu, Maman Mahayana lebih menyarankan pada pembacaan ihwal sejarah perkembangan sastra Aceh di hadapan berbagai situasi. Ada tiga konteks perkembangan yang coba diamati Maman, dari mulai masa kolonialisme, Orde Baru, dan DOM. Dalam amatannya, Aceh dan tsunami telah menjadi ruang bagi babak penyadaran bahwa segala konflik berdarah mesti dihentikan.
“Tentara, polisi, GAM, guru, penyair, PNS, sampai pedagang, sesungguhnya hanyalah label profesi. Ia melekat pada manusia Aceh, manusia Indonesia, yang ingin menjalan hidup sebagai manusia bermartabat. Lalu mengapa pula label itu dimaknai sebagai sumber perbedaan yang berujung pada pertumpahan darah? Aceh kini bukan lagi milik aku atau engkau, kami atau mereka. Aceh adalah kita dan kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Aceh,” ungkap Maman.
Merujuk pada antologi “Ziarah Ombak” yang memuat 130 puisi karya 48 penyair Aceh, Maman memandang, bagi para penyair Aceh, tsunami merupakan kedatangan yang penuh misteri karena misteri itu menutup seluruh jawaban, maka bagi posisi penyair di situ hadir untuk menyuarakan semacam persaksian, sekaligus menariknya ke dalam ruang-ruang refleksi.
Sejumlah besar puisi dalam antologi tersebut, menyimpan begitu banyak peristiwa yang bersumber pada satu kata: tsunami. Satu hal yang tersirat dari sejumlah persaksian para penyair dalam sajak-sajak mereka adalah betapa kesadaran akibat peristiwa itu hadir dengan berbagai latar belakang. Artinya, kesadaran itu tidak muncul begitu saja. Ada berbagai konteks sejarah yang diusung oleh kesadaran tersebut.
“Antologi ini bukan hanya mewartakan banyak hal tentang sebuah tragedi. Tapi juga membawa begitu banyak tumpukan kisah yang tak terucapkan. Ia menyimpan trauma yang juga berasal dari sejarah Aceh itu sendiri. Sejarah yang agung dan berdarah-darah,” ujar Maman, seraya meyakini bahwa sastra Indonesia tinggal menunggu lahirnya karya-karya sastrawan Aceh, yang bisa memberi penanda penting dalam perkembangan sastra Indonesia.
Tak berbeda dengan Maman Mahayana, D. Kemalawati banyak mengurai sejarah perkembangan kesusastraan Aceh, termasuk sejumlah karya yang mengangkat semangat perlawanan dan rasa sakit semasa DOM. Namun pada bagian lain, ia memaparkan kondisi perkembangan terkini dalam dinamika sastra di Aceh. Satu hal yang mungkin terasa mengejutkan adalah kenyataan bahwa baru kali inilah, pegiat sastra di Aceh bisa menerbitkan kumpulan puisi para penyair perempuan, “Lampion”. Tampaknya, inilah yang telah lama dimimpikan.
Sayangnya, D. Kemalawati tidak mengajak forum untuk menelisik sebab-musabab mengapa baru kali ini perempuan bisa tampil dalam sastra Aceh. Akan tetapi lepas dari soal itu, masa perdamaian memang telah membawa perkembangan sastra Aceh dalam kondisi yang menggembirakan, dari mulai munculnya para pegiat sastra yang mendirikan penerbit kecil-kecilan, hingga penghargaan terhadap para sastrawan. Namun demikian, seluruh perkembangan itu belum dibarengi oleh lahir dan tumbuhnya para kritikus sastra.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 27 Februari 2010
PROBLEM UNIKUM DAN UNIVERSALITAS
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Cerpen Indonesia, kini, makin menunjukkan jati dirinya sebagai bagian dari kultur keindonesiaan. Ia tidak hanya datang dari berbagai wilayah yang selama beberapa dekade seolah-olah belum terpetakan, melainkan mengada lantaran di belakangnya ada kegelisahan kultural. Kegelisahan, bahkan kepedihan dan sekaligus juga kemarahan yang datang dari berbagai macam komunitas itu, memang selama ini senantiasa ditenggelamkan oleh kejahatan sentralitas. Hiruk-pikuk yang terjadi di sana seperti dianggap senyap, padahal ia justru mewakili ungkapan hati nurani dan harapan sosio-budayanya. Ada luka budaya di belakangnya, dan di depannya, ada keinginan, hasrat, harapan untuk memberi dan menyumbangkan sesuatu bagi Indonesia.
Kejahatan sentralitas telah membunuh begitu banyak kekayaan, potensi, dan keberagaman sosio-kultural. Maka, ketika cerpen Indonesia memperlihatlkan sebuah panorama kultural yang kaya dengan berbagai keberagamannya, kita seperti diberi penyadaran tentang jalan yang benar dalam memahami keindonesiaan. Dari panorama itu, misalnya, kita dapat menangkap sebuah ceruk dari salah satu gugusan kepulauan kita. Seketika dan tiba-tiba saja kita laksana dihadapkan pada sebuah unikum yang problem dan semangatnya dapat kita kenali, tetapi kenyataannya tokh itu tidak ada dalam wilayah kultur kita.
Sederet pertanyaan dapat kita sampaikan: Bagaimana kita dapat memahami unikum itu, jika kita sama sekali belum menyentuhnya? Tak kenal, maka tak sayang. Maka, kenalilah Indonesia itu dari kekayaan kulturnya yang beragam dan melimpah. Bukankah pemahaman atas sebuah kebudayaan dapat juga dilakukan melalui karya sastra? Bukankah karya sastra sesungguhnya merupakan representasi dari ruh kebudayaan masyarakat yang mengelilingnya: melahirkan dan membesarkannya? Baca dan pahami kesusastraannya, maka kita akan sampai pada ruh kebudayaannya. Bukankah pemahaman karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan selengkapnya, jika kita tidak melepaskannya dari problem sosio-budaya komunitas yang bersangkutan? Maka, cantelkanlah ekspresi estetik itu dengan kegelisahan kultural.
Di situlah cerpen Indonesia menjadi sebuah wacana lain tentang sejarah, budaya, masyarakat, kawasan, etnik, dan entah apa lagi. Cerpen Indonesia seperti hendak mengembalikan pemahaman kita tentang Indonesia dan keindonesiaannya yang selama ini dijejalkan secara ahistori.
***
Buku antologi cerpen ini adalah salah satu contoh kasus. Ia merepresentasikan keberagaman, meski semangatnya masih mungkin dapat digeneralisasikan. Sejumlah cerpen yang dimuat dalam antologi ini datang dari berbagai belahan kota di Indonesia. Dengan demikian, ia sesungguhnya potensial menawarkan potret keindonesiaan, jika pemilihan atas sejumlah cerpennya dilakukan dengan semangat itu. Tetapi, apa pun hasilnya, itu soal lain lagi. Semangat menghimpun sejumlah karya dari sejumlah latar kepengarangan yang beragam, sungguh merupakan sebuah kerja yang mustahak. Maka, dalam konteks itulah, sepatutnya kita memberi apresiasi terhadapnya.
Secara estetik sebagian cerpen dalam antologi ini seperti hendak menunjukkan semangat pencarian. Dalam kerangka itu, yang cukup menonjol dari semangat pencarian itu adalah kesibukan pengarangnya mengeksploitasi bahasa. Terkesan, bahasa menjadi unsur sangat penting. Seolah-olah, diksi –pilihan kata—dan rangkaian bahasa, sengaja dieksploitasi untuk membangun narasi puitik. Padahal, narasi hanya salah satu unsur belaka. Masih ada unsur lain yang juga perlu perhatian. Akibatnya, latar, tema dan unsur intrinsik lain, seperti terlalaikan.
Meski pengarang mempunyai kebebasan memilih style atau apa pun, pilihan itu tentu saja membawa konsekuensinya sendiri. Ketika seseorang cenderung sibuk memainkan bahasa –narasi—menjadi sesuatu yang wajar jika hal lain kurang tergarap secara berimbang. Maka, yang tampak kemudian adalah sebuah lukisan dengan garis warna-warni dengan goresan yang matang, gagap, selintasan, agak ragu, atau sekadar menggambar, dan tidak berniat membuat sebuah lukisan. Ekspresi yang digoreskan melalui sejumlah warna seperti digayuti semangat menemukan warna baru yang berbeda dengan sejumlah warna yang konvensional. Pada gilirannya, tidak sedikit di antaranya yang membangun sebuah gambar menarik, tetapi tidak sampai membentuk lukisan. Mungkin ia lebih pas sebagai sketsa, boleh jadi juga sekadar garis-garis warna. Ada semangat membuat lukisan abstrak, tetapi kualitasnya sekadar nyeleneh, aneh, dan asal beda. Jadi, antologi ini, dalam beberapa hal, sudah berhasil membuat gambar yang memukau, tetapi di sana hanya beberapa yang masuk kategori lukisan. Bukankah gambar dan lukisan memperlihatkan kualitas estetika yang berbeda?
Tentu saja pandangan itu masih dapat kita perdebatkan. Setidak-tidaknya, dalam beberapa cerpen yang lain, saya menemukan lukisan. Tidak indah memang, tetapi itulah lukisan yang berbeda dengan gambar. Estetika tidak selalu mengangkat segala yang indah. Yang buruk dan menjijikkan, jika itu digoreskan melalui warna-warna dengan komposisi yang pas, niscaya akan menyeruakkan estetikanya sendiri.
***
Antologi cerpen ini memuat 15 cerpen, dua di antaranya karya maestro cerpen Indonesia: Ahmad Tohari (“Mata yang Enak Dipandang”) dan Hamsad Rangkuti (“Muntah Emas”). Dari-ke-15 cerpen itu, saya menemukan sedikitnya tujuh cerpen yang memokuskan diri pada usaha mengeksploitasi bahasa, dan satu cerpen dengan problem yang agak lain. Periksalah cerpen-cerpen “Perempuan Porselen” (Dewi Alfianti), “Wanita yang Melukai Tubuhmu dengan Pisau” (Harie Insani Putra), “Patrem sudah Kugenggam” (Hermawan Aksan), “Darah di Kamar Sebuah Hotel” (Iis Wiati), “Janji itu telah Diucapkan di Masa Lalu. Ingat?” (Nenden Lilis Aisyah), “Khilafah Cinta” (Sainul Hermawan), “Kematian yang Terlalu Pagi” (Sandi Firly), dan “Perahu” (Shanti Ned).
Meski di sana-sini ke-7 cerpen ini memperlihatkan kelebihan dan problemnya sendiri, kita (: pembaca) seperti dihadapkan pada gagasan-gagasan abstrak tentang cinta, kerinduan, dan dendam melalui narasi yang sengaja dikemas agar terkesan lebih puitik. Dengan cara itu, maka segala unsur intrinsik yang ada di sana, sesungguhnya menjadi sangat umum. Usaha membangun ciri universalitas itu –apalagi dengan kemasan bahasa puitik—memang menjadikan cerpen-cerpen itu enak dibaca, terkesan seolah-olah indah, tetapi bukankah cerpen tidak sekadar enak dibaca?
Sekadar contoh, periksalah cerpen “Perempuan Porselen” yang hendak mengkontraskan dua jenis cinta: cinta pada sesama yang berakibat pada kefanaan dan cinta pada Sang Khalik yang membuahkan keabadian. Bukankah siapa pun di dunia ini bisa mengalami cinta yang seperti itu. Putus cinta pada sesama yang berakhir dengan bunuh diri dan cinta pada Sang Khalik justru menumbuhkan cinta pada alam semesta. Problemnya kemudian: di manakah unikum? Tidak kita jumpai, lantaran desakan membangun universalitas terlalu dominan. Pada gilirannya, universalitas itu justru jatuh pada keumuman.
Hal yang sama juga terjadi pada cerpen “Wanita yang Melukai Tubuhmu dengan Pisau”, “Janji itu telah Diucapkan di Masa Lalu. Ingat?”, “Khilafah Cinta”, “Kematian yang Terlalu Pagi”, dan “Perahu”. Siapakah si aku, sang ibu, anak, suami atau tokoh-tokoh yang menghadirkan segala peristiwa di sana? Bisa siapa pun. Ia tidak terikat oleh wilayah etnik atau suku bangsa. Ia manusia pada umumnya. Universal. Di sini, gagasan dimanfaatkan sebagai saklar yang menghidupkan cerita mengalir entah ke mana. Ia seperti ingin melepaskan diri dari konvensi dan coba mengembalikan cerita (narasi) sebagai cerita. Maka, daya tarik cerpen dengan style semacam ini adalah kekuatan menghadirkan metafora dan simbolisme.
Cermati cerpen “Janji itu telah Diucapkan di Masa Lalu. Ingat?” (Nenden Lilis Aisyah). Unikum diabaikan lantaran ia hendak mengeksploitasi gagasan tentang cinta, rindu, dan entah apa lagi. Maka, rangkaian peristiwa seperti mengalir begitu saja dan berhenti entah kapan dan entah di mana. Sebuah style yang mengingatkan saya pada novel-novel Iwan Simatupang atau Putu Wijaya. Siapakah aku, dia dan tokoh lain yang ada di sana? Segalanya sangat mungkin sekadar gagasan yang kemudian coba diterjemahkan melalui lakuan dan pikiran tokoh-tokohnya. Ia memang mengasyikkan. Tetapi selepas itu, apa yang dapat kita tangkap? Ya, gagasan itu.
Problemnya lain lagi dengan cerpen “Perahu” karya Shanti Ned. Ia berada dalam garis demarkasi antara cerita yang digagaskan dan cerita yang digambarkan. Dendam si istri adalah potret buram problem domestik yang kerap terjadi dalam kehidupan rumah tangga di belahan dunia ini. Ia merepresentasikan kemarahan dan bentuk perlawanan kaum perempuan atas dominasi laki-laki. Ia bisa terjadi di sembarang tempat di mana pun juga. Ia terlepas dari sekat kultur dan etnisitas. Maka, tokoh aku (ibu), anak, dan suami sekadar status sosial yang nemplok dalam kawasan domestik. Mereka adalah simbol yang melekat dalam kehidupan rumah tangga. Ia universal, meski juga –dalam cerpen itu— cenderung jatuh pada keumuman.
Di manakah unikum? Kembali, kita tidak menjumpainya.
Satu cerpen lagi yang berada pada garis demarkasi itu adalah “Patrem sudah Kugenggam” karya Hermawan Aksan. Pengarang dengan baik memulai kisahannya lewat sebuah patrem –senjata tradisional yang hendak digunakan membunuh kekasih selingkuhannya. Tetapi rupanya, senjata itu sekadar pintu masuk untuk mengungkap kegelisahan si tokoh aku atas skadal perselingkuhannya itu. Ia ingin mengakhirinya. Dan patrem itulah, senjata pamungkasnya.
Patrem yang khas yang berkaitan dengan kultur etnik, tiba-tiba saja tergelincir menjadi benda biasa. Ia tak hadir sebagai salah satu ikon kultur etnis. Di sana, kita tak menjumpai makna kultural. Ia sekadar sebuah senjata yang fungsinya sama seperti belati, pisau lipat, atau silet. Lalu, apa maknanya patrem, jika fungsinya sama saja dengan benda lain yang tidak punya nilai mitis? Persoalannya akan lain jika senjata itu telah menghabisi ratusan manusia, punya aura gaib, dan mereka yang menghunus tak dapat melepaskan diri dari keinginan menumpahkan darah. Ia benar-benar jadi senjata pusaka yang haus darah. Di akhir cerita, rencana pembunuhan itu pun batal, lantaran perselingkuhan itu memang indah. Sebuah cara mengakhiri cerita yang mengecoh, meskipun pola itu kini sudah mulai klise.
Problem yang dihadapi cerpen “Darah di Kamar Sebuah Hotel” (Iis Wiati) agak berbeda dengan beberapa cerpen yang sudah dibincangkan tadi. Sama halnya seperti cerpen Hermawan Aksan yang menggunakan patrem sebagai pintu masuk, Iis mengawalinya dengan kalimat: “Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari pertama serangan AS ke Irak, sebuah takdir mempertemukanku dengan seorang perempuan istimewa di sebuah mal.” Sebuah awal yang menarik. Tetapi kemudian menjadi persoalan ketika saya tidak menemukan hubungan antara serangan AS ke Irak dengan rangkaian peristiwa berikutnya. Jika begitu, apa maknanya serangan AS ke Irak dalam kalimat itu? Rupanya kalimat itu sekadar pintu masuk yang penekanannya justru pada anak kalimat: “sebuah takdir mempertemukanku dengan seorang perempuan istimewa di sebuah mal.” Dari sana, cerita terus berkelindan –mirip cerita detektif—hingga sampai pada kesimpulan: terbongkarnya kasus pembunuhan.
Iis Wiati agaknya hendak menghukum lelaki yang penasaran –atau yang terlalu mengagungkan—ihwal virginitas –keperawanan. Dengan jalinan cerita yang agak berliku itu, pengarang seperti hendak membawa pembaca pada perangkap tegangan (suspense), sebuah pola yang menjadi kekuatan cerita-cerita detektif. Jika saja pengarang tidak melakukan penghukuman dan membiarkan akhirnya ceritanya tetap terbuka (open ending), sangat mungkin cerpen ini akan memancarkan daya greget yang jauh lebih asyik.
***
Di luar kedelapan cerpen yang dibicarakan tadi, saya menjumpai cukup banyak unikum. Di sini, yang tampak adalah sebuah peristiwa yang tak dibayangkan, tetapi yang justru menjadi kegelisahan selepas ia jadi pengalaman batin. Pengalaman itulah yang menciptakan kegelisahan. Pengalaman itu pula yang coba disajikan dari sudut pandang yang khas, yang berbeda dengan pandangan khalayak. Ia tidak jatuh pada persepsi dan pemaknaan massal. Ia jadi pengalaman individual yang khas yang pemaknaannya bergantung dari sudut makna subjek menerjemahkannya. Itulah unikum. Tetapi, apakah dengan demikian ia menafikan universalitas? Di sinilah karya sastra yang baik kerap memancarkan aura unikum dan sekaligus universalitas. Peristiwanya unik, khas, tetapi ketika ia ditarik sebagai problem kemanusiaan, ia universal. Ia menjadi masalah manusia dan kemanusiaan yang berlaku sepanjang zaman yang bisa menimpa siapa pun dan terjadi di mana pun.
Cerpen “Mata yang Enak Dipandang” karya Ahmad Tohari tampak begitu sederhana dengan tokoh-tokoh yang juga sederhana: pengemis picek! Peristiwa ini adalah pemandangan yang umum kita jumpai di berbagai stasiun di negeri ini. Para pengemis yang menadahkan tangan kepada para penumpang kereta. Peristiwa yang sangat biasa. Tetapi, lihatlah perilaku tokoh Tarsa yang melakukan eksploitasi atas kepicekan pengemis itu. Ada penindasan atas sesama: exploitation de l’homme par l’homme. Bukankah penindasan manusia atas manusia sudah terjadi beriringan dengan perjalanan sejarah manusia.
Lihat pula orang-orang kaya yang menjadi penumpang kereta api eksekutif. Orang-orang yang matanya tak enak dipandang. Mereka tak punya rasa belas kasihan, tidak peduli pada kemiskinan yang berada di sekelilingnya. Bukankah orang-orang macam itu bertaburan di belahan bumi ini? Itulah universalitas. Di mana pula unikumnya? Ya, pada diri tokoh-tokoh itu, pada latar stasiun itu, pada problem yang diangkat pengarangnya itu. Bukankah semua itu khas kehidupan pengemis yang mencari nafkah di stasiun-stasiun. Potret itu tidak mungkin terjadi di Kuala Lumpur, Singapura, Tokyo, atau New York.
Cerpen Erwan Juhara, “Parno Loewak”, meski masih terkesan seperti keseleo, setidak-tidaknya ia merupakan potret diri kehidupan para penulis di negeri ini. Ia juga tak berlaku di Malaysia, Singapura, Jepang, atau di negeri-negeri yang masyarakatnya menghargai kreativitas dan karya intelektual. Di sini, Erwan Juhara seperti sengaja tak memasuki hakikat masalahnya. Ia sekadar membuat sketsa yang terasa begitu ironis.
Cerpen “Muntah Emas” karya Hamsad Rangkuti adalah contoh ketajaman naluri sastrawan. Ia menempatkan muntah –yang menjijikkan itu—dari sudut pandang yang tak lazim, khas, dan sangat subjektif. Kisahnya sendiri begitu sederhana dan tidak istimewa. Bukankah kita sudah sangat biasa melihat orang muntah? Di sinilah subjek pengarang memainkan peranan penting dalam melihat sesuatu yang sangat biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. Itulah sastra!
Agak berbeda dengan cerpen “Muntah” yang terkumpul dalam antologi Lukisan Perkawinan, cerpen “Muntah Emas” dalam antologi ini seperti hendak memperolok-olok kita yang sering terperangkap oleh stigma. Jika dalam cerpen “Muntah” Hamsad Rangkuti hendak menekankan keagungan cinta kekasih, tetapi kemudian berubah setelah menjadi suami—istri, dalam “Muntah Emas” pengarang coba menggugat banyak hal tentang stigma yang sebenarnya diciptakan sendiri. Muntah dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan, padahal ia diproduksi oleh tubuh kita sendiri. Lalu, mengapa pula harus diperlakukan sebagai barang jahanam yang harus dijauhkan dari diri kita. Begitulah, pandangan buruk tentang muntah pada akhirnya seperti mengucilkan orang yang memproduksinya. Padahal, tentu saja pada dasarnya orang tidak mau muntah di sembarang tempat. Di situlah kecerdasan pengarang dalam mengolah sesuatu yang biasa itu menjadi luar biasa. Maka, harus dihadirkan tokoh yang nyeleneh, tokoh yang cara berpikirnya berbeda dengan pandangan masyarakat.
Dengan pola yang sama seperti pada umumnya cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti, kejutan –setelah pembaca digiring ke suatu tempat sesuai dengan kehendak sang tokoh—muncul di akhir cerita. Saya membayangkan, cerpen Hamsad Rangkuti ini seperti gambaran tentang seorang pemain sepakbola yang piawai. Ia membawa, menggiring, menggoreng bola melewati sejumlah pemain lawan. Penonton terpesona pada kepiawaiannya. Decak kagum dan tepuk tangan pun bergemuruh. Dan ketika kekaguman penonton memuncak dan si pemain bola itu sudah berhadapan dengan penjaga gawang, bahkan kini berada persis di depan gawang yang kosong, si pemain bola itu, justru tidak memasukkannya ke gawang lawan. Ia malah menendangnya ke luar lapangan. Itulah cara mengecoh yang cerdas, meski membuat pembaca tidak dapat menyembunyikan kejengkelannya.
Cerpen “Malaikat Datang tidak Bersayap” (Jamal T. Suryanata) mengawali kisahannya dengan peristiwa yang agak surealis. Dari sana, peristiwa bergulir hingga sampai pada gerakan buruh dan penculikan tokoh ibu –yang aktivis—oleh aparat keamanan. Sebuah kisah yang mengingatkan kita pada nasib Marsinah. Yang menarik dari cerpen ini adalah kekalahan kaum perempuan. Mula-mula ibu menggantikan posisi dan peran ayah, tetapi akhirnya si ibu kalah oleh tangan raksasa kekuasaan. Posisi nenek yang berada dalam bayang-bayang tokoh aku, juga diposisikan sebagai pembohong. Dalam konteks psikologi, Jamal T. Suryanata seperti menafikan konsep Oedipus Complex atau Electra Complex. Keduanya tidak berlaku, tetapi di sana ada problem psikologis yang mengeram dalam diri si tokoh ketika ia memandang posisi ayah—ibu.
Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, “Ke Negeri yang Jauh” –seperti juga cerpen-cerpennya yang lain, menyajikan sebuah kisahan yang lancar, mengalir, dan agak berkelak-kelok. Ujungnya adalah sebuah pesan ideologis yang dalam cerpen itu tersirat menyodorkan semangat rekonsiliasi atas konflik agama di Ambon. Ratna seperti sengaja bertindak dengan sangat hati-hati. Maka, pesan ideologis itu terasa begitu tersembunyi.
Agak menarik cerpen “Tahi Lalat di Punggung Istriku” karya Ratih Kumala, terutama menyangkut persoalan lesbianisme dan pemanfaatan bentuk penceritaan. Di bagian awal dikisahkan, betapa sang suami begitu hanyut oleh keindahan tahi lalat yang berada di punggung istrinya. Tahi lalat itulah yang memberi nilai lebih dalam hubungan suami—istri. Sementara itu, pandangan istri lain lagi. Sang Suami lebih mencintai tahi lalat itu daripada dirinya. Maka, operasi plastik untuk membuang tahi lalat itu, dilakukan si Istri. Tetapi apa yang terjadi? Kegairahan suaminya berkurang. Pada saat itulah, Ratri, tukang pijit langganan si istri, menggantikan peranan suami.
Secara tematik, cerpen ini seperti nyeleneh sendiri dibandingkan dengan tema-tema cerpen yang lainnya. Ratih Kumala hendak menggugat dominasi suami dalam kehidupan rumah tangga. Bukankah hubungan sesama jenis yang dilakukan si istri dengan Ratri, penyebab utamanya justru lantaran ulah suami sendiri? Lalu, salahkah si istri –yang diabaikan suami itu—melakukan hubungan dengan sesama jenis?
Cerpen “ Kelambu” karya Zulfaisal Putera, boleh jadi akan menggelindingkan tokoh istri melakukan hubungan sejenis jika sudut pandangnya dari kacamata Ratih Kumala. Tampak di sini, dunia laki-laki berada dalam posisi dominan. Suami –yang guru agama—tiba-tiba tidak mau tidur dalam kelambu yang selama bertahun-tahun telah menjadi bagian dari malam-malam bersama istrinya. Bagi si istri, tentu saja tidur tanpa kelambu merupakan penyiksaan: diserbu nyamuk! Bukankah nyamuk bagian yang tidak terpisahkan dari rumah yang berada di pinggir sungai.
Yang menarik dari cerpen ini adalah sejumlah informasi tentang banyak hal. Kelambu digunakan sebagai saklar untuk menarik kisahannya bersinggungan dengan kultur, sejarah, dan kehidupan sosial. Jadi, kelambu sebagai pusat cerita, sekaligus juga pusat masalah. Tetapi di sekelilingnya, Zulfaisal Putera menyentuh banyak hal lain yang justru memperkuat keberadaan kelambu itu.
Meski begitu, di akhir cerita, pengarang seperti kelelahan sendiri. Maka, meski perlakuan suami kepada si istri tidak berubah –meski tidur tanpa kelambu— Zulfaisal menutup kisahannya begitu saja. Apa alasan suami ingin tidur tanpa kelambu? Itulah misterinya. Tetapi misteri itu pula yang menumbuhkan greget yang justru tak sejalan dengan horison harapan pembaca.
***
Secara keseluruhan, ke-15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini sungguh menyodorkan keberagaman tema dan style. Jadi, kita seperti memasuki sebuah restoran yang di sana telah tersaji begitu banyak hidangan. Nah, hidangan mana yang hendak kita santap lebih dahulu, terserah pengunjung restoran. Yang pasti, ke-15 cerpen dalam antologi ini, bolehlah ditempatkan dalam konteks keindonesiaan. Bukankah keberagaman itu hakikat Indonesia? Antologi cerpen ini adalah salah satu dari representasi keberagaman itu. Nah!
Bojonggede, 11 April 2006
http://mahayana-mahadewa.com/
Cerpen Indonesia, kini, makin menunjukkan jati dirinya sebagai bagian dari kultur keindonesiaan. Ia tidak hanya datang dari berbagai wilayah yang selama beberapa dekade seolah-olah belum terpetakan, melainkan mengada lantaran di belakangnya ada kegelisahan kultural. Kegelisahan, bahkan kepedihan dan sekaligus juga kemarahan yang datang dari berbagai macam komunitas itu, memang selama ini senantiasa ditenggelamkan oleh kejahatan sentralitas. Hiruk-pikuk yang terjadi di sana seperti dianggap senyap, padahal ia justru mewakili ungkapan hati nurani dan harapan sosio-budayanya. Ada luka budaya di belakangnya, dan di depannya, ada keinginan, hasrat, harapan untuk memberi dan menyumbangkan sesuatu bagi Indonesia.
Kejahatan sentralitas telah membunuh begitu banyak kekayaan, potensi, dan keberagaman sosio-kultural. Maka, ketika cerpen Indonesia memperlihatlkan sebuah panorama kultural yang kaya dengan berbagai keberagamannya, kita seperti diberi penyadaran tentang jalan yang benar dalam memahami keindonesiaan. Dari panorama itu, misalnya, kita dapat menangkap sebuah ceruk dari salah satu gugusan kepulauan kita. Seketika dan tiba-tiba saja kita laksana dihadapkan pada sebuah unikum yang problem dan semangatnya dapat kita kenali, tetapi kenyataannya tokh itu tidak ada dalam wilayah kultur kita.
Sederet pertanyaan dapat kita sampaikan: Bagaimana kita dapat memahami unikum itu, jika kita sama sekali belum menyentuhnya? Tak kenal, maka tak sayang. Maka, kenalilah Indonesia itu dari kekayaan kulturnya yang beragam dan melimpah. Bukankah pemahaman atas sebuah kebudayaan dapat juga dilakukan melalui karya sastra? Bukankah karya sastra sesungguhnya merupakan representasi dari ruh kebudayaan masyarakat yang mengelilingnya: melahirkan dan membesarkannya? Baca dan pahami kesusastraannya, maka kita akan sampai pada ruh kebudayaannya. Bukankah pemahaman karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan selengkapnya, jika kita tidak melepaskannya dari problem sosio-budaya komunitas yang bersangkutan? Maka, cantelkanlah ekspresi estetik itu dengan kegelisahan kultural.
Di situlah cerpen Indonesia menjadi sebuah wacana lain tentang sejarah, budaya, masyarakat, kawasan, etnik, dan entah apa lagi. Cerpen Indonesia seperti hendak mengembalikan pemahaman kita tentang Indonesia dan keindonesiaannya yang selama ini dijejalkan secara ahistori.
***
Buku antologi cerpen ini adalah salah satu contoh kasus. Ia merepresentasikan keberagaman, meski semangatnya masih mungkin dapat digeneralisasikan. Sejumlah cerpen yang dimuat dalam antologi ini datang dari berbagai belahan kota di Indonesia. Dengan demikian, ia sesungguhnya potensial menawarkan potret keindonesiaan, jika pemilihan atas sejumlah cerpennya dilakukan dengan semangat itu. Tetapi, apa pun hasilnya, itu soal lain lagi. Semangat menghimpun sejumlah karya dari sejumlah latar kepengarangan yang beragam, sungguh merupakan sebuah kerja yang mustahak. Maka, dalam konteks itulah, sepatutnya kita memberi apresiasi terhadapnya.
Secara estetik sebagian cerpen dalam antologi ini seperti hendak menunjukkan semangat pencarian. Dalam kerangka itu, yang cukup menonjol dari semangat pencarian itu adalah kesibukan pengarangnya mengeksploitasi bahasa. Terkesan, bahasa menjadi unsur sangat penting. Seolah-olah, diksi –pilihan kata—dan rangkaian bahasa, sengaja dieksploitasi untuk membangun narasi puitik. Padahal, narasi hanya salah satu unsur belaka. Masih ada unsur lain yang juga perlu perhatian. Akibatnya, latar, tema dan unsur intrinsik lain, seperti terlalaikan.
Meski pengarang mempunyai kebebasan memilih style atau apa pun, pilihan itu tentu saja membawa konsekuensinya sendiri. Ketika seseorang cenderung sibuk memainkan bahasa –narasi—menjadi sesuatu yang wajar jika hal lain kurang tergarap secara berimbang. Maka, yang tampak kemudian adalah sebuah lukisan dengan garis warna-warni dengan goresan yang matang, gagap, selintasan, agak ragu, atau sekadar menggambar, dan tidak berniat membuat sebuah lukisan. Ekspresi yang digoreskan melalui sejumlah warna seperti digayuti semangat menemukan warna baru yang berbeda dengan sejumlah warna yang konvensional. Pada gilirannya, tidak sedikit di antaranya yang membangun sebuah gambar menarik, tetapi tidak sampai membentuk lukisan. Mungkin ia lebih pas sebagai sketsa, boleh jadi juga sekadar garis-garis warna. Ada semangat membuat lukisan abstrak, tetapi kualitasnya sekadar nyeleneh, aneh, dan asal beda. Jadi, antologi ini, dalam beberapa hal, sudah berhasil membuat gambar yang memukau, tetapi di sana hanya beberapa yang masuk kategori lukisan. Bukankah gambar dan lukisan memperlihatkan kualitas estetika yang berbeda?
Tentu saja pandangan itu masih dapat kita perdebatkan. Setidak-tidaknya, dalam beberapa cerpen yang lain, saya menemukan lukisan. Tidak indah memang, tetapi itulah lukisan yang berbeda dengan gambar. Estetika tidak selalu mengangkat segala yang indah. Yang buruk dan menjijikkan, jika itu digoreskan melalui warna-warna dengan komposisi yang pas, niscaya akan menyeruakkan estetikanya sendiri.
***
Antologi cerpen ini memuat 15 cerpen, dua di antaranya karya maestro cerpen Indonesia: Ahmad Tohari (“Mata yang Enak Dipandang”) dan Hamsad Rangkuti (“Muntah Emas”). Dari-ke-15 cerpen itu, saya menemukan sedikitnya tujuh cerpen yang memokuskan diri pada usaha mengeksploitasi bahasa, dan satu cerpen dengan problem yang agak lain. Periksalah cerpen-cerpen “Perempuan Porselen” (Dewi Alfianti), “Wanita yang Melukai Tubuhmu dengan Pisau” (Harie Insani Putra), “Patrem sudah Kugenggam” (Hermawan Aksan), “Darah di Kamar Sebuah Hotel” (Iis Wiati), “Janji itu telah Diucapkan di Masa Lalu. Ingat?” (Nenden Lilis Aisyah), “Khilafah Cinta” (Sainul Hermawan), “Kematian yang Terlalu Pagi” (Sandi Firly), dan “Perahu” (Shanti Ned).
Meski di sana-sini ke-7 cerpen ini memperlihatkan kelebihan dan problemnya sendiri, kita (: pembaca) seperti dihadapkan pada gagasan-gagasan abstrak tentang cinta, kerinduan, dan dendam melalui narasi yang sengaja dikemas agar terkesan lebih puitik. Dengan cara itu, maka segala unsur intrinsik yang ada di sana, sesungguhnya menjadi sangat umum. Usaha membangun ciri universalitas itu –apalagi dengan kemasan bahasa puitik—memang menjadikan cerpen-cerpen itu enak dibaca, terkesan seolah-olah indah, tetapi bukankah cerpen tidak sekadar enak dibaca?
Sekadar contoh, periksalah cerpen “Perempuan Porselen” yang hendak mengkontraskan dua jenis cinta: cinta pada sesama yang berakibat pada kefanaan dan cinta pada Sang Khalik yang membuahkan keabadian. Bukankah siapa pun di dunia ini bisa mengalami cinta yang seperti itu. Putus cinta pada sesama yang berakhir dengan bunuh diri dan cinta pada Sang Khalik justru menumbuhkan cinta pada alam semesta. Problemnya kemudian: di manakah unikum? Tidak kita jumpai, lantaran desakan membangun universalitas terlalu dominan. Pada gilirannya, universalitas itu justru jatuh pada keumuman.
Hal yang sama juga terjadi pada cerpen “Wanita yang Melukai Tubuhmu dengan Pisau”, “Janji itu telah Diucapkan di Masa Lalu. Ingat?”, “Khilafah Cinta”, “Kematian yang Terlalu Pagi”, dan “Perahu”. Siapakah si aku, sang ibu, anak, suami atau tokoh-tokoh yang menghadirkan segala peristiwa di sana? Bisa siapa pun. Ia tidak terikat oleh wilayah etnik atau suku bangsa. Ia manusia pada umumnya. Universal. Di sini, gagasan dimanfaatkan sebagai saklar yang menghidupkan cerita mengalir entah ke mana. Ia seperti ingin melepaskan diri dari konvensi dan coba mengembalikan cerita (narasi) sebagai cerita. Maka, daya tarik cerpen dengan style semacam ini adalah kekuatan menghadirkan metafora dan simbolisme.
Cermati cerpen “Janji itu telah Diucapkan di Masa Lalu. Ingat?” (Nenden Lilis Aisyah). Unikum diabaikan lantaran ia hendak mengeksploitasi gagasan tentang cinta, rindu, dan entah apa lagi. Maka, rangkaian peristiwa seperti mengalir begitu saja dan berhenti entah kapan dan entah di mana. Sebuah style yang mengingatkan saya pada novel-novel Iwan Simatupang atau Putu Wijaya. Siapakah aku, dia dan tokoh lain yang ada di sana? Segalanya sangat mungkin sekadar gagasan yang kemudian coba diterjemahkan melalui lakuan dan pikiran tokoh-tokohnya. Ia memang mengasyikkan. Tetapi selepas itu, apa yang dapat kita tangkap? Ya, gagasan itu.
Problemnya lain lagi dengan cerpen “Perahu” karya Shanti Ned. Ia berada dalam garis demarkasi antara cerita yang digagaskan dan cerita yang digambarkan. Dendam si istri adalah potret buram problem domestik yang kerap terjadi dalam kehidupan rumah tangga di belahan dunia ini. Ia merepresentasikan kemarahan dan bentuk perlawanan kaum perempuan atas dominasi laki-laki. Ia bisa terjadi di sembarang tempat di mana pun juga. Ia terlepas dari sekat kultur dan etnisitas. Maka, tokoh aku (ibu), anak, dan suami sekadar status sosial yang nemplok dalam kawasan domestik. Mereka adalah simbol yang melekat dalam kehidupan rumah tangga. Ia universal, meski juga –dalam cerpen itu— cenderung jatuh pada keumuman.
Di manakah unikum? Kembali, kita tidak menjumpainya.
Satu cerpen lagi yang berada pada garis demarkasi itu adalah “Patrem sudah Kugenggam” karya Hermawan Aksan. Pengarang dengan baik memulai kisahannya lewat sebuah patrem –senjata tradisional yang hendak digunakan membunuh kekasih selingkuhannya. Tetapi rupanya, senjata itu sekadar pintu masuk untuk mengungkap kegelisahan si tokoh aku atas skadal perselingkuhannya itu. Ia ingin mengakhirinya. Dan patrem itulah, senjata pamungkasnya.
Patrem yang khas yang berkaitan dengan kultur etnik, tiba-tiba saja tergelincir menjadi benda biasa. Ia tak hadir sebagai salah satu ikon kultur etnis. Di sana, kita tak menjumpai makna kultural. Ia sekadar sebuah senjata yang fungsinya sama seperti belati, pisau lipat, atau silet. Lalu, apa maknanya patrem, jika fungsinya sama saja dengan benda lain yang tidak punya nilai mitis? Persoalannya akan lain jika senjata itu telah menghabisi ratusan manusia, punya aura gaib, dan mereka yang menghunus tak dapat melepaskan diri dari keinginan menumpahkan darah. Ia benar-benar jadi senjata pusaka yang haus darah. Di akhir cerita, rencana pembunuhan itu pun batal, lantaran perselingkuhan itu memang indah. Sebuah cara mengakhiri cerita yang mengecoh, meskipun pola itu kini sudah mulai klise.
Problem yang dihadapi cerpen “Darah di Kamar Sebuah Hotel” (Iis Wiati) agak berbeda dengan beberapa cerpen yang sudah dibincangkan tadi. Sama halnya seperti cerpen Hermawan Aksan yang menggunakan patrem sebagai pintu masuk, Iis mengawalinya dengan kalimat: “Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari pertama serangan AS ke Irak, sebuah takdir mempertemukanku dengan seorang perempuan istimewa di sebuah mal.” Sebuah awal yang menarik. Tetapi kemudian menjadi persoalan ketika saya tidak menemukan hubungan antara serangan AS ke Irak dengan rangkaian peristiwa berikutnya. Jika begitu, apa maknanya serangan AS ke Irak dalam kalimat itu? Rupanya kalimat itu sekadar pintu masuk yang penekanannya justru pada anak kalimat: “sebuah takdir mempertemukanku dengan seorang perempuan istimewa di sebuah mal.” Dari sana, cerita terus berkelindan –mirip cerita detektif—hingga sampai pada kesimpulan: terbongkarnya kasus pembunuhan.
Iis Wiati agaknya hendak menghukum lelaki yang penasaran –atau yang terlalu mengagungkan—ihwal virginitas –keperawanan. Dengan jalinan cerita yang agak berliku itu, pengarang seperti hendak membawa pembaca pada perangkap tegangan (suspense), sebuah pola yang menjadi kekuatan cerita-cerita detektif. Jika saja pengarang tidak melakukan penghukuman dan membiarkan akhirnya ceritanya tetap terbuka (open ending), sangat mungkin cerpen ini akan memancarkan daya greget yang jauh lebih asyik.
***
Di luar kedelapan cerpen yang dibicarakan tadi, saya menjumpai cukup banyak unikum. Di sini, yang tampak adalah sebuah peristiwa yang tak dibayangkan, tetapi yang justru menjadi kegelisahan selepas ia jadi pengalaman batin. Pengalaman itulah yang menciptakan kegelisahan. Pengalaman itu pula yang coba disajikan dari sudut pandang yang khas, yang berbeda dengan pandangan khalayak. Ia tidak jatuh pada persepsi dan pemaknaan massal. Ia jadi pengalaman individual yang khas yang pemaknaannya bergantung dari sudut makna subjek menerjemahkannya. Itulah unikum. Tetapi, apakah dengan demikian ia menafikan universalitas? Di sinilah karya sastra yang baik kerap memancarkan aura unikum dan sekaligus universalitas. Peristiwanya unik, khas, tetapi ketika ia ditarik sebagai problem kemanusiaan, ia universal. Ia menjadi masalah manusia dan kemanusiaan yang berlaku sepanjang zaman yang bisa menimpa siapa pun dan terjadi di mana pun.
Cerpen “Mata yang Enak Dipandang” karya Ahmad Tohari tampak begitu sederhana dengan tokoh-tokoh yang juga sederhana: pengemis picek! Peristiwa ini adalah pemandangan yang umum kita jumpai di berbagai stasiun di negeri ini. Para pengemis yang menadahkan tangan kepada para penumpang kereta. Peristiwa yang sangat biasa. Tetapi, lihatlah perilaku tokoh Tarsa yang melakukan eksploitasi atas kepicekan pengemis itu. Ada penindasan atas sesama: exploitation de l’homme par l’homme. Bukankah penindasan manusia atas manusia sudah terjadi beriringan dengan perjalanan sejarah manusia.
Lihat pula orang-orang kaya yang menjadi penumpang kereta api eksekutif. Orang-orang yang matanya tak enak dipandang. Mereka tak punya rasa belas kasihan, tidak peduli pada kemiskinan yang berada di sekelilingnya. Bukankah orang-orang macam itu bertaburan di belahan bumi ini? Itulah universalitas. Di mana pula unikumnya? Ya, pada diri tokoh-tokoh itu, pada latar stasiun itu, pada problem yang diangkat pengarangnya itu. Bukankah semua itu khas kehidupan pengemis yang mencari nafkah di stasiun-stasiun. Potret itu tidak mungkin terjadi di Kuala Lumpur, Singapura, Tokyo, atau New York.
Cerpen Erwan Juhara, “Parno Loewak”, meski masih terkesan seperti keseleo, setidak-tidaknya ia merupakan potret diri kehidupan para penulis di negeri ini. Ia juga tak berlaku di Malaysia, Singapura, Jepang, atau di negeri-negeri yang masyarakatnya menghargai kreativitas dan karya intelektual. Di sini, Erwan Juhara seperti sengaja tak memasuki hakikat masalahnya. Ia sekadar membuat sketsa yang terasa begitu ironis.
Cerpen “Muntah Emas” karya Hamsad Rangkuti adalah contoh ketajaman naluri sastrawan. Ia menempatkan muntah –yang menjijikkan itu—dari sudut pandang yang tak lazim, khas, dan sangat subjektif. Kisahnya sendiri begitu sederhana dan tidak istimewa. Bukankah kita sudah sangat biasa melihat orang muntah? Di sinilah subjek pengarang memainkan peranan penting dalam melihat sesuatu yang sangat biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. Itulah sastra!
Agak berbeda dengan cerpen “Muntah” yang terkumpul dalam antologi Lukisan Perkawinan, cerpen “Muntah Emas” dalam antologi ini seperti hendak memperolok-olok kita yang sering terperangkap oleh stigma. Jika dalam cerpen “Muntah” Hamsad Rangkuti hendak menekankan keagungan cinta kekasih, tetapi kemudian berubah setelah menjadi suami—istri, dalam “Muntah Emas” pengarang coba menggugat banyak hal tentang stigma yang sebenarnya diciptakan sendiri. Muntah dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan, padahal ia diproduksi oleh tubuh kita sendiri. Lalu, mengapa pula harus diperlakukan sebagai barang jahanam yang harus dijauhkan dari diri kita. Begitulah, pandangan buruk tentang muntah pada akhirnya seperti mengucilkan orang yang memproduksinya. Padahal, tentu saja pada dasarnya orang tidak mau muntah di sembarang tempat. Di situlah kecerdasan pengarang dalam mengolah sesuatu yang biasa itu menjadi luar biasa. Maka, harus dihadirkan tokoh yang nyeleneh, tokoh yang cara berpikirnya berbeda dengan pandangan masyarakat.
Dengan pola yang sama seperti pada umumnya cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti, kejutan –setelah pembaca digiring ke suatu tempat sesuai dengan kehendak sang tokoh—muncul di akhir cerita. Saya membayangkan, cerpen Hamsad Rangkuti ini seperti gambaran tentang seorang pemain sepakbola yang piawai. Ia membawa, menggiring, menggoreng bola melewati sejumlah pemain lawan. Penonton terpesona pada kepiawaiannya. Decak kagum dan tepuk tangan pun bergemuruh. Dan ketika kekaguman penonton memuncak dan si pemain bola itu sudah berhadapan dengan penjaga gawang, bahkan kini berada persis di depan gawang yang kosong, si pemain bola itu, justru tidak memasukkannya ke gawang lawan. Ia malah menendangnya ke luar lapangan. Itulah cara mengecoh yang cerdas, meski membuat pembaca tidak dapat menyembunyikan kejengkelannya.
Cerpen “Malaikat Datang tidak Bersayap” (Jamal T. Suryanata) mengawali kisahannya dengan peristiwa yang agak surealis. Dari sana, peristiwa bergulir hingga sampai pada gerakan buruh dan penculikan tokoh ibu –yang aktivis—oleh aparat keamanan. Sebuah kisah yang mengingatkan kita pada nasib Marsinah. Yang menarik dari cerpen ini adalah kekalahan kaum perempuan. Mula-mula ibu menggantikan posisi dan peran ayah, tetapi akhirnya si ibu kalah oleh tangan raksasa kekuasaan. Posisi nenek yang berada dalam bayang-bayang tokoh aku, juga diposisikan sebagai pembohong. Dalam konteks psikologi, Jamal T. Suryanata seperti menafikan konsep Oedipus Complex atau Electra Complex. Keduanya tidak berlaku, tetapi di sana ada problem psikologis yang mengeram dalam diri si tokoh ketika ia memandang posisi ayah—ibu.
Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, “Ke Negeri yang Jauh” –seperti juga cerpen-cerpennya yang lain, menyajikan sebuah kisahan yang lancar, mengalir, dan agak berkelak-kelok. Ujungnya adalah sebuah pesan ideologis yang dalam cerpen itu tersirat menyodorkan semangat rekonsiliasi atas konflik agama di Ambon. Ratna seperti sengaja bertindak dengan sangat hati-hati. Maka, pesan ideologis itu terasa begitu tersembunyi.
Agak menarik cerpen “Tahi Lalat di Punggung Istriku” karya Ratih Kumala, terutama menyangkut persoalan lesbianisme dan pemanfaatan bentuk penceritaan. Di bagian awal dikisahkan, betapa sang suami begitu hanyut oleh keindahan tahi lalat yang berada di punggung istrinya. Tahi lalat itulah yang memberi nilai lebih dalam hubungan suami—istri. Sementara itu, pandangan istri lain lagi. Sang Suami lebih mencintai tahi lalat itu daripada dirinya. Maka, operasi plastik untuk membuang tahi lalat itu, dilakukan si Istri. Tetapi apa yang terjadi? Kegairahan suaminya berkurang. Pada saat itulah, Ratri, tukang pijit langganan si istri, menggantikan peranan suami.
Secara tematik, cerpen ini seperti nyeleneh sendiri dibandingkan dengan tema-tema cerpen yang lainnya. Ratih Kumala hendak menggugat dominasi suami dalam kehidupan rumah tangga. Bukankah hubungan sesama jenis yang dilakukan si istri dengan Ratri, penyebab utamanya justru lantaran ulah suami sendiri? Lalu, salahkah si istri –yang diabaikan suami itu—melakukan hubungan dengan sesama jenis?
Cerpen “ Kelambu” karya Zulfaisal Putera, boleh jadi akan menggelindingkan tokoh istri melakukan hubungan sejenis jika sudut pandangnya dari kacamata Ratih Kumala. Tampak di sini, dunia laki-laki berada dalam posisi dominan. Suami –yang guru agama—tiba-tiba tidak mau tidur dalam kelambu yang selama bertahun-tahun telah menjadi bagian dari malam-malam bersama istrinya. Bagi si istri, tentu saja tidur tanpa kelambu merupakan penyiksaan: diserbu nyamuk! Bukankah nyamuk bagian yang tidak terpisahkan dari rumah yang berada di pinggir sungai.
Yang menarik dari cerpen ini adalah sejumlah informasi tentang banyak hal. Kelambu digunakan sebagai saklar untuk menarik kisahannya bersinggungan dengan kultur, sejarah, dan kehidupan sosial. Jadi, kelambu sebagai pusat cerita, sekaligus juga pusat masalah. Tetapi di sekelilingnya, Zulfaisal Putera menyentuh banyak hal lain yang justru memperkuat keberadaan kelambu itu.
Meski begitu, di akhir cerita, pengarang seperti kelelahan sendiri. Maka, meski perlakuan suami kepada si istri tidak berubah –meski tidur tanpa kelambu— Zulfaisal menutup kisahannya begitu saja. Apa alasan suami ingin tidur tanpa kelambu? Itulah misterinya. Tetapi misteri itu pula yang menumbuhkan greget yang justru tak sejalan dengan horison harapan pembaca.
***
Secara keseluruhan, ke-15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini sungguh menyodorkan keberagaman tema dan style. Jadi, kita seperti memasuki sebuah restoran yang di sana telah tersaji begitu banyak hidangan. Nah, hidangan mana yang hendak kita santap lebih dahulu, terserah pengunjung restoran. Yang pasti, ke-15 cerpen dalam antologi ini, bolehlah ditempatkan dalam konteks keindonesiaan. Bukankah keberagaman itu hakikat Indonesia? Antologi cerpen ini adalah salah satu dari representasi keberagaman itu. Nah!
Bojonggede, 11 April 2006
Sastra Feminis ala Leila
M. Arman A.Z*
http://www.jawapos.co.id/
JAUH sebelum booming sastra feminis pada 2000-an, yang bersumber dari pemahaman sastra terhadap inferioritas perempuan, Leila S. Chudori termasuk salah seorang sastrawan wanita yang lebih dulu memulainya. Itu bisa ditelisik dalam kumpulan cerpen (kumcer) terbarunya, Malam Terakhir, yang merupakan cetak ulang (revisi) setelah 1989 diterbitkan Pustaka Utama Grafiti. Penerbitan kumcer itu juga berbarengan dengan penerbitan novel 9 dari Nadira.
Malam Terakhir versi anyar berisi sembilan cerpen yang diseleksi sendiri oleh Leila. Tema-temanya masih kontekstual. Menggugah pemikiran dan kesadaran pembaca (sastra) terhadap wacana kesetaraan gender, feminisme, dan relasinya dengan norma dan kehidupan sosial, lokal, maupun global. Dalam buku itu, sebagian besar tokoh perempuan membongkar, memperjuangkan, dan menggugat hak, kedudukan, dan cara pandang terhadap perempuan.
Cerpen pembuka Paris, Juni 1988 bercerita tentang wanita Indonesia yang baru datang di Paris. Sebelah kamarnya dihuni Marc, lelaki aneh yang tampaknya mengidap sakit psikologis. Si gadis kerap terganggu suara desah, erang, dan jeritan seorang wanita dari kamar sebelah yang dihuni Marc. Si gadis yang terusik akhirnya tahu bahwa suara itu adalah rekaman yang sengaja disimpan Marc. Obsesi Marc terhadap sosok wanita bernama Janou. Si gadis, dalam satu kesempatan berbincang dengan Marc, menjelaskan padanya makna memiliki dan menguasai.
Ada dua kecerdikan cerpen itu: identitas tokoh perempuan yang dibiarkan tak bernama, juga sepasang tikus yang salah satunya dilepas untuk memberikan kemerdekaan, namun ternyata tak bisa hidup dalam kebebasan.
Cerpen kedua, Adila, bercerita tentang Dila, gadis remaja yang teralienasi dari lingkungan sosialnya. Ibu menjadi sosok yang mengekang kehidupan Dila, sedangkan bapaknya justru memberikan kebebasan pada Dila. Dia membelikannya novel-novel. Tokoh-tokoh dalam novel yang dibacanya itu kerap muncul menemani kesepian Dila. Ending cerpen itu ironi sekaligus kocak. Dila mati bunuh diri karena minum obat nyamuk cair -setelah minum bersama tiga tokoh imajinernya- namun ibunya malah sibuk meratapi kutang, sepatu, dan alat rias yang dikenakan Dila.
Kehadiran tokoh imajiner ditemukan lagi dalam cerpen Keats. Dengan setting di pesawat terbang, dalam perjalanan pulang ke Indonesia, tokoh Tami gelisah membayangkan situasi yang bakal dihadapinya di tanah air. Tami membayangkan teror macam apa yang bakal dihadapinya dari keluarga dan sanak saudara. Respons mereka atas pilihannya untuk menikah dengan lelaki asing dengan segala risiko (perbedaan agama, kultur, dan lainnya).
Senapas dengan cerpen di atas adalah cerpen Air Suci Sita yang membongkar makna kesetiaan antara lelaki dan wanita. Wanita yang memutuskan punya anak kandung tanpa suami, masih jadi hal tabu di Indonesia, didedahkan penulis dalam cerpen Ilona. Ona, yang punya cara pandang sendiri terhadap kehidupan, pulang dari luar negeri membawa anaknya untuk menemui kakeknya. Kemerdekaan berpikir dan mengambil sikap dengan tidak mempercayai lembaga pernikahan. Bukan karena trauma atau sakit hati, tapi murni karena pilihan. Sebuah sikap mungkin akan dianggap aneh, gila, dan tabu di negeri ini.
Cerpen Sehelai Pakaian Hitam berkisah tentang Salikha yang tak gentar mengkritisi Hamdani, lelaki yang lambat laun menyadari bahwa dia terkenal karena konstruksi pandangan masyarakat hingga lupa dirinya sendiri. Tema itu hampir senada dengan cerpen Untuk Bapak. Sementara itu, cerpen Sepasang Mata Menatap Rain mengangkat topik sosial; anak-anak zaman sekarang yang cenderung kritis dan, kadangkala, pemikirannya justru merepotkan orang tua.
Cerpen penutup Malam Terakhir, dua fragmen yang tampak berdiri sendiri namun sebenarnya berkaitan. Fragmen pertama bercerita tentang aktivis wanita dan tiga aktivis pria yang lebih dulu diciduk. Mereka akan dihukum gantung. Penyiksaan yang sangat tidak manusiawi terhadap aktivis wanita, melebihi penyiksaan aktivis pria. Fragmen kedua menampilkan keluarga yang tampak bahagia. Orang tua terus mencekoki putrinya dengan konsep klise terhadap kehidupan. Putri mereka yang berusia 22 tahun mengkritisi berita penangkapan para aktivis itu. Cerita bermuara ketika sang bapak mengajak nonton pertunjukan, yang meski tak terungkap, namun pembaca dapat menyimpulkan ”pertunjukan kesenian” itu adalah penggantungan para aktivis.
Tak hanya wanita yang bisa memberikan perlawanan terhadap sistem dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Secara tak langsung, beberapa tokoh pria dalam cerpen itu menunjukkan bahwa feminis pun tak mesti berasal dari kaum perempuan (cerpen Ilona atau Adila). Secara keseluruhan, selain dipenuhi kompleksitas cerita yang menarik, Malam Terakhir memiliki benang merah terhadap isu-isu feminisme dan kesetaraan gender. Tentu bobotnya pun berbeda karena tak secara gamblang mengidentikkan diri dengan seks semata. (*)
Judul buku: Malam Terakhir
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: November 2009
Tebal: xviii + 117 halaman
*) Cerpenis Lampung. Kumpulan cerpen dan novelnya telah diterbitkan dalam 19 buku.
http://www.jawapos.co.id/
JAUH sebelum booming sastra feminis pada 2000-an, yang bersumber dari pemahaman sastra terhadap inferioritas perempuan, Leila S. Chudori termasuk salah seorang sastrawan wanita yang lebih dulu memulainya. Itu bisa ditelisik dalam kumpulan cerpen (kumcer) terbarunya, Malam Terakhir, yang merupakan cetak ulang (revisi) setelah 1989 diterbitkan Pustaka Utama Grafiti. Penerbitan kumcer itu juga berbarengan dengan penerbitan novel 9 dari Nadira.
Malam Terakhir versi anyar berisi sembilan cerpen yang diseleksi sendiri oleh Leila. Tema-temanya masih kontekstual. Menggugah pemikiran dan kesadaran pembaca (sastra) terhadap wacana kesetaraan gender, feminisme, dan relasinya dengan norma dan kehidupan sosial, lokal, maupun global. Dalam buku itu, sebagian besar tokoh perempuan membongkar, memperjuangkan, dan menggugat hak, kedudukan, dan cara pandang terhadap perempuan.
Cerpen pembuka Paris, Juni 1988 bercerita tentang wanita Indonesia yang baru datang di Paris. Sebelah kamarnya dihuni Marc, lelaki aneh yang tampaknya mengidap sakit psikologis. Si gadis kerap terganggu suara desah, erang, dan jeritan seorang wanita dari kamar sebelah yang dihuni Marc. Si gadis yang terusik akhirnya tahu bahwa suara itu adalah rekaman yang sengaja disimpan Marc. Obsesi Marc terhadap sosok wanita bernama Janou. Si gadis, dalam satu kesempatan berbincang dengan Marc, menjelaskan padanya makna memiliki dan menguasai.
Ada dua kecerdikan cerpen itu: identitas tokoh perempuan yang dibiarkan tak bernama, juga sepasang tikus yang salah satunya dilepas untuk memberikan kemerdekaan, namun ternyata tak bisa hidup dalam kebebasan.
Cerpen kedua, Adila, bercerita tentang Dila, gadis remaja yang teralienasi dari lingkungan sosialnya. Ibu menjadi sosok yang mengekang kehidupan Dila, sedangkan bapaknya justru memberikan kebebasan pada Dila. Dia membelikannya novel-novel. Tokoh-tokoh dalam novel yang dibacanya itu kerap muncul menemani kesepian Dila. Ending cerpen itu ironi sekaligus kocak. Dila mati bunuh diri karena minum obat nyamuk cair -setelah minum bersama tiga tokoh imajinernya- namun ibunya malah sibuk meratapi kutang, sepatu, dan alat rias yang dikenakan Dila.
Kehadiran tokoh imajiner ditemukan lagi dalam cerpen Keats. Dengan setting di pesawat terbang, dalam perjalanan pulang ke Indonesia, tokoh Tami gelisah membayangkan situasi yang bakal dihadapinya di tanah air. Tami membayangkan teror macam apa yang bakal dihadapinya dari keluarga dan sanak saudara. Respons mereka atas pilihannya untuk menikah dengan lelaki asing dengan segala risiko (perbedaan agama, kultur, dan lainnya).
Senapas dengan cerpen di atas adalah cerpen Air Suci Sita yang membongkar makna kesetiaan antara lelaki dan wanita. Wanita yang memutuskan punya anak kandung tanpa suami, masih jadi hal tabu di Indonesia, didedahkan penulis dalam cerpen Ilona. Ona, yang punya cara pandang sendiri terhadap kehidupan, pulang dari luar negeri membawa anaknya untuk menemui kakeknya. Kemerdekaan berpikir dan mengambil sikap dengan tidak mempercayai lembaga pernikahan. Bukan karena trauma atau sakit hati, tapi murni karena pilihan. Sebuah sikap mungkin akan dianggap aneh, gila, dan tabu di negeri ini.
Cerpen Sehelai Pakaian Hitam berkisah tentang Salikha yang tak gentar mengkritisi Hamdani, lelaki yang lambat laun menyadari bahwa dia terkenal karena konstruksi pandangan masyarakat hingga lupa dirinya sendiri. Tema itu hampir senada dengan cerpen Untuk Bapak. Sementara itu, cerpen Sepasang Mata Menatap Rain mengangkat topik sosial; anak-anak zaman sekarang yang cenderung kritis dan, kadangkala, pemikirannya justru merepotkan orang tua.
Cerpen penutup Malam Terakhir, dua fragmen yang tampak berdiri sendiri namun sebenarnya berkaitan. Fragmen pertama bercerita tentang aktivis wanita dan tiga aktivis pria yang lebih dulu diciduk. Mereka akan dihukum gantung. Penyiksaan yang sangat tidak manusiawi terhadap aktivis wanita, melebihi penyiksaan aktivis pria. Fragmen kedua menampilkan keluarga yang tampak bahagia. Orang tua terus mencekoki putrinya dengan konsep klise terhadap kehidupan. Putri mereka yang berusia 22 tahun mengkritisi berita penangkapan para aktivis itu. Cerita bermuara ketika sang bapak mengajak nonton pertunjukan, yang meski tak terungkap, namun pembaca dapat menyimpulkan ”pertunjukan kesenian” itu adalah penggantungan para aktivis.
Tak hanya wanita yang bisa memberikan perlawanan terhadap sistem dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Secara tak langsung, beberapa tokoh pria dalam cerpen itu menunjukkan bahwa feminis pun tak mesti berasal dari kaum perempuan (cerpen Ilona atau Adila). Secara keseluruhan, selain dipenuhi kompleksitas cerita yang menarik, Malam Terakhir memiliki benang merah terhadap isu-isu feminisme dan kesetaraan gender. Tentu bobotnya pun berbeda karena tak secara gamblang mengidentikkan diri dengan seks semata. (*)
Judul buku: Malam Terakhir
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: November 2009
Tebal: xviii + 117 halaman
*) Cerpenis Lampung. Kumpulan cerpen dan novelnya telah diterbitkan dalam 19 buku.
Jumat, 26 Februari 2010
Luka Itu Mengalir Sampai Jauh…
Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/
Membaca novel bagi pembaca bebas dan impresif, tak selalu, apalagi harus, mengejar kalimat pertama hingga terakhir hanya demi menggapai keutuhan yang serbapadu dari aneka unsur yang berhuni di dalam novel. Kadang justru bukan keutuhan itulah yang menyihirkan pesona dan mungkin juga justru bukan keutuhan itu yang sangat disengaja penulis sebagai incaran strategi estetika novelnya. Maka memaksakan keutuhan pada setiap novel menjadi sebentuk praktik penilaian yang tak adil dan melanggar kebebasan ekspresi estetik.
Sebaris kalimat singkat atau selarik ungkapan pendek yang bagus pada halaman kesekian dari sebuah novel sehingga menancap hebat dalam ingatan atau mendapat pencerahan dari bagian kecil cerita atau benang merah dari desain besar sebuah novel (bukan detail-detail kecil) pun sudah cukup meskipun ini tak selalu dapat ditemui pada semua novel.
Novel sah dianggap sebagai sepetak taman fragmentaris, bukan harus sebidang ruang integralis, tanpa harus berisiko kehilangan kekuatan kenovelannya (novelty) selama masih ada mutu (ber)ceritanya. Adakah eksistensi, hakikat dan muatan terpenting lain dari novel (sebagai teks sastra) selain kekuatan itu?
Demikian juga ketika membaca novel Eka Kurniawan Cantik itu Luka (AKYpress dan Jendela, Yogyakarta, 2002). Ketika bertemu novel ini saya tertarik bukan karena tebal halamannya (517 halaman, spasi sangat rapat, font huruf di bawah ukuran normal) tapi oleh citraan gambar sampulnya yang klasik, mooi indie, serta bahasa redaksional judulnya yang terasa enteng.
Kemudian saya buru-buru menduga akan menghadapi cerita panjang populer, kalem, sederhana, gampang ditebak jalan ceritanya dan mungkin juga klise isi cerita dan bentuk penulisannya. Tapi saya merasa sejenak agak tertipu oleh dugaan tentang novel itu setelah beres membacanya. Kenapa muncul dugaan tertentu setiap kali bertemu gambar sampul dan judul sebuah buku, meski tak selalu tepat, saya tak bisa membebaskan diri untuk tak mengulanginya lagi setiap bertemu dengan gambar sampul dan judul sebuah buku?
Bagian halaman awal novel ini membawa pembaca pada cerita yang tampil fantastis, ingin surealis, dan mungkin juga hendak mistis dengan sejumlah pendahsyatan dan pelanturan di sana-sini: Seorang perempuan pelacur bernama Dewi Ayu bangkit dari kubur pada akhir pekan bulan Maret setelah 21 tahun kematiannya dan proses kebangkitan itu menjadi tontonan gratis dan menggemparkan penduduk kampung sekitar.
Tapi tontonan itu kemudian berubah menjadi horor besar yang membuat, ”Seorang perempuan melemparkan bayinya ke semak-semak dan seorang ayah menggendong batang pisang. Dua orang lelaki terperosok ke dalam parit, yang lainnya tak sadarkan diri di pinggir jalan dan yang lainnya lagi berlari lima belas kilometer tanpa henti.” Dan seterusnya.
Pembaca bisa salah duga bila terlalu cepat mengambil kesimpulan bila berpegang gaya cerita di halaman pertama. Pada cerita selanjutnya ditemukan cerita yang tak diduga berupa munculnya unsur kesejarahan yang mengusung begitu banyak data, fakta, dan peristiwa nasional kita yang berhasil diceritakan secara lancar dan manis, nyaris seperti untaian dongeng seputar kedatangan bala tentara keenam belas dari Jepang, minggatnya para Belanda dari wilayah yang sudah dihuni ratusan tahun lamanya, dan gerakan kaum komunis di sebuah kota antah-berantah bernama Halimunda.
Unsur kesejarahan itu memakan sebagian besar halaman novel ini yang tampak membuat komposisi novel ini kurang pas, njomplang, atau terlalu bertele-tele. Meskipun dari situ tampak dengan jelas penulis novel ini pasti sangat baik mengusai data, fakta dan peristiwa sejarah itu sehingga bisa ”menceritaulangkan” dengan sangat nyaman dan wajar. Tapi saya merasa tahu, segala latar sejarah itu bukan ”misi” utama novel ini.
Desain besar novel ini sangat tragis: ”luka silsilah dan tercabiknya eksistensi” para manusia yang berlangsung turun-temurun yang menimpa sebuah keluarga laksana kutukan panjang menyakitkan, semacam lingkaran setan, sehingga mereka menjadi manusia-manusia dengan kecenderungan sangat bejat, sarkastis, brutal dan menakutkan yang kemudian menjadi bencana besar bagi keturunan Ted Stammler dan manusia-manusia lain yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan keturunannya.
Sinopsis novel
Seorang lelaki Belanda bernama Ted Stammler mempunyai dua anak, Henri Stammler dan Aneu Stammler. Henri lahir dari Marietje Stammler dan Aneu lahir dari Ma Iyang. Saudara seayah dari dua ibu berbeda ini saling jatuh cinta dan melakukan inses sampai melahirkan orok yang dinamai Dewi Ayu. Dua sejoli ”larangan” itu lalu kabur ke Belanda dan meninggalkan orok itu di depan pintu rumah ayah mereka.
Dewi Ayu jadi pelacur pada zaman Jepang lewat latar belakang kisah panjang yang berliku dan menyengsarakan. Dewi Ayu menjadi pelacur terkenal lokalisasi Mama Kalong dan dianggap maskot kota Halimunda. Hampir semua lelaki dewasa kota itu pernah meniduri dia atau berangan mesum bersama dia.
Dewi Ayu melahirkan 4 anak perempuan (Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik) dari para lelaki yang dikehendaki maupun yang tak dikehendaki.
Dewi Ayu pelacur ulung sampai-sampai dua menantunya pernah bersanggama dengan dia. Satu di antara dua menantu Dewi Ayu itu seorang tentara pada zaman Jepang yang biasa dipanggil Shodancho (kemudian jadi suami Alamanda). Shodancho itu pernah memperkosa Dewi Ayu sebelum dia menjadi menantunya dan juga memperkosa Alamanda sebelum menjadi suaminya.
Sedangkan Maman Gendeng, menantu yang lain, adalah mantan kekasih Dewi Ayu yang disuruh dia menikahi anak ketiganya, Maya Dewi. Maman Gendeng begundal terkenal kota Halimunda setelah membunuh preman kota itu, Edi Idiot. Sedangkan Adinda dikawini seorang komunis bernama Kamerad Kliwon yang mati bunuh diri setelah serong dengan Alamanda, tak lama sepulang dari penjara Pulau Buru. Kemudian Cantik, si bungsu yang buruk rupa itu, ketika mulai menstruasi sering disambangi sang pangerannya yaitu Krisan yang menyelinap masuk ke kamarnya lewat jendela dan bersetubuh hingga Cantik hamil dan melahirkan orok yang tak sempat hidup lama.
Dari Alamanda, Dewi Ayu mendapat satu cucu Nurul Aini (Ai), dari Adinda juga memeroleh satu cucu Krisan. Maya Dewi memberi satu cucu Rengganis si Cantik yang kemudian memberi seorang cicit dengan ayah si Krisan dan dari Cantik dianugerahi seorang cucu yang juga berayah si Krisan.
Kamerad Kliwon yang bunuh diri itu pernah dikirim ke Pulau Buru atas persetujuan Shodancho. Shodancho itu mati dicabik-cabik ajak di tengah hutan setelah anaknya mati dibunuh orang. Maman Gendeng moksa setelah melihat anak buahnya dibantai tentara dan anaknya juga mati terbunuh.
Keluarga itu dikutuk roh jahat Ma Gedik (kekasih Ma Iyang) yang sakit hati pada Ted Stammler yang merebut kekasihnya. Roh jahat itu memendam kesumat dan ingin mencelakai seluruh keturunan Ted Stammler.
Anak dan cucu Ted Stammler saling berzina sesama saudaranya sendiri, para menantu saling berbunuhan, dan cucu membunuh cucunya yang lain.
Semua itu terjadi dalam ”skenario” roh jahat itu. Dan setelah mendapatkan kemenangan, Dewi Ayu yang bangkit dari kubur setelah 21 tahun kematiannya berhasil membunuh roh jahat itu.
Peristiwa inses
Novel ini begitu tangguh dan telaten membangun jalan cerita yang rumit dan kompleks dengan sejumlah latar sejarah yang luas dan fantasi yang absurd maupun surealis serta melibatkan banyak tokoh berkecenderungan kejiwaan dan tabiat bejat, skizofrenik dan tak terduga arah dan bentuknya.
Tapi harus diakui ada khilaf-khilaf berupa sejumlah detail kecil yang menyalahi tatanan hukum representasi, salah cetak dan defamiliarisasi realitas. Ini bukti yang berkali-kali terjadi bahwa ketelitian dan kecermatan penyunting sangat penting. Tapi khilaf itu tak akan menumbangkan eksistensi paling substansial novel ini. Pepatah setitik nilai rusak susu sebelanga tak bijak diterapkan untuk menilai novel. Sebab novel ini memiliki kompleksitas yang menawarkan aneka unsur intrinsik dan ekstrinsik yang hadir simultan dan sejajar harkatnya.
Novel ini potret kerusakan jiwa dan moral manusia akibat latar dan jalan sejarah kehidupan mereka yang ”sakit” dan itu berawal dari perbuatan kakek mereka yang merebut kekasih orang lain yang membuat orang yang direbut kekasihnya itu menebar kutukan jahat setelah kematiannya: ingin menghancurkan keturunan Ted Stammler.
Novel ini, di balik kecenderungan sarkastis dan kebejatannya serta fantasi, absurditas dan surealitasnya ternyata justru tak ingin bicara tentang kecenderungan an sich semua itu. Novel ini sangat moralis.
Peristiwa inses (perkawinan dengan keluarga dekat yang melanggar adat dan agama) dan pembunuhan oleh para keturunan Ted Stammler itu terbukti mendapatkan posisi yang tak terbela lewat sebuah ”logika” hubungan sebab-akibat cerita yang cerdas dan mistis: keberadaan roh jahat yang memendam dendam pada keturunan Ted Stammler dan mengarahkan mereka pada kehancuran.
Betapa naif kutukan panjang mengerikan itu: berawal dari sakit hati seorang lelaki yang kehilangan kekasih, sungguh sesuatu yang sangat profan. Dan kenaifan yang profan itu yang membuat saya memutuskan untuk mengenang novel ini: sesuatu yang ”biasa” yang tak pernah saya duga yang kemudian hadir menggores ingatan dan mengesankan saya karena kepiawaian novelis muda yang (semoga bakal kian) cemerlang ini mengolah gagasan cerita dan ekspresi bahasanya.
*) Penulis adalah penyair
http://www.sinarharapan.co.id/
Membaca novel bagi pembaca bebas dan impresif, tak selalu, apalagi harus, mengejar kalimat pertama hingga terakhir hanya demi menggapai keutuhan yang serbapadu dari aneka unsur yang berhuni di dalam novel. Kadang justru bukan keutuhan itulah yang menyihirkan pesona dan mungkin juga justru bukan keutuhan itu yang sangat disengaja penulis sebagai incaran strategi estetika novelnya. Maka memaksakan keutuhan pada setiap novel menjadi sebentuk praktik penilaian yang tak adil dan melanggar kebebasan ekspresi estetik.
Sebaris kalimat singkat atau selarik ungkapan pendek yang bagus pada halaman kesekian dari sebuah novel sehingga menancap hebat dalam ingatan atau mendapat pencerahan dari bagian kecil cerita atau benang merah dari desain besar sebuah novel (bukan detail-detail kecil) pun sudah cukup meskipun ini tak selalu dapat ditemui pada semua novel.
Novel sah dianggap sebagai sepetak taman fragmentaris, bukan harus sebidang ruang integralis, tanpa harus berisiko kehilangan kekuatan kenovelannya (novelty) selama masih ada mutu (ber)ceritanya. Adakah eksistensi, hakikat dan muatan terpenting lain dari novel (sebagai teks sastra) selain kekuatan itu?
Demikian juga ketika membaca novel Eka Kurniawan Cantik itu Luka (AKYpress dan Jendela, Yogyakarta, 2002). Ketika bertemu novel ini saya tertarik bukan karena tebal halamannya (517 halaman, spasi sangat rapat, font huruf di bawah ukuran normal) tapi oleh citraan gambar sampulnya yang klasik, mooi indie, serta bahasa redaksional judulnya yang terasa enteng.
Kemudian saya buru-buru menduga akan menghadapi cerita panjang populer, kalem, sederhana, gampang ditebak jalan ceritanya dan mungkin juga klise isi cerita dan bentuk penulisannya. Tapi saya merasa sejenak agak tertipu oleh dugaan tentang novel itu setelah beres membacanya. Kenapa muncul dugaan tertentu setiap kali bertemu gambar sampul dan judul sebuah buku, meski tak selalu tepat, saya tak bisa membebaskan diri untuk tak mengulanginya lagi setiap bertemu dengan gambar sampul dan judul sebuah buku?
Bagian halaman awal novel ini membawa pembaca pada cerita yang tampil fantastis, ingin surealis, dan mungkin juga hendak mistis dengan sejumlah pendahsyatan dan pelanturan di sana-sini: Seorang perempuan pelacur bernama Dewi Ayu bangkit dari kubur pada akhir pekan bulan Maret setelah 21 tahun kematiannya dan proses kebangkitan itu menjadi tontonan gratis dan menggemparkan penduduk kampung sekitar.
Tapi tontonan itu kemudian berubah menjadi horor besar yang membuat, ”Seorang perempuan melemparkan bayinya ke semak-semak dan seorang ayah menggendong batang pisang. Dua orang lelaki terperosok ke dalam parit, yang lainnya tak sadarkan diri di pinggir jalan dan yang lainnya lagi berlari lima belas kilometer tanpa henti.” Dan seterusnya.
Pembaca bisa salah duga bila terlalu cepat mengambil kesimpulan bila berpegang gaya cerita di halaman pertama. Pada cerita selanjutnya ditemukan cerita yang tak diduga berupa munculnya unsur kesejarahan yang mengusung begitu banyak data, fakta, dan peristiwa nasional kita yang berhasil diceritakan secara lancar dan manis, nyaris seperti untaian dongeng seputar kedatangan bala tentara keenam belas dari Jepang, minggatnya para Belanda dari wilayah yang sudah dihuni ratusan tahun lamanya, dan gerakan kaum komunis di sebuah kota antah-berantah bernama Halimunda.
Unsur kesejarahan itu memakan sebagian besar halaman novel ini yang tampak membuat komposisi novel ini kurang pas, njomplang, atau terlalu bertele-tele. Meskipun dari situ tampak dengan jelas penulis novel ini pasti sangat baik mengusai data, fakta dan peristiwa sejarah itu sehingga bisa ”menceritaulangkan” dengan sangat nyaman dan wajar. Tapi saya merasa tahu, segala latar sejarah itu bukan ”misi” utama novel ini.
Desain besar novel ini sangat tragis: ”luka silsilah dan tercabiknya eksistensi” para manusia yang berlangsung turun-temurun yang menimpa sebuah keluarga laksana kutukan panjang menyakitkan, semacam lingkaran setan, sehingga mereka menjadi manusia-manusia dengan kecenderungan sangat bejat, sarkastis, brutal dan menakutkan yang kemudian menjadi bencana besar bagi keturunan Ted Stammler dan manusia-manusia lain yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan keturunannya.
Sinopsis novel
Seorang lelaki Belanda bernama Ted Stammler mempunyai dua anak, Henri Stammler dan Aneu Stammler. Henri lahir dari Marietje Stammler dan Aneu lahir dari Ma Iyang. Saudara seayah dari dua ibu berbeda ini saling jatuh cinta dan melakukan inses sampai melahirkan orok yang dinamai Dewi Ayu. Dua sejoli ”larangan” itu lalu kabur ke Belanda dan meninggalkan orok itu di depan pintu rumah ayah mereka.
Dewi Ayu jadi pelacur pada zaman Jepang lewat latar belakang kisah panjang yang berliku dan menyengsarakan. Dewi Ayu menjadi pelacur terkenal lokalisasi Mama Kalong dan dianggap maskot kota Halimunda. Hampir semua lelaki dewasa kota itu pernah meniduri dia atau berangan mesum bersama dia.
Dewi Ayu melahirkan 4 anak perempuan (Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik) dari para lelaki yang dikehendaki maupun yang tak dikehendaki.
Dewi Ayu pelacur ulung sampai-sampai dua menantunya pernah bersanggama dengan dia. Satu di antara dua menantu Dewi Ayu itu seorang tentara pada zaman Jepang yang biasa dipanggil Shodancho (kemudian jadi suami Alamanda). Shodancho itu pernah memperkosa Dewi Ayu sebelum dia menjadi menantunya dan juga memperkosa Alamanda sebelum menjadi suaminya.
Sedangkan Maman Gendeng, menantu yang lain, adalah mantan kekasih Dewi Ayu yang disuruh dia menikahi anak ketiganya, Maya Dewi. Maman Gendeng begundal terkenal kota Halimunda setelah membunuh preman kota itu, Edi Idiot. Sedangkan Adinda dikawini seorang komunis bernama Kamerad Kliwon yang mati bunuh diri setelah serong dengan Alamanda, tak lama sepulang dari penjara Pulau Buru. Kemudian Cantik, si bungsu yang buruk rupa itu, ketika mulai menstruasi sering disambangi sang pangerannya yaitu Krisan yang menyelinap masuk ke kamarnya lewat jendela dan bersetubuh hingga Cantik hamil dan melahirkan orok yang tak sempat hidup lama.
Dari Alamanda, Dewi Ayu mendapat satu cucu Nurul Aini (Ai), dari Adinda juga memeroleh satu cucu Krisan. Maya Dewi memberi satu cucu Rengganis si Cantik yang kemudian memberi seorang cicit dengan ayah si Krisan dan dari Cantik dianugerahi seorang cucu yang juga berayah si Krisan.
Kamerad Kliwon yang bunuh diri itu pernah dikirim ke Pulau Buru atas persetujuan Shodancho. Shodancho itu mati dicabik-cabik ajak di tengah hutan setelah anaknya mati dibunuh orang. Maman Gendeng moksa setelah melihat anak buahnya dibantai tentara dan anaknya juga mati terbunuh.
Keluarga itu dikutuk roh jahat Ma Gedik (kekasih Ma Iyang) yang sakit hati pada Ted Stammler yang merebut kekasihnya. Roh jahat itu memendam kesumat dan ingin mencelakai seluruh keturunan Ted Stammler.
Anak dan cucu Ted Stammler saling berzina sesama saudaranya sendiri, para menantu saling berbunuhan, dan cucu membunuh cucunya yang lain.
Semua itu terjadi dalam ”skenario” roh jahat itu. Dan setelah mendapatkan kemenangan, Dewi Ayu yang bangkit dari kubur setelah 21 tahun kematiannya berhasil membunuh roh jahat itu.
Peristiwa inses
Novel ini begitu tangguh dan telaten membangun jalan cerita yang rumit dan kompleks dengan sejumlah latar sejarah yang luas dan fantasi yang absurd maupun surealis serta melibatkan banyak tokoh berkecenderungan kejiwaan dan tabiat bejat, skizofrenik dan tak terduga arah dan bentuknya.
Tapi harus diakui ada khilaf-khilaf berupa sejumlah detail kecil yang menyalahi tatanan hukum representasi, salah cetak dan defamiliarisasi realitas. Ini bukti yang berkali-kali terjadi bahwa ketelitian dan kecermatan penyunting sangat penting. Tapi khilaf itu tak akan menumbangkan eksistensi paling substansial novel ini. Pepatah setitik nilai rusak susu sebelanga tak bijak diterapkan untuk menilai novel. Sebab novel ini memiliki kompleksitas yang menawarkan aneka unsur intrinsik dan ekstrinsik yang hadir simultan dan sejajar harkatnya.
Novel ini potret kerusakan jiwa dan moral manusia akibat latar dan jalan sejarah kehidupan mereka yang ”sakit” dan itu berawal dari perbuatan kakek mereka yang merebut kekasih orang lain yang membuat orang yang direbut kekasihnya itu menebar kutukan jahat setelah kematiannya: ingin menghancurkan keturunan Ted Stammler.
Novel ini, di balik kecenderungan sarkastis dan kebejatannya serta fantasi, absurditas dan surealitasnya ternyata justru tak ingin bicara tentang kecenderungan an sich semua itu. Novel ini sangat moralis.
Peristiwa inses (perkawinan dengan keluarga dekat yang melanggar adat dan agama) dan pembunuhan oleh para keturunan Ted Stammler itu terbukti mendapatkan posisi yang tak terbela lewat sebuah ”logika” hubungan sebab-akibat cerita yang cerdas dan mistis: keberadaan roh jahat yang memendam dendam pada keturunan Ted Stammler dan mengarahkan mereka pada kehancuran.
Betapa naif kutukan panjang mengerikan itu: berawal dari sakit hati seorang lelaki yang kehilangan kekasih, sungguh sesuatu yang sangat profan. Dan kenaifan yang profan itu yang membuat saya memutuskan untuk mengenang novel ini: sesuatu yang ”biasa” yang tak pernah saya duga yang kemudian hadir menggores ingatan dan mengesankan saya karena kepiawaian novelis muda yang (semoga bakal kian) cemerlang ini mengolah gagasan cerita dan ekspresi bahasanya.
*) Penulis adalah penyair
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi