Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/
Membaca novel bagi pembaca bebas dan impresif, tak selalu, apalagi harus, mengejar kalimat pertama hingga terakhir hanya demi menggapai keutuhan yang serbapadu dari aneka unsur yang berhuni di dalam novel. Kadang justru bukan keutuhan itulah yang menyihirkan pesona dan mungkin juga justru bukan keutuhan itu yang sangat disengaja penulis sebagai incaran strategi estetika novelnya. Maka memaksakan keutuhan pada setiap novel menjadi sebentuk praktik penilaian yang tak adil dan melanggar kebebasan ekspresi estetik.
Sebaris kalimat singkat atau selarik ungkapan pendek yang bagus pada halaman kesekian dari sebuah novel sehingga menancap hebat dalam ingatan atau mendapat pencerahan dari bagian kecil cerita atau benang merah dari desain besar sebuah novel (bukan detail-detail kecil) pun sudah cukup meskipun ini tak selalu dapat ditemui pada semua novel.
Novel sah dianggap sebagai sepetak taman fragmentaris, bukan harus sebidang ruang integralis, tanpa harus berisiko kehilangan kekuatan kenovelannya (novelty) selama masih ada mutu (ber)ceritanya. Adakah eksistensi, hakikat dan muatan terpenting lain dari novel (sebagai teks sastra) selain kekuatan itu?
Demikian juga ketika membaca novel Eka Kurniawan Cantik itu Luka (AKYpress dan Jendela, Yogyakarta, 2002). Ketika bertemu novel ini saya tertarik bukan karena tebal halamannya (517 halaman, spasi sangat rapat, font huruf di bawah ukuran normal) tapi oleh citraan gambar sampulnya yang klasik, mooi indie, serta bahasa redaksional judulnya yang terasa enteng.
Kemudian saya buru-buru menduga akan menghadapi cerita panjang populer, kalem, sederhana, gampang ditebak jalan ceritanya dan mungkin juga klise isi cerita dan bentuk penulisannya. Tapi saya merasa sejenak agak tertipu oleh dugaan tentang novel itu setelah beres membacanya. Kenapa muncul dugaan tertentu setiap kali bertemu gambar sampul dan judul sebuah buku, meski tak selalu tepat, saya tak bisa membebaskan diri untuk tak mengulanginya lagi setiap bertemu dengan gambar sampul dan judul sebuah buku?
Bagian halaman awal novel ini membawa pembaca pada cerita yang tampil fantastis, ingin surealis, dan mungkin juga hendak mistis dengan sejumlah pendahsyatan dan pelanturan di sana-sini: Seorang perempuan pelacur bernama Dewi Ayu bangkit dari kubur pada akhir pekan bulan Maret setelah 21 tahun kematiannya dan proses kebangkitan itu menjadi tontonan gratis dan menggemparkan penduduk kampung sekitar.
Tapi tontonan itu kemudian berubah menjadi horor besar yang membuat, ”Seorang perempuan melemparkan bayinya ke semak-semak dan seorang ayah menggendong batang pisang. Dua orang lelaki terperosok ke dalam parit, yang lainnya tak sadarkan diri di pinggir jalan dan yang lainnya lagi berlari lima belas kilometer tanpa henti.” Dan seterusnya.
Pembaca bisa salah duga bila terlalu cepat mengambil kesimpulan bila berpegang gaya cerita di halaman pertama. Pada cerita selanjutnya ditemukan cerita yang tak diduga berupa munculnya unsur kesejarahan yang mengusung begitu banyak data, fakta, dan peristiwa nasional kita yang berhasil diceritakan secara lancar dan manis, nyaris seperti untaian dongeng seputar kedatangan bala tentara keenam belas dari Jepang, minggatnya para Belanda dari wilayah yang sudah dihuni ratusan tahun lamanya, dan gerakan kaum komunis di sebuah kota antah-berantah bernama Halimunda.
Unsur kesejarahan itu memakan sebagian besar halaman novel ini yang tampak membuat komposisi novel ini kurang pas, njomplang, atau terlalu bertele-tele. Meskipun dari situ tampak dengan jelas penulis novel ini pasti sangat baik mengusai data, fakta dan peristiwa sejarah itu sehingga bisa ”menceritaulangkan” dengan sangat nyaman dan wajar. Tapi saya merasa tahu, segala latar sejarah itu bukan ”misi” utama novel ini.
Desain besar novel ini sangat tragis: ”luka silsilah dan tercabiknya eksistensi” para manusia yang berlangsung turun-temurun yang menimpa sebuah keluarga laksana kutukan panjang menyakitkan, semacam lingkaran setan, sehingga mereka menjadi manusia-manusia dengan kecenderungan sangat bejat, sarkastis, brutal dan menakutkan yang kemudian menjadi bencana besar bagi keturunan Ted Stammler dan manusia-manusia lain yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan keturunannya.
Sinopsis novel
Seorang lelaki Belanda bernama Ted Stammler mempunyai dua anak, Henri Stammler dan Aneu Stammler. Henri lahir dari Marietje Stammler dan Aneu lahir dari Ma Iyang. Saudara seayah dari dua ibu berbeda ini saling jatuh cinta dan melakukan inses sampai melahirkan orok yang dinamai Dewi Ayu. Dua sejoli ”larangan” itu lalu kabur ke Belanda dan meninggalkan orok itu di depan pintu rumah ayah mereka.
Dewi Ayu jadi pelacur pada zaman Jepang lewat latar belakang kisah panjang yang berliku dan menyengsarakan. Dewi Ayu menjadi pelacur terkenal lokalisasi Mama Kalong dan dianggap maskot kota Halimunda. Hampir semua lelaki dewasa kota itu pernah meniduri dia atau berangan mesum bersama dia.
Dewi Ayu melahirkan 4 anak perempuan (Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik) dari para lelaki yang dikehendaki maupun yang tak dikehendaki.
Dewi Ayu pelacur ulung sampai-sampai dua menantunya pernah bersanggama dengan dia. Satu di antara dua menantu Dewi Ayu itu seorang tentara pada zaman Jepang yang biasa dipanggil Shodancho (kemudian jadi suami Alamanda). Shodancho itu pernah memperkosa Dewi Ayu sebelum dia menjadi menantunya dan juga memperkosa Alamanda sebelum menjadi suaminya.
Sedangkan Maman Gendeng, menantu yang lain, adalah mantan kekasih Dewi Ayu yang disuruh dia menikahi anak ketiganya, Maya Dewi. Maman Gendeng begundal terkenal kota Halimunda setelah membunuh preman kota itu, Edi Idiot. Sedangkan Adinda dikawini seorang komunis bernama Kamerad Kliwon yang mati bunuh diri setelah serong dengan Alamanda, tak lama sepulang dari penjara Pulau Buru. Kemudian Cantik, si bungsu yang buruk rupa itu, ketika mulai menstruasi sering disambangi sang pangerannya yaitu Krisan yang menyelinap masuk ke kamarnya lewat jendela dan bersetubuh hingga Cantik hamil dan melahirkan orok yang tak sempat hidup lama.
Dari Alamanda, Dewi Ayu mendapat satu cucu Nurul Aini (Ai), dari Adinda juga memeroleh satu cucu Krisan. Maya Dewi memberi satu cucu Rengganis si Cantik yang kemudian memberi seorang cicit dengan ayah si Krisan dan dari Cantik dianugerahi seorang cucu yang juga berayah si Krisan.
Kamerad Kliwon yang bunuh diri itu pernah dikirim ke Pulau Buru atas persetujuan Shodancho. Shodancho itu mati dicabik-cabik ajak di tengah hutan setelah anaknya mati dibunuh orang. Maman Gendeng moksa setelah melihat anak buahnya dibantai tentara dan anaknya juga mati terbunuh.
Keluarga itu dikutuk roh jahat Ma Gedik (kekasih Ma Iyang) yang sakit hati pada Ted Stammler yang merebut kekasihnya. Roh jahat itu memendam kesumat dan ingin mencelakai seluruh keturunan Ted Stammler.
Anak dan cucu Ted Stammler saling berzina sesama saudaranya sendiri, para menantu saling berbunuhan, dan cucu membunuh cucunya yang lain.
Semua itu terjadi dalam ”skenario” roh jahat itu. Dan setelah mendapatkan kemenangan, Dewi Ayu yang bangkit dari kubur setelah 21 tahun kematiannya berhasil membunuh roh jahat itu.
Peristiwa inses
Novel ini begitu tangguh dan telaten membangun jalan cerita yang rumit dan kompleks dengan sejumlah latar sejarah yang luas dan fantasi yang absurd maupun surealis serta melibatkan banyak tokoh berkecenderungan kejiwaan dan tabiat bejat, skizofrenik dan tak terduga arah dan bentuknya.
Tapi harus diakui ada khilaf-khilaf berupa sejumlah detail kecil yang menyalahi tatanan hukum representasi, salah cetak dan defamiliarisasi realitas. Ini bukti yang berkali-kali terjadi bahwa ketelitian dan kecermatan penyunting sangat penting. Tapi khilaf itu tak akan menumbangkan eksistensi paling substansial novel ini. Pepatah setitik nilai rusak susu sebelanga tak bijak diterapkan untuk menilai novel. Sebab novel ini memiliki kompleksitas yang menawarkan aneka unsur intrinsik dan ekstrinsik yang hadir simultan dan sejajar harkatnya.
Novel ini potret kerusakan jiwa dan moral manusia akibat latar dan jalan sejarah kehidupan mereka yang ”sakit” dan itu berawal dari perbuatan kakek mereka yang merebut kekasih orang lain yang membuat orang yang direbut kekasihnya itu menebar kutukan jahat setelah kematiannya: ingin menghancurkan keturunan Ted Stammler.
Novel ini, di balik kecenderungan sarkastis dan kebejatannya serta fantasi, absurditas dan surealitasnya ternyata justru tak ingin bicara tentang kecenderungan an sich semua itu. Novel ini sangat moralis.
Peristiwa inses (perkawinan dengan keluarga dekat yang melanggar adat dan agama) dan pembunuhan oleh para keturunan Ted Stammler itu terbukti mendapatkan posisi yang tak terbela lewat sebuah ”logika” hubungan sebab-akibat cerita yang cerdas dan mistis: keberadaan roh jahat yang memendam dendam pada keturunan Ted Stammler dan mengarahkan mereka pada kehancuran.
Betapa naif kutukan panjang mengerikan itu: berawal dari sakit hati seorang lelaki yang kehilangan kekasih, sungguh sesuatu yang sangat profan. Dan kenaifan yang profan itu yang membuat saya memutuskan untuk mengenang novel ini: sesuatu yang ”biasa” yang tak pernah saya duga yang kemudian hadir menggores ingatan dan mengesankan saya karena kepiawaian novelis muda yang (semoga bakal kian) cemerlang ini mengolah gagasan cerita dan ekspresi bahasanya.
*) Penulis adalah penyair
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
1 komentar:
baru paham maksud jalan ceritanya setelah baca postingan ini ^_^
padahal udah lewat beberapa tahun lalu q baca novel ini. waktu masih SMA. mungkin saat itu, pikiranku masa SMA belum bisa menangkap maksud yang dibawa novel tersebut. sekarang jadi pengen baca lagi :D
Posting Komentar