Senin, 21 Maret 2011

Untuk Apa Memetakan Penyair Sumatera?

Udo Z. Karzi*
Cybersastra.net, 5 Sep 2003

Aku membaca esai Isbedy Stiawan Z.S., “Jakarta dan Tabung Orba” (Lampung Post, 3 Agustus 2003). Isbedy menyikapi acara Temu-Dialog Penyair se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat, 8–13 Agustus 2003. Isinya sama seperti kebanyakan esai yang terbit di koran-koran: daftar sekian banyak nama penyair, media, dan institusi kepenyairan.

Pola serupa juga aku temukan dalam esai Gus tf, “Kepenyairan Sumatera” (Media Indonesia, 3 Agustus 2003). Penyair asal Solok, Sumatera Barat, itu menyebut nama-nama yang secara kebetulan muncul di media massa, terutama yang terbit di Jakarta. Seolah-olah, yang disebut penyair itu hanyalah mereka yang karya-karyanya dimuat di koran Jakarta atau kumpulan puisinya diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar.

Ini sebuah kekeliruan. Isbedy pun demikian, setidaknya, dalam beberapa esainya sehingga muncul penegasan semacam ini, “Saya sependapat dikatakan Agus Hernawan (baca: “Mau Apa Temu-Dialog Penyair Sumatera”, Padang Ekspres, 27 Juli 2003) bahwa Sumatera–pulau yang luasnya selebar Inggris sampai kini tidak memiliki media yang signifikan dan berkualitas. Ironis memang, Sumatera tidak memiliki jurnal, majalah, atau penerbitan sekelas Kalam, Horison, Jurnal Prosa, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, penerbit buku Indonesia Tera, Bentang, Jendela, Jalasutra, Senayan Abadi, Gama Media, dan masih banyak lagi.” Lalu, Isbedy berkutat pada isu-isu lama: Jawa dan Bali dominan karena diuntungkan berbagai faktor…. Tak perlu aku kutip lagi soal itu di sini.
***

Apa yang menyebabkan penyair menjadi istimewa atau paling tidak merasa harus diistimewakan sehingga kalau ada penyair yang “pensiun” dalam arti tidak menulis lagi, beramai-ramailah penyair yang masih menulis syair dan lumayan produktif menggugat atau menangisi “kematian” sang penyair?

Bersyukurlah mereka yang dianugerahi semangat tinggi menyair, sehingga masih menjadi penyair sampai tua, bahkan sampai meninggal. Namun, penyair yang tidak lagi membuat syair, apakah dengan begitu ia tak bisa lagi disebut penyair? Adakah seorang pensiunan penyair seperti layaknya seorang pensiunan pegawai negeri? Bagaimana pula dengan karya-karya mereka yang sudah lama pensiun? Apakah mereka tidak layak masuk dalam peta kepenyairan terkini meskipun mereka masih hidup?

Seorang “pensiunan penyair” berkata, “Ternyata lebih nikmat membaca, apa saja. Soalnya, apa lagi yang mesti ditulis karena semua sudah ditulis orang.” Bagaimana kita mengartikan ini? Rasa frustrasi, sinisme, atau kritik? Tersirat dalam pikiranku, orang masih menulis (puisi, cerpen, artikel, atau apa pun) di media massa untuk melakukan komunikasi. Tidak lebih tidak kurang. Syair? Pernah suatu ketika aku begitu keranjingan dengan puisi, sehingga semua jenis puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku atau dimuat di media massa, aku baca dan mulai membuat puisi. Namun, ketika–sama dengan cerpen–aku menemui nama-nama yang sama dari waktu ke waktu, aku cuma bisa bilang: “Bosan!”

Tentu saja aku tidak bisa begitu mengecilkan arti sebuah karya puisi dan penyair yang menulisnya. Aku akui, mungkin, aku tak mampu melakukan hal yang sama apalagi lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pada kampung halamanku. Di desaku yang kini disebut pekon, puisi tak pernah ditulis. Puisi atau apa pun namanya dalam bahasa Lampung hanyalah sesuatu yang diciptakan, mungkin spontan untuk merayu muli sikop (gadis cantik) yang kebetulan lewat. Tak ada orang yang mengaku telah menciptakan sajak. Tak ada yang mengaku dirinya penyair. Syair itu hanya hadir seperti angin lalu. Hanya berarti bagi yang mengucapkan dan seseorang yang dituju. Begitulah.
***

Sumatera gudangnya penyair. Aku sepakat! Tapi pertanyaannya: penyair itu apa? Penyair Sumatera itu yang mana? Perlu benarkah peta penyair Sumatera itu? Bukankah Sumatera telah menjadi Indonesia? Padahal, nama Indonesia sebagai tanah, bangsa, dan bahasa itu baru ada setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, sampai sekarang pun keindonesiaan kita masih tetap bermasalah.

Aku teringat Ajib Rosidi. Ia pernah mengatakan bahasa Melayu tidak sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Di Sumatera, daerah-daerah yang dapat diidentifikasi berbahasa Melayu hanyalah sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Palembang. Bagaimana dengan bahasa Batak, Aceh, dan Lampung? Ini cukup menjadi soal ketika hendak membuat peta penyair Sumatera.

Ini soal tradisi saja. Bicara syair, dalam budaya lama–belajar dari bahasa Lampung misalnya–syair-syair tak pernah ditulis, ia hanya dihapalkan dan disampaikan. Setelah itu, dilupakan tak mengapa. Tentu saja, kalau ini terus berlanjut, bukan mustahil tradisi bersyair, lisan atau tulisan, pelan-pelan tergerus zaman. Dalam pada itu, kita sepakat terus melestarikan tradisi bersyair itu. Agar tak mudah lupa, sudah saatnya menyeimbangkan antara keberadaan kelisanan dan keberaksaraan.

Jika ada ide membuat peta penyair atau yang lebih luas lagi peta sastrawan Sumatera, aku pikir akan bagus sekali. Hanya, peta yang dibuat tentunya bukan “peta politik penyair”. Sebab, kecondongan itu selalu ada. Gugat-menggugat, antikritik, dan segala jenis keluhan selama ini tak lebih dari pernik-pernik keterkungkungan kaum penyair atau sastrawan.

Tak perlu diributkan soal seseorang yang berhenti bersyair. Sebab, pada akhirnya sastrawan adalah politikus, yang perlu menyosialisasikan pemikiran politiknya (dalam bentuk karya sastra), memerlukan media sosialisasi kalau bukan kampanye seni, yang kadang merasa perlu mendapatkan kewewenangan, kekuasaan atau legitimasi dari masyarakat, serta memperluas wilayah “kekuasaan”-nya ke seluruh antero jagad.

Kesan proyek politik ini menjadi kuat jika penyair malah kembali membangun sentimen lama: soal sentralisme, otonomi, keuangan, ketidakadilan media pusat seraya menyodorkan segudang kelemahan-kelemahan di daerah. Revitalisasi sastra pedalaman atau apa pun namanya terbukti hanya membuat penggagasnya kini berada di puncak popularitas. Setelah itu, berhenti! Jadi, tak perlu ada pemilihan presiden penyair Sumatera atau apa pun namanya.

Peta penyair harus diakui penting bagi mereka yang benar-benar belum pernah masuk ke dunia syair atau berkunjung ke surga para penyair. Walaupun begitu, ia tetap penting dibuat. Bukan untuk sebuah monumen, tetapi untuk bisa menyelami lagi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana (semacam 5W + 1H). Tidak sekadar peta, barangkali saja dibutuhkan sebuah mekanisme komunikasi di antara pekerja syair, pengawas syair, atau pemantau syair. Ketimbang mengembangkan rasa curiga di antara kita, lebih baik, misalnya, membangun jaringan penyair se-Sumatera untuk menciptakan suasana yang memungkin saling berkomunikasi, berbagi cerita, dan membangun kreativitas baru.

*) Penyair. Buku kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (2002).
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2003/09/esai-untuk-apa-memetakan-penyair.html

Rendra, “Bangsa Kita Kian Terpuruk Dihantam Utang dan Korupsi”

Soni Farid Maulana
Pikiran Rakyat, 2 Agus 2008

Bangsa ini seperti dadu
terperangkap dalam kaleng utang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa
tanpa kita berdaya melawannya.
Semua terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan
di jaman penjajahan

TUJUH larik puisi di atas dipetik dari puisi Maskumambang karya penyair Rendra. Puisi tersebut ditulis pada 4 April 2006 lalu di Cipayung Jaya Depok Jawa Barat. Puisi yang ditulis sebelum gerakan reformasi digulirkan, yang berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto itu, sangat kontekstual dengan keadaan bangsa dan negara kita saat ini yang kian hari kian terpuruk oleh utang negara yang kian bengkak dan kian memar oleh tindak pidana korupsi yang dilakukan sejumlah oknum wakil rakyat dan oknum abdi negara yang kian menjadi-jadi di berbagai lapisan instansi pemerintah.

Berkaitan dengan itu, Rendra mengatakan bahwa gerakan reformasi yang terjadi di negeri ini secara esensial ternyata tidak menghasilkan apa-apa selain menghasilkan koruptor-koruptor baru dan utang negara yang kian bengkak. Ini benar-benar menyedihkan. Mereka yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru sebagian kecil dari kalangan koruptor kelas teri.

“Kelas kakapnya masih gentayangan di luar sana,” ujar penyair Rendra dalam percakapannya dengan penulis, Sabtu (12/7) malam di Kafe dan Butik Eksplora Jln. Kliningan Raya No. 1 Bandung.

Apa yang dikatakan Rendra memang tidak salah. Dalam beberapa bulan terakhir, rakyat di negeri ini dengan mata kepala sendiri melihat lebih dari satu oknum anggota DPR aktif yang diduga melakukan tindak pidana korupsi ditangkap KPK.

Pertanyaannya sekarang adalah seberapa banyak lagi oknum anggota DPR yang akan ditangkap KPK? Banyaknya anggota DPR aktif yang ditangkap KPK, kata Rendra lebih lanjut, menunjukkan bahwa jalannya pembangunan di negeri ini tidak serius dilakukan mereka yang diberi amanah oleh rakyat.

Mental buruk abdi negara suka menerima suap, tidak hanya terjadi di zaman sekarang . Di zaman raja-raja ketika berkuasa pun demikian adanya. Malah pada saat itu, tak jarang penguasa lokal yang tamak bekerja sama dengan para penjajah menangkap rakyat yang berpikiran kritis, yang menolak terjadinya pengisapan atas mereka yang dilakukan para penjajah dan penguasa tamak itu. Tak aneh kalau dalam bait-bait berikutnya dari puisi tersebut di atas Rendra menulis,

Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum juga mencontoh tatanan penjajahan Menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatanYang berdaulat hanya pemerintah dan partai politik.
O, comberan peradaban
O, martabat bangsa yang kini compang-camping…

Puisi tersebut memang ditulis pada 2006 lalu, tetapi realitas sosial, poitik, dan ekonomi yang melanda bangsa ini tidak berubah sejak zaman raja-raja hingga zaman Orde Reformasi. Buktinya, rakyat tetap miskin, korupsi kian marak, utang negara kian bengkak, dan harga-harga kian mahal, kian tak terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selain itu, tindak kekerasan pun kian meningkat pula di negeri ini yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Ini terjadi, kata Rendra, masih dalam puisi tersebut,

Karena politik tidak punya kepala
tidak punya telinga. Tidak punya hati
Politik hanya mengenal kalah dan menang
Kawan dan lawan
Peradaban yang dangkal.

Meskipun hidup berbangsa perlu politik
Tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia

Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama
di dunia
harus menjaga daulat hukum alam
daulat hukum masyarakat
dan daulat hukum akal sehat

“Pendeknya hukum di negeri ini harus benar-benar ditegakkan. Para koruptor dari berbagai kalangan harus disikat hingga ke akarnya, demikian juga para pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Terus terang saya sedih melihat keadaan kita sekarang ini, yang pada satu sisinya begitu mudahnya pemerintah kita didikte dan bahkan dikonsepsi oleh bangsa-bangsa asing. Harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik dan kita tak berdaya menolaknya. Kita harus waspada dalam menghadapi situasi yag demikian itu yang menyebabkan perekonomian kita kalang kabut dibuatnya. Ini artinya ada yang tidak beres di situ,” jelas Rendra yang pada 26 Juli lalu menyelenggarakan diskusi pembangunan ekonomi dengan basis kepentingan bangsa, di rumahnya, Jln. Raya Cipayung Jaya 36 Kampung Rawa Pancoran Mas Depok Jawa Barat. Begitulah, hidup di negeri ini ternyata tidak mudah. Adakah saat ini partai-partai politik yang kini manggung benar-benar memperhatikan nasib rakyat. Kita berharap demikian?
***

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/rendra-bangsa-kita-kian-terpuruk.html

Minggu, 20 Maret 2011

Tanah Merah

Dwicipta
Kompas, 13 Jan 2008

Ketika ia bersandar pada pagar kapal yang akan membawanya pergi dari Tanah Merah, seluruh peristiwa yang telah dialaminya hampir setahun sebelumnya bagai berputar kembali di pelupuk matanya. Hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak berkesudahan. Semula ia adalah seorang pahlawan untuk negerinya, negeri Belanda yang telah menguasai bumi Hindia Belanda selama ratusan tahun. Semua orang yang tahu atau pernah mendengar tentang peristiwa Banten yang menggegerkan itu sudah barang tentu telah mendengar keharuman namanya.

Oleh tindakan kepahlawanan itu Pemerintah Hindia Belanda telah menganugerahkan sebuah bintang kehormatan kepadanya. Orang-orang mengelu-elukannya. Ia mendapatkan undangan pesta dari para pejabat militer Batavia dan orang-orang yang ingin mendengarkan kisah pertempuran yang telah ia alami, bunyi letusan senapan dan jerit mengerikan ketika tubuh meregang nyawa. Sungguh, memabukkan.

Beberapa bulan setelah ia berhasil menumpas pemberontakan kaum merah di Banten, Pemerintah Batavia menunjuknya sebagai komandan ekspedisi yang pertama-tama untuk masuk ke Digul dan mempersiapkan kamp pembuangan bagi kaum interniran yang telah memenuhi penjara-penjara di Jawa dan Sumatera.

“Apakah Gubernur Jenderal sudah gila? Digul adalah daerah terpencil, hutan-hutan lebat yang belum dijamah kecuali oleh penduduk rimba setempat dan para petualang Tionghoa. Aku mendengar dari orang-orang yang melakukan ekspedisi ke sana untuk mencari emas bahwa Digul adalah belantara yang dipenuhi para pengayau. Bagaimana kaum interniran bisa hidup di sana?” tanyanya kepada Letnan Drejer, opsir yang juga mendapatkan perintah untuk menemaninya masuk belantara Digul.

“Tampaknya tuan Gubernur Jenderal de Graeff ingin meniru bangsa Rusia. Bukankah di Rusia terdapat pembuangan yang terkenal di seluruh dunia? Siapa tak mengenal Siberia, neraka bagi siapa pun warga Rusia yang berontak atau menjadi bajingan!” ujar Letnan Drejer sambil tersenyum kecut.

“Kita bukan bangsa Rusia dan Siberia lain dengan Digul, Letnan. Digul hutan lebat. Apa yang bisa diharapkan dari daerah seterpencil itu? Kalau kita membuka hutannya, masalah mengerikan lain telah menunggu: malaria! Bukankah itu sama saja dengan mengirimkan kaum interniran itu ke lembah kematian?”

“Saya tak takut dengan malaria, Kapten. Tapi tinggal di hutan lebat semacam Digul sama saja dengan menyerahkan kepala kita kepada para pengayau atau para kanibal hitam di sana. Itulah yang saya takutkan,” ujar Letnan Drejer dengan kepala bergidik.

“Hehm, benar. Dan kita, kaum terhormat yang baru saja mendapatkan bintang kehormatan dari tindakan militer, harus mengotorkan tangan dengan tindakan memalukan. Sungguh keterlaluan orang-orang Batavia!”

“Yang lebih mengherankan, bukankah Gubernur Jenderal de Graeff itu terkenal berbudi baik, Kapten? Bagaimana ia bisa membuat keputusan-keputusan yang mengerikan seperti membuka kamp pembuangan?” ujar Letnan Drejer tak mengerti.

“Apalah artinya seorang gubernur jenderal berbudi baik bila sistemnya telah diracuni oleh para pejabat berhati kotor? Merekalah yang tak ingin kedudukannya terancam dengan ulah para pemberontak yang ingin menjatuhkan kekuasaan. Dan, untuk menangkal ancaman tersebut, tindakan kotor pun buat mereka tak apa-apa dan tak ada salahnya dilakukan.”

Letnan Drejer mengangkat bahu. Dipandangnya punggung Kapten Becking yang jangkung itu. Rasa hormatnya yang tinggi tak pernah lenyap terhadap lelaki ksatria yang beranjak tua ini. Di luar dinas militernya, opsir berambut putih itu sungguh terpelajar. Satu minggu sebelumnya Kapten Becking telah meminta bawahannya untuk mencari segala pengetahuan yang ada hubungannya dengan Digul dan bumi hitam di ujung timur Hindia itu. Sementara para prajurit dan opsir bawahannya membual dan membayangkan petualangan di tanah mereka yang akan mereka lakukan, ia justru tenggelam dengan buku-buku dan tumpukan laporan tentang Digul dan wilayah New Guinea secara umum. Ia gemar sekali membicarakan suku-suku pedalaman yang tinggal di hutan belantara itu dan di sepanjang Sungai Digul, kebaikan-kebaikan mereka dan kesukaan mereka dalam mengayau. Tak jarang ia mengingatkan Letnan Drejer akan kebuasan alam tempat baru itu dan berujar ia akan menundukkannya secepat mungkin.

Satu minggu sebelum bulan Januari 1927 berakhir kapalnya yang membawa 120 serdadu dan 60 kuli paksa dengan kaki dirantai memasuki Sungai Digul dan membuang sauhnya pada jarak ratusan kilometer dari pantai. Hujan tipis tak menghalanginya untuk keluar dari kapal, memandang ke arah hutan lebat maha luas dan tampak buas dalam bayangannya. Dari tabir tipis gerimis ia masih bisa menangkap keluasan hijau yang terbentang di depan matanya, daerah sunyi yang oleh Gubernur Jenderal de Graeff telah dipilih sebagai kamp pembuangan kaum interniran merah yang memberontak itu. Tubuhnya yang jangkung dan rambutnya yang memutih bergoyang-goyang oleh kapal dan angin yang bertiup cukup keras. Ia menggelengkan kepala dan menarik napas dalam-dalam.

“Di sinikah tahanan politik itu disembunyikan dari masyarakatnya, ataukah justru dikuburkan untuk selama-lamanya?”

Lama ia berdiri di pagar kapal, mengamati hutan belantara dan buaya-buaya yang berjemur dengan moncong terkatup di pinggir sungai. Ia membayangkan suku-suku pedalaman yang nanti akan terganggu oleh pekerjaan barunya. Sayang ia tak bisa mundur lagi. Dengan seluruh perasaan bersalah mengeram di dalam dadanya, ia menekan hasrat kemanusiaannya yang terus menggemakan pertanyaan demi pertanyaan. Ia menggenggam bintang kehormatan yang tersemat di dadanya dengan perasaan terhina dan masuk kembali ke kapal menemui Letnan Drejer dan segenap prajurit bawahannya.

Setelah berunding beberapa saat, mereka menurunkan seluruh keperluan pembukaan hutan dan perbekalan hidup mereka untuk masa tiga bulan. Kecuali pakaian dan perlengkapan anak buahnya, terdapat alat-alat duduk dan tidur, barang pecah belah, alat pertanian dan persediaan benih, lalu kaleng minyak tanah yang isinya tidak lain bahan-bahan makanan. Para kuli paksa dan sebagian besar serdadu membuka hutan dengan model setengah lingkaran terlebih dahulu sebagai tempat untuk mendirikan kemah dan tenda mereka. Sementara sebagian kecil serdadu menjaga bahan persediaan makanan dan segala barang perlengkapan yang telah diturunkan dari kapal.

Ketika kegelapan menyelimuti mereka, di tengah-tengah tenda dan kemah baru diletakkan lampu stormking. Kapten Backing dan seluruh pengikutnya bersiap-siap dengan serbuan pertama-tama manusia hutan Digul. Pada tengah malam, ketika keletihan telah merayapi tubuh mereka, tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang datang dari berbagai jurusan sekalipun tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan dirinya di bawah penerangan lampu. Beberapa kuli paksa gemetaran dan membaca doa keras-keras, mengira suara-suara jeritan dari balik hutan sebagai kemarahan hantu-hantu hutan yang pepohonannya telah mereka babat. Namun, Kapten Becking dan sebagian besar serdadu yang dibawanya yakin itu adalah suara-suara para penghuni hutan yang telah menyaksikan aktivitas mereka sejak pagi. Setelah ditunggu-tunggu dan mereka tak juga muncul atau menyerang, seluruh serdadu dan kuli paksa menarik napas lega.

“Aku yakin mereka tidak buas, sebab kalau mereka buas sudah sejak semalam mereka akan menyerang kita,” ujar Kapten Becking keesokan harinya.

“Aku harap juga demikian. Kalau mereka buas, pekerjaan kita bakalan lebih payah lagi,” letnan Drejer menimpali dengan kecut.

“Benar. Bagaimanapun tugas berat ini harus cepat selesai, paling tidak sebelum satu bulan. Di samping tenda-tenda, kita harus mempersiapkan dua gudang untuk menyimpan seluruh barang-barang yang telah kita bawa, sebuah rumah sakit, satu stasiun radio dan sebuah kantor pos. Itu belum termasuk menyiapkan lahan-lahan permukiman bagi kaum interniran dan lahan pertanian mereka kelak.”

“Kantor pos? Sungguh aneh, di sebuah hutan belantara seperti Digul bagaimana mungkin ada kantor pos? Sungguh konyol gagasan orang-orang Batavia itu,” ujar Letnan Drejer mengejek.

“Sekarang mungkin kita tak membutuhkannya. Namun, nanti, ketika seluruh kaum interniran itu diangkut ke sini, mereka akan membutuhkannya. Apakah mereka akan dibiarkan betul-betul merana tanpa berkirim kabar pada saudaranya di tempat lain. Mereka orang beradab dan harus tetap berhubungan dengan peradaban.”

“Mereka dibuang di sini saja bukan tindakan beradab, Kapten. Jadi sia-sia saja mereka mencari hubungan dengan orang-orang beradab.”

“Itulah yang sebenarnya melukai kehormatanku, Letnan. Aku lebih terhormat meregang nyawa dalam sebuah pertempuran daripada membuat tempat penyiksaan semacam ini. Tapi kita mengabdi kepada Gubernur Jenderal, bukan kepada nurani kita,” ujar Kapten Becking sambil menguap. Tak lama kemudian ia jatuh tertidur.

Begitu terang tanah telah sempurna, mereka kembali bekerja membabat hutan dan mempersiapkan tanah lapang untuk keperluan tempat tinggal dan segala bangunan yang akan diperlukan nanti. Serdadu yang berjaga dan ingin melepas kejenuhan menyusuri sungai dan berburu buaya.

Pada hari kelima, ketika mereka tengah siap memulai pekerjaan setelah istirahat tengah hari, mereka dikagetkan oleh suara jeritan seperti empat malam sebelumnya. Dari berbagai arah, dengan hanya berpakaian bulu burung cenderawasih dan membawa sebuah pepaya di tangan, manusia-manusia hitam bertubuh atletis itu menampakkan diri di hadapan para serdadu dan kuli paksa, mencoba menarik perhatian mereka lalu mendekat selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati. Kapten Becking, yang telah melakukan studi lama tentang daerah sekitar hutan ini beserta kebiasaan para penduduknya mendekati mereka dengan dada berdebar-debar. Busur, panah dan lembing mereka siap bergerak. Namun, buah pepaya yang ada di tangan para manusia hitam itu yang membuat Kapten Becking yakin mereka tak akan membuat keonaran.

Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajahnya ia mengajak mereka menukar tembakau terebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong garam dan barang-barang perhiasan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberikan kepada pemimpin penghuni hutan, mereka membalasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan.

“Mungkin mereka heran bagaimana suara manusia bisa muncul dari gramofon itu, Kapten,” kata anak buahnya sambil tersenyum dan tertawa terpingkal-pingkal.

“Tentu. Mereka mencari bagaimana benda sekecil itu menyembunyikan manusia,” kata Letnan Drejer sambil tersenyum lebar.

Setelah beberapa minggu segala persiapan awal penyambutan kedatangan para internitan yang pertama-tama di bekas hutan Digul itu selesai, secara bergelombang datanglah kaum merah yang telah gagal memberontak itu, dipisahkan dari bangsanya sendiri dan dikubur di tengah belantara untuk selamanya. Pada pendatang baru ia memperkenalkannya sebagai Tanah Merah.

Siapa sangka jika pekerjaan meletihkan dan memalukan itu kemudian memaksanya berhenti dari dinas militer? Semuanya berawal ketika ia mengizinkan seorang wartawan berkebangsaan Denmark masuk ke kamp interniran dan melihat dari dekat segala hasil kerjanya. Kabarnya, wartawan itu mengambil gambar para interniran selama di dalam kapal dari Surabaya hingga sampai di Digul. Komandan kapal yang tak ingin dosa-dosa para pejabat Batavia diketahui secara luas oleh seluruh dunia merampas kamera dan menghancurkan foto-foto yang telah dibuatnya selama di kapal. Alangkah murkanya ia ketika Kapten Becking justru mengizinkan wartawan itu masuk ke kamp pembuangan.

Ia juga tahu para pejabat Belanda di Merauke tak menyukai keberhasilannya membangun kamp pembuangan itu. Mereka membuat rencana busuk untuk menyingkirkanya. Suatu kali Letnan Drejer memberitahu bahwa Opsir Mon Joulah yang mengatur semua itu. “Ia sangat gila kekuasaan, Kapten,” ujar Letnan Drejer muak.

Foto dari wartawan Denmark itu rupanya telah melukai kehormatan para pejabat Batavia. Mereka makin menyudutkannya atas tindakan ceroboh memasukkan wartawan ke kamp pembuangan sehingga kabar tentang kamp pembuangan itu meluas ke seluruh dunia. Saat itulah ia memutuskan untuk mengirimkan kawat ke Batavia dan mengundurkan diri dari dinas militer!

Tak akan terlupakan hari keberangkatannya meninggalkan Digul. Ia berdiri di pagar kapal api, bukan lagi memandang hutan yang hijau sunyi, namun permukiman yang dibangunnya belum setahun yang lalu sembari merenungkan nasibnya. Hujan tipis membasahi baju dan rambutnya yang putih.

Sokawangi, Oktober 07
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2008/01/13/tanah-merah/

Rabu, 16 Maret 2011

Istri Pergi ke Saudi

Muhammad Amin
Seputar Indonesia 11/21/2010

Sewaktu saya sedang membolak-balik koran terbitan hari Minggu, mencari-cari lowongan pekerjaan yang cocok, tiba-tiba istri saya sudah berada di hadapan saya. Saya melongo padanya. Sepertinya ada sesuatu hal penting yang ingin ia sampaikan. Sejenak saya coba menerka-nerka. Mungkin tagihan air dan listrik yang nunggak. Saya rasa bukan, karena saya masih ingat kemarin baru membayarnya, meskipun itu uang tabungan terakhir kami. Atau masalah sekolah anak kami, Siska Paramitha, yang sekarang duduk di bangku SMA mulai tersendat masalah biaya. Dan semua hal dugaan saya berkaitan dengan masalah uang. Karena semenjak saya di-PHK perekonomian keluarga terasa carut-marut.

Saya masih menunggu apa yang ingin ia sampaikan. Namun tampaknya ia sangat ragu-ragu untuk menyampaikannya. Lalu dengan sangat hati-hati akhirnya istri saya buka mulut juga.

“Bang, aku mau minta izin.” katanya masih diliputi keraguan.

“Mau ke mana?” tanya saya, tak bisa menduga sebelumnya.

“Aku mau ikut Umaroh bekerja ke luar negeri.”

Terus terang, saya kaget mendengarnya. Saya tercenung sesaat. Saya masih bergeming dan tak memberi respon atas perkataan istri saya.

“Bagaimana?” tanyanya meminta kepastian. ”Apakah Abang setuju?”

Saya masih diam. Itu saya lakukan karena saya bermaksud tak memberi izin. Saya urung membaca koran untuk mencari lowongan. Saya beranjak meninggalkannya sendirian.

* * *

Terus terang saya orang yang tak mudah tersinggung apalagi marah. Saya seorang yang suka humor. Tapi saya sungguh kaget mendengar perkataan istri saya dan kehilangan bermacam selera. Dia ingin bekerja di luar negeri, padahal selama ini, saat saya masih bekerja, kehidupan kami selalu berkecukupan. Hanya sekarang saja setelah saya di-PHK keadaannya carut-marut.

Dan saya tak bisa berpikir jernih sewaktu ia mengatakan ingin bekerja di luar negeri, ke Arab Saudi, menjadi babu di negeri orang. Padahal saya tahu, baik melalui televisi maupun omong-omong tetangga, sudah terlalu sering mendengar berita tentang TKW yang bernasib malang. Itu menyakiti hati saya. Membuat saya merasa sebagai lelaki yang tak berguna, membiarkan istri menjadi hamba-sahaya.

Saya memang tak mudah tersinggung dan sakit hati. Tapi entah tiba-tiba saya sakit hati dan tersinggung. Apakah yang membuat istri saya ingin menghambakan diri di negeri orang bila saya masih mampu memberinya makan? Apakah yang membuatnya ingin meninggalkan saya bila saya masih mampu memberi nafkah? Meski saya mengakui memang susah mencari pekerjaan, tetapi saya tetap berusaha. Dan apakah yang akan dikatakan oleh tetangga nanti bila saya membiarkan istri saya bekerja menjadi babu di Timur Tengah sana? Di mana akan saya letakkan harga diri saya sebagai lelaki yang masih mampu bekerja dan berusaha?

Saya memang telah bersepakat dengan diri sendiri, tak akan saya memberi izin istri saya bekerja di luar negeri. Itu akan membuat saya tersiksa lahir batin. Tak ada yang mengurusi saya dan anak saya. Dan tak mungkin saya tahan mendengar gunjingan para tetangga.

Tadi malam kami saling diam. Bahkan tidur pun saling memunggungi. Aku ingin bicara dengannya, namun tidak saya lakukan. Paginya dia dengan sangat dipaksakan menyanyakan kepada saya pertanyaan yang sama. Kali ini saya sudah menyiapkan jawaban: Tidak. Saya tak akan pernah mengizinkannya.

“Apakah Abang mengizinkan aku kerja di Arab Saudi?”

“Kenapa kamu ingin bekerja ke luar negeri padahal aku, suamimu, masih mampu bekerja dan memberikan nafkah?”

“Terpaksa Bang. Siska sebentar lagi lulus SMA, ia ingin kuliah dan butuh biaya banyak. Selama sebulan ini kita tak punya pemasukan, malah pengeluaran yang banyak. Sementara aku malu pada tetangga. Aku ingin punya perabotan tapi tak punya uang.”

“Itu bukan alasan, Dik. Semestinya kamu harus bersyukur dengan keadaan kita sekarang, masih bisa makan dan punya tempat tinggal. Aku masih akan berusaha untuk menutupi semua kebutuhan kita.”

“Tapi Bang…”

“Apakah kamu sudah dirayu-rayu oleh Bi Mirah agen TKW itu?”

“Memang Bi Mirah mengusulkan agar aku bekerja jadi TKW ke Arab Saudi. Dan kupikir ada benarnya juga. Di sana gajinya lumayan. Uangnya bisa untuk memperbaiki rumah dan membeli perabotan yang bagus. Juga buat biaya sekolah Siska.”

“Aku sudah menduga, pasti kamu dipengaruhi sama si Mirah. Kan kalau dia berhasil membujuk kamu dia akan dapat uang banyak. Makin banyak orang yang terbujuk makin banyak uang yang didapat. Lihatlah dia kaya raya sekarang dengan usahanya jadi agen TKW. Tapi setiap kali orang yang dibawanya ke luar negeri hilang, dibunuh, disiksa majikan, dia tak mau bertanggungjawab.”

“Tapi kan itu salah mereka yng tak bisa menjaga diri. Kalau aku bisa menjaga diri dan mudah-mudahan dapat majikan baik.”

“Masih saja kamu membela si Mirah. Mata dan nurani kamu telah dibutakan oleh uang dan rayuannya.”

Istri saya diam. Selama menikah kami tak pernah sekali pun bertengkar. Hanya kali ini kami sedikit bersitegang lantaran ia ingin menghambakan-diri kepada orang lain. Karena ia menyakiti perasaan saya sebagai lelaki.

Namun istri saya tak mau menyerah membujuk agar saya memberikan izin. Lalu saya tanyakan padanya.

“Apa kamu tidak main-main?”

“Aku serius. Aku benar-benar ingin bekerja di luar negeri supaya bisa mewujudkan keinginanku yang selama ini belum Abang penuhi. Aku ingin punya uang dan perabotan bagus seperti tetangga-tetangga kita.”

“Kalau kamu benar-benar ingin bekerja ke luar negeri, nanti saya akan kawin lagi.” Kata saya mengancam, tentu dengan menekankan bahwa saya sama sekali tak memberikan izin. Sebenarnya saya tak sungguh-sungguh, hanya bergurau saja.

Tapi istri saya rupanya salah mengerti. Ia memang tak punya selera humor. Dia menangkap perkataan saya tersebut secara serius. Padahal saya cuma main-main mengatakannya untuk menakut-nakuti supaya dia mengurungkan niat. Tapi terlanjur istri saya tidak menangkap maksud saya yang sebenarnya, ia malah salah sangka.

“Silakan Abang kawin lagi, saya juga bisa melakukannya.”

Saya benar-benar kaget mendengar jawabannya. Tak biasanya istri saya begitu. Seolah saya tak mengenal lagi istri saya yang dulu.

* * *

Siska anak kami tak berkeberatan jika ibunya bekerja di luar negeri. Saya benar-benar tak menyangka. Pasalnya, ia ingin dibelikan hp baru yang tercanggih. Juga motor Mio supaya jika berangkat sekolah tak berdesak-desakan lagi di dalam angkot yang sumpek. Dengan motor itu pula ia bisa plesiran ke mana-mana.

“Jangan banyak bermimpi.” Kata saya pada anak saya, Siska.

“Banyak bermimpi gimana, Yah? Orang kerja di luar negeri kan uangnya banyak. Aku lihat si Mira dibelikan motor baru oleh ibunya yang kerja di luar negeri. Si Inggrid punya laptop dan bisa internetan setiap hari. Itu juga dibelikan ibunya yang kerja jadi TKW di Arab.” Kata Siska panjang lebar, tak mau kalah denganku.

“Pokoknya Ayah tak setuju Ibumu berangkat kerja ke luar negeri.”

“Memangnya kenapa, Yah? Ayah nggak mau kalau ibu punya uang banyak dan membelikan aku hp dan motor baru?”

“Kalau kamu masih saja menyuruh ibumu jadi TKW nanti ayah kawin lagi. Apa kamu mau punya ibu tiri?” ancam saya kepada Siska, anak saya yang sejak kecil dimanjakan ibunya.

“Ibu tiri? Nggak banget deh.” katanya santai. Kemudian ia berlalu.

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Tak mengerti saya dengan pikiran ibu-anak itu. Mereka telah dibutakan ambisi mendapat banyak uang. Tidak pernahkah mereka mendengar berita-berita mengerikan di televisi seputar TKW? Banyak hanya namanya saja yang pulang. Atau kembali dengan membawa benih di perut, diperkosa dan disiksa majikan? Atau yang diberitakan melompat bunuh diri dari lantai 23, padahal majikannya yang mendorongnya dari belakang? Ah, saya benar-banar tak sanggup membayangkan itu.

Tapi mimpi buruk itu selalu saja menyinggahi tidur saya. Semenjak istri saya berangkat meski tanpa izin dari saya. Sejak itu saya jadi kehilangan banyak selera: selera makan, selera tidur, termasuk selera humor. Jika dulu tetangga yang selalu datang mengobrol ke rumah saya dan kami bisa tertawa sampai larut malam, kini saya menanggapinya dengan dingin. Apalagi bila ada tetangga yang menanyakan perihal istri saya, atau membicarakan masalah TKW, saya langsung marah. Padahal itu bukanlah sifat saya selama ini. Sudah saya katakan, saya seorang yang tak gampang tersinggung apalagi marah. Namun semenjak istri saya berangkat ke Saudi, tabiat saya mulai berubah.

Setelah saya mendapatkan sebuah pekerjaan yang cukup baik, menjadi seorang Staf di perusahaan berskala nasional, saya mulai bisa melupakan istri saya. Saya tidak merasa tak perlu lagi tersinggung bila mereka membicaran masalah TKW atau bertanya mengenai istri saya. Saya akan menjawab dengan santai, tentu saja diselipi sedikit guyonan. Saya menemukan kembali sifat saya yang asli.

Pekrjaan saya di kantor tak pernah ada masalah yang berarti. Pendapatan saya melebihi cukup buat memenuhi kebutuhan saya dan anak saya. Bahkan saya mulai menabung untuk membeli motor baru yang bisa saya pakai ke kantor dan mengantar Siska sekolah. Saya juga sempat membelikan sebuah Blackberry untuk Siska. Dan tampaknya ia sangat bahagia mendapat hadiah dari saya.

Perlahan-lahan kami mulai terbiasa hidup tanpa istri saya. Kadang Siska mengatakan kepada saya bahwa ia rindu dan ingin menelepon ibu. Tetapi kami tak punya informasi sedikit pun tentang dia. Apalagi si Mirah sudah pindah dari kota kami dan usahanya jadi agen TKW terpaksa ditutup. Saya tak terlalu tahu apa sebabnya.

Pernah pula ketika kami sedang duduk santai di depan televisi, Siska menanyakan kepada saya, kenapa saya tak kawin lagi.

“Ayah memang tak pernah berminat ingin kawin lagi. Bagi ayah beristri satu kali seumur hidup, itu sudah cukup.”

“Tapi waktu itu Ayah bilang ingin kawin lagi jika ibu tetap bersikeras ingin bekerja ke luar negeri?”

“Ayah cuma main-main sewaktu mengatakannya supaya ibumu tak jadi berangkat ke Saudi.”

* * *

Setelah Siska lulus SMA, saya melanjutkannya ke Perguruan Tinggi cukup ternama di kota kami. Saya pun tak perlu repot dalam urusan biaya. Lagipula kampus Siska tak terlalu jauh dari rumah.

Sebagai seorang suami, saya tak benar-benar bisa melupakan istri saya. Bagaimanapun ia tetap bagian dari hidup saya. Saya masih mencari informasi dengan mendatangi agen yang membawa istri saya. Tapi hasilnya nihil. Saya juga kerap bertanya kesana-kemari mengenai keberadaan Mirah. Tapi tak ada yang mengetahui dimana dia sekarang.

Kadang saya menonton berita di televisi. Atau membaca di koran. Apabila ada berita mengenai TKW, saya mulai merasa was-was. Setelah mengetahui nama korban penganiayaan atau yang divonis hukuman mati itu bukan istri saya, saya merasa lega. Namun masih saja tersimpan rasa cemas.

Suatu hari saya tak menyangka, setelah hampir dua tahun bekerja di luar negeri, istri saya kembali. Tapi saya tak melihat kopor besar dan oleh-oleh yang banyak. Saya lihat ia hanya membawa tas kecil dan perutnya yang membelendung. Benih siapa itu yang ada di dalam janinnya? Dia menangis dan memeluk saya. Berkali-kali ia meminta maaf. Ketika saya bertanya anak siapa yang di dalam kandungnya.

Dengan berat hati ia menjawab. ”Ini anak majikan saya.”

Kepala saya pening. Tiba-tiba saya kembali kehilangan selera humor untuk sekadar menaggapinya sambil tertawa.

Kotaagung, Oktober-November 2010
Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-amin/istri-pergi-ke-saudi/188218184549335

MEMBACA DUNIA NUREL *

Marhalim Zaini **
http://sastra-indonesia.com/

“Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya.”

Demikian komentar saya via sms, beberapa waktu lalu saat menerima dan membaca sejumlah buku (berukuran) mungil yang dikirim oleh Nurel Javissyarqi. Buku-buku yang hemat saya lahir dari kegelisahan spiritualitas khas para pejalan sunyi, yang bergumam, berbisik atau terkadang menjerit dalam lengking panjang tak berujung. Ada dalam bentuk surat-surat, aforisma, syair, puisi, kisah, dan sejumlah bentuk yang tampaknya sedang membangun frasa nafasnya dalam lorong hidupnya sendiri. Dan saya kira, komentar saya di atas, juga kelak berlaku dalam pembacaan saya terhadap sebentuk buku lain yang juga ditulis oleh Nurel, berjudul Kajian Budaya Semi, ini.

Barangkali, di dunia hiruk, penuh lintasan peristiwa dan kolase waktu yang berselirat serupa jaman kini, tidak ada yang mustahil. Setiap yang lahir dari rahim pemikiran siapa pun akan selalu hadir sebagai segumpal wacana, dengan segala potensinya, berupaya keras untuk ikut bergabung dalam wilayah publik yang lebih luas, mencoba hidup berdampingan dengan sejumlah tubuh-tubuh wacana lain. Dalam konstelasi serupa itu, yang terjadi kemudian adalah kompetisi. Bukan sebuah kompetisi yang semata ditata oleh sebuah sistem produksi yang massif, akan tetapi juga dalam sebuah lingkungan terkecil, bahkan tersempit dari sisi yang paling tepi. Dan apakah sempat kita sadari bahwa rupanya masih demikian lengkap hidup kita ini dengan pernik-pernik kesadaran terkecil yang (mungkin) selama ini tidak tersentuh. Dan sosok Nurel (dalam sejumlah bukunya) adalah satu dari sekian pernik yang tidak tersentuh itu.

Sejak semula saya mengenal Nurel, saat saya masih di Yogyakarta dulu, saya selalu melihat ada jerih dari semangat yang sulit pecah saat terbanting. Berulang-ulang Nurel terhimpit dalam situasi payah, tidak membuatnya sayang pada segala benda dimilikinya untuk “dikorbankan” bagi penebus hasratnya menerbitkan sebuah buku dan menggiatkan sejumlah kegiatan sastra. Dan sampai kini, meski saling berjauhan, saya masih terus melihat Nurel “mengabdikan” dirinya dalam dunia tulis-menulis, justru dengan frekuensi lebih besar. Produktivitasnya tampak seperti sedang berlomba-lomba berkejaran dengan waktu. Meski awalnya saya katakan, bahwa Nurel tidak sedang ikut berkompetisi dalam sebuah sistem produksi massif, akan tetapi, kini tampak ia sedang bergerak menguji sejumlah kemungkinan untuk bisa menerobos sekat-sekat itu, dengan berkayuh di atas perahunya sendiri. Ini berat sekaligus ringan; Berat sebab sekat-sekat itu demikian kokoh dibangun oleh sejarah (tulis-menulis) yang permanen serta dihuni nama-nama besar. Dan ringan, karena ternyata Nurel memiliki jaringan komunitasnya sendiri, dengan tanpa mengikutsertakan beban historisnya.

Hal paling esensi yang dapat saya tangkap dari proses macam itu (terutama dalam diri Nurel) adalah sebuah hasrat untuk terus “memelihara” kejujuran, ketulusan, sekaligus “kebebasan” dalam berekspresi. Bahwa saat membaca “dunia Nurel” dalam (bisa dikatakan) seluruh karyanya, saya (atau kita) sebagai pembaca tidak akan bisa serta merta melepaskan diri dari konstruksi bahasa yang ditawarkan oleh Nurel. Tidak semata pada fiksi, namun juga non fiksi (seperti buku ini yang Nurel sebut sebagai semi ilmiah). Bahasa, tampaknya bagi Nurel, adalah media sangat kompromis dan demikian terbuka untuk diajak melakukan eksperimentasi, baik dalam wujudnya konvensional, maupun dalam hal membangun permaknaannya sendiri. Barangkali inilah yang saya lihat sebagai ada lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Maka, harus dimafhumi jika pembaca temukan sejumlah kata, frasa, bahkan kalimat yang terdengar aneh dan asing. Dari sini, justru dapat terlihat bahwa Nurel sedang membebaskan dirinya dari “beban” bahasa formal dan langsung melompat pada wilayah pemikiran-pemikiran yang tampak tidak terbendung untuk tumpah.

Selanjutnya, membaca pemikiran Nurel, benar-benar sedang terombang-ambing di atas laut yang berbalik arah debur ombaknya. Pada bagian pertama, Indonesia Merangkak Menuju Matahari, adalah awal dari proses panjang menelusuri teriakan-teriakan keras, sentakan pemberontakan (Nurel) yang ajaib. Ajaib dalam konteks ini adalah jelmaan-jelmaan pemikiran yang terkadang hadir membayang dan berseliweran. Ada emosi personal sedang bercakap-cakap dengan gelombang narasi besar peradaban dunia. Sebuah dunia yang kelak terpetak-petak dalam wilayah mata angin, terutama Barat dan Timur. Saya menangkap, bahwa Nurel sedang “berkubang” dengan sejumlah pertelingkahan dua arah mata angin itu sebagai sebuah sikap atau sebuah jawaban atas kecemasan-kecemasan kolektif yang dialami bangsa ini. Sisi spiritualitas kemudian dikedepankan sebagai wilayah masih perawan, yang masih menyimpan “rumah alternatif” bagi kembalinya segala persoalan.

Apa yang kemudian Nurel sebut sebagai “Kekuasaan Dan Kemenyan” di sub bab pertama, adalah simbolisasi diri dan refleksi atas kegemaran sebuah bangsa pada korupsi. Korupsi yang menjadi salah satu penyebab timpangnya realitas sosial kita, seolah telah mentradisi dan sekaligus menjadi representasi dari rentannya sistem birokrasi spiritual kita. Saya membaca kata-kata; pengangguran, peperangan, kegagalan, pembangunan, penjarahan dan tragedi pada sub pembahasan berikutnya, ialah buah upaya membeberkan problema yang kian membuat sebuah bangsa berhadapan dengan dirinya sendiri sebagai pribadi tanggung, penuh paradoks.

Sementara pada bagian ke dua, secara lebih mengkerucut, Nurel tampak sedang menelisik persoalan pada wilayah vertikal, wilayah transedensi, wilayah segala sesuatunya menemukan keberadaan diri yang sesungguhnya. Latar belakang Nurel sebagai seorang yang sempat dan selalu menyinggahi dunia pesantren, telah membawa kajiannya pada celah-celah cahaya bagi kegelapan sebuah dunia, dalam sebuah lingkaran bernama agama. Wacana tuhan berkembang dalam segala seluk-beluk pemikiran, menyinggung sisi kemanusiaan kita sebagai yang dilahirkan dalam sebuah lingkungan kebudayaan yang tak tunggal. Ada perbenturan, pergesekan yang bermuara pada pernyataan-pernyataan tentang paradigma “kebenaran.” Tokoh-tokoh seperti Nietzsche pun (yang mencuat dengan Kematian Tuhannya) kemudian acapkali menjadi sesosok “hantu” yang mengganggu.

Jika berpatokan pada judul buku ini (Kajian Budaya Semi,) maka inti dari perbincangannya tampak lebih fokus di bagian ketiga. Kebudayaan sebagai sosok intim dengan manusia terlihat sedang “bermesraan” dalam sebuah kesadaran individu si penulis. Meski pada pembahasan berikutnya, kebudayaan seolah sedang berselingkuh dengan perubahan-perubahan yang datang menggoda, lewat pakaiannya yang molek. Lalu peradaban bagi puncak sebuah kebudayaan dipertanyakan. Dicubit sensitivitasnya. Sekaligus diperbantahkan segala infra-strukturnya. Meski hemat saya (sebab kena virus, kelanjutan tulisan ini via sms); Hemat saya, hrs dicari korelasi yg cukup tegas jika kmdian (pada sub briktnya) wilayahnya meluas smpai pd soal kajian bhsa si penulis sndiri. Dan dicari konteks yg lbh tepat, tentu dalam kapasitas sbuah tema pmbhasan yg lbh spesifik.

(alinia baru). Saya kira, pd dua bab trakhr buku ini, Nurel justru sdg melmpat ke wilayah yg lain; Kecantikan & Mistis, Mahabbah, Syauq, Muwajjaha, yg lbh menunjam ke ruang2 personal kemanusiaan kita. Mgkn bagi Nurel, persoalan2 inilah yg ssngghnya (kembali ke via internet atau email); yang patut menjadi perhatian serius dalam rangka membangun sebuah peradaban. Apa yang tampak menjamur dalam banyak media dunia modern kita kini, adalah sebuah klise. Cinta hadir dalam tubuhnya yang compang-camping, dalam beragam pengertian, perlakuan terhadapnya. Terlepas bagaimana Nurel mengaitkan pembahasannya terhadap dunia kaum mistis, saya menangkap bahwa Nurel hendak mengarahkannya pada esensi. Pada sesuatu yang kini tampak tak tersentuh, terlupakan.

Dan inilah yang saya anggap sebagai hasrat untuk membangun dunianya sendiri. Lewat buku ini, kita sedang diajak mengembara ke dunia yang tumbuh diam-diam dalam ketidaksadaran kita. Sebuah dunia (yang mungkin) terasa chaos, tak terperhitungkan, tak terduga dan absurd. Kesadaran apapun yang kemudian tumbuh dari pembacaan itu, adalah hasil dari tangkapan pemahaman kita terhadap sebuah realitas. Jika kemudian ada kegamangan, ketidakteraturan, ketidakmenentuan, dan tumbuh sejumlah penyakit dalam diri kita, maka itulah virus. Virus yang sebenarnya telah tertanam jauh sebelum diri kita terlahir. Selamat masuk ke dunia Nurel.

**) Berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Pekan Baru.
*) Tulisan Marhalim Zaini di atas adalah lampiran di buku “Trilogi Kesadaran,” cetakan I, 2006, yang sebelumnya sebagai pengantar buku stensilan “Kajian Budaya Semi,” cetakan I, 2005, karya Nurel Javissyarqi, penerbit PuJa [PUstaka puJANgga].
Bacaan lain terkait: http://sastra-indonesia.com/2010/03/dunia-anomali-di-mata-mistikus/

Kamis, 10 Maret 2011

Rendahnya Apresiasi Akademik terhadap Karya Sastrawan Kalsel

Sainul Hermawan
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Salah satu isu penting yang saya tawarkan dalam diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Radar Banjarmasin pada 30 Desember 2010 di Minggu Raya Banjarbaru adalah apakah kemeriahan sastra di Kalsel yang ditandai dengan kegiatan aruh sastra, festival, tadarus, sayembara dan pelatihan penulisan, penerbitan buku dan peluncurannya, dan sebagainya berhasil menciptakan publik pembacanya? Asumsi saya bahwa satra Kalsel tidak terlalu banyak ditekuni dalam publik pembacaan yang meriah tampaknya memang perlu disikapi bersama sehingga pada pelaksanaan kegiatan bersastra di tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang perlu menguatkan kegiatan yang berorientasi pada perayaan pembacaan dalam pengertian yang luas, yaitu bukan sekadar dibaca untuk pertunjukan, melainkan juga pembacaan dalam pengertian memasukkan dalam materi pembelajaran sastra dan bahasa di sekolah dan perguruan tinggi serta upaya pembacaan dalam pengertian transformatif-intertekstual antarmedia kesenian.

Membicarakan persoalan ini memerlukan keterlibatan banyak pihak dalam ranah yang sangat lintas disiplin. Sistem sastra memerlukan pemain yang lain: guru/dosen bahasa dan sastra, wartawan, apresiator, kritikus, dan seniman lain. Dalam esai ini saya hanya mengisahkan hasil survey tentang penelitian sastra di PBSI FKIP Unlam Banjarmasin. Saya berharap upaya survey yang sama dapat dilakukan di institusi lain yang menyelenggarakan pembelajaran sastra baik di perguruan tinggi, sekolah, maupun di tengah masyarakat umum. Kedua institusi yang berada di ibukota provinsi ini dapat dianggap sebagai lembaga yang relatif representatif untuk melihat bagaimana “perayaan akademik” terhadap produk para sastrawan di Kalsel. Data hasil survey bersumber dari buku wisuda sarjana kedua kampus itu yang mencantumkan judul-judul skripsi para wisudawannya.

Survey judul penelitian sastra di PBSID FKIP Unlam didasarkan pada buku wisuda tahun 1999, 2002 sampai 2006, dan 2008 sampai 2010 Kesimpulan tulisan ini tentu terikat pada katerbatasan data yang digunakan. Saya tak berhasil menemukan buku wisuda tahun 2000 sampai 2001 dan 2007. Dari sumber itu terkumpul seratus lebih judul penelitian sastra. Berapa banyak puisi, cerpen, novel, dan drama karya sastrawan Kalsel yang diteliti?

Dari 1999 sampai 2006

Dalam rentang itu penelitian tentang puisi karya sastra sastrawan Kalsel: (1) Tema dan Gaya Bahasa dalam Puisi M. Rifani Djamhari Penyair Banjarbaru (Maisyarah, 2003) dan (2) Religi Mantra dalam Puisi Bahasa Banjar Mangga Riau Naga Karya Noor Cahya Khairani (Mahrita, 2003); (3) Analisis Struktural dan Semiotik dalam Antologi Puisi Duri-Duri Tataba Karya Penyair Tabalong (Asni Farina, 2005).

Cerita pendek karya sastrawan Kalsel yang dibaca dalam penelitian akademik yaitu: Konflik Sosioreligius dalam Kumpulan Cerpen Karya Aliman Syahrani dan Karya Kidh Hidayat (Siti Nurdiniah K. 2004); Unsur dalam Cerpen Racun Karya YS Agus Suseno (Libermart C. S. 2004); Citra Perempuan dalam Cerpen Banjar Modern (Samsul Bahri 2005); Representasi Kehidupan Religi Masyarakat Dayak Loksado dalam Novel Palas Karya Aliman Syahrani (Gusti Y. Risman, 2005).

Dalam rentang waktu 6 tahun, karya sastrawan Kalsel yang dibaca adalah karya Aliman Syahrani, YS Agus Suseno, Noor Cahya Khairani, Rifani Dajmhari, dan lain-lain. Dalam perspektif pembaca, dibaca atau tidak merupakan dasar untuk menyatakan sastrawan itu ada atau tidak. Meskipun demikian, hasil sementara ini perlu dicocokkan dengan aktivitas pembacaan di ranah yang lain. Oleh karena itu, pencatatan tentang aktivitas sosial apa saja yang membaca karya sastrawan Kalsel, kapan, dan dimananya perlu terus dilakukan sebelum menyatakan bahwa sastrawan Kalsel telah ribuan jumlahnya.

Pencataan tentang bagaimana karya sastrawan Kalsel telah dibaca dalam penelitian, resensi buku, esai, diskusi buku, festival dan lomba-lomba, jauh lebih penting daripada catatan tentang jumlah sastrawan. Sebab, dalam perspektif sejarah sastra, hanya karya sastra yang dibacalah yang ada. Ada dan tiadanya karya sastra bukan ditentukan oleh kuantitas produksi, melainkan juga ditentukan oleh kuantitas konsumsi atau penerimaan pembaca (readers’ responses).

Dari 2008 sampai 2010

Pada wisuda ke-64, 14 Oktober 2008, ada 30 wisudawan PBSI. Dari wisudawan itu ada 8 penelitian sastra. Hanya ada 2 karya sastrawan Kalsel yang diapresiasi, yaitu karya Ajamuddin Tifani dan Arsyad Indradi. Karya Ajamuddin diteliti oleh Eva Wahyuni (2008) dengan judul Metafora Puisi Sosial Karya Ajamuddin Tifani dalam Tanah Perjanjian, dan karya Arsyad diteliti oleh Noorhana (2008) dengan judul Karakteristik Puisi dalam Antologi Kalalatu Karya Arsyad Indradi.

Pada wisuda Unlam ke-66, 29 September 2009, wisudawan PBSI sebanyak 25 orang. Penelitian sastranya sebanyak 11 skripsi. Karya sastrawan Kalsel yang diteliti saat itu cuma karya Jamal T. Suryanata, yang dilakukan oleh Taufik Akbar dengan judul Penggunaan Maksim Kerjasama dan Maksim Kesantunan dalam Kumpulan Cerpen Galuh Karya Jamal T. Suryanata.

Pada wisuda ke-67 dan 68, PBSI meluluskan 51 sarjana, dengan penelitian sastra sebanyak 18 skripsi. Karya sastrawan Kalsel yang dibaca secara akademik hanya ada dua, yaitu karya Arsyad Indradi dan Hajriansyah. Karya Arsyad diteliti oleh Nova Liyani (2010) dengan judul Kemampuan Siswa Kelas X SMA PGRI 2 Banjarmasin memahami Jenis Gaya Bahasa Puisi Romansa Setangkai Bunga Karya Arsyad Indradi, dan karya Hajriansyah diteliti oleh Annisa Fitrahmaniah (2010) dengan judul Penggunaan Gaya Bahasa pada Kumpulan Cerpen Angin Besar Menggerus Ladang-Ladang Kami Karya Hajriansyah.

Perhatian dunia ilmiah yang rendah terhadap karya sastrawan Kalsel menyiratkan beberapa kemungkinan: Pertama, karya sastra lokal tidak mudah diakses atau diperoleh oleh mahasiswa. Kedua, pengetahuan tentang signifikansi dan urgensi kajian sastra lokal rendah. Ketiga, lemahnya pengetahuan teoretis para dosen tentang kemungkinan penelitian sastra lokal yang menarik yang dapat ditawarkan kepada mahasiswa, dan keempat, ini hanya hanya semacam gunung es dari sikap umum yang memandang sastra sebagai produk budaya yang tak bermanfaat atau sebagai artefak artistik semata yang tak ada kaitannya dengan pendidikan, politik, sejarah, ilmu jiwa, serta ilmu dan karya seni lainnya, dan keempat, tiadanya nilai penting dalam karya itu karena tidak setiap karya sastra dapat diteliti jika peneliti tidak memiliki pertimbangan alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara teoretis mengenai nilai penting karya sastra.

Kemungkinan pertama dapat diatasi dengan menggencarkan pemasaran produk sastra ke kampus dalam bentuk ceramah sastra bersama. Komunitas Sastra Indonesia cabang daerah (Banjarmasin, Banjarbaru, Barabai, atau Kotabaru) dalam hal ini bisa memerankan diri sebagai mediator yang dapat menjembatani kerjasama antara kampus dan sastrawan Kalsel. Kemungkinan kedua dan ketiga memerlukan keterlibatan para akademisi sastra untuk terus menyegarkan pengetahuan sastra. Ilmu sastra terus berkembang. Kemandekan dan kemonotonan jenis penelitian sastra di kampus bukan hanya mencerminkan kualitas pembelajaran yang monoton dan stagnan, melainkan juga cerminan kualitas dosen dan mahasiswanya.

Kemungkinan keempat memerlukan peran sastrawan untuk mencipta karya yang lebih berkualitas secara artistik, historis, psikologis, dan filosofis. Faktor ini juga jadi acuan utama mereka dalam meneliti karya sastra. Karena itu, karya Andrea Hirata dan Habiburrahman el- Shirazy lebih banyak dibaca dalam rentang 2008-2010. Ini bukan pekerjaan sederhana. Sastrawan harus antikemapanan dan berusaha untuk terus inovatif. Selera pembaca, sejarah, dan budaya terus berubah dan sastrawan dan ilmuwan sastra serta pembaca sastra secara umum perlu sama-sama menghiasi diri dengan bacaan-bacaan baru. Kalau tidak, kita hanya akan jadi bagian riwayat pembacaan dan penulisan sastra yang jalan di tempat: stagnan!

Bjm., 16.01.2011
Minggu, 6 Februari 2011

Saatnya Penulis Muslim Menggebrak

Harie Insani Putra
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Banyak orang ingin menulis tapi tidak tahu cara memulainya. Mereka bilang menulis itu susah, sekalipun kenyataannya memang demikian. Tapi menulis juga adalah disiplin ilmu yang bisa dipelajari. Jika dilakukan terus-menerus ditambah kemauan belajar yang tinggi semua orang pasti bisa melakukannya.

Umumnya belajar menulis bisa dilakukan dengan dua cara, belajar langsung kepada para penulis atau belajar dari buku-buku panduan menulis. Untuk pilihan kedua, saya ingin membicarakan buku berjudul “Saatnya Penulis Muslim Menggebrak (SPMM)”, ditulis oleh Aliansyah Jumbawuya, terbitan Tahura Media.

Seperti anjuran banyak para penulis lainnya, Aliansyah turut menganjurkan bahwa membaca adalah langkah awal jadi penulis. Pertanyaannya adalah, membaca yang bagaimana agar membantu lancarnya proses penulisan?

Dalam Teori Kendi yang ditulis Aliansyah, seseorang yang hobi membaca, Insya Allah dia tidak akan terlalu kesulitan mencari ide dan mengembangkan isi tulisannya. Kok bisa begitu?

Kerja otak manusia itu ternyata luar biasa sekali. Saat membaca, tanpa disadari bahan bacaan akan tersimpan ke dalam memori otak seseorang. Disinilah rahasianya, pada saat kita sedang menulis, bahan yang tersimpan di dalam memori tadi akan muncul dengan sendirinya. “Rekaman itu memang tak pernah hilang, melainkan sekadar tersembunyi di alam bawah sadar,” tulis Aliansyah dalam SPMM.

Sekadar menambahkan selain apa yang ditulis Aliansyah, ada cara khusus belajar menulis dari teknik membaca yang bisa anda coba. Saya menyebutnya “Teknik Membaca Tanda”. Tanda di sini bisa berarti Tanda Baca, Tanda Kata dan Tanda Kalimat. Masalah utama calon penulis ada dalam ketiga tanda tersebut.

Lupakan isi tulisan yang sedang anda baca. Seperti masakan, anda tidak sedang memakannya, tapi mencari tahu bahan-bahan masakan tersebut. Kok bisa enak? Baca bagaimana si penulis membubuhkan tanda baca. Baca bagaimana si penulis memilih kata, dan baca baik-baik bagaimana si penulis merangkali kalimat.

Kenapa Kita Harus Menulis?

Pertanyaan ini sekali waktu bisa muncul dalam diri masing-masing individu. Kenapa saya harus menulis? Sekali waktu pula bisa menjadi pertanyaan banyak orang? Kenapa kami harus menulis. Untuk menjawab pertanyaan di atas, jawabannya bisa beragam, tergantung siapa yang menjawabnya. Tapi bagaimana jika pertanyaan itu dijawab Aliansyah Jumbawuya?

Dalam SPMM, Aliansyah menyebutkan bahwa menulis itu bisa dimaknai sebagai sarana ibadah, Menulis itu juga ternyata dapat menentramkan jiwa, menulis itu juga bisa dijadikan profesi alternatif, dan menulis itu bisa dijadikan juga sebagai sarana dakwah. Wow, banyak sekali manfaat dan tujuan dalam menulis ternyata. Saya tidak akan mengupas satu-persatu jawaban yang diberikan Aliansyah. Saya pikir anda perlu membacanya sendiri untuk mendapatkan pemahaman yang luar biasa.

Buku Tipis yang ‘Tebal’ Pengetahuan

Di luar sana banyak buku motivasi penulisan. Ada yang tipis juga tebal. Untuk yang tipis, salah satunya adalah SPMM. Tidak berlebihan jika saya tuliskan bahwa sekalipun buku SPMM lumayan tipis (96 halaman) namun di dalamnya tebal pengetahuan.

Tanpa mengurangi nilai buku lain, yang terpenting adalah buku motivasi menulis mudah dipahami, tidak bertele-tele, dan menunjukkan bagaimana caranya menghadapi problematika tulisan secara teknis. Buku SPMM memang ditujukan untuk anda yang baru belajar menulis. Tolong bantu saya agar bisa lancar menulis, itu yang sesungguhnya diharapkan. Di dalam buku SPMM, semua yang saya maksud tadi terpenuhi. Bagaimana cara memelihara kontinuitas menulis, cara cerdas mengikat ilmu, kiat menembus media massa, tips menulis saat sibuk dan lain sebagainya. Jika itu yang anda butuhkan, SPMM bisa menjadi referensi yang tak kalah hebatnya dengan buku tebal di luar sana.

Kenapa harus muslim, Pak?

Pertanyaan di atas sesuai dengan judul buku SPMM. Kenapa harus ada muslim (nya)? Dan memangnya ada apa dengan para muslim sekarang hingga judulnya terdapat kalimat “Saatnya Penulis Muslim..”. Terlepas dari teknis penulisan, buku SPMM tampaknya juga menitipkan pesan yang dapat dijadikan bahan perenungan.

Sekadar menyegarkan ingatan, sesuai yang ditulis Dr. Mujiburrahman, MA dalam kata pengantar SPMM disebutkan bahwa dulu dunia mengakui bahwa peradaban Islam adalah pusat peradaban dunia yang dikagumi. Bukan saja sebagai pusat perdagangan, tapi juga ilmu pengetahuan tentunya. Barangkali inilah yang dimaksudkan Aliansyah Jumbaiya sehingga ia memberi judul bukunya “Saatnya Penulis Muslim Menggebrak”.

Menulis bukan sekadar untuk menunjukkan eksistensi, tapi juga belajar kembali pada sejarah Islam terdahulu. Bahwa para cendekiawan muslim pernah dan sudah memanfaatkan tulisan sebagai media dakwah. Upaya baik kiranya jika hal ini kemudian dilanjutkan bagi muslim saat ini. Selain terdokumentasi dengan baik, tulisan juga mampu menembus batas waktu. Penulisnya boleh tiada, tapi tulisannya tetap bisa dibaca. Sebagai penutup singkat, ijinkan saya mengutip kata Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Indonesia.

“Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suara takan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari….orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Pramoedya Ananta Toer).

Banjarbaru, 29/09/2010

LABELS: SURAT SENIN PAGI

Tentang Perempuan Tua dalam Rashomon
A.S. Laksana
http://cerpenkompas.wordpress.com/

31 JANUARY 2011

Nama “Surat Senin Pagi” saya pilih karena terdengar enak. Meski surat pertama ini baru muncul pada Senin sore, untuk kesempatan berikutnya, saya akan berusaha ia muncul tiap Senin pagi. Dan ini surat pertama.

Teman-teman,

Untuk melatih diri bermental baja, anda mungkin bisa mencontoh Dadang Ari Murtono. Pada 5 Desember 2010, cerpennya yang berjudul Perempuan Tua dalam Rashomon dimuat oleh Lampung Post. Sejumlah orang menyatakan bahwa cerpen tersebut melulu jiplakan dari cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke. Perdebatan sengit berlangsung di jejaring sosial facebook dan twitter. Sungging Raga berusaha membuktikan plagiarisme Dadang dengan menjajarkan paragraf-paragraf yang identik dalam dua cerpen Rashomon tersebut.

Mengaku mendapatkan desakan dari kawan-kawannya untuk menanggapi suara-suara sengit itu, Dadang menulis pembelaan terhadap Rashomon versinya–meski sebenarnya ia “ingin membiarkannya saja sebenarnya”. Dalam pembelaannya ia menulis antara lain sebagai berikut:

“Inti dari cerpen saya sendiri adalah upaya mengalihkan – bila istilah perlawanan terlalu berlebihan – cerpen Akutagawa ke konteks pemaknaan dunia sekarang ini yang saya yakini kebenarannya. Seperti inilah idenya: merubah sudut pandang yang dipakai Akutagawa tentang kehidupan itu sendiri, tanpa merubah dunia yang telah dibangunnya.”

(Kesalahan penulisan “merubah” yang seharusnya “mengubah” dalam kutipan di atas adalah dari Dadang sendiri. Namun, karena ia orang Jepang, saya agak maklum jika ia tidak tahu bahwa kata itu dibentuk dari kata dasar ubah dan bukan rubah atau cerpelai.)

Saya tidak ingin menjajarkan lagi paragraf-paragraf dalam kedua Rashomon itu, yang memang hampir sepenuhnya identik. Pekerjaan itu sudah dilakukan oleh Sungging Raga. Karena itu, saya pikir kita bisa membicarakan hal lain, dan saya akan berangkat dari pembelaan di atas.

Apa yang dimaksudkan oleh Dadang dengan “merubah sudut pandang” adalah mengganti siapa yang diceritakan masuk ke gerbang Rashomon pada awal cerita. Dalam cerpen Akutagawa, ia adalah seorang lelaki, pelayan samurai yang baru dipecat majikannya dan menjumpai di ruangan atas gerbang tersebut seorang perempuan tua sedang mencabuti rambut mayat seorang perempuan. Dalam versi Dadang, ia adalah seorang perempuan tua, juga pelayan samurai yang baru dipecat majikannya. Menjumpai tumpukan mayat di sana, perempuan itu memutuskan mencabuti rambut orang-orang mati itu untuk dijadikan cemara. Jadi, yang dilakukan Dadang adalah menggabungkan karakter Genin atau pelayan samurai dengan si perempuan tua, seperti seorang pawang mengawinkan tapir dengan musang.

Hasilnya, selain satu paragraf penutup, semuanya sama persis, baik plot, setting, maupun nada tuturan cerita tersebut dengan cerita Akutagawa. Saya kira ini sebuah ikhtiar yang agak imbisil untuk melahirkan sebuah cerita yang bersandar dari karya orang lain untuk kemudian dinyatakan sebagai karya sendiri.

Alasan pengubahan sudut pandang saya kira menjadi terlampau lemah dalam kasus ini. Kita bisa memaafkan bahwa Dadang tidak bisa membedakan ubah dengan rubah atau burung onta. Banyak orang lain mengidap gejala seperti itu. Dalam hal ini kekeliruan Dadang bukan kasus unik. Namun yang tidak termaafkan adalah kegagalannya memahami bahwa setiap individu adalah unik. Tiap-tiap orang akan melihat kenyataan dari pandangan dunianya masing-masing. Karena itu, di tangan seribu penulis kita akan mendapatkan seribu cerita, seribu cara pandang, seribu suara tuturan, pada saat mereka diminta menggarap satu tema. Dari sudut pandang satu karakter kita bisa mendapati satu cerita dan realitas yang hanya milik karakter tersebut. Sementara dari sudut pandang karakter lain, kita akan mendapati cerita dan realitas lain, kendati peristiwanya sama. Itu karena isi kepala masing-masing dari mereka berbeda, dan realitas adalah representasi pandangan dunia masing-masing orang.

Dadang memang memiliki kalimat yang patriotik untuk menjelaskan dirinya. Simaklah kalimat berikut:

“Dan kenapa ada beberapa kalimat yang sama persis dalam Perempuan Tua dalam Rashomon dengan kalimat-kalimat dalam Rashomon adalah karena saya ingin menjaga ingatan pembaca kepada Rashomon, agar dunia yang dibangun dalamPerempuan Tua dalam Rashomon tidak merusak apa-apa yang telah terbangun dalam Rashomon. Sebab ini perkara tafsir dan sudut pandang melihat sesuatu. Sebab ini perkara perlawanan dan keberpihakan.”

Ia benar bahwa ini perkara tafsir dan sudut pandang melihat sesuatu. Dan ia boleh sepatriotik mungkin menjelaskan dirinya. Namun, saya akan lebih sepele melihatnya, ini adalah perkara bagaimana seorang penulis memahami sudut pandang. Setiap orang memiliki kesaksiannya sendiri atas realitas, setiap orang memiliki versi yang berbeda meski mereka ditempatkan dalam setting dan situasi yang sama.

Akutagawa memahami hal tersebut. Karena itulah dalam cerpennya yang lain, “Di sebuah Hutan kecil”, ia membuat empat “realitas” berbeda atas satu peristiwa pembunuhan. Realitas pertama dari sudut pandang orang-orang yang mendapati mayat tersebut, mereka memberikan kesaksian di kantor polisi, termasuk kesaksian polisi yang menangkap pembunuhnya. Realitas kedua dari sudut pandang Tajomaru, si pembunuh, yang mengakui bahwa memang dialah yang membunuh korban. Realitas ketiga dari istri korban, yang mengakui bahwa dialah yang membunuh suaminya, bukan penyamun Tajomaru yang telah memerkosanya. Realitas keempat dari korban pembunuhan itu, melalui seorang cenayang.

Dadang tidak memiliki pemahaman sebaik Akutagawa dalam hal memaknai realitas. Maka, kendati ia mengakui membuat perubahan sudut pandang, kita masih mendapati segalanya sama saja. Ia mencoba menyodori kita sebuah versi lain, namun ada yang fatal dalam versinya: tak ada perbedaan realitas yang diwakili oleh perubahan sudut pandang. Maka, kita menjumpai bahwa isi kepala seorang lelaki pelayan samurai sama belaka dengan isi kepala perempuan tua pemulung rambut mayat, kecuali pada ending yang menurut saya justru terasa lebih klise dan mandek: perempuan tua itu memandangi tumpukan mayat dan berpikir alangkah enaknya menjadi mayat, tidak ada lagi persoalan. Selesai.

Dalam versi Akutagawa, ketika cerita berakhir, kita masih diajak melihat kegelapan. Dan kita masih diberi kesempatan “menulis” sendiri kelanjutan cerita tersebut, apakah perempuan tua itu akan terus mencabuti rambut si mayat untuk dijadikan cemara setelah si pelayan samurai merampok dirinya, atau kemungkinan apa pun. Sementara pada diri lelaki pelayan samurai, kita disodori kegelisahan apakah orang harus menjadi penjahat untuk bertahan hidup–dan kemudian sebuah ironi. Itu bagian sangat kuat pada cerita Rashomon yang justru hilang oleh ikhtiar Dadang.

Kehadiran perempuan tua yang mencabuti rambut mayat demi bertahan hidup membuat si pelayan samurai muak pada kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan oleh manusia untuk mempertahankan nyawa. Ia, yang beberapa waktu sebelumnya berpikir untuk menjadi pencuri demi bertahan hidup, kemudian mendapatkan kesadaran berikut bahwa baginya lebih baik kehilangan nyawa ketimbang melakukan kebejatan sebagaimana yang dilakukan perempuan itu. Namun, sesaat kemudian, perempuan tua itu jugalah yang memberinya alasan, dalam percakapan singkat, bahwa dengan cara apa pun nyawa harus dipertahankan. Lagipula, menurut perempuan itu, “Mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu.”

Pada saat itulah, Akugawa menyodori kita ironi. Ketika perempuan tua itu menjelaskan “apa yang pantas didapat oleh mayat-mayat itu”, ia sesungguhnya sedang menjelaskan juga apa yang pantas didapat olehnya. Maka, pelayan samurai itu menjadikan si perempuan tua korban pertamanya. Atas persetujuan si tua itu sendiri.

Apa boleh buat, secara patriotik demi “perlawanan dan keberpihakan”, Dadang telah membantai bagian yang paling memikat dari cerpen Akutagawa.

Itu masalah pertama dengan cerpen Rashomon versi Dadang. Masalah berikutnya, cerpen yang sama dimuat lagi tujuh pekan kemudian di Kompasminggu kemarin (30/1/2011). Raudal Tanjung Banua mengirimkan sms kepada saya pada sore harinya. Bunyinya: “Mas, baca cerpen Kompas hari ini, karya Dadang Ari Murtono? Lha, itu kan jiplakan bulat-bulat dari cerpen Ryunosuke Akutagawa berjudul Rashomon yang pernah diterbitkan akubaca. Kok redakturKompas tidak ingat cerpen terkenal itu ya? Demikian sekadar info. Salam.”

Sebelumnya, siang hari, di Milis Bengkel Penulisan Novel DKJ 2009, Apendi, salah seorang anggota milis, menulis surat yang mempertanyakan cerpen itu juga. Seperti membuat kuis, ia mengajukan pertanyaan: Kompas sengaja atau kecolongan?

Cerpenis Bamby Cahyadi menulis surat untuk Kompas, yang dimuat di situshttp://indonesiabuku.com pada hari yang sama dengan pemuatan cerpen tersebut. Ia menulis antara lain:

“Saya kecewa kepada KOMPAS, karena selain cerpen tersebut (Perempuan Tua dalam Rashomon) sudah pernah dimuat di Lampung Post, pada 5 Desember 2010, kenapa pula cerpen PLAGIAT itu bisa lolos dan dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011. Padahal cerpen Dadang ini, sempat membuat polemik masalah plagiat mencuat dan didiskusikan secara terbuka di media Facebook oleh beberapa cerpenis termasuk saya.”

Akhirnya, setelah cukup berpanjang lebar, saran saya untuk kasus ini tetap saja: Untuk melatih diri bermental baja, tirulah Dadang Ari Murtono. Saya mendapatkan komentar juga bahwa cerpennya yang berjudul Lelaki Sepi, yang juga dimuat di Kompas, mengingatkan kita pada cerita Perempuan Berwajah Penyok karya Ratih Komala.

Salam saya,

A.S. Laksana

N.B. Menurut saya akan lebih baik jika Dadang Ari Murtono membiarkan sajaRashomon seperti aslinya, jika upayanya untuk mengubah sudut pandang tidak bisa meyakinkan, dan caranya mengakhiri cerita justru menjadikan cerita itu berakhir klise. Dengan membiarkan Rashomon apa adanya, Dadang juga bisa mencantumkan namanya sebagai pengarang–kalau ia mau.

Artikel terkait:
Plagiat Rashomon, oleh Sungging Raga
Surat untuk Cerita Plagiat Dadang Ari Murtono di Kompas, oleh Bamby Cahyadi
Tanggapan atas Polemik Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, oleh Dadang Ari Murtono
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/01/30/perempuan-tua-dalam-rashomon/

Mengenal lebih dekat Aryad Indradi

Terbitkan Buku, Digosipkan Jual Tanah
Suroto
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Wajahnya yang renta terlihat sekali ketika Arsyad Indradi berbincang dengan Radar Banjarmasin di rumahnya jalan Pramuka Banjarbaru. Sambil membaca koran Harian Radar Banjarmasin Arsyad Indradi menjawab beberapa pertanyaan wartawan koran ini. Lantas siapakan Aryad Indradi yang dikenal sebagai “Si Penyair Gila” tersebut.

Umurnya sudah berkepala 6, namun semangatnya masih seperti umur 20 tahun. Itulah “Si Penyair Gila” Arsyad Indradi. Salah satu tokoh sastrawan Banjarbaru yang sebentar lagi akan mendapatkan penghargaan dari Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Ariffin di bidang sastra.

Saat radar Banjarmasin menyambangi rumahnya kemarin siang, ternyata yang bersangkutan sedang asik membaca koran Radar Banjarmasin. Sebab sebagai seorang pensiunan pegawai, waktunya lebih banyak berkumpul dan bersantai dengan keluarga di rumah. “Saya sekarang lebih banyak di rumah, membuka internet dan terus intens untuk menulis puisi. Sebab puisi adalah dunia saya, yang akhirnya saya mendapat julukan Si Penyair Gila dari beberpapa penyair Nasional,” terangnya semangat.

Ia mengatakan di sisa hidupnya, akan terus berkarya tanpa mengarapkan apapun. Sebuah penghargaan yang rencananya akan diberikan Gubernur tersebut dianggapnya sebuah rejeki yang didapatnya dari sebuah proses yang panjang.

“Rencana penghargaan tersebut adalah rejeki saya, yang memulai menulis dari masa SMA sekitar tahun 1968. Bahkan itu mungkin juga hadiah dari anggapan orang yang telah mengatakan saya menjual tanah untuk menerbitkan buku. Padahal saya tidak pernah jual tanah,” ujarnya sambil tertawa.

Arsyad mengatkan bahwa sampai saat ini sudah menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku. Sudah ada 6 judul buku yang khusus memuat sajaknya. Lalu salah satu usahanya yang akhirnya dijuluki penyair gila adalah ketika Arsyad Indradi menerbitkan Antologi 142 Penyair Menuju Bulan.

“Saya menerbitkan buku setebal 400 halaman, yaitu kumpulan penyair nusantara. Semuanya saya kerjakan sendiri dari Layout sampai pada pengiriman kepada semua penyair yang puisinya termuat dalam buku tersebut,” terangnya.

Arsyad juga berpesan kepada generasi muda, agar terus berkarya di tingkat daerah maupun nasional. Ia juga mengharapakan kepada sastrawan banjarbaru yang se angkatan (Hamami Adaby, Eza Tahbri Husano) untuk memberikan ilmunya kepada generasi penerus.***

25 Agustus 2010

Publikasi Sastra: Surat Kabar, Tabloid, Laman, dan Majalah

Mahmud Jauhari Ali
www.radarbanjarmasin.com/

Hari ini, tanggal 29 Maret 2009, saya tercengang dengan adanya tulisan berjudul Bengkel Sastra di Kotabaru yang terbit di SKH Radar Banjarmasin. Tulisan itu merupakan sebuah tanggapan terhadap tulisan berjudul Sastrawan Palgiat Vs Sastrawan Gila Hormat karangan M. Nahdiansyah Abdi dengan tanggal terbit 22 Maret 2009 di surat kabar harian yang sama. Mengapa saya tercengang? Hal itu disebabkan dalam tulisan itu terdapat pemublikasian kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan yang bernama bengkel sastra. Pemublikasian ini sebenarnya juga merupakan dokumentasi pertama kalinya yang dapat dibaca oleh khalayak ramai atas kegiatan UPT Pusat Bahasa tersebut di Kalimantan Selatan oleh seorang Helwatin Najwa. Mengapa pula saya katakan sebuah dokumentasi yang pertama kalinya? Karena, selama ini Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan belum pernah mendokumentasikan sendiri kegitan-kegiatannya di media massa yang disaksikan oleh masyarakat luas di Kalimantan Selatan.

Dalam tulisan Najwa itu, ia sempat menyebutkan pernah jalan-jalan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan dan menonton pelatihan bengkel drama atau lebih tepatnya bengkel sastra untuk bidang drama pada tahun 2007 lalu. Menurut saya pemberitahuan ini tidak sejalan dengan salah satu isi tulisan Najwa pada awal 2008 yang telah lewat. Dalam tulisannya pada awal tahun 2008 itu ia menyatakan bahwa Balai Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan belum menunjukkan keseriusannya di bidang sastra. Atau jangan-jangan, dengan bengkel sastra di bidang drama tahun 2007 dan bengkel sastra tahun 2009 di Kotabaru itu, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan belum menunjukkan keseriusannya dalam dunia sastra di mata Hewalin Najwa? Entahlah? Ah sudahlah! Saya tidak mau berlama-lama mempermasalahkan hal terakhir tadi karena hal itu tidaklah terlalu penting bagi kita. Hal yang menurut saya perlu menjadi perhatian kita adalah pemublikasian kegiatan-kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan di tengah masyarakat. Pemublikasian ini sangat perlu mereka lakukan agar kegiatan-kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan itu diketahui oleh masyarakat yang membiayai hidup matinya instansi tersebut. Tentunya yang tidak kalah pentingnya adalah pemublikasian karya-karya sastra oleh para sastrawan di Provinsi Kalimantan Selatan secara terus-menerus dengan semangat juang yang tinggi.

Pemublikasian dapat dilakukan dengan berbagai media. Bisa lewat surat kabar, tabloid, buletin, majalah, buku, radio, televisi, dan juga melalui laman. Akan tetapi, dalam tulisan ini saya hanya akan membicarakan surat kabar ,tabloid, laman, dan majalah sebagai media-media yang berperan penting dalam kehidupan sastra di Provinsi Kalimantan Selatan.

Surat Kabar Harian dan Tabloid

Tidak semua surat kabar harian dan tabloid di provinsi ini memuat kolom sastra. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi alasan bagi kita tidak menulis sastra di surat kabar dan tabloid. Menurut hemat saya, surat kabar dan tabloid merupakan pilihan yang sangat bagus untuk memublikasikan karya-karya sastra, termasuk juga dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan seperti yang dilakukan Najwa dengan tulisannya tersebut. Khusus untuk publikasi hal terakhir tadi, surat kabar dan tabloid yang dipilih bukanlah surat kabar dan tabloid yang hanya dinikmati oleh segelintir orang atau yang lebih dikenal dengan surat kabar intern. Akan tetapi, surat kabar dan tabloid yang harus dipilih Balai Bahasa Provinsi Kaliantan Selatan untuk pemublikasian kegitan-kegiatan yang telah, sedang, atau pun yang belum dilaksanakan instansi itu adalah surat kabar dan tabloid yang merakyat. Setuju?

Sebenarnya bukan hanya kegiatan-kegiatan sastra saja yang harus dipublikasikan pihak Balai Bahasa Provinsi Kalimanan Selatan di surat kabar dan tabloid, tetapi juga tulisan-tulisan sastra oleh orang-orang di dalamnya. Selama ini jarang kita temukan tulisan para orang Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan di surat kabar dan tabloid. Hanya ada tiga nama orang Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan yang pernah menulis dalam surat kabar harian dan juga tabloid di provinsi ini. Ketiganya itu adalah Rissari Yayuk, Yuliati Puspita Sari dan Saefuddin. Lalu ke mana kah yang lainnya sehingga tidak menulis? Padahal sebenarnya meraka dapat memberikan warna baru di dunia sastra provinsi ini dengan pengetahuan ala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan yang mereka miliki. Bukankah dengan hadirnya tulisan-tulisan mereka di belantikan sastra Kalimantan Selatan akan lebih baik bagi provinsi ini? Karena itulah, seharusnya mereka menulis di surat kabar dan tabloid untuk kemajuan kita bersama. Setujukah Anda?

Dengan tulisan ini saya mengajak rekan-rekan dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan untuk menulis di surat kabar dan tabloid di provinsi ini. Jadi, alangkah baiknya kita memanfaatkan surat kabar dan tabloid yang merakyat untuk memublikasikan karya-karya sastra kita dan juga kegiatan-kegiatan sastra kepada masyarakat luas.

Laman Kesastraan

Sehubungan dengan kemajuan ilmu dan teknologi, kita masing-masing dapat memublikasikan karya sastra di laman (blog). Pemublikasian karya sastra dan hal-hal lainnya di laman lebih memudahkan kita untuk saling berinteraksi dan berbagi pengetahuan dengan masyarakat di belahan bumi mana pun. Jika kita kaitkan kebermanfaatan laman bagi dunia sastra, setiap UPT Pusat Bahasa yang merupakan lembaga penelitian yang sarat dengan keilmuan dan kepakaran di bidang bahasa dan sastra seharusnya memiliki sebuah laman resmi. Mengapa saya katakan seharusnya? Karena, dengan adanya laman resmi tersebut, masyarakat akan dapat melihat kegiatan-kegiatan instansi yang mereka biayai, masyarakat juga dapat bertanya seputar bahasa dan sastra, memberikan komentar dan saran, berdiskusi, dan dapat mendapatkan pengetahuan dari disiplin linguistik dan sastra di sana. Alangkah baiknya bukan jika Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan memiliki laman resmi?

=====Dengan adanya laman itu insya Allah, hubungan sastrawan dan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan juga akan lebih erat dalam usaha memajukan sastra di Kalimantan Selatan. Kedua belah pihak akan lebih mudah berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Komunikasi yang saya maksud di sini adalah komunikasi dalam kaitannya dengan dunia sastra Kalimantan Selatan dalam nuansa persaudaraan yang indah. Saya berharap Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan sesegera mungkin membangun kantor baru di dunia maya yang lebih komunikatif daripada kantor lama di Jalan Jend. A. Yani Km 32,200 sekarang ini. Sebagian besar balai bahasa lainnya juga sudah memiliki laman resmi mereka, seperti www.balaibahasabandung.web.id. Jadi, tidak ada alasan lagi dari pihak Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan untuk tidak membuat kantor baru di dunia maya.

Majalah Sastra

Nahdiansyah dan Najwa dalam tulisan mereka juga menyebutkan majalah Horison dan anak-anak sekolah. Majalah sastra ini memang sangat bagus untuk proses pendidikan bagi anak-anak sekolah. Selain mereka dapat mengetahui karya-karya sastra yang baik dan juga pengetahuan sastra di dalamnya, mereka juga dapat turut serta aktif berkarya di majalah sastra terbitan Jakarta itu. Namun demikian, sangat disayangkan majalah ini merupakan majalah sastra yang tidak tersebar luas di Kalimantan Selatan. Di Banjarmasin saja, kita hanya dapat memperolehnya di toko buku besar. Itu pun dalam jumlah yang sedikit. Kita mudah mendapatkannya jika kita mau berlangganan majalah itu. Menjadi tidak masalah apabila pihak sekolah berlangganan majalah Horison. Akan tetapi, bagaimana dengan sekolah yang tidak berlangganan majalah sastra tersebut?

Jika kita kaitkan antara majalah sastra dan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan yang juga berkecimpung dalam dunia sastra, muncul sebuah pertayaan. Mengapa instansi itu tidak membuat majalah sastra di Kalimantan Selatan untuk mewadahi geliat bersastra sastrawan dan anak-anak sekolah di provinsi ini? Seharusnya, untuk mewadahi berbagai tulisan sastra hasil karya urang banua, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan harus membuat majalah sastra yang disebarkan di tengah masyarakat provinsi ini. Dengan majalah itu, masyarakat akan lebih memiliki media sastra untuk melengkapi kepustakaan mereka.

Bayangkan saja, bagaimana mungkin hasil bengkel sastra dapat lebih disalurkan para siswa alumni bengkel sastra sedangkan pihak Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan sendiri tidak menyediakan wadah berupa majalah sastra untuk menampung karya-karya anak-anak alumni bengkel sastra mereka itu? Majalah sastra harus diproduksi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan guna menjadi wadah karya sastra para sastrawan dan anak-anak sekolah di provinsi ini, seperti halnya majalah Horison terbitan Jakarta itu.

Saya yakin, dengan pertolongan-Nya dan dengan usaha yang gigih, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan mampu membuat dan menyebarkan majalah sastra mereka yang memuat karya-karya urang banua di tengah masyarakat Kalimantan Selatan.

Bagian Akhir

Pemublikasian tulisan-tulisan sastra dan kegiatan-kegiatan sastra perlu dilakukan di surat kabar, tabloid, laman, dan juga majalah sastra. Perlu adanya pemublikasian karena dengan pemublikasian tersebut, masyarakat di provinsi ini akan mendapatkan pengetahuan di bidang kesastraan dan juga mendapatkan pengetahuan tentang hidup dan kehidupan. Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan sebagai sebuah lembaga yang juga berkecimpung di bidang sastra, seharusnya membuat laman resmi mereka dan juga majalah sastra guna pemublikasian sastra. Mengingat pemublikasian sastra itu penting, marilah kita publikasikan karya-karya sastra dan juga kegiatan-kegiatan sastra di media-media kepada masyarakat Kalimantan Selatan. Akhirnya, semoga tulisan saya yang secuil ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

BENGKEL SASTRA DI KOTABARU

Helwatin Najwa
www.radarbanjarmasin.com/

Berawal dari jalan-jalan ke Balai Bahasa Banjarmasin menonton pelatihan Bengkel Drama pada tahun 2007 lalu, saya mengetahui ternyata ada juga program lain yaitu Bengkel Sastra. Untuk mendapat bantuan dan perhatian yang lebih maksimal dalam membina siswa SSSI Kotabaru, saya berkirim surat kepada Balai Bahasa agar Kotabaru mendapat jatah untuk program Bengkel Sastra. Tanggapan yang saya terima positif, akan tetapi rogram yang semula akan dilaksanakan tahun 2008 itu tertunda karena adanya kendala teknis dari Balai Bahasa Banjarmasin. Sehingga baru tahun ini kegiatan Bengkel Sastra di Kotabaru berlangsung, yaitu mulai tanggal 16 s.d. 21 Maret 2009.

Kegiatan Bengkel Sastra di Kotabaru yang dibuka oleh Asisten 1 dan ditutup oleh Wakil Bupati Kotabaru ini, diikuti oleh 30 orang siswa setingkat SLTA (SMA,SMK, dan MA). Para pembimbing adalah Agus Yulianto, Ali Syamsudin Arsi, Eko Suryadi WS dan Helwatin Najwa ditambah dengan pengarahan sastrawan/seniman, Sulaiman Najam dan Syukri Munas.

Apa itu Bengkel Sastra?

Bengkel Sastra adalah salah satu model classroom action (tindakan kelas), untuk meningkatkan daya apresiasi subyek didik terhadap karya sastra. Model pengajaran Bengkel Sastra diharapkan dapat merombak situasi kritis pengajaran sastra yang selama ini sering hanya sekedar pengajaran tentang teori dan informasi judul-judul karya sastra berserta nama penulisnya. Model ini masih merupakan hal yang baru dalam pengajaran sastra, karenanya masih perlu gerilya dan perjuangan yang tak kenal lelah untuk merombak model lama yang telah lama melekat pada para pengajar sastra. Paling tidak, melalui Bengkel Sastra, baik guru maupun siswa akan terusik dan tergoda untuk selalu berkenalan dengan karya sastra, menyenangi, menggemari, dan semakin akrab dengan karya sastra. Guru dan siswa (pembaca) akan sama-sama aktif untuk berolah sastra, menemukan informasi, mendialogkan, dan mencari pengalaman sastra. Tentu saja hal ini tidak semudah membalik telapak tangan. Bengkel Sastra adalah sebuah permulaan untuk menuju proses yang lebih jauh. Perlu komitmen keras antara guru dan siswa agar saling terlibat dalam menggauli dan mengapresiasi karya sastra.

Melalui Bengkel sastra, komunitas yang berolah sastra memang akan sampai pada tataran proses kretif yang “liar” atau “tidak jinak”. Untuk mencapai tingkatan proses kreativitas ini, diperlukan pengajar sastra (guru/dosen) yang professional. Professionalitas pengajar sastra dalam menangani Bengkel Sastra akan membuat pengajaran sastra menjadi “lebih hidup” dan dinamis. Pengajaran sastra menjadi tidak “kering” lagi, melainkan akan menjauhkan asumsi-asumsi sebagai legalisasi dan justifikasi statemen : keterasingan kesusastraan (Suwardi, 2008).

Adakah Gemuruhnya Sastra di Sekolah?

Kata pengantar Taufik Ismail dalam buku Mengantar Sastra ke Tengah Siswa, isinya sangat menggugah saya selaku guru bahasa Indonesia, karena memang menggambarkan bagaimana keberadaan sastra di sekolah. Para sastrawan bisa saja mencipta dan mencetak berpuluh bahkan ratusan buku, kemudian membagi secara gratis atau menaruhnya dengan bangga pada rak-rak toko buku menunggu pembeli. Ada yang laku tapi ada pula yang berdebu di sudut toko. Lahirnya banyak sastrawan tidak diimbangi dengan lahirnya pembaca sastra yang sepadan. Sastra sering hanya beredar di kalangan segelintir sastrawan dan para pemerhati sastra. Ibarat air, ia menggenang tidak mengalir ke mana-mana, yang mungkin suatu saat air itu akan menjadi kotor karena diobok-obok sendiri. Untuk mengalirkan sastra, maka lahan yang paling potensial adalah generasi muda.

Perkembangan remaja dimulai dengan masa puber, yaitu umur kurang lebih antara 12-16 tahun. Masa puber adalah suatu masa saat perkembangan fisik dan intelektual berkembang sangat cepat. Anak usia SMA berkisar antara 14-19 tahun. Tahap perkembangan ini oleh Ki Hajar Dewantara disebut sebagai masa menuju dewasa. Menurut Piaget, masa remaja merupakan masa transisi dari penggunaan berpikir kongkret secara operasional ke berpikir formal secara operasional. Remaja akhir yang kira-kira berumur 18-20 tahun ditandai dengan transisi untuk mulai bertanggung jawab, membuat pilihan dan berkesempatan untuk menjadi dewasa (Djiwandono, 2006).Dalam perjalanan siswa menuju kedewasaan, mereka membawa serta disiplin moral yang berkembang perlahan-lahan – jiwa mereka – yang sekarang tertanam jauh di dalam keberadaan diri mereka.

Mengajarkan atau memperkenalkan sesuatu ke tengah siswa yang sedang berproses ini memang memerlukan teknik dan metode tersendiri. Oleh sebab itu pengajaran (sastra) perlu membina pola berpikir, keterampilan dan kebiasaan yang terbuka dan tanggap yang mampu menyesuaikan diri secara manusiawi kepada perubahan. Dengan kata lain pengajaran ingin memekarkan kemampuan berpikir dan kemampuan bertindak peserta didik (siswa), sehingga menghadapi keadaan apa pun, ia cukup sanggup mengamati keadaan, menilai keadaan, dan menentukan sikap serta tindakannya dalam keadaan tersebut.

Menggairahkan minat siswa terhadap sastra memang sedikit sulit ditengah hingar bingar iptek dan modernisasi. Membuat mereka membaca buku sastra selama setengah jam saja sudah merupakan hal yang luar biasa. Bagi mereka pengalaman-pengalaman konkret jauh lebih berkesan dibanding pengalaman abstrak. Di tengah situasi perpustakaan sekolah yang umumnya minim buku dan peluang untuk menghadiri acara sastra tidak begitu besar, maka proses pembelajaran yang alamiah itu perlu dipercepat dengan stimulator.

Cara paling efektif meningkatkan minat siswa terhadap musik dengan mendatangkan grup musik atau penyanyinya ke tengah siswa. Begitu juga dengan sastra, ada intermezzo (yang kemudian menjadi stimulator) bila sastra hadir dalam bentuk-bentuk lain. Melalui bengkel sastra siswa dibawa dalam suasana pengalaman kongkret. Mengenal karya sastra, mengenal sastrawan, berproses dan berkreasi bersama-sama. Bengkel sastra di Kotabaru mengetengahkan musikalisasi puisi. Hasilnya lahir 4 kelompok musikalisasi puisi terbentuk dengan karya dan gaya yang sangat berbeda.

Apakah Siswa Akan Menjadi Sastrawan?

Kalau pun itu terjadi, betapa bangganya saya, bila satu saja diantara ratusan siswa yang saya bina itu kelak menjadi sastrawan. Namun pada saat mereka berproses saya tidak berani berharap. Sebagai ajang berekspresi beberapa karya mereka (puisi) sudah saya sebar dan terbit di media massa Radar Banjarmasin dan buku-buku kumpulan puisi. Terakhir pada bulan Desember 2008 setelah penantian selama tujuh bulan (dari sekitar 25 puisi yang saya kirim) ada lima puisi yang terbit di majalah Horison. Hal yang luput dari perhatian saya dan redaktur majalah Horison, ternyata dapat ditemukan oleh M. Nahdiansyah Abdi (MNA) dalam pengamatannya yang tajam. Ternyata dua diantara karya mereka adalah karya plagiat. Saya selaku guru mereka telah membuat surat permintaan maaf dan konfirmasi dengan majalah Horison pada bulan Januari lalu untuk puisi Gugur karya WS. Rendra, sedangkan puisi Kasidah Kemerdekaan baru ini saja dikonfirmasi oleh MNA dengan saya. Kebetulan siswa ybs sudah pindah sekolah. Saya anggap melalui tulisannya itu sekaligus klarifikasi untuk Eza Tabri Husano (ETH). Positifnya adalah saya akhirnya tahu bahwa siswa memiliki karya Rendra dan ETH yang kebetulan belum ada dalam koleksi perpustakaan kami. Barangkali dengan adanya kasus ini, suatu saat Rendra atau Eza Thabry Husano berkenan bertemu dengan kami di Kotabaru.

Terdapatnya Kaki langit pada majalah sastra Horison adalah sisipan khusus siswa SLTA sederajat, berisi pilihan karya sastrawan Indonesia terkemuka, ulasan karya tersebut, proses kreatif dan biografi sastrawan. Kali langit juga memuat karya sastra siswa (puisi, cerpen, dan esai), disertai ulasan oleh redaktur kali langit. Dalam penerbitannya setiap bulan sejak November 1996 menurut redaktur Horison, kerap ditemukan karya siswa yang menurut istilah MNA adalah plagiat. Ada syair-syair lagu dan puisi-puisi sastrawan terkenal maupun tidak, yang diambil siswa dalam karyanya. Tapi seorang guru tidak akan langsung menggebuki siswa yang ketahuan mencuri (plagiat), apalagi kemudian berhenti membina mereka. Menurut saya siswa yang seperti ini bukanlah hasil manifestasi kepribadian narsistik. Justru sebaliknya, siswa tersebut mengalami krisis kepercayaan diri sehingga tidak berani menunjukkan hasil karyanya sendiri. Terapi yang baik adalah dengan meningkatkan sedikit kadar narsisnya, supaya dia percaya diri dan berani berkarya tidak perduli hasilnya jelek ataupun bagus.

Bila kita amati jagad sastra yang luas ini, banyak kasus kemiripan karya atau bahkan plagiat terjadi. Jangankan siswa yang masih berproses, mereka yang katanya sudah berlabel sastrawan saja bisa terjebak dalam masalah ini, disengaja maupun tidak disengaja. Terima kasih atas perhatian dan kepedulian MNA dalam pembinaan siswa khususnya di Kotabaru. Saya sangat menghargainya. Saya ingin sekali bermitra dengan Anda tapi sayang sekali subyek kita jauh berbeda. Yang saya hadapi adalah siswa sedang berada dalam gejolak jiwa bukan sakit jiwa. Terakhir saya cuplik sebait puisi musikalitas karya Novita Arifah alumni peserta bengsas Kotabaru 2009.

Maafkan aku,
bila ku tak mampu
Berikan apa yang kau minta

Guru SMKN 1 Kotabaru, berdomisili di Kotabaru
Sumber: http://helwatinnajwa.multiply.com/reviews/item/4

Rabu, 09 Maret 2011

SASTRAWAN PLAGIAT VS SASTRAWAN GILA HORMAT

M. Nahdiansyah Abdi
www.radarbanjarmasin.com/

Dalam jagat kesusastraan, setidaknya ada dua penyakit kronis yang bisa menjangkiti si sastrawan, yaitu plagiat dan gila hormat. Bagi sementara orang, hal ini bisa jadi menjijikkan tapi mungkin juga menggelikan. Ketimbang menghujat dan menghakimi, penulis tertarik untuk mencari tahu apa yang melatarbelakangi seorang sastrawan melakukan tindak plagiat di satu sisi dan di sisi lain, tergila-gila pada penghormatan. Tulisan ini juga merupakan apresiasi terhadap tulisan Mahmud Jauhar Ali di RB, Maret 2009, yang bertajuk Anti Kritik Memadamkan Cahaya Pengetahuan.

Plagiat

Dalam hiruk pikuk dunia sastra, kadang muncul kasus-kasus plagiat. Berbeda dengan kasus pengaruh atau copy master yang mengusung kode etik, kasus plagiat minim, bahkan meniadakan ekspresi pribadi. Yang terbaru, saya temukan di sisipan Kaki Langit majalah Horison edisi Desember 2008. Dua puisi siswa dari sebuah daerah di Kalimantan Selatan mencaplok puisi Gugur karya WS. Rendra dan puisi Kasidah Kemerdekaan karya Eza Thabry Husano. Luasnya belantara sastra memang menyulitkan pelacakan, namun anehnya, perbuatan yang berakibat meruntuhkan integritas itu, selalu saja ketahuan. Terakhir saya dengar kabar, kasus ini sudah diselesaikan dan terhadap siswa yang bersangkutan telah dilakukan pembinaan.

Kebanyakan kasus plagiat dilakukan oleh – meminjam istilah TNG – sastrawan muka baru. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada mereka telah lama berkecimpung dalam dunia sastra, hanya mungkin caranya tidak konyol. Mereka beroperasi di ranah yang berbeda, lintas kultur / negara, sehingga menyulitkan pelacakan. Helvy Tiana Rosa pernah melontarkan pernyataan bahwa ada cerpennya yang dijiplak oleh seorang mahasiswa S2 di Malaysia. Pertanyaannya sekarang, apa yang membuat seseorang berani mengambil risiko melakukan plagiat? Keuntungan apa yang diperoleh? Nilai yang tinggi? Pengakuan? Atau ada penjelasan lain yang bermuara pada struktur kepribadiannya?

Gila Hormat

Penyakit yang satu ini paling banyak diidap oleh – lagi-lagi meminjam istilah TNG – sastrawan muka lama. Ke mana-mana ia selalu berkoar tentang kehebatan diri sendiri. Bila dikritik marah, bila dihargai senang bukan kepalang, bila dicueki memasang tampang masam (merangut). Orang-orang terdekat akan mudah menebak ke mana arah pembicaraannya, tiada lain selain ujung-ujungnya membangga-banggakan diri sendiri. Berkoar tentang prestasi dan jerih payahnya selama ini.

Penghormatan adalah hal yang terjadi secara alami bila kita telah bekerja dengan baik dan sepenuh hati. Namun dalam dunia tulis menulis, penghormatan adalah hal yang absurd. Semacam oase tempat singgah sebentar mengisi kantong minum untuk kemudian melanjutkan kembali perjalanan sunyi. Menyeret kaki di padang gurun teks-teks. Sendirian.

Mereka yang gila hormat, mencari kehormatan seperti anak kecil yang merajuk. Naif. Menggelitik saraf tertawa kita. Namun lama kelamaan menjengkelkan juga.

Gangguan kepribadian narsistik

Saya cenderung menempatkan plagiat dan gila hormat sebagai manifestasi dari gangguan kepribadian narsistik. Kata Narsis sendiri diambil dari nama tokoh mitologi Yunani yang tergila-gila dengan diri sendiri. Dalam pembahasan psikoanalisa, seperti yang diungkapkan James P. Chaplin (1981), narsisisme merupakan satu tingkat awal dalam perkembangan manusiawi yang dicirikan secara khas dengan perhatian yang berlebihan kepada diri sendiri, dan kurang atau tidak ada perhatian pada orang lain. Narsisisme ini bisa terus berlanjut sampai memasuki masa dewasa sebagai satu bentuk fiksasi (kemandegan).

Dalam International Classification of Diseases (ICD-10) yang dikeluarkan oleh WHO tahun 1992, gangguan kepribadian narsistik termasuk dalam other specific personality disorder dengan kode F60.8. Gambaran utamanya: Ketidakmampuan untuk mempertahankan dan mengatur secara memuaskan harga diri, menimbulkan pola berpikir dan perilaku maladaptif, fantasi membesarkan diri, perilaku berhak, eksploitivitas antarpribadi, tidak adanya empati, dan kepekaan berlebihan terhadap kritik. Ciri-ciri pembedanya, kerapuhan harga diri, kepentingan diri yang ditonjolkan, selalu mencari pujian.

Sebagaimana gangguan kepribadian lainnya, pengujian realitasnya utuh. Taraf gangguan dari ringan sampai sedang. Seorang narsis hanya mengalami gangguan fungsi (bukan kesukaran intrapsikis), yang dapat menimbulkan konflik antarpribadi. Ia dapat juga memiliki gejala ansietas dan depresi. Jadi, secara sosial, hubungan yang terjalin dengan penderita narsis adalah hubungan yang dangkal dan bertujuan meningkatkan status dan kepentingannya saja. Ia akan kesukaran mengembangkan usaha kooperatif yang didasarkan pada sifat berbagi dan simpati. Fungsi bahasa bagi mereka, lebih merupakan sarana untuk melepaskan ketegangan dan bukan bermakna murni sebagai komunikasi.

Di seputar rasa iri, kemungkinannya ada dua, ia akan mudah merasa iri dengan keberhasilan orang lain atau ia yakin orang lain merasa iri dengan dirinya. Ciri lain yang mungkin, bisa terlihat dari penampilan yang dilebih-lebihkan, yang menunjukkan penentangan terhadap adat/kebiasaan. Bisa dari pakaian, gaya rambut, atau asesoris lainnya sebagai cara untuk menunjukkan sifat ekshibisionistik dan kemahakuasaan. Cinta pada dirinya bisa menjadi lebih berstruktur hingga menimbulkan dorongan megalomania.

Jika dibiarkan berlarut-larut, akan mendorong timbulnya episode regresif (kemunduran) dengan ketakutan akan hilangnya objek kasih sayang (tanda-tanda paranoid), meskipun regresinya tidak sedalam pasien borderline atau skizofrenia. Lebih celaka lagi jika narsisisme ini menjangkiti suatu komunitas atau masyarakat atau bahkan bangsa, dimana ia beroperasi di wilayah apa yang disebut oleh Carl Jung sebagai wilayah ketidaksadaran kolektif. Terutama jika yang terjangkiti adalah para elitnya, sehingga masyarakat bawah ikut terseret-seret. Maka jadilah masyarakat atau bangsa itu pongah, merasa paling berjasa, merasa paling benar, menutup telinga dari masukan-masukan, anti kritik (memandang kritik sebagai ancaman), menonjolkan kepentingan sendiri secara berlebihan.

Kesimpulan

Plagiat dan kecenderungan yang berlebihan terhadap penghormatan merupakan tanda dari kerapuhan harga diri. Pujianlah yang dicarinya. Kritik dipandangnya sebagai upaya pembunuhan karakter. Maka apapun hubungan yang dijalin akan bersifat ekploitatif dan penuh kecurigaan.Benar-benar situasi yang tidak nyaman dan penuh permusuhan. Berkacalah, jangan-jangan benih narsisisme bercokol dalam diri kita. Ingatlah selalu himbauan Bang Napi dari balik jeruji besi: Waspadalah! Waspadalah!

Supaya cair dan supaya mereka yang terlanjur tersinggung tak jadi marah karena tulisan ini dianggap memukul terlalu telak, maka saya akan mengutip puisi indah dari Penyair asal Batola, Rizhanuddin Rangga:

Telan rapat amarahmu
meski mambigi kadundung
jangan sisakan di kerling mata

Telan rapat amarahmu
biarkan membatu atas dada
redam dalam darah
uapkan keringatmu
bersama kicau pagi
atau kepak ria kupu-kupu

Telah rapat amarahmu
cermini kambang jambu
atas hitam rambutmu

(Kepada Kawan, Oktober 2008)

Banjarmasin, 18 Maret 2009
Sumber: http://dianeling.blogspot.com/2009/03/sastrawan-plagiat-vs-sastrawan-gila.html

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi