Rabu, 31 Agustus 2011

Goenawan Mohamad dalam Don Quixote dan Tujuh Puluh Sajak

Akhmad Sekhu *
http://www.kompasiana.com/akhmadsekhu

Tahun 2011 adalah tahun pesta buku Goenawan Mohamad. Bisa dibilang demikian karena sepanjang 2011 dalam rangka 70 Tahun Goenawan Mohamad, Penerbit Grafiti Pers, grup Tempo, dan Komunitas Salihara, akan meluncurkan 12 buku karya Goenawan Mohamad dengan rangkaian peluncuran buku yang diselenggarakan di berbagai tempat. Kalau sebelumnya di Salihara, kali ini peluncuran buku diselenggarakan di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu malam, 27 Juli 2011.

Ada dua buku yang diluncurkan. Buku yang pertama, bertajuk Tujuhpuluh Sajak, merupakan buku kumpulan sajak-sajak yang ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam lima dasawarsa terakhir yang dipilih oleh Hasif Amini, redaktur puisi Kompas dan seorang esais. Buku ini juga menyertakan sajak-sajak Goenawan yang belum pernah dibukukan, seperti sajak “Pariksit” (1963) sampai “Gerontion” (2011). Kedua, buku yang bertajuk Don Quixote, sebuah interpretasi Goenawan dalam bentuk puisi atas cerita termahsyur karya Miguel de Cervantes yang dibuat di Spanyol pada abad ke-17, El Ingenioso Hidalgo Don Quixote de la Mancha. Buku yang didesain oleh seniman grafis, Cecil Mariani, ini juga menyertakan sketsa-sketsa karya Goenawan Mohamad.

Pengunjung malam itu dijamu dengan nasi bogana. Nasi asal Tegal yang disajikan dalam pincuk daun pisang, ini terdiri dari ayam suwir opor kuning (ditambahkan kunyit dan kuah jangan dikeringkan lalu disuwir-suwir), sambal goreng ati ampla, telor pindang, tumis kacang panjang, daging serundeng kelapa, dan tempe tumis cabe hijau. Sebuah jamuan makan yang begitu mengesankan.

Acara peluncuran buku diawali dengan sambutan dari Toriq Hadad, pemimpion redaksi Majalah Tempo, yang memaparkan tentang peluncuran buku Goenawan Mohamad yang dianggap perlu. Karena dalam usia 70 tahun, Goenawan Mohamad tetap menghasilkan pelbagai berkarya, dalam jumlah yang banyak, dengan bermacam ragam; esai, naskah pertunjukkan, liberto opera, sketsa, dan tentu saja sajak-sajak. Toriq juga menceritakan awal mula bergabung dengan Majalah Tempo sekitar tahun 1985, kemudian cerita suka-duka dalam mengerjakan tugas jurnalistiknya, serta tentang catatan pinggir yang rutin ditulis Goenawan Mohamad. “Catatan Pinggir itu sudah seperti istri kedua bagi Goenawan Mohamad, ” katanya.

Setelah itu, pembicaraan puisi Goenawan Mohamad oleh penyair dan kritikus, Zen Hae. Dalam makalah “Setelah 89 Puisi dan Seorang Majenun”, Zen Hae menyebut, Goenawan Mohamad adalah penyair yang penting sekaligus berbahaya. Penting karena puisi-puisinya, terutama permainan citraannya, membuai dan menyilaukan. Jika kita membaca puisi Indonesia hari ini, terutama yang ditulis oleh para penyair muda, akan mudah kita temukan bayang-bayang puisinya. Begitulah, mereka yang memasuki puisi Indonesia dengan keterampilan bahasa yang sedang-sedang saja, atau yang lebih rendah dari itu, telah terperangkap ke dalam reproduksi permainan rupa dan bunyi yang menyesatkan.

Berlanjut pada acara pembacaan puisi Goenawan Mohamad oleh Jajang C Noer. Aktris gaek peraih Piala Citra sebagai Aktrus Pendukung Terbaik dalam FFI 1992, ini tampil begitu memikat. Adapun puisi yang dibacanya antara lain puisi berjudul Tentang Kembang. Simaklah, larik-larik baik pertama puisinya yang memesona; //Ia menerima setangkai kembang tunggal itu,/ ketika malam sudah mabuk, dan seseorang/ mengutip Angelus Silesius dalam bahasa/ Inggris: “The Rose is without an explanation;/ she blooms, because she blooms,”//.

Kemudian, penampilan Idrus F. Shahab dengan gitar Spanyolnya membawakan beberapa buah lagu yang begitu memukau pengunjung malam itu. Caranya memetik gitar begitu lincah dan cantik menghanyutkan suasana keterpesonaan.

Yang paling ditunggu-tunggu tentu adalah penampilan Goenawan Mohamad yang memang menjadi bintang utama dalam malam acara peluncuran dua bukunya. Pendiri Majalah Tempo ini membacakan dua buah puisi yang di antaranya puisi berjudul “30 Menit Sebelum Sayid Hamid”. Simaklah larik-larik puisinya yang begitu menyentuh; //Don Quixote mengerti. Pada saat itulah Sayid Hamid/ Benengeli mulai membuat tanda terakhir dengan/ dawat di kertasnya, seperti sebuah titik, seperti/ melankoli. Meskipun yang ingin ditulisnya sederet/ epilog yang berbahagia: “Dan Don Quixote pun/melihat, pahlawan terakhir itu telah direnggutkan/ jantungnya.// “Ya, di jurang gua.”

Acara ditutup dengan penandatangan buku oleh Goenawan Mohamad dalam kerangka lelang buku secara tersembunyi. Di mana pengunjung yang membeli buku, setelah bukunya ditanda tangani menulis pada sehelai kertas jumlah nominal harga pembelian bukunya, yang dimulai dari harga Rp. 250.000,-. Lelang buku ini sebagai bentuk kepedulian untuk membiayai beasiswa pendidikan bagi orang-orang yang berprestasi.

*) Akhmad Sekhu menulis, berupa puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, telaah tentang televisi, kupasan film, kini bekerja sebagai wartawan Majalah Film MOVIEGOERS.

Libur

Hasif Amini
Kompas, 5 Sep 2010

Kadang saya membayangkan puisi sebagai peristiwa ketika kata-kata berlibur. Ketika bahasa beristirahat sementara dari tugas rutinnya sebagai ”kurir” atau pembawa pesan dalam proses komunikasi.

Dalam pekerjaannya sehari-hari, bahasa menjadi alat atau perangkat yang sibuk melayani para penggunanya (kliennya? tuannya?) untuk beragam keperluan. Di setiap ruang rapat atau ruang sidang, ruang kelas, laboratorium, rumah sakit, kantor berita, kedai kopi, toko serba ada, pasar ikan, pasar burung, ataupun pasar saham di pelbagai penjuru dunia, bahasa adalah instrumen komunikasi yang dipakai terus-menerus. Dan, tampaknya ia (sering) tak dibayar.

Ada saat bekerja, (mestinya) ada saat berlibur. Dalam liburan bahasa, kata-kata dan lain-lain anggota bahasa bisa melakukan aneka macam laku penyegaran diri. Tidur dan bermimpi. Bertamasya. Bercengkerama. Bernyanyi. Bergoyang. Memancing. Menyelam. Meneropong langit malam. Berziarah. Berkebun. Berpesta. Berolahraga. Bermeditasi. Dipijat. Berleha-leha.

Kata-kata ”berolahraga”, kemudian ”dipijat”? Tanda baca ”berleha-leha”? Tata bahasa ”tidur dan bermimpi”? Atau ”bertamasya”? Tentu sesuai kehendak dan kesukaan masing-masing. Atau karena manusia si pengguna bahasa memberinya waktu libur, membiarkannya atau mengajaknya bersantai, berendam, mendaki gunung, bermain bola, berdansa, dan seterusnya.

Terbebas dari tugas rutin, bahasa punya kesempatan menengok ke dalam dirinya sendiri, menemukan kembali misteri atau fantasi yang terpendam oleh hiruk-pikuk di hari-hari kerjanya. Kata-kata bisa mencoba mendekati atau menyentuh sunyi yang melatari hidup mereka atau bertualang menjelajahi relung-relung goa purba yang gelap. Tanda baca bisa bermain sulap, berjingkat-jingkat, bersembunyi. Gramatika bisa mengendurkan otot-ototnya, menekuk dan meregang persendiannya, merasakan aliran darah di dalam sekujur tubuhnya.

Tentu ada pula kemungkinan bahwa di saat-saat libur atau istirahat (yakni dalam puisi), bahasa terus saja bekerja keras menyampaikan pesan ini-itu. Barangkali ada kata-kata dan rekan-rekannya sesama anggota bahasa yang memang gila kerja dan tak kenal waktu ataupun lesu. Boleh juga, paling tidak sampai penyakit mematikan datang mendadak dan memagut.

Tetapi, kadang saya membayangkan seandainya bahasa bisa terus bekerja sekaligus bermain, memikul tugas seraya mematut diri, dari waktu ke waktu, atau sepanjang waktu. Alangkah ajaib. Atau alangkah aneh, barangkali. Manakala puisi sepenuhnya meresap ke dalam laku berbahasa sehari-hari, hadir dengan anggun, tenang, wajar, dan tak lagi dikenali sebagai puisi.

Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=178240602231273&comments

Selasa, 30 Agustus 2011

Badai Puisi dari Belanda: Kiriman Heri Latief

Asep Sambodja
http://asepsambodja.blogspot.com/

Penyair Heri Latief membuka mata semua orang tentang kenyataan yang terjadi di Indonesia. Setahun sebelum kasus mafioso peradilan terungkap di Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 3 November 2009, Hari Latief (2008) sudah bersuara lantang melalui puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku 50% Merdeka. Kenyataan yang begitu telanjang tentang bobroknya aparat hukum di negeri Indonesia ini pun telah lama diteriakkan penyair Indonesia yang tinggal di Amsterdam, Belanda, ini. Dengan bahasanya yang lugas, bahkan seringkali mendobrak kaidah bahasa Indonesia untuk mendapatkan ketajaman visinya, Heri Latief tak henti-hentinya bersuara melalui puisinya yang tajam dan menikam. Salah satunya, puisi “50% Merdeka” memperlihatkan kesaksiannya yang terkesan tanpa tedeng aling-aling.

50% Merdeka

kartu sudah dibagikan
siapa yang punya kartu truf?

pada emosi yang buta huruf
media cetak corongnya cendana
semua berita dijokul obralan
jurnalistik tanpa rasa kemanusiaan
kekejaman disulap jadi rayuan

ada hujan milyaran uang haram?
pengkhianat bangsa jelas kelihatan
yang jual diri jual nama jual iman

ironi memori bangsa Indonesia
manipulasi sejarah terbukti sudah
apalagi yang kau mau tahu?

istana punya kuasa
cendana punya dana
elite politik lagi main kartu
bosnya punya nama dipoles
propaganda sesat para penjilat

sedangkan di bawah banyak urusan penting
korban bencana alam menggigil kedinginan
rakyat perlu kepastian hukum dan keadilan
bukan pameran dukungan terhadap bekas tiran

ayo! mari kita bersama
bersatu mengganyang keraguan
kita belum merdeka 100% bung!

sirajatega masih berkuasa
maka derita itu dobel bencana

juga semangat persatuan Indonesia
jangan mau dirayu bujukan uang haram

Amsterdam, 16 Januari 2008

Mata penyair Heri Latief seakan-akan menembus jauh ke depan. Kalau kita baca berita yang terjadi pada bulan Oktober-November 2009, maka tidak perlu disangkal lagi bahwa yang dikatakan Heri Latief itu benar adanya. Semuanya benar-benar telanjang. Mata batinnya sudah jauh-jauh hari mengingatkan kepada pembaca bahwa “pengkhianat bangsa jelas kelihatan, yang jual diri jual nama jual iman.”

Sebenarnya banyak yang tahu adanya kebusukan-kebusukan itu, terutama kebusukan di bidang hukum—yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia—hanya saja yang berani bersuara lantang hanya segelintir saja, termasuk Heri Latief. Dalam puisinya yang lain, “Sepuluh Tahun Reformasibasi”, Heri Latief lagi-lagi menampar muka pembacanya. Refleksi yang disuguhkan Heri sangat berbeda dengan yang terbaca di media massa selama ini. Bahkan menampar muka penyair-penyair salon yang hanya memberikan pepesan kosong. Berikut petikannya:

Sepuluh Tahun Reformasibasi

penyair nulis sihir kata bersayap
semangat puisi mengabdi pada siapa?
jika sajak memuja sang rembulan
hayalan pun dibikin berkilauan

di zaman edan orang jual perasaan
uang haram biangnya persoalan
jangan lupakan bung!

rajamaling itu masih berkuasa
penguasa berpihak pada siapa?

dalam sejarah politik kekerasan
dari tragedi 65 sampai 98
reformasi setengah hati aslinya basi

kini tersisa buruknya kenangan
terlalu banyak darah rakyat dikorbankan

si miskin hidupnya makin menderita
ditimpa bencana alam bertubi-tubi
malah diprovokasi kekayaan hasil nyuri
lengkaplah sudah perasaan orang bawahan

realitas di bawah semakin mengganas
antrian minyak tanah peringatan keras
syair bagimu negeri cuma memori
rindulah kita persatuan Indonesia

jagalah api semangat!
anti penindasan terhadap rakyat

Amsterdam, 7 Januari 2008

Penyair-penyair salon memang tidak akan menulis puisi seperti ini. Seperti yang disindir Heri, mereka bisa menulis puisi apa saja, termasuk “jika sajak memuja sang rembulan, hayalan pun dibikin berkilauan”. Namun, sejatinya barang seni bernama puisi semacam itu hanya untuk klangenan dan hiburan semata. Saya menduga kenapa puisi-puisi tajam dan lantang itu mengalir deras dari tangan Heri Latief, karena kawan-kawan diskusinya di Belanda adalah sastrawan-sastrawan eksil yang memiliki pengalaman yang sangat mahal harganya. Dan, kebanyakan sastrawan-sastrawan Lekra adalah kaum intelektual yang mumpuni, yang sangat paham dengan persoalan bangsanya. Kita ambil contoh sastrawan Njoto alias Iramani dan Setiawan H.S. alias Hersri Setiawan untuk menyebut beberapa nama saja.

Membaca puisi-puisi Heri Latief ini saya seperti menikmati lukisan-lukisan Joko Pekik yang menyimpan dendam politik yang demikian membara. Lukisan “Berburu Celeng” karya Joko Pekik kini menjadi salah satu lukisan favorit banyak orang. Kalau kita merasakan adanya napas “Politik adalah panglima” dalam puisi-puisi Heri Latief, saya pikir itu karena lingkungan, wawasan, dan pengalaman yang membentuknya seperti itu. Puisi yang berjudul “42 Tahun G30S” menyarankan kepada pembaca bahwa masih ada yang belum beres mengenai sejarah nasional 1965-1966 itu.

Sejarawan Henk Schulte Nordholt (2008) merasa heran dengan historiografi Indonesia modern yang sepertinya tanpa ada kekerasan dalam buku-buku sejarah resmi yang dibuat oleh negara, namun sejatinya banyak korban yang berjatuhan seiring dengan bangkitnya Rezim Soeharto. Makanya tidak heran jika Nordholt menyarankan perlunya historiografi dengan perspektif yang baru, yakni melihat dan membaca sejarah dari perspektif korban. Suatu pendekatan yang tengah berkembang di Eropa akhir-akhir ini, sebagai alternatif pendekatan Les Annales yang berkembang pesat di Prancis. Berikut saya kutip puisi Heri Latief tersebut.

42 Tahun G30S

waktu melaju ke masa depan
sejarah bicara terpatah-patah
hati berduri menyayat memori
42 tahun usia negeri tragedi
luka sejarah kita bernanah

sejarah kita adalah penindasan
sekalipun dalam ruang mimpi
bermuara pada satu nama
: G30S

adalah kode buat jutaan korban
yang ditindas sampai hari ini
harga nyawa orang Indonesia
murah meriah seperti obral besar!

ratusan ribu tulang belulang tersebar
sampai kapan kau menahan sabar?
perubahan iklim politiknya barbar
lalu semua orang musti telan pil sabar

supaya otaknya jangan jadi sangar?

jangan lupakan tragedi 65
jangan lupakan kebiadaban
dan jangan lupa melawan
atas nama semua korban
kita bersatu dalam satu barisan

seperti kata wiji thukul
hanya satu kata
: LAWAN!

Amsterdam, 24 September 2007

Saya pikir yang disuarakan Heri Latief di atas merupakan representasi dari ribuan bahkan jutaan manusia yang telah dizalimi selama Orde Baru. Tidak heran Pramoedya Ananta Toer tidak bisa percaya pada seluruh elite politik dan kaum intelektual yang mendirikan Rezim Orde Baru karena selama ini mereka hanya diam. “Mereka membiarkan fasisme terjadi di zaman Orde Baru,” kata Pramoedya Ananta Toer.

Citayam, 4 November 2009
Sumber: http://asepsambodja.blogspot.com/2009/11/badai-puisi-dari-belanda-kiriman-heri.html

KTKLN (Kartu Tanda Kerja Luar Negeri)

Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/

Sebaris huruf terukir
di kartu khusus tanpa guna
tanpa makna
warta yang kembali memanah
ruang tanpa jendela
menghujam tepat di jantung
luka yang masih menganga

Kembali kami dibuat geram
dengan ancaman satu milyar
dan jeruji besi yang kekar
nadi-nadi kami berdenyar
beribu jiwa menggeletar
menghimpun kekuatan
untuk menyerukan perlawanan
demi sepotong keadilan
yang tergadaikan

Sayang…peraturan ini seperti
harga mati bagi kami BMI
siapa membangkang masuk bui
sangsi yang lebih hebat dari
pencuri dan koruptor
di Negeri sendiri

Berpuluh-puluh peraturan
berkedok perlindungan
sementara ratusan nyawa
meregang di Negeri tak bertuan
tiada dipedulikan

Peraturan yang disahkan
dengan sadar oleh
pemangku Negara
yang konon ber-Ketuhanan
yang Maha Esa
berucap sumpah
di depan sangsaka
Merah Putih kibaran Bendera
yang menghimpun janji bakti
pada Tanah Air Bumi Pertiwi
untuk Berkeadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

“Janji yang tersesat dalam lidah sendiri”

04-6-2011

Erasure: Penulis dan Pengharapan Pembacanya

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Sebagian penulis harus mati dulu sebelum karyanya dibaca orang. Sebagian lagi harus nulis beberapa buku dulu sebelum akhirnya karyanya menarik perhatian orang. Percival Everett adalah salah satu di antara penulis dari golongan kedua itu. Setelah sekitar lebih dari 18 tahun menekuni dunia gores pena) , menerbitkan beberapa judul buku, akhirnya bukunya yang berjudul Erasure berhasil menjaring pembaca secara signifikan. Unik, buku yang secara struktur sangat tidak wajar dan melayangkan kritik keras terhadap dunia penerbitan dan elit sastra ini malah yang akhirnya menyukseskannya.

Erasure adalah novel yang bentuknya semacam entri jurnal, sebagaimana diakui sang tokoh sejak awal. Thelonius Ellison adalah seorang profesor di bidang creative writing dan sekaligus novelis idealis. Sebagai seorang kulit hitam, Ellison memiliki minat yang bisa dibilang jauh dari lazimnya orang kulit hitam. Novel-novel dan tulisan akademiknya menekuni teori-teori sosial, filsafat, dan seni mutakhir dan cenderung menceburkan diri dalam diskusi pemikiran global, di luar pengharapan orang dari seorang cendekiawan afro-amerika, yaitu membahas hak sipil, ras, atau politik identitas secara umum. Hal itu menjadikannya dicap “kurang hitam.”

Ellison sebal dengan yang seperti itu, karena kehidupannya sendiri memang bukan termasuk “khas” afro-amerika. Kakeknya dokter, bapaknya dokter, kakak-kakaknya juga dokter, hidupnya berkecukupan di Washington, bukan di pedesaan Selatan Amerika, tempat lazimnya persoalan rasisme muncul. Karena itu, menulis atau menekuni politik identitas atau konflik terkait ras bisa jadi seperti berbohong. Selain itu, dia juga sebal dengan novelis-novelis eksperimental yang tidak jelas juntrungannya dan menurutnya hanya penulis tanpa bakat dan bisanya hanya saling bantu sesamanya dalam urusan penerbitan tulisan atau buku sehingga, kalau mereka profesor, bisa segera diangkat menjadi dosen tetap di kampus masing-masing.

Ellison semakin marah ketika melihat sebuah buku tentang kehidupan kulit hitam, dengan bahasa Inggris Afro-Amerika (atau bahasa Ebonics) muncul dan mengundang perhatian banyak orang dan membuat penulisnya kaya mendadak. Dia menganggap buku itu sangat murahan dan terlalu blaxploitatif dan sama sekali tidak nyeni. Di saat yang sama, keluarganya diterba musibah beruntun. Ibunya mulai pikun dan tinggalan dari ayahnya mulai menipis dan mbaknya yang dokter khusus perempuan miskin kota dan biasa menjaga ibunya tewas dibunuh kelompok anti-aborsi dan masnya yang jadi dokter di kota lain juga cerai karena akhirnya mengaku kepada istrinya bahwa dia gay dan pada akhirnya juga kehilangan hampir semua pasiennya. Demi menjaga ibunya dia pun cuti dari mengajar untuk tinggal bersama ibunya, dan itu artinya juga tertutupnya sumber penghidupannya, sementara novel terakhirnya sudah 17 kali ditolak penerbit karena bukan jenis novel yang dimaui pasar, nyeni tapi berat, dan pasarnya tidak jelas. Akhirnya, dengan diserang kesebalan dari berbagai sisi ini, dia pun menulis novel “murahan,” sebagai sindiran atas novel-novel blaxploitatif yang disukai banyak orang. Novel pun selesai dalam waktu sekitar seminggu.

Karena tuntutan dari novelnya itu, dia pun memberi nama samaran buat dirinya sendiri. Persoalan keluarganya tak juga selesai sementara novelnya pun memiliki tuntutan tersendiri demikian pula perannya sebagai seorang yang masih terbilang dihargai di kalangan elit sastrawan. Permasalahan yang berlapis-lapis ini membawa cerita kepada jalinan kompleks kisah yang mau tak mau membahas berbagai persoalan, antara lain identitas, kritik estetika yang menyentuh para jawara sastra dunia sekelas Joyce maupun para jagoan sastra Afro-Amerika semacam Richard Wright, James Baldwin, Ralph Ellison dsb, permasalahan dunia penerbitan, dan (yang mungkin akan menggairahkan buat para penulis Indonesia yang cenderung curiga pada penulis Jakarta) politik di balik penjurian sayembara sastra.

Sesuai dengan semangat novel yang kompleks, “bentuk” novel ini juga tidak lazim, setidaknya tidak lazim jika dijajarkan dengan novel-novel Afrika-Amerika kontemporer. Sebagian besar isinya memang entri jurnal, dan sebagaimana layaknya entri jurnal, isinya tidak linier berkisah seperti novel standar. Di antara narasi atas kejadian yang tengah berlangsung saat ini, tiba-tiba muncul entri tentang masa kecilnya, hobi waktu senggang (yakni memancing), dan juga catatan tentang pertukangan (Ellison punya kegemaran senggang membuat-buat perabot kayu). Ada juga makalah rumit (yang saya sendiri njungkel-njungkel mencoba memahami maksudnya) tentang buku Barthes S/Z yang dia sajikan di sebuah konferensi. Bahkan, mulai halaman 63 sampai 131 pembaca bisa menemukan novel blaxploitatif bikinan Ellison. Ada juga dialog-dialog pendek tentang estetika yang tokohnya berkisah dari filsuf Yunani sampai Hitler dan Derrida. Tak lupa, di awal paruh kedua buku ini juga ada sebuah cerita pendek bikinan Ellison. Sungguh tidak sepantasnya kalau saya mencoba menarik garis merah antara pecahan-pecahan tulisan ini dalam postingan sependek ini.

Dengan kompleksitas tema dan kekayaan cara ungkap ini, Erasure benar-benar menjadi undangan kepada para pembacanya untuk melakukan pembacaan dari berbagai sudut. Tapi, kalau mengingat keberhasilan Percival Everett menjaring pembaca bukunya hanya setelah penerbitan Erasure ini, seperti halnya Thelonius Ellison baru mendapatkan pembacanya setelah menulis novel “murahan”nya, bukankah ini berarti bahwa khalayak pembaca masih memiliki pengharapan-pengharapan tersendiri atas para penulis berdasarkan latar belakangnya? Atau apakah mungkin ada pembacaan yang lain atas hal ini? Ataukah memang wajar dan lebih pas jika penulis afro-amerika menulis “for the cause” of kaumnya alih-alih meleburkan diri dalam diskusi wacana global? Wallahu a’lam bissawaab.

April 13th, 2010
Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2010/04/13/erasure-penulis-dan-pengharapan-pembacanya/

Paus Merah Jambu Zen Hae, Puisi di Luar dan di Dalam Sistem Bahasa

Jamal D Rahman*
Media Indonesia, 29 Sep 2007

PUISI-PUISIi Zen Hae adalah percobaan membangun struktur puisi di dalam dan di luar sistem bahasa. Disadari atau tidak, beberapa puisi Zen Hae yang terhimpun dalam Paus Merah Jambu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007) menyediakan sarana yang memadai bagi pembaca untuk mendekatinya, tetapi sebagian puisinya hanya menyediakan sarana yang amat terbatas untuk mendekatinya. Dengan kata lain, sebagian puisinya memudahkan saya memasuki inti puisi itu sendiri, sedangkan beberapa puisi lainnya menyulitkan saya masuk ke inti puisi. Memudahkan atau menyulitkan itu rupanya sangat tergantung, apakah jalinan internal puisi berada di dalam atau di luar sistem bahasa.

Kesan pertama puisi-puisi Zen Hae memaksa saya menunda membicarakan aspek tematik puisi-puisinya untuk sementara, kecuali dalam batas yang saya anggap perlu dan relevan dalam rangka membicarakan aspek teknis puisi-puisi itu sendiri. Di sini akan dibicarakan bagaimana puisi-puisi Zen Hae beroperasi di luar dan di dalam sistem bahasa, berikut konsekuensi yang ditimbulkannya. Kita lihat juga sepintas lalu kemungkinan lain sebagai sebuah percobaan dalam puisi Indonesia, jika struktur (diksi) puisi di luar sistem bahasa memang dilakukan secara sengaja.

Unsur penting dalam sistem bahasa adalah kohesi dan koherensi. Kohesi menunjuk pada keserasian dan kepaduan unsur-unsur bahasa secara sintaksis, sedangkan koherensi menunjuk pada keserasian dan kepaduan ide, gagasan, ungkapan perasaan, citraan, atau asosiasi secara semantik. Kohesi dan koherensi dengan demikian adalah kepaduan jalinan internal bahasa yang akhirnya memproduksi makna yang kukuh dan konstruktif. Dalam arti itu, kegagalan bahasa mengikuti sistem bahasa akan menimbulkan kekacauan sintaksis dan kekaburan semantik yang akhirnya mengakibatkan kegagalan bahasa itu sendiri dalam memproduksi makna. Pada tataran itu, bahasa kehilangan fungsi komunikatifnya.

Hemat penulis, karena puisi menggunakan medium bahasa, bagaimanapun, puisi sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Bahkan puisi yang paling eksperimental sekalipun. Puisi yang memanfaatkan licentia poetica secara maksimal pun sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Sudah tentu dalam batas tertentu sistem bahasa puisi berbeda dengan sistem bahasa umum. Jika sistem bahasa umum melakukan fiksasi makna atau membuat makna bahasa sedemikian pasti sehingga ambiguitas dihindari sejauh mungkin, bahasa puisi justru merangsang ambiguitas seluas mungkin. Namun, dasar-dasar sistem bahasa umum tetap berlaku pada puisi. Ambiguitas bahasa puisi disuburkan bukan di luar sistem bahasa, melainkan di dalam sistem bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, membiarkan puisi bekerja di luar sistem bahasa akan mengaburkan makna yang mungkin diproduksi bahasa puisi. Puisi yang bekerja di luar sistem bahasa akan menyulitkan pembaca untuk memasuki inti (makna, pesan) puisi itu sendiri.

Dengan demikian, sistem bahasa bisa menghindari ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi, namun bisa juga menyuburkannya. Dalam bahasa puisi, ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi disuburkan secara maksimal terutama oleh metafora. Keberhasilan puisi dalam mendorong ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi untuk memproduksi makna sangat bergantung pada sejauh mana metafora dan imaji terorganisasi dan terstruktur dalam sebuah sistem bahasa.

Dengan dasar pikiran sederhana itu, marilah kita memeriksa puisi Di Halte Malam Jatuh (halaman 1), puisi pertama dalam Paus Merah Jambu

….
akhirnya, aku mahir menggambar hujan
menirukan langkah-langkah pulang
menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya
di bebatang pohon sepanjang jalan
dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang
gugur sebelum pagi kembali
bus yang penuh sesak itu akan berangkat??
tanyamu. orang-orang masih terus mengembara
tak ada bintang di langit;
nujuman nasib, kompas para kafilah
di mana-mana kautanam bendera. aku ingin
berkibar-kibar mengikut gelombang hujan
menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja
tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan
lewat deru angin yang tertahan di awal musim

Dari segi sintaksis, puisi di atas kohesif. Di situ tidak ada struktur kalimat yang membingungkan. Tetapi secara semantik, kita dibuat bertanya-tanya apa hubungan antara ‘aku mahir menggambar hujan’ dan ‘(aku mahir) menirukan langkah-langkah pulang’ serta ‘(aku mahir) menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya/ di bebatang pohon sepanjang jalan’. Pertanyaan serupa dapat diajukan untuk bait-bait berikut dalam puisi tersebut. Jawaban saya negatif. Yang lebih musykil lagi, ide demi ide atau citraan demi citraan itu bukan saja tidak saling berhubungan, melainkan dibiarkan berdiri sendiri-sendiri dari awal hingga akhir puisi sehingga kita tidak mendapatkan kesatuan makna yang dapat dipandang sebagai inti puisi. Dengan kata lain, dalam pandangan saya, karena inkoheren secara semantik, puisi tersebut tidak bisa memproduksi makna secara maksimal.

Agar lebih jelas bahwa kesulitan saya memasuki beberapa puisi Zen Hae lebih karena diabaikannya sistem bahasa dalam puisi-puisi Zen Hae sendiri, marilah kita bandingkan puisi di atas dengan puisi Ira dalam Ruang (halaman 15) berikut:

Ira, kapan ranjang ini akan diberangus
berahi di kelaminku jadi salju. sementara
kau masih menangisi bulan padam di jambangan
itu hanyalah warna kutukan dari mayatku yang gelisah
dari suara-suara hujan yang parau
Ira, rentangkanlah tanganmu ke langit
di sana pelangi akan mengepakkan sayapnya
menjadi burung-burung dan halilintar.

Saya bisa memasuki puisi Ira dalam Ruang dengan mudah. Saya menikmati imaji-imajinya, membayangkan asosiasi-asosiasi yang ditimbulkannya, menangkap ambivalensi perasaan aku-lirik yang gelisah menunggu sebuah ‘akhir’ dari kehancuran dan kesia-siaan, namun tetap memiliki harapan meskipun di dalamnya ada juga kecemasan. Makna seperti itu hanya mungkin lahir dari puisi Ira dalam Ruang yang bekerja dalam sistem bahasa, kohesi sintaksis dijaga dengan rapi dan koherensi semantik diperhitungkan dengan hati-hati. Dengan koherensi, metafora demi metafora terorganisasi dan terstruktur sedemikian rupa membangun satu kesatuan makna.

Puisi lain yang mengesankan bagai saya adalah Dalam Ribuan Sajakmu (halaman 32). Pertama-tama, puisi tersebut bekerja dalam sistem bahasa dengan kohesi dan koherensi dijaga dengan amat baiknya, lalu di atas itu ia menghidupkan makna dengan cara mempererat hubungan-hubungan internal puisi itu lewat jalinan metafora dan citraan-citraan yang memesona. Secara tematik, puisi itu berbicara tentang kematian, tema yang ditulis banyak penyair lain, dan Zen Hae sampai pada citraan yang khas miliknya.

Kecemasan menghadapi kematian dilukiskan dengan: Sunyi dan badai kembali membakar kenangan/ di jendela dan udara dingin berguguran/ dalam paruku dalam kamarmu/ menyelimuti reruncing sajak. Sementara, keikhlasan menerima maut dilukiskan dengan bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku/ ke bukit-bukit batu. di sini, katamu/ kepulanganmu dipercepat api dan air mata?. Ketika kematian itu benar-benar tiba, dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan/jejakku.

Hemat saya, puisi itu menunjukkan Nur Zen Hae sangat potensial menjadi penyair lirik yang kuat yang mampu mengolah metafora dengan cermat, mengeksplorasi bahasa dengan autentik, sekaligus mengekspresikan renungan dan penghayatannya secara orisinal.

Sunyi dan badai kembali membakar kenangan
di jendela. lalu tubuhku lindap dalam gelombang
awan mendung. menzuhurkan kepedihan hidupmu
dan udara dingin berguguran
dalam paruku dalam kamarmu
menyelimuti reruncing sajak
tapi aroma kematianku tercium sampai pembaringan
melewati kamar-kamarmu: terburai oleh tangisan
juga matahari masih menembakkan keranda lewat
serpihan hujan. lalu kengerian tidurmu tersulut
dalam cuaca pagi. penuh kabut mengucur
tapi gagal memeluk hujan yang jatuh di tepi jurang
didera kegamangan
bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku
ke bukit-bukit batu. di sini, katamu
“kepulanganmu dipercepat api dan air mata”
dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan
jejakku. juga jerit anak-anak yang terbadik jalanan.

Sampai di sini, tak perlu diragukan kemampuan Zen Hae menulis puisi yang bisa bekerja secara efektif dalam sistem bahasa, yaitu puisi yang dengan amat bagus mempertimbangkan kohesi sintaksis dan koherensi semantik. Sehubungan dengan beberapa puisinya yang mengabaikan koherensi, pertanyaan kita adalah, apakah inkoherensi atau ketidakteraturan semantik dalam beberapa puisinya disengaja atau tidak? Jika tidak, kita sedang menghadapi kelalaian berbahasa seorang penyair. Jika ya, sejauh mana konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya telah dipertimbangkan?

Dalam pertimbangan saya, kalau inkoherensi dalam puisi-puisi Zen Hae disengaja, artinya dilakukan secara sadar, puisi-puisinya dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa? Lepas dari apakah perlawanan itu membuahkan hasil atau tidak, di sisi lain Zen Hae ternyata tidak melepaskan diri sepenuhnya dari norma keteraturan sistem bahasa, seperti ditunjukkan dua puisi terakhir di atas. Ambivalensi itu membuat perlawanannya terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa sebagai perlawanan yang tidak radikal. Dengan kata lain, perlawanan itu hanyalah perlawanan setengah hati yang justru bisa membatalkan pentingnya inkoherensi sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar.

Tapi, bagaimanapun, jika inkoherensi itu merupakan tindakan sadar seorang penyair, sesuatu tengah menantang di hadapan kita, yakni bagaimana inkoherensi itu bisa memproduksi makna yang memesona dan mengesankan? Kalau bukan kohesi dan koherensi, sarana apa yang disediakan puisi demi mengorganisasi metafora-metafora dan citraan-citraannya yang sering kali berlepasan satu sama lain sekaligus saling berdesakan? Bisa juga, di antara metafora dan citraan yang berlepasan satu sama lain itu terdapat ruang kosong yang bisa mengaktifkan pembaca mengorganisasikannya secara koheren menurut caranya sendiri demi memproduksi makna. Tapi kalau begitu, bukankah puisi akan kehilangan kecemerlangan intrinsiknya.

Salam.

*) Jamal D. Rahman, penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Horison
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/khazanah-paus-merah-jambu-zen-hae-puisi.html

Bayang-bayang Sepanjang Kenangan

Rofiqi Hasan, Kurniawan
http://majalah.tempointeraktif.com/

Potret adalah citra tak bergerak. Figur yang dia wakili, kata Roland Barthes, filsuf Prancis penulis Camera Lucida, tak hanya diam, tapi juga dibius dan diikat, seperti kupu-kupu. Tapi kita sengaja membekukan kupu-kupu itu untuk mengabadikan kenangan, menjadikannya saksi atas kehidupan, karena hidup itu pada akhirnya mati.

Banyak kenangan berlesatan di benak perupa Yogyakarta, Agung Kurniawan, ketika membuka album foto keluarganya beberapa tahun lalu. Kenangan itu kini dia eksplorasi dalam berbagai media pada pameran The Lines that Remind Me of You di Kendra Gallery, Seminyak, Kuta, Bali, sejak pekan lalu hingga 22 Mei nanti. Inilah pameran tunggal pertamanya setelah lima tahun vakum tampil solo.

Salah satu kenangan yang ia bangkitkan dalam sebuah karya adalah adegan pada masa kecilnya ketika bersama saudara-saudaranya mengikuti suatu pawai. “Saya ingat itu acara Agustusan, tapi lupa kapan dan di mana,” ujarnya.

Karya berjudul My First Parade in 1974 itu berupa batangan besi tipis yang dibentuk menjadi garis-garis yang menggambarkan tiga anak berseragam sekolah sedang bergandengan tangan dan satu anak di depan berpakaian polisi. Agung suka menyebutnya besi gambar, tapi kita mengenalnya sebagai terali. Ya, terali seperti batangan besi melengkung-lengkung yang menghiasi pagar rumah Anda.

Tapi, di tangan Agung, terali itu ditempelkan dengan jarak tertentu ke tembok putih dan mendapat sorotan lampu. Akibatnya, terali itu menghasilkan garis-garis bayangan pada dinding. Agung mengibaratkan foto-foto itu sebagai terali yang kokoh dan padat, tapi kenangan hanyalah lapisan tipis yang tersimpan di alam bawah sadar. Ketika ditampilkan secara bersamaan, keduanya saling mengisi sekaligus tumpang-tindih dan mengaburkan. Agung sebenarnya mengeksplorasi terali sejak dua tahun silam. Beberapa karya teralinya pernah pula dia pajang di Kedai Kebun, kedai merangkap galeri miliknya di Yogyakarta.

Tentu saja penggunaan teknik ini bukan perkara mudah. Agung harus berkeliling ke mana-mana untuk menemukan tukang las yang peka terhadap kelenturan besi setebal lima milimeter dan mampu membuat bentuk sesuai dengan sketsa yang dibuat Agung.

Pada karya lainnya, seniman dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu menggunakan media kertas untuk melukiskan pedihnya rasa kehilangan seorang kakak yang menjadi kebanggaan keluarga. Foto-foto profil sang kakak serta saat-saat menyenangkan bersamanya dilukiskan kembali dan dibaurkan dengan aneka pertanyaan mengenai keberadaannya sekarang. Ia menyiratkannya dengan menghilangkan wajah-wajah dan menjadikannya ruang kosong tempat dahan-dahan tumbuh.

Agung adalah pendiri Yayasan Seni Cemeti, yang kini menjadi Indonesian Visual Art Archive. Karyanya sudah tersebar luas dan dikoleksi kolektor serta lembaga di beberapa negara. Karya terakhirnya pada 2008, sebuah instalasi Becom(ing) Dutch Project, kini menjadi pinjaman permanen di Van Abbe Contemporary Art Museum, Eindhoven, Belanda.

Karya-karya terbarunya yang sangat sublim dan individual ini seakan menegaskan pergeseran Agung sebagai perupa yang dulu sangat getol mengangkat tema sosial dan politik. Ia dulu dikenal, antara lain, karena karya Very Very Happy Victim (1996), yang menampilkan sepuluh wujud manusia yang digantung terbalik dengan wajah bertopeng tersenyum lebar. Karya ini merepresentasikan situasi politik Orde Baru, ketika masyarakat terbuai oleh kenyamanan semu dan abai terhadap persoalan sosial-politik.

Premis akan perubahan orientasi Agung itu ditegaskan lagi oleh seri lukisan cat air The Things Write Their Own Stories. Pada seri ini, Agung asyik melukiskan secara spontan benda-benda dan gagasan yang menyelinap dalam pikirannya. Dia menghindari rencana-rencana karena percaya adanya narasi tersembunyi yang merupakan hasil rekaman kejadian sehari-hari. “Seperti mengigau dan menuangkan mimpi-mimpi,” ujarnya.

Perupa kelahiran Jember, 14 Maret 1968, itu juga mengabaikan penilaian orang. Ia menganggap perkembangannya saat ini adalah hasil dari hibernasi atau penyimpanan energi setelah selama lima tahun menolak melakukan pameran tunggal. Dalam pameran kali ini, ia merasa memiliki kebebasan, termasuk menolak harapan orang akan dirinya.

Namun ia bukan berarti tak menyentuh tema politik. Lihatlah karya terali yang menampilkan adegan saat Saddam Hussein ditangkap marinir Amerika Serikat. Tentara itu dengan pongah sengaja memamerkan kondisi Saddam yang tampak tak berdaya, berewokan, lusuh, dan awut-awutan setelah ditangkap di lubang persembunyiannya. Adegan pada foto yang tersebar di media-media internasional itu menjadi memori kolektif akan keperkasaan Amerika sebagai penguasa dunia.

Karya teralinya melambangkan kekokohan memori yang dibangun foto itu. Tapi, pada saat yang sama, ia menampilkan bayangan di tembok sebagai garis-garis tipis dan membuat adegan penangkapan Saddam layaknya sekadar permainan cahaya. Bila sudut-sudut pencahayaan atau warnanya diubah, bisa jadi memori itu pun akan semakin jauh dari faktanya. Karya itu mengkritik kenyataan bahwa setiap media selalu memiliki agenda tersendiri.

Briggita Isabella, penulis yang menjadi kurator pameran ini, menilai karya-karya terbaru Agung meneguhkan kecenderungan perubahan tematik Agung pascareformasi 1998, yakni karya-karya yang lebih humanis dan universal dibanding karya-karya kritis yang bercorak politis. “Mungkin karena dia sudah kehilangan lawan yang jelas. Sedangkan dunia politik semakin kurang jelas,” katanya.

Perubahan tematik itu merupakan kecenderungan umum para seniman karena pernyataan politik kini nyaris tak lagi memerlukan komodifikasi. Seni tidak lagi diperlukan sebagai substitusi atau pengganti untuk mewakili aspirasi masyarakat. Pernyataan “Ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra harus bicara”, yang sempat populer, kini tak berlaku lagi. Namun, menurut Isabella, “kenyinyiran” Agung sebagai seniman tak bisa hilang begitu saja, khususnya saat ia berbicara tentang kalangannya sendiri: para perupa.

Hal itu terwakili dalam dua karya yang ditampilkan. Satu karya adalah apropriasi atau “daur ulang” atas karya pelukis pada 1480, Andrea Mantegna. Dalam lukisan The Lamentation of Christ itu, Mantegna menggambarkan kematian Yesus sebagai kematian orang-orang biasa dengan mengabaikan kode-kode sakral yang telah ditetapkan pihak gereja. Agung kemudian mengganti wajah Yesus dengan wajah seorang seniman gendut untuk menyatakan sindiran bahwa seorang seniman besar pun bisa mati seperti orang biasa bila telah dibuai oleh kenyamanan.

Lukisan itu ditampilkan pada tembok. Kali ini dengan menambahkan elemen infus yang dihubungkan dengan gitar elektrik. Agung seperti hendak berkata, bila mau memperpanjang hidup, mestinya si seniman bergaul dengan dunia anak-anak muda.

Karya lainnya menggambarkan aksi membunuh naga, yang merupakan simbol para kolektor yang selama ini menjadi sasaran keluhan para perupa muda. Lukisan itu merupakan saran Agung agar para perupa muda berani melawan kolektor yang berusaha menyetir pasar seni rupa. Meski demikian, Agung menyiratkan hubungan antara kolektor dan seniman adalah hubungan saling menghidupi. Di tengah naga yang bergelimpangan terlihat aksi si pembunuh meneteskan darah ke mulut sang naga, yang dalam tradisi tertentu diyakini akan menghidupkan kembali monster raksasa itu.

Perlawanan terhadap kemapanan juga ditunjukkan dengan medium yang beragam. Agung menuturkan, selama ini ia menolak berpameran tunggal karena dipaksa mendahulukan lukisan, jenis karya rupa favorit para kolektor. Kini dia merayakannya dengan aneka media, seperti terali, cat air, serta lukisan di tembok.

02 MEI 2011

Indonesia, Puisi, dan Teks Sejarah

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Bangsa yang kehilangan teks sejarah dan puisinya tak lepas dari kondisi warga negara yang saat ini kehilangan nurani dan akal sehatnya.

Teks sejarah dan puisi sangat paralel dengan nurani serta akal sehat. Ketika masyarakat kerajaan dan tiap suku di daerah mengalami tekanan penjajahan oleh Belanda, sikap kebersamaan untuk menyatukannya sangatlah diperlukan.

Sumpah Pemuda, sekalipun banyak versi, naskahnya ternyata beriring dengan teks ikrar, teks lagu, hingga teks puisi para penyair di masa itu. Sumpah Pemuda menjadikan semua gugusan pulau yang dipisahkan oleh bentangan laut itu menjadi senasib dan sepenanggungan.

Ikrar pertama ini terjadi di tengah tekanan fisik, penjajahan, dan dentum perang yang masih menerjang. Untuk itu, muncullah ikrar kedua, kali ini merupakan sebuah format kedaulatan dan kemerdekaan berbangsa.

Semangat bersama itu mendapatkan formatnya. Lalu, Chairil Anwar melontarkan kegembiraan, keyakinan, juga sambutan kemerdekaan yang egaliter. Teks lainnya yang kemudian menjadi dasar negara adalah Pancasila.

Sumpah Pemuda, lagu “Indonesia Raya” dan Pancasila, tiga pernyataan yang pernah lahir di dalam sejarah bangsa itu, seperti teks yang lahir dari semangat bersama, beriring dan bersambut dengan puisi, lagu, syair dari seniman mewakili masyarakat di peradaban zamannya.

Bahkan, Sumpah Pemuda hingga Pancasila, papar penyair Sutardji Calzoum Bachri kepada SH beberapa tahun silam, “adalah puisi sakral yang menggema dari jiwa bangsa Indonesia”.

Dari bait-bait yang ada, terlihat semangat, optimisme, kebersamaan, kejelasan terhadap tujuan dan keyakinan. Selain tiga teks besar itu, teks lain adalah teks Pembukaan (Preambule) hingga ayat-ayat di UUD 1945.

Teks lain yang ruang lingkupnya lebih kecil berupa kelompok atau komunitas tertentu di dalam sejarah negeri kita, sebutlah Tritura, Trikora, atau Surat Kepercayaan Gelanggang oleh kalangan budayawan Manifestasi Kebudayaan atau pernyataan kaum Lekra.

Dua terakhir lahir dari kalangan budayawan. Kesemuanya berupa pernyataan kebersamaan, semangat, perlawanan, sikap bersama dari komunitas bangsa Indonesia. Kini, teks apakah yang awet dan bertahan bahkan mengundang sikap para seniman, musikus, sastrawan, hingga budayawan?

Ke manakah semangat, pernyataan bersama, perlawanan Indonesia terhadap bangsa penjajah, para imperialis sebangsa, dan imperialis internasional di era global saat ini?

Tidak jelasnya masalah, tidak jelasnya musuh bersama, serta tidak jelasnya konsep berbangsa, kepemimpinan yang tak kuat, membuat teks yang besar dan berwibawa itu tak pernah lagi ternyatakan serta tertulis di kalangan masyarakat, menengah ke bawah atau intelektual sekalipun.

Masalahnya kemiskinan, kebodohan hingga perpecahan. Apa lagi penyebabnya? Tak ada sektor kerja yang riil, tidak mandirinya ekonomi rakyat, dipicu penguasaan investasi asing, tak adanya kebijakan pemerintah, korupsi para pejabat, pencurian terhadap APBN dan uang negara lainnya, subsidi semakin dipotong di tiap sektor, dan proteksi negara terhadap perekonomian rakyat membuat rakyat tak lagi mandiri.

Perubahan UUD 1945 yang dulunya melindungi rakyat bahkan telah diamendemen untuk lebih terbuka pada swasta dan investor asing. Lantas, kenapa tak bersuara, karena kemiskinan perut sehingga tak sempat berpikir politik dan kebangsaankah, atau karena miskin wacana, terlebih lagi miskin imajinasikah?

Pemandulan Makna

Teks lahir bukan dari masyarakat semata, tapi dari pemimpin, kelompok intelektual, budayawan, tokoh agama, pemimpin suku, atau daerah atau marga/klan. Sementara itu, teks kekinian yang lahir dari kelompok penting itu kini tak sesuai dengan kenyataan.

Rakyat tak lagi percaya bahwa teks yang selama ini telah dilahirkan, itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di sisi lain, kemiskinan, penderitaan, beratnya harga bahan pokok, sandang, pangan, dan papan pun mahal, tabungan yang cekak, mewarnai kelas piramida terbawah rakyat Indonesia di negeri ini.

Kelas di piramida terbawah yang nyatanya paling dominan dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Yang repot, tak hanya teks yang lahir, tapi juga pemandulan makna dari teks-teks lama.

Yang muncul belakangan ini justru semuanya adalah teks dari setiap kelompok rakyat, berupa gugatan, lirih, dan pasrah, tanpa semangat, teks yang tak memberikan semesta tujuan dan harapan kecuali menyatakan kegelisahan. Tak ada teks yang sakral dan berwibawa.

Apalagi semacam teks pernyataan “menjaga amanat kemerdekaan”. Yang ada justru gugatan, kritik, makian dari tulisan tiap pribadi demonstran di karton atau spanduk. Teks itu tak pernah berubah menjadi ikrar bersama, karena begitu banyaknya kelompok demonstran.

Ke manakah makna teks itu pergi, atau kapankah teks itu bisa lahir lagi lengkap dengan maknanya, seperti sejarah teks Sumpah Pemuda, Proklamasi, dan Pancasila? Setidaknya, masyarakat dapat kembali membuka harapan yang terkandung dari tiga ikrar bersejarah ini.

Teks yang bermakna, berwibawa, dalam konsep dan praktiknya. Bahkan koran, televisi, telepon genggam, internet, pun tak mampu menjawab teks dengan substansi yang mengena. Jadi, sekarang, jangan cuma di kepala dan wacana saja, mari lahirkan segera teks bersama, yang juga sakral, konkret, dan berwibawa!

20.08.2011 09:45

Hikayat Teungku Di Meukek: Tinjauan Teori Sastra Post-Kolonial

Istiqamatunnisak
http://wa-iki.blogspot.com/

Hikayat Teungku di Meukek adalah sebuah teks sastra Aceh yang menukilkan berbagai peristiwa sejarah dan penuh pesan sosial dan politik. Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh kolonial dalam hikayat tersebut. Naskah kuno yang di dalamnya banyak mengandung berbagai nilai budaya, baik tentang kepercayaan, adat-istiadat, filsafat, pendidikan, ekonomi, sosial dan politik, bahkan sejarah. Pembedahan, pengkajian, dan pengungkapan berbagai warisan nilai budaya di dalamnya diperlukan sebagai upaya mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa. Hikayat Teungku di Meukek merupakan naskah lama yang menggambarkan perlawanan rakyat Aceh di Meulaboh terhadap hulubalang yang didukung oleh Belanda. Hikayat ini ditulis untuk melihat bagaimana perlawanan masyarakat Aceh terhadap kolonial.

Pendahuluan

Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang didukung pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut (Djojosuroto, 2006:77). Hakikat karya sastra adalah bercerita yang merupakan bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Djojosuroto,2006:77). Di Indonesia terlalu banyak peninggalan warisan budaya nasional yang saat ini belum terungkapkan. Warisan budaya nasional yang tak ternilai harganya itu masih banyak berserakan di seluruh pelosok tanah air, baik yang berada di tangan anggota masyarakat tanpa perawatan yang berarti, maupun yang masih terpendam tanpa diketahui di mana adanya. Salah satu di antara warisan budaya nasional yang masih bertebaran pada sebagian anggota masyarakat adalah naskah-naskah kuno, sebagai warisan intelektual bangsa Indonesia.

Berbicara tentang naskah merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang sangat banyak nilainya, naskah mempunyai dimensi dan makna yang sangat luas, karena merupakan hasil tradisi yang melibatkan berbagai keterampilan dan sikap budaya. Dalam naskah terkandung kekayaan yang melimpah. Isi naskah tidak terbatas hanya pada kesusastraan akan tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum adat, obat-obatan, teknik dan lain-lain. Naskah kuno mengandung berbagai warisan rohani, perbendaharaan pikiran dan cita-cita nenek moyang bangsa Indonesia, adalah merupakan sumber aneka informasi ilmu pengetahuan dan perkembangannya, di antaranya adalah Hikayat Teungku di Meukek.

Hikayat kalau diartikan dalam bahasa Aceh adalah penyampaian secara lisan sering dengan irama lagu yang indah agar dapat menarik perhatian para pendengarnya. Hikayat di Aceh terdapat banyak jenis dalam ungkapan Aceh beuet-(ba-), berarti membaca Hikayat, peugah; menceritakan Hikayat, Ruhe, Hikayat jenaka yang tidak mengisahkan sesuatu masih tertentu, tetapi fantasi pengarang yang kadang-kadang didasarkan kepada pengalamannya sendiri atau orang lain; neuba mangat that s., Ia Meu-, mempunyai Hikayat. Membaca hikayat oleh orang yang mengisahkan Nadham dan Sanjak (Sakti dan Dally,2002:7). Hikayat masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Aceh sampai sekarang sebagaimana terlihat dalam resitasi (pembacaan hafalan) yang dilakukan, bahkan untuk mempermudah dalam membacanya banyak hikayat yang sudah dicetak yang disebut dengan “Litho Graphi” dan ditransliterasi ke latin seperti melalui peredaran yang dilakukan oleh berbagai penerbitan atau toko buku di Aceh sekarang (Seno, 2002:19).

Hikayat ini memberi pengaruh dan merupakan salah satu sastra kitab hikayat populer diminati masyarakat Aceh, bagi masyarakat Aceh terutama di bidang kebudayaan yang terkandung dalam naskahnya, sehingga hampir setiap orang Aceh, terutama tokoh-tokoh masyarakat, mengadopsi ilmu-ilmu yang terdapat dalam naskah lama tersebut ini, terutama masalah adatnya. Dalam naskah ini memberikan nilai penting yang harus dipelajari oleh masyarakat Aceh sejak dulu bahkan hingga sekarang pun masih berlaku di dalam masyarakat Aceh. Bahkan hikayat juga mengisi setiap acara waktu senggang masyarakat Aceh sehingga daerah Aceh terkenal pula dengan kekayaan literaturnya.

Adapun yang dimaksud dengan teungku adalah gelar tokoh-tokoh agama di Aceh, atau orang yang taat beribadah dalam masyarakat Aceh sehingga diberi gelar teungku. Sedangkan Meukek adalah nama tempat yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat. Teungku di Meukek tersebut datang ke Rundeng untuk menyebarkan agama Islam dan menetap di daerah itu. Beliau sangat disegani oleh masyarakat sehingga para penguasa di sekitar wilayah tersebut tidak senang. Hikayat Teungku di Meukek ini merupakan salah satu karya sastra lama yang dikarang oleh masyarakat Aceh pada masa itu karena melihat persengketaan yang terjadi dan karena melihat kejadian-kejadian konflik antara masyarakat dengan para Hulubalang di bawah pemerintahan Belanda, Belanda menghasut para Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek. Dari hikayat di atas kita bisa melihat bahwa ada pengaruh postkolonial yaitu adanya campur tangan Belanda untuk menghasut para Hulubalang sehingga atas bantuan pemerintahan Belanda, para Hulubalang menyerang daerah Rundeng tersebut.

Isi Ringkas Hikayat Teungku Di Meukek

Hikayat Teungku di Meukek diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh GWJ Drewes tahun 1980 dengan judul Two Achehnese Poems yang diperoleh dari Drs Wamad Abdullah di Banda Aceh pada Juni 1982. Dalam buku setebal 99 halaman ini, teks bahasa Acehnya telah disunting dengan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan. Hikayat ini merupakan hikayat lama dan sudah dibicarakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya The Achehnese (Harun, 1983:7) Drewes sendiri mendapat kedua naskah ini dari perpustakaan Leiden. Menurut Drewes, hikayat ini merupakan karya asli pengarang Aceh, bukan terjemahan atau saduran dari karya asing, seperti hikayat Aceh lainnya. Tidak ada catatan mengenai tahun penulisan kedua karya tersebut (Harun, 1983:7).

Penyalin hikayat ini ialah Panglima Nyak Amin yang mendapat naskah aslinya dari Juhan Muda Pahlawan, yaitu putra Lila Peukasa, yaitu penguasa Meulaboh pada masa itu. Pengarang aslinya adalah Teungku Malem, asal Trumon, tinggal di Kampung Peunaga (Harun, 1983:7). Penyair mengabadikan sengketa yang terjadi pada tahun 1893 dan 1894 itu, antara tokoh tokoh penguasa Meulaboh yang bersahabat dengan Belanda, dan kelompok perlawanan yang bermarkas utama di Rundeng dan dipimpin oleh tokoh suci Teungku di Meukek (Hurgronje,1985:124).

Syekhuna, demikian nama sebutan seorang ulama yang dikenal dengan panggilan Teungku di Meukek karena perlawanannya terhadap Belanda. Ulama tersebut memperkuat kedudukannya di Rundeng, dekat Meulaboh, sambil menyebarluaskan ilmu agama serta mendirikan kubu-kubu pertahanan dengan tujuan hendak melawan Belanda. Dari berbagai kampung, orang berdatangan untuk memuliakan Teungku di Meukek dengan membawa berbagai buah tangan sebagai hadiah. Kegiatan Teungku di Meukek memperkuat negeri Rundeng dianggap oleh para hulubalang yang berkuasa negeri itu mengganggu ketertiban dan keamanan. Belanda yang mengetahui hal itu segera memanggil para hulubalang dan menghasut mereka supaya menyerang negeri Rundeng dan melawan Teungku di Meukek, seraya membekali mereka dengan senjata yang diperlukan. Para hulubalang menyambut baik bantuan Belanda dan mempersenjatai anak negeri.

Di bawah pimpinan Raja Lila Perkasa dari Meulaboh, rakyat siap menyerang Rundeng. Begitu rakyat Rundeng dan Teungku di Meukek mendengar berita bahwa pihak Belanda akan membantu para hulubalang, mereka semakin giat memperbanyak benteng-benteng pertahanan dan mengatur siasat perang di masing-masing tempat. Dengan semangat yang tinggi Teungku di Meukek dengan khotbahnya yang berapi-api mengumumkan perang jihad melawan Belanda dan kaki tangannya. Tanggal 6 dianggap hari baik untuk memulai perang. Di bawah pimpinan Teuku Panglima Dalam, Teuku Haji Ben, Panglima Nyak Yeb dan panglima lainnya, serentak rakyat Meulaboh menyerang Rundeng. Selama beberapa hari pertempuran berlangsung, satu demi satu kubu pertahanan Rundeng jatuh ke tangan hulubalang, antara lain Kuta Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet, dan Kuta Sijaloh.

Ketika perang sedang berlangsung di Rundeng, para pembesar Belanda di Kutaraja memutuskan untuk mengirimkan bantuan guna membantu Raja Lila Perkasa. Beberapa hari kemudian, tiga kapal perang Belanda berlabuh di Lhok Meulaboh. Para serdadu didaratkan dan langsung menyerang Rundeng, sementara meriam-meriam kapal terus menerus menembaki kubu-kubu pertahanan kaum pejuang. Korban berjatuhan di pihak kaum muslimin. Kemudian peperangan terhenti seketika.

Di dalam tubuh pejuang sendiri terjadi keretakan. Orang-orang yang berasal dari Woila dan Bubon meninggalkan Teungku di Meukek. Tanggal 27 bulan Ramadan, Teungku di Meukek keluar dari benteng pertahanan setelah melakukan sembahyang dan berdo’a semoga dapat mengusir musuh. Sambil berzikir, di malam yang gelap itu Teungku di Meukek pergi dari satu benteng ke benteng musuh yang lain. Dalam malam yang gelap gulita disertai hujan lebat Teungku di Meukek masuk ke dalam sebuah benteng yaitu Kuta Haji Sarong seraya menanyakan kepada seorang pengawal di mana Haji Sarong dan Teuku Panglima Dalam berada. Sebelum sempat memberi jawaban pedang, Teungku di Meukek sudah merengut nyawa pengawal itu. Maka terjadilah huru-hara antara Teungku di Meukek dengan para pengawal benteng. Setelah terjadi pertarungan singkat, mereka terpaksa melarikan diri meninggalkan benteng yang dikuasai Teungku di Meukek.

Teuku Panglima Dalam dan Teungku Haji Sarong yang berada di Kuta Nibong datang mencari Teungku di Meukek setelah mendengar peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam keadaan berhadap-hadapan antara Teuku Panglima Dalam dan Teungku di Meukek di kegelapan malam itu, tiba-tiba Panglima Muda yang ikut serta dengan Teuku Panglima Dalam melepaskan tembakan. Teungku di Meukek rubuh dan tewas. Esok harinya, mayat Teungku di Meukek diambil oleh Belanda dan dibawa berlayar. Tidak ada orang yang mengetahui ke mana mayat Teungku di Meukek dibawa. Dengan syahidnya Teungku di Meukek, para hulubalang dan Belanda dapat berkuasa kembali (Ramli Harun, 1983). Hikayat ini berakhir dengan kematian Teungku di Meukek. Di sini nampak salah satu kekhasan orang Aceh. Sang penyair, walau berada di pihak pemerintah Belanda, menggambarkan Teungku di Meukek sebagai seorang sahid dan para pengikutnya sebagai wakil-wakil agama. Tidak perduli di pihak mana seorang Aceh berada, ia selalu menggambarkan musuh kaum kafir sebagai pendukung perjuangan yang benar (Hurgronje,1985:124).

Untuk mengkaji persoalan ini, maka teori yang cukup relevan digunakan adalah teori postkolonial. Teori postkolonial adalah teori kritis yang mencoba mengungkapkan kesadaran bahwa sudah sekian lama terjadinya perjalanan waktu, ada masalah-masalah yang perlu dipertimbangkan, yang sebelumnya belum disadari, akibat negatif yang ditinggalkan oleh kolonialisme Barat. Akibat yang dimaksudkan adalah tidak lebih bersifat degradasi mental.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa postkolonial ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Dengan perkataan lain, postkolonial sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat secara “jernih” bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi digerakkan untuk kepentingan kelas dominan atau pusat. Postkolonial mencoba membongkar mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari penguasaan hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran yang subtil (Anderson,1999:8).

Dapat dikatakan bahwa postkolonial adalah perlawanan sehari-hari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Anderson bahwa sebentuk mode atau siasat perlawanan massa rakyat kecil tanpa politik yang dilakukan dengan gerakan “picisan” untuk mengkaji ulang “politik modern” identitas adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa (Anderson, 1999:9).

Pengaruh Postkolonial Dalam Hikayat Teungku Dimeukek

Kajian postkolonial adalah salah satu kajian akademis yang berkembang setelah tahun 1980-an. Perkembangan ini sebagai dampak pemikiran teori kritis dan postmodern yang mewarisi pemikiran Nietszhe seperti: Heidegger, Derrida, Foucault, Bataille dan lainnya. Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama teori kritis dan postmodern yaitu bahwa teori sosial berguna untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan yang lebih memungkinkan perubahan lingkungan sosial budaya secara rasional dan lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada kajian postkolonial. Oleh karena itu, Akhyar mengemukakan bahwa teori kritis dan postmodern berjasa besar dalam menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan bahwa dalam praktek-klasifikasi ilmiah, pemahaman dan penelitian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan dan ideologi (Ahyar, 2006:199).

Menurut Edward Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi sosial-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Karena itu, pandangan dan teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif sebagaimana mereka duga. Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori Kritis sebagai dasar teori postkolonialnya. Said menggunakan pemikiran tokoh itu untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis (Baso, 2005:59).

Bukan lagi rahasia umum bahwa segala sesuatu yang dipaksakan Barat pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia selalu bersifat subjektif. Hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu hikayat yang membahas tentang persengketaan antara masyarakat Aceh pada masa itu terhadap Belanda. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial telah terjadi naratif heroik, baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain, perjuangan melawan para penjajah tidak hanya menggerakkan banyak orang, tetapi juga memberikan tujuan moral yang jelas. Mengenang kembali revolusi dan mengklaim legitimasi, tetapi juga bisa menjadi cara untuk mengkritik rejim sekarang karena mengkhianati cita-cita terdahulu (Faulcher & Day, 2002:468).

Hikayat Teungku di Mekek menyajikan suatu ulasan yang jelas tentang sejarah Aceh dan wawasan mengenai kondisi Aceh pada saat itu bahkan mempunyai nilai sejarah khusus. Karya ini mempunyai latar belakang sejarah yang cukup jelas walaupun fakta-faktanya dicerminkan melalui medium imajinatif yang seluruhnya bersesuaian dengan ciri khas Aceh. Kita dapat lihat bagaimana Belanda menghasut Hulubalang untuk memerangi Teungku Meukek di Rundeng, seperti kutipan dibawah ini,

Raja Beulanda atejih sosah
Jikeumeung pinah sinan Syekhuna
Jimupakat sabe keudroe-droe
Tapangge jinoe raja raja

’Oh ka tapangge dum Hulubalang
Dudoe tayue prang bakjih teuma
Meunankeu pakat di kompeuni
Ban narit jibri ka ubak raja
Nanggroe Rundeng jak leh taprang
Beulanja tuan ulon peuna
Han sep siribee dua lhee ribee
Bek kamalee kaprang lanja

Peue meusaket atra kompeuni
Jinoe kubri keu beulanja
Nyankeuh teuku cuba pike
Ubat beude ulon peuna
Artinya:

Raja Belanda hatinya susah
Dia ingin mengusir syekhuna atau Teungku di Meukek
Mereka melakukan muwafakat dengan sesamanya(Belanda)
Untuk memanggil setiap para raja atau para Hulubalang
Setelah dipanggil para Hulubalang
Kemudian kita ssuruh perang sama mereka
Begitulah muwafakat para kompeni
Begitulah khabar yang disampaikan sama raja
Negeri rundeng mari kita perang
Semua keperluan tuan akan kami sediakan
Tidak cukup siribu dua ribupun kami kasih
Jangan kalian pikirkan kita perang saja
Jangan kalian susah dengan harta kompeni
Sekarang kami berikan untuk belanja
Sekarang coba anda pikirkan
Kalau masalah senjata ada sama kami

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Belanda mengajak dan menghasut para Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek di Rundeng, bahkan Belanda juga menyiapkan semua fasilitas yang diperlukan, baik uang maupun senjata. Belanda menghasut para Hulubalang karena para Hulubalang juga sangat membenci Teungku di Meukek karena Teungku di Meukek adalah seorang pendatang yang datang ke daerah rundeng untuk menyebarkan ajaran Islam, bahkan selain itu Teungku di Meukek juga telah membuat daerah rundeng maju dan terkenal. Bahkan sebab lain para Hulubalang membenci Teungku di Meukek karena orang wilayah-wilayah yang dekat dengan rundeng juga banyak yang berdatangan untuk belajar pada Teungku di Meukek terutama belajar ilmu agama.

Dalam hikayat tersebut digambarkan bahwa Belanda sudah lama ingin menguasai Rundeng, dan sudah pernah menjajah wilayah Rundeng tersebut dan juga wilayah di sekitarnya, tapi tidak pernah berhasil karena orang Rundeng tidak terpengaruh dengan kedatangan Belanda, bahkan menolak kedatangan kolonialis ke wilayah mereka. Oleh karena itu, Belanda menghindar dan tidak berani melawan Teungku di Meukek yang memimpin wilayah Rundeng itu karena ia terkenal sangat kuat dan sukar ditaklukkan. Namun begitu Belanda mengetahui bahwa para Hulubalang Meulaboh merasa sakit hati pada Teungku di Meukek dan ingin menyerang wilayah rundeng, maka Belanda mulai mengatur siasat yaitu menggunakan kesempatan untuk bekerja sama dengan para Hulubalang.

Hikayat Teungku di Meukek menunjukan adanya ketidaksesuaian antara masyarakat Aceh yang satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga munculnya perlawanan. Dalam hikayat ini juga menggambarkan bagaimana sosok seorang ulama dalam menyebarkan Islam di jalan Allah. Hikayat ini memberikan gambaran perjuangan seorang dalam menghadapi penjajahan dan secara tegas menggambarkan musuh utama itu orang Belanda yang tampil sebagai wakil semua bahaya yang mengancam mereka dari Eropa.

Hikayat ini juga menggambarkan kesabaran kepada kita bahwa walaupun dihina dan dicemoohkan oleh para Hulubalang dan Belanda, tetapi Teungku di Meukek tetap menjalankan tugasnya sebagai ulama. Bahkan Teungku di Meukek dalam peperangan melawan Belanda dan Hulubalang dibantu oleh para ulama serta warga Rundeng dan sekitarnya. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa pada masyarakat dalam membantu Teungku di Meukek untuk melawan para Hulubalang dan penjajah. Hikayat ini menampilkan ideologi bahwa bagaimana seruan dalam menyongsong ke arah perbaikan, melawan penjajahan, dan mempertahankan wilayahnya dari tangan penjajahan. Hikayat ini menunjukkan bahwa masyarakat melakukan perjuangan sosial dalam praktek politik nyata, dan berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum kolonialis atau orientalis.

Dalam Hikayat ini diberikan paparan yang cemerlang, tentang bagaimana sikap para penjajah terhadap masyarakat Aceh, dan juga menunjukkan bagaimana respon masyarakat Aceh yang tertindas, sehingga munculnya dorongan untuk melawan para penjajahan, dan adanya semangat dalam melakukan perjuangan dalam bekerja sama untuk melawan penjajah tersebut. Begitu juga nilai-nilai yang terdapat dalam Hikayat, sebagian dari nilai-nilai tersebut mengajarkan hal yang serupa tentang semangat untuk bertahan hidup. Ciri khas lain yang ada dalam hikayat adalah adanya motif yang menggerakkan cerita.

Kesimpulan

Hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu karya sastra lama yang ditulis dalam bahasa Aceh oleh masyarakat Aceh dulu. Hikayat ini menggambarkan tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintahan kolonial yang menghasut para Hulubalang. Hikayat ini menunjukkan adanya perjuangan sosial dalam praktek politik nyata dan berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis atau orientalis. Naskah ini ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Teori postkolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi.

Referensi:

Ahmad Baso, 2005. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung: Mizan Pustaka.
Akhyar Yusuf Lubis, 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Benedict Anderson, 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar- Insist.
Faulcher & Tony Day, 2006. Clearing A Space, Kritik Pasca Kolonial Tentang sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kinayati Djojosuroto, 2006. Analisis Teks Sastra dan pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka.
Ramli A. Dally dan Teuku Abdullah Sakti, 2002. Hikayat Akhbarul Karim, Transliterasi dan Terjemahan. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi NAD.
Ramli Harun, 1983. Hikayat Ranto Ngon Hikayat Teungku di Meukek. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Seno, 2002. Mitos dan Fakta “Hikayat Raja-raja Pasai (Kisah Tentang Pelanggaran Hukum yang Menyebabkan Kehancuran)”, dalam Buletin Haba, Edisi 24, Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh.

Snouck Hurgronje, 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jilid II. Jakarta: Yayasan Soko Guru.
__________
Istiqamatunnisak, Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Email: istiqamatunnisak@yahoo.co.id Sumber: http://www.acehinstitute.org
Dijumput dari: http://wa-iki.blogspot.com/2011/05/hikayat-teungku-di-meukek-tinjauan.html

‘Tiga Jagoan’ dan Orang-Orang Merdeka

Eep Saefulloh Fatah
http://www.bookoopedia.com/

Sastra, Kebebasan dan Peradaban Kemanusiaan; merupakan buku karya sastra yang dihimpun oleh 3 penulis berlatar pemikiran progresif, ideologis, visioner, dan humanis.

Buku himpunan esai, prosa liris, puisi, cerpen, dan esai liris; telah menegaskan fungsi sastra sebagai alat pelurusan sejarah, pembebasan dan perjuangan bagi nilai-nilai kemanusiaan.

Heri Latief, Mira Kusuma, dan Leonowens SP; adalah 3 serangkai sahabat yang selama ini berkonsentrasi dalam perwujudan karya-karya sastra sebagai alat pencerdasan dan pembebasan di bidang: politik, ekonomi, budaya, lingkungan, negara, kekuasaan, gender, dan globalisasi.
***

‘Tiga jagoan’ kita berkolaborasi menerbitkan buku yang Anda pegang ini. Lalu, apa yang bisa saya bilang? Kata pengantar sederhana ini adalah jawabannya.

Orang-orang Merdeka

Dunia perbukuan di Indonesia dalam lebih dari satu dasa warsa terakhir telah berkembang secara dramatis. Banyak sekali buku diterbitkan dalam periode ini dengan tema yang di masa Orde Baru dulu tak pernah bisa dibayangkan sebagai topik yang diperkenankan penguasa menjadi konsumsi perbincangan publik.

Mereka yang dulu secara diam-diam, di bawah ancaman penangkapan dan pemenjaraan, membaca karya-karya mendiang Pramoedya Ananta Toer, misalnya, saat ini akan menemukan toko-toko buku sebagai surga yang menyediakan semua karya Pram. Selain itu, buku-buku bermuatan kritik eksplisit terhadap pejabat publik — setidaknya seperti tercermin dari judul-judul buku itu — sekarang begitu mudah ditemukan dan dibaca. Pendeknya, bukan saja dari sisi jumlah namun juga dari sisi keragaman topik, dunia perbukuan Indonesia tengah berkembang dramatis menderu-deru.

Di satu sisi, perkembangan ini membuktikan bahwa dunia perbukuan tidaklah berada dalam ruang hampa sosial-politik, melainkan tumbuh di tengah dan dipengaruhi oleh suasana sosial-politik semasa. Dalam kerangka ini, dinamisasi dunia penerbitan buku dapat dikaitkan dengan dinamisasi ke-hidupan sosial dan politik yang memang menderu-deru dan berkecepatan penuh sejak jatuhnya ke-diktatoran Soeharto.

Di sisi lain, saya berharap, perkembangan dramatis dunia penerbitan buku itu menggarisbawahi tengah tumbuhnya suasana kepenulisan baru yang men-janjikan. Saya berharap bahwa tumbuh pesatnya penerbitan buku — baik dalam jumlah maupun keragaman topik penulisan — merefleksikan makin meluasnya kebebasan yang dirasakan publik dan pada gilirannya mendorong makin terartikulasi-kannya perasaan, sikap dan penilaian publik melalui tulisan.

Sudah lama saya percaya bahwa “kemampuan menulis” bukanlah sekadar perkara teknis.

Kemampuan menulis bagi saya adalah hasil pen-jumlahan dari “kelayakan psikologis” seseorang dengan penguasaan “teknik pengutaraan pikiran”.

Kegiatan penulisan akan senantiasa dimulai dari perasaan merdeka yang dimiliki seseorang. Tanpa kemerdekaan, sebuah kerja penulisan akan gagal dilakukan atau setidaknya gagal memproduksi karya yang punya kelayakan.

Dalam konteks itulah kita bisa menjelaskan mengapa setiap orang bisa membuktikan diri sebagai penulis catatan harian atau diary yang baik, lancar, mengalir, dan biasanya berperasaan (sedih, jenaka, muram, ceria). Sebab, ketika menulis catatan harian orang merasa merdeka. Ia tak merasa akan ada yang memvonisnya sebagai tulisan buruk dengan pandangan yang dangkal. Sebab, sebuah diary dianggap penulisnya tak akan sampai ke tangan khalayak pembaca yang luas. Perasaan merdeka inilah yang ingin saya sebut sebagai “kelayakan psikologis” itu.

Kelayakan psikologis ini kemudian hilang ketika seseorang berusaha menulis untuk khalayak umum. Tiba-tiba saja orang merasa tak merdeka, khawatir dipandang sebelah mata oleh para calon pem-bacanya, dilecehkan sebagai pemilik gagasan-gagasan bodoh, dituding sebagai pencerita gagal nan membosankan, divonis sebagai penulis tak bermutu. Kekangan psikologis inilah yang pertama-tama mesti dihancurkan. Hanya dengan “ke-merdekaan diri” lah sebuah ikhtiar penulisan yang layak bisa dilakukan.

Jadi, saya percaya bahwa hambatan pertama dan terpokok dalam kerja penulisan bukanlah kurang-nya penguasaan teknik penulisan tetapi tirani yang tertanam di kepala setiap orang — sebuah tirani yang menjebak seseorang merasa dirinya sebagai “bukan orang yang merdeka”.

Maka, seseorang bisa secara fisik berada di dalam penjara tetapi produktif menulis karya-karya ber-mutu, sebab dalam pemenjaraan itu ia tetap mampu menjaga kemerdekaandirinya. Walhasil, banyak orang yang justru menghasilkan antologi puisi, novel atau serial novel serta beragam jenis prosa lain, memoar, antologi esai perenungan, dan be-ragam jenis fiksi dan non-fiksi di tengah kekang-an kemerdekaan fisiknya dalam penjara atau “kamp kerja paksa”.

Dengan penjelasan serupa, kita juga bisa men-jelaskan konsistensi, persistensi dan produk-tivitas kepenulisan seorang sekaliber almarhum Penyair WS Rendra. Di tengah kekuasaan yang amat tak bersahabat padanya, Rendra — dan para penulis lain — bisa tetap produktif berkarya lantaran sukses merawat kemerdekaan diri.

Dalam konteks itu, saya berharap bahwa per-kembangan dramatis dunia penerbitan buku kita belakangan ini bukanlah sekadar cerita statistik tapi juga narasi tentang tengah dan akan terus tumbuh-nya perasaan merdeka pada makin banyak orang. Saya berharap dunia penerbitan yang berkembang gegap gempita itu menggarisbawahi sukses makin banyak orang menumbangkan tirani yang tertanam di kepala mereka dan merebut kemerdekaan diri sendiri.

Ketika sang “Tiga Jagoan” datang ke hadapan saya dengan membawa naskah ini, mereka sejatinya sedang memproklamasikan kemerdekaannya di depan khalayak. Saya pun tak bisa tidak merasa perlu ikut serta merayakannya.

Jadi, kesediaan ikut menulis pengantar ini adalah cara saya untuk secara kecil-kecilan ikut merayakan kemerdekaan sang “Tiga Jagoan” ini. Lewat buku ini, ketiganya merayakan kemerdekaan dirinya lewat coretan, rangkaian kata, rentetan bait dan kumpulan puisi yang mengekspresikan pandangan-pandangannya tentang keadaan. Ketiganya telah meruntuhkan tirani dalam kepala mereka.

Empu Narasi

Hal kedua yang ingin saya bilang adalah: buku karya “Tiga Jagoan” ini mengingatkan saya bahwa setiap orang adalah “empu narasi”, pemilik hikayat.

Sejak lama saya percaya bahwa setiap orang dengan segenap keunikannya, dengan keterbatasan kom-petensinya masing-masing, dengan latar belakang sosial macam apapun, sejatinya adalah pemilik cerita atau “shahibul hikayat”. Prinsip demokrasi yang paling asasi menegaskan bahwa setiap orang punya hak sepenuhnya untuk menjadi diri sendiri, menjalani hidup sebagaimana ia inginkan, meng-gapai setiap mimpi dan cita-citanya dengan kerja keras dan cerdas yang ia galang, serta mencapai tahap eksistensi tertentu yang sepadan.

Salah satu konsekuensi penting dari prinsip itu adalah setiap orang berhak dan tak bisa tidak menjadi sesuatu yang unik dan selalu berharga. Keunikan ini melekat pada berbagai unsur yang dimiliki setiap orang: pengalaman sosial dan kebudayaannya, gagasannya, dan pilihan atas gaya bersikap dan bertindak menghadapi tantangan hidup yang privat dan publik di sekitarnya.

Maka, mau tak mau, demokrasi memosisikan setiap orang sebagai pemilik sah atas segenap hikayat yang melakat pada dirinya. Setiap orang bisa menjadi guru sekaligus murid bagi orang lain. Setiap orang membangun interaksi dengan orang lain dalam sebuah proses belajar-mengajar yang tak terhindarkan. Setiap orang berkedudukan setara satu dengan yang lain dalam dinamika yang saling melengkapi.

Di atas keyakinan mengenai prinsip-prinsip itulah saya bersetuju dengan kawan-kawan Perguruan Rakyat Merdeka yang mengusung sebuah prinsip mulia: Setiap orang adalah guru, dan alam semesta adalah sekolahnya. Menurut saya, beginilah se-yogianya hidup dan kebersamaan kita kelola.

Berbasis prinsip-prinsip itulah saya percaya bahwa setiap orang adalah shahibul hikayat, pemilik cerita hidup, yang bisa menjadi mutiara dan pelajaran berharga bagi hidup orang lain. Naskah buku ini mengonfirmasikan berlakunya prinsip ini.

Naskah ini berharga untuk saya dan siapa pun karena bisa membuat kita belajar dan saling belajar. Sebagai pemilik cerita, ketiga penulis memper-lihatkan sikap-sikap penolakan tegas mereka atas keangkaramurkaan yang dibungkus manis dengan jargon demokrasi, diskriminasi sosial dalam berbagai bentuk, korupsi yang merajalela, para pejabat korup yang menyebalkan, penegakan hukum yang lebih kerap melayani ketidakadilan, hukum yang tunduk di bawah ketiak bau ke-kuasaan, orang-orang kecil yang senantiasa dipinggirkan, dan masa depan Indonesia yang dibikin suram oleh keserakahan para penjahat peradaban.

Saya menulis kata pengantar ini dengan senang hati lantaran ingin menjadi bagian pembelajaran dengan ketiga penulis dan khalayak pembaca mengenai betapa sikap-sikap tegas senantiasa berharga.

Enam Infrastruktur

Salah satu ciri khas amat menonjol dari buku ini adalah ketegasan ketiga penulisnya dalam meneriakkan kata “tidak” pada praktik korupsi. Ketegasan semacam ini, menurut hemat saya selalu bernilai dalam ikhtiar Indonesia memberantas korupsi. Sebab, diam-diam tanpa kita sadari, sikap publik semacam ini adalah salah satu infrastruktur pemberantasan korupsi yang pokok.

Pemberantasan korupsi di Indonesia — dan di mana pun — membutuhkan enam infrastruktur untuk bisa mencapai hasil optimal. Keenam infrastruktur itu adalah: aktor, aturan, institusi, mekanisme, publik, dan sistem.

Pemberantasan korupsi membutuhkan aktor, para pelaku, termasuk para pejabat publik dalam posisi mereka masing-masing, yang bukan hanya pandai berpidato tentang perlunya korupsi diberantas dan mafia peradilan diberangus. Dibutuhkan para aktor yang berkomitmen dan sungguh-sungguh meng-gerakkan pemberantasan dan pemberangusan itu.

Peran keaktoran itu tentu saja selayaknya dimulai dari pelaku yang memiliki otoritas pengendalian yang paling besar, semacam Presiden. Di Filipina, Cory Aquino antara tahun 1986-1991 memainkan peran keaktoran ini dengan baik. Cory antara lain berperan menyiapkan aturan yang dibutuhkan bagi pemberantasan korupsi di Filipina (mulai dari Konstitusi hingga aturan-aturan teknis terendah), dan memilih para pejabat yang bersih (sekalipun kurang berpengalaman) untuk pos-pos yang sangat strategis. Infrastruktur warisan Cory itulah yang menyebabkan Presiden Fidel Ramos akhirnya gagal mengubah Konstitusi (yang membatasi masa jabatan seorang Presiden hanya satu periode saja) untuk menambah panjang kekuasaannya. Infra-struktur itu pula, antara lain, yang menyebabkan Presiden Joseph Estrada terjungkal dan dipenjara-kan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Tentu saja, hambatan-hambatan kultural dan sistemik yang hingga kini tetap membuat Filipina menjadi “negara korup” adalah soal lain.

Di Korea Selatan, Dua Kim, Presiden Kim Yong Sam dan Kim Dae Jung, memainkan peranan penting dalam membangun fondasi kuat pem-berantasan korupsi. Di atas fondasi inilah, Korea Selatan tumbuh sebagai salah satu negara yang relatif bersih di Asia Timur dan terkenal kejam pada para koruptor.

Presiden Nelson Mandela, untuk menyebut contoh lain yang legendaris, adalah seorang aktor penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Afrika Selatan. Peranannya membuat negara ini memiliki fondasi penting bagi pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Tentu saja, peran keaktoran tak hanya dituntut dari seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Peranan keaktoran membutuhkan optimalisasi fungsi para pejabat publik dan tokoh-tokoh non-formal di berbagai jenjang atau level sebagai para pemberantas korupsi.

Namun aktor saja tak cukup. Dibutuhkan infrastruktur lain, yaitu aturan. Aktor antikorupsi tanpa aturan yang anti-korupsi tak akan berarti banyak. Begitu pula sebaliknya.

Tepatnya, para aktor antikorupsi memanggul tugas sejarah penting yaitu membuat aturan-aturan (dari konstitusi hingga aturan-aturan terendah) yang secara tegas dan terang benderang memerangi korupsi. Inilah dua infrastruktur pertama yang mutlak diperlukan.

Infrastruktur ketiga adalah institusi, yakni segenap hal ihwal berkaitan dengan aspek kelembagaan, manajemen kelompok-organisasi-jaringan, serta pengelolaan dan mobilisasi segala sumberdaya (manusia, finansial dan lain-lain). Aspek-aspek institusional ini melengkapi aktor dan aturan. Untuk menjamin kelayakan dan sukses ikhtiar pemberantasan korupsi, kita membutuhkan institusi sebagaimana membutuhkan aktor dan aturan. Ketiganya merupakan prasyarat awal yang sangat elementer.

Namun, percuma saja memiliki ketiga infrastruktur itu manakala ketiganya tak bekerja secara saling komplementer, saling sokong dan menguatkan. Dalam keadaan nir-sinergi, ketiganya hanya menjadi kumpulan energi potensial. Sinergi membuat ketiganya bermetamorfosis menjadi energi kinetik.

Mari kita namai alat pembentuk sinergi itu sebagai “mekanisme”. Inilah infrastruktur keempat.

Mekanisme lah yang membuat aktor, aturan dan institusi menjadi benda dinamis, bergerak, saling tersambung dan saling menguatkan. Karena itu, kita tak sekedar butuh aktor, aturan dan institusi, melainkan juga mekanisme pemberantasan korupsi.

Insrastruktur berikutnya adalah sistem. Sistem tak terbangun begitu saja secara serta merta. Sistem tak terjatuh dari langit. Sistem merupakan hasil akhir dari bekerjanya seluruh infrastruktur lain secara terjaga antarwaktu atau dalam satu periode tertentu.

Dengan kata lain, sistem pemberantasan korupsi hanya mungkin terbangun manaka infrastruktur-infrastuktur sebelumnya — yaitu aktor, aturan, institusi, mekanisme, dan publik — belum ter-bangun dan teruji dalam periode waktu tertentu.

O ya, rupanya saya belum membahas satu infrastruktur sebelum “sistem”, yaitu “publik”.

Publik bukanlah sekadar kumpulan orang atau kelompok. Lebih dari sekadar itu, publik adalah orang atau kelompok yang mampu menyatakan “kutahu yang kumau”.

Ya, publik adalah mereka yang tahu persis kemauannya. Karena itu, publik adalah mereka yang setidaknya memiliki pengetahuan minimal mengenai isu atau persoalan yang menjadi pusat perhatian dan kepedulian mereka. Ketika penge-tahuan — setidaknya di tingkat minimal — itu diperkuat dengan “empati” dan “motivasi untuk berbuat”, terbangunlah “kesadaran”.

Karena pemilikan “kesadaran” itu, publik memiliki potensi membangun “kekuatan” dan kemudian merebut “kesempatan”. Maka, bertemulah kita dengan rumusan publik yang hakiki: Setiap orang atau kelompok yang berkemauan serta punya potensi untuk berkemampuan memiliki kesadaran, membangun kesempatan dan merebut kesempatan.

Publik dalam pengertian itu adalah infrastruktur penting bagi pemberantasan korupsi. Publik semacam ini tak jatuh dari langit melainkan harus dibentuk.

Proses pembentukannya bisa dilakukan melalui amat beragam cara oleh siapa saja. Pada titik inilah kita bertemu dengan jawaban atas pertanyaan yang mengantarkan kita pada perbincangan lumayan panjang tentang enam infrastruktur pemberantasan korupsi ini: Mengapa saya menyebut sikap tegas ketiga penulis yang ditunjukkan dalam buku ini berharga?

Sebab, sikap tegas semacam ini yang terus diumumkan kepada khalayak adalah salah satu bagian dari ikhtiar yang harus selalu mesti dijaga guna membentuk dan memperkuat publik anti-korupsi. Karena sebab itulah, publikasi ini menjadi berharga.

Publik, Warga Negara

Saya percaya bahwa sikap-sikap tegas sebagaimana ditunjukkan para penulis dalam antologi ini berharga untuk membuat setiap orang yang anti-korupsi bisa melipatgandakan kesadaran dan kekuatan mereka. Pada gilirannya, kesadaran dan kekuatan itu, manaka dikelola dan dilipatgandakan terus, akan menjadi modal berharga untuk merebut kesempatan.

Walhasil, sekecil apapun kontribusi ketiganya dan sekecil apapun daya jangkau mereka, ketegasan sikap semacam ini senantiasa berguna untuk membentuk — apa yang dalam Ilmu Politik disebut sebagai — “warga negara”.

Siapakah warga negara itu? Mereka bukanlah orang yang ditandai oleh pemilikan kartu tanda penduduk atau passport. Mereka ditandai oleh lima kualitas.

Pertama, warga negara adalah siapapun yang tahu dan pandai menjaga hak-haknya sendiri. Warga negara bukanlah orang yang berpuas diri mengatakan: Biarlah saya tak tahu hak-hak saya, toh ada orang lain yang lebih tahu dari saya yang suatu saat bisa saya tanyai.

Kedua, warga negara adalah mereka yang pandai menjaga hak-hak orang lain atau orang banyak. Dengan kata lain, warga negara adalah mereka yang pandai menunaikan kewajiban-kewajibannya sendiri atas pihak lain.

Ketiga, seseorang hanya kita sebut warga negara manakala bertumpu pada dirinya sendiri. Mereka tidak bertumpu pada orang lain, siapapun itu, sekalipun orang lain itu adalah pemimpin mereka.

Keempat, warga negara adalah setiap orang yang aktif atau proaktif, bukan pasif atau menunggu. Warga negara adalah mereka yang sadar sepenuhnya bahwa masa depan tak bisa ditunggu melainkan harus dijemput. Dan penjemputannya harus dilakukan dengan menggunakan tangan mereka sendiri.

Akhirnya, kelima, warga negara adalah setiap orang yang “melawan” — bukan sekadar “marah” — secara elegan, dewasa dan tanpa kekerasan setiap pencederaan atas hak-hak mereka. Karena perlawanannya ini, maka tak akan ada kelalilam, kesewenang-wenangan atau keangkaramurkaan yang bisa bersimaharajalela di atas kepala mereka, para warga negara itu.

Percaya atau tidak, upaya-upaya penyadaran seperti yang dikerjakan para penulis melalui buku ini memberi kontribusi — sekecil dan seterbatas apapun — pada upaya kita membangun warga negara. Karena itu, upaya ini sungguh layak beroleh apresiasi.

Akhirulkalam, saya tak akan membahas isi buku ini seperti dokter yang menelaah tubuh pasien di atas tempat tidur praktiknya. Saya lebih senang mem-biarkan Anda menikmati seluruh isi buku ini dengan cara dan derajat kenikmatan masing-masing.

Saya percaya, para penulis buku ini akan sangat bahagia jika Anda, juga saya, bersedia menyambut ajakan tak tertulis dalam penerbitan buku ini. Sebuah ajakan untuk menyusun barisan dan bersinergi menjemput Indonesia yang lebih baik.

Setiap kitalah yang akan membuat masa depan yang cemerlang itu bisa terjemput. Setiap kitalah yang mesti meneteskan keringat berjuang merebut esok yang gemilang itu.

Selamat membaca dan bersinergi!
Tabik!

Permata Hijau, 25 Januari 2010
Sumber: http://www.bookoopedia.com/id/book/id-123-31806/

Sastrawati Menulis Identitas Seksual

(Ditulis kembali dari apresiasi novel Mahadewa Mahadewi)
M Fadjroel Rachman*
Media Indonesia, 02 Sep 2007

APAKAH para sastrawati generasi abad XXI di Indonesia, sebagian seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dinar Rahayu, Nova Riyanti Yusuf (Noriyu), Mariana Amiruddin, dan Fira Basuki, mengungkapkan persoalan seksualitas untuk eksploitasi seksual semata? Samakah karya mereka dengan karya pornografi jalanan, cetak maupun elektronik di kaki lima di seluruh penjuru Tanah Air, dan pantas dicap menganut eksploitasi seksual sebagai standar estetika? Penulis ingin mengenali dan mencatat bagaimana para sastrawati muda Indonesia mengaktualisasi diri. Dengan apresiasi tentu saja, sebagai apresiator.

Marilah dengan kepala dingin kita apresiasi secara singkat sebagian karya Noriyu, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, dan Fira Basuki. Dimulai dari Mahadewa Mahadewi (MM), karya Noriyu, seorang dokter umum, ahli kejiwaan, penulis skenario film Merah itu Cinta. Bila Anda mengutuki dan meratapi zaman ini, seks bebas, perkawinan tanpa cinta, percintaan liar kaum gay, lesbian, biseks, dan transeksual. Lalu agama dan moralitas bertopeng kepalsuan, menjadi dalih pintar omong kosong. MM memberikan kesaksiannya.

Kesaksian tentang dunia yang disembunyikan rapi, ditutup-tutupi, dunia bawah tanah yang sebenarnya adalah realitas hidup kita hari ini. Tanpa menghakimi. Tanpa penilaian. Telanjang sehabis-habisnya, karena kata MM, “Ini tentang dirimu. Aku hanya menonton. Ironi yang terkemas apik.” Membaca MM seperti mengizinkan palu menghantam kepala kita secara sukarela. Dengan sinis dan pintar MM membongkar pertahanan diri kita, menelanjangi semua selimut moralitas dan dalih pintar hidup kita yang terkemas apik sehabis-habisnya.

Tepatnya, menyetubuhi seluruh diri kita seliar-liarnya: pikiran, perasaan, dan segenap daging tubuh kita. Sebuah kejujuran tanpa beban, layaknya dokter Yukako yang ‘menyiksa’ kita karena jatuh cinta pada Reno, orang gila dan pasiennya di rumah sakit jiwa (RSJ) dengan deskripsi persetubuhan teramat liar (hlm 42):

“Ooooooohhhhhhhhh,” Kako menjerit. “Ren-no?” Seluruh energi terpancar dalam jeritannya. Bahkan peluh menjadi saksi akan terlumpuhkannya seluruh sistem tubuh dari ujung kepala sampai kaki. Kenikmatan berlebihan membunuh tenaga Kako yang masih tersisa, semata-mata karena kontraksi menggila otot genital yang terus-menerus dipacu penetrasi Reno yang cepat dan dalam. Klimaks seksual pertama. Begitu lepas.

Lalu percintaan liar dari pasangan gay, Gangga dan Prasetyo (hlm 59):

Kamu membahagiakan saya malam ini. Kamu hebat sekali bisa membuat saya berkali-kali orgasme. Tetapi, apakah kamu akan menemui saya lagi? Atau seperti biasa, ini akan menjadi ‘one night stand’?

Dalam MM, Nova memilih secara sadar aktivitas seksual untuk menghantam tabu yang paling sakral, dibarengi dengan penggambaran perilaku seksual dramatis. Akibatnya, terjadi demistifikasi kebutuhan biologis, perilaku seksual maupun orientasinya, demikian pula pada penulis segenerasinya, seperti Fira Basuki (Jendela-Jendela, Gramedia, 2001), Djenar Mahesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet, Gramedia, 2002), dan Ayu Utami (Saman, Gramedia 2002, cetakan ke-21). Dengar Ayu Utami (hlm 195):

Jakarta, 16 Juni 1994

Saman,

Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu

Jakarta, 20 Juni 1994

Saman

Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu

Atau dengan terbuka June, tokoh Fira Basuki dalam Jendela-Jendela mengakui hubungan seksualnya dengan Dean sahabat suaminya, kepada suaminya Jigme (hlm 123):

“Aku melakukan ‘affair’?”

Jigme terdiam. Ia tidak bodoh, aku yakin ia tahu apa yang terjadi.

“Dean”

Aku mengangguk

“‘Did you sleep with him’?”

Aku tidak menjawab. Jigme menggeleng

“‘He’s my best friend’?”

Cerita pendek Djenar Maesa Ayu, bahkan langsung menyebut nama alat kelamin perempuan sebagai nama tokohnya (lihat Namanya hlm 90). Mereka menulis dalam detail yang sungguh luar biasa, dibarengi pengetahuan ilmiah yang harus dipahami secara seksama sebelum dapat secara ‘sempurna’ mengapresiasi karya mereka.

***

Bandingkan cara penggambaran seksualitas dan aktivitas seksual antara keempat penulis perempuan tersebut dengan cara Budi Darma menangani Olenka. Dalam novel tersebut Fanton Drummond memperlakukan tubuh Olenka seperti peta dunia, menghafal setiap lika-likunya, meletakkannya di atas tempat tidur, lalu ke meja seterika, selanjutnya ke bak kamar mandi, terus ke sofa, terus ke permadani, lalu ke meja masak, dan ke atas lemari pakaian. Penggambaran seksualitas ini terasa berjarak, namun dengan daya imajinasi yang sama liarnya dengan para pengarang perempuan tersebut.

Novel saya, Bulan Jingga dalam Kepala (Fadjroel Rachman, Gramedia, 2007) juga menggunakan imajinasi aktivitas seksual sebagai upaya desakralisasi dan pencitraan sensualitas. Sehingga status aktivitas seksual menjelma aktivitas manusiawi.

Setelah bergulat bagai binatang, telanjang menghadap langit di aspal hitam jalanan, diusap jari-jemari bintang. Inilah keheningan dan kebahagiaan Adam dan Hawa saat pertama kali merasakan tubuh manusia di hutan surgawi, sebelum diusir ke hutan dunia.

***

Apakah artinya aktivitas seksual di tangan para pengarang perempuan itu? Tidak lain adalah upaya merumuskan kembali identitas seksual mereka sebagai perempuan, mengatasi, dan membongkar dominasi konstruksi sosial yang menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua (second sex). Konstruksi sosial yang memusuhi tubuh dan organ kelamin perempuan. Sebuah upaya untuk menjadi perempuan, kata Simone de Beauvoir. Sangat berbeda dengan para pengarang lelaki yang melihatnya secara berjarak, tidak jarang menjadikan perempuan, tubuh dan organ kelaminnya, sebagai objek sensualitas belaka. Atau menghukumnya dengan nilai dan norma absolut yang bias gender.

Selain pembongkaran dominasi konstruksi sosial, juga kejujuran, jujur pada pikiran dan kata hati sendiri, dan bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri sebagai manusia yang bebas dan otonom, menjadi kata kunci pada karya sastrawati abad XXI Indonesia tersebut. Kejujuran pada pikiran dan perasaan merupakan sarana manusia menjadi dirinya sendiri (man for him/herself). Kejujuran pada pikiran dan perasaan, juga menjadi kunci penting pada novel terkenal peraih hadiah Nobel Dokter Zhivago karya Boris Pasternak, sehingga Pasternak menengarai, “Ini merupakan penyakit terparah jaman kita. Sebagian besar kita harus menjalani hidup yang konstan dan berulang secara sistematik. Kesehatanmu pasti terpengaruh, jika hari demi hari engkau menyatakan sebaliknya dari apa yang kau rasakan, merendahkan diri di depan apa yang tak kau sukai dan harus bergembira dengan sesuatu yang tidak menghasilkan apa pun selain kemalangan.”

Dokter Zhivago adalah tragedi manusia, kemanusiaan, dan kehidupan dengan latar Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Para tokoh dalam cerita dari sastrawati baru Indonesia adalah tragedi manusia, kemanusiaan, dan kehidupan dengan latar perubahan sosial, ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan dalam kepungan sistem sosial kapitalisme yang berstatus semifeodal dan semikolonial pada awal abad XXI.

***

‘Sastra pembebasan’ atau ‘sastra emansipasi’, itulah istilah yang tepat pada para generasi penulis baru seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Noriyu, Fira Basuki, dan lainnya. Sastra wangi pengharum progresivitas sastra baru Indonesia. Penulis-penulis muda dengan palu penghancur! Mereka ialah saksi, memberikan kesaksian terhadap hiruk pikuk zaman kita, dan menggambarkan tokoh-tokohnya tanpa belas kasihan ke hadapan kita.

Raungan dan hantaman telak terhadap dunia! Perlawanan atau pembebasan terhadap dunia yang menistakan manusia dan kehidupan, menistakan perempuan, demikian individual sifatnya. Generasi sastrawati baru ini merupakan bagian dari perlawanan individu yang menolak dibendakan, diobjektivikasi, didominasi konstruksi sosial di manapun di muka bumi. Siapa yang mesti menghakimi ekspresi mereka? Hanya pembaca serta waktu yang akan menghukum atau mengapresiasi karya sastra mereka.

Manusia dan kehidupan adalah keajaiban, dalam jutaan tahun sejarah semesta dan manusia, kita belajar bahwa tidak ada sejarah individu, sejarah alam dan sejarah sosial yang linear, tidak ada akhirisme (endism), tidak ada yang absolut. Semuanya sementara dan rapuh, bahkan, sebuah validitas terhadap kebenaran pun bersifat hipotetis. Jadi ‘kebenaran’ pun hanyalah hipotetif, bahkan tidak ada pernyataan tentang ‘fakta’ yang benar tidak teragukan. Eksperimen dalam karya sastra adalah upaya menangkap keajaiban hidup dan manusia. Menciptakan dunia baru dalam tangan penulis dan seniman kreatif.

Oleh karena itu, “Siapa pun yang takut terhadap kebebasan dan tanggung jawab pribadi, takut terhadap perbedaan, kehidupan dan progresivitas, dilarang membaca karya sastrawati Indonesia abad XXI”.

* M Fadjroel Rachman, esais dan penggagas Memo Indonesia
Diambil dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/sastrawati-menulis-identitas-seksual.html

Minggu, 28 Agustus 2011

Negeri Kita Belum Merdeka

Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/

“NEGERI KITA BELUM MERDEKA!” begitulah kira-kira bunyi headline dua koran lokal menyusul “pemerkosaan” sebuah monumen kemerdekaan hasil sumbangan yang baru diresmikan.

Dua minggu sebelum peringatan hari kemerdekaan, para veteran yang dulunya tergabung ke dalam tentara pelajar mengundang bapak walikota dan para wartawan ke sebuah sudut jalan di sebuah pemukiman.

Di sana, wakil dari para veteran itu mengatakan kepada bapak walikota, “Kami sumbangkan Monumen Merdeka untuk kota kita . . . .” Sambil berkata, dia menarik kain yang menutupi sebuah bangun yang menjulang agak tinggi. Kain tersibak dan terlihatlah sebuah patung. “Kami harap, monumen ini bisa menjadi peringatan bagi generasi muda agar mereka menghargai kemerdekaan yang telah kami perjuangkan dan agar mereka bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya.”

Bapak walikota menyatakan kegembiraannya dan berjanji akan mengelola monumen ini dengan sebaik-baiknya. Para wartawan mencatat kata-kata sang veteran.

Maka, sejak itu kota memiliki sebuah monumen yang dikenal sebagai Monumen Merdeka. Monumen itu tak terlalu besar, tetapi sangat bagus. Ada pelataran bundar beralas beton dengan diameter sekitar tujuh meter. Di sekeliling lingkaran itu ada bangku juga dari beton. Di sekeliling bangku beton terdapat bagian yang dikelilingi kawasan yang hanya tertutupi batu-batu kali berukuran tinju orang dewasa. Di tengah-tengah lingkaran itu terdapat sebuah patung tentara mengangkat tangannya yang terkepal, dengan wajah tersenyum, dan membawa buku di tangan kirinya. Sekalian dengan pedestalnya, monumen itu berukuran tinggi tiga meter. Pada pedestal patung terdapat tulisan “Merdeka! Kini saatnya bagimu menggunakan kemerdekaan inil!”
* * *

Misdi si tukang sampah bekerja setiap hari. Dia ambil sampah di depan setiap rumah dan dia masukkan ke gerobaknya yang berwarna kuning. Jika sampah dari semua rumah sudah dia ambil, dia tinggal berjalan ke tempat pembuangan sampah kelurahan. Selanjutnya, akan ada truk sampah yang membawa sampah hasil buangan para tukang sampah seperti Misdi. Tanggung jawab Misdi hanya mulai rumah-rumah hingga tempat pembuangan sampah keluharan. Namun, sejak adanya Monumen Merdeka, bapak lurah memberinya tanggung jawab tambahan yaitu menjaga kebersihan Monumen Merdeka.

Misdi berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat banyak orang sedang kerepotan bermimpi, Misdi sudah keluar rumahnya menarik gerobak kuning dan berbaju kuning yang setiap hari dia pakai untuk bekerja itu. Baju dan gerobak Misdi sangat bau. Aromanya seperti campuran segala macam sampah. Saking seringnya dia pakai berdekat-dekat dengan sampah, baju dan gerobaknya itu selalu bau. Bahkan, saat dia masih baru keluar rumahnya dan belum menyentuh sampah sama sekali, baju itu sudah berbau.
Saat dia berjalan menuju tempat pembuangan sampah kelurahan, dia akan melewati sederetan rumah agak mewah. Di tengah-tengah deretan rumah agak mewah itulah terdapat monumen baru, Monumen Merdeka. Itulah tanggung jawabnya yang baru. Biasanya, dia sudah berada di sana pada pukul setengah empat.

Tanggung jawab baru itu membuat Misdi jadi selalu berhenti di sana. Tidak banyak yang perlu dibersihkan, paling-paling dia hanya akan memungut sedikit sampah dan mengosongkan keranjang sampah yang ada di sana. Lalu dia akan beristirahat sejenak, sekedar melepas lelah. Dia selalu memarkir gerobaknya tepat di depan monumen itu dan berjalan ke bangku yang melingkari patung. Di salah satu sudut dia langsung memilih berbaring. Dia suka melihat tentara yang membawa buku itu.

Yang selalu dia lakukan adalah meratapi kenapa dia menjadi tukang sampah. Sebenarnya dia tak ingin mengeluh seperti itu. Tapi, tanpa sengaja, hal itu dia lakukan sebagai dampak dari tekanan kehidupan yang dia hadapi setiap hari. Terlebih lagi, patung yang membawa buku itu seperti memandang dengan tatapan yang memahami. Seakan-akan si patung memahami keluhan-keluhan yang Misdi sampaikan dengan suara lirih itu.

Yang paling sering dia keluhkan adalah soal dana bantuan sosial dari pemerintah. Dia tidak terima atas perlakuan pihak kelurahan yang sangat tidak adil. Dia sudah memohon agar bisa mendapatkan bantuan tunai itu. Namun, pihak kelurahan tidak meloloskannya hanya karena dia sudah memiliki pekerjaan sebagai penarik gerobak sampah kelurahan dan mendapatkan gaji tetap. Sementara itu, seorang tetangganya mendapatkan bantuan tunai itu padahal dia punya sawah lumayan banyak di pinggiran kota. Alasan yang paling mudah adalah bahwa sawah tidak memberikan penghasilan yang tetap. Tapi, yang pasti, si penerima itu adalah keluarga dekat seorang pegawai di kantor kelurahan.

Itulah yang paling layak dia keluhkan sambil berbaring di bangku beton yang dingin itu. Semilir angin fajar yang mulai menunjukkan dinginnya membuat dia bisa mengeluh dengan suara berlarat-larat. Kemudian, ketika dirasa cukup, Misdi segera bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke tempat pembuangan sampah kelurahan.

Begitulah kegiatan wajibnya sekitar pukul setengah empat pagi. Saking seringnya dia duduk di situ dan mengeluh kepada si patung, Misdi sampai merasa seakan-akan dia sudah mengenal dekat si patung. Dia seakan tahu kapan si patung siap menerima keluhannya dan kapan dia tidak bisa mengeluh dan hanya boleh duduk sambil memandangi si patung.

Yang paling sering dia katakan pada setiap kali akan meninggalkan si patung adalah, “Bagaimana bisa kamu tersenyum dan mengangkat tangan menyatakan kemerdekaan, sementara aku di sini hidup tak tenang? Jangankan hidup, tidur saja aku tak tenang!”
* * *

Pada malam hari kemerdekaan para pemuda karang taruna mengadakan acara tasyakuran di Monumen Merdeka yang sangat indah dengan bunga-bunga dan pelataran berlapis beton yang sangat bersih itu.

Mereka mengadakan perenungan dan pembacaan doa-doa agar negara ini senantiasa dalam keadaan aman sentausa, agar rakyat bisa bahagia dan terjauh dari bencana, agar para generasi muda semakin bisa menjalankan pembangunan seperti yang diamanatkan para pahlawan. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu-lagu akustik bertemakan kemerdekaan, membaca puisi-puisi yang membakar patriotisme, dan juga—yang tak kalah pentingnya—mengheningkan cipta atas kepahlawanan para tentara pelajar dan angkatan tua pada masa revolusi.

Acara berlangsung hingga lewat tengah malam. Semua orang sudah lelah dan mengantuk saat mereka mengakhiri acara. Keesokan harinya mereka akan menjadi panitia acara lomba-lomba kemerdekaan. Mereka juga sudah membawa pentungan kasti yang besok akan mereka pakai untuk lomba memukul kendi dengan mata tertutup. Mereka memutuskan untuk tidak membersihkan sampah yang mereka tinggalkan. Mereka rasa waktu tidak memungkinkan untuk melakukannya. Mereka membiarkannya dengan asumsi Misdi akan lewat sini dan pasti akan membersihkannya. Sementara itu peralatan untuk lomba di keesokan harinya hanya mereka letakkan di belakang bangku yang tak bisa dilihat dari jalan. Mereka menutupinya dengan terpal.

Benar saja, ketika pada pukul setengah empat Misdi lewat monumen itu dan ingin beristirahat barang sebentar seperti hari-hari biasanya, dia terkejut setengah mati. Dilihatnya monumen itu tak lagi nyaman: daun pisang bekas bungkus kue nagasari bertebaran di mana-mana, gelas-gelas plastik air mineral tampak sangat banyak di berbagai sudut, kantong-kantong plastik kue juga berserakan, dan ada juga kertas-kertas warna merah-putih yang entah habis dipakai untuk apa. Misdi bisa saja berlalu dan langsung menuju tempat pembuangan sampah kelurahan. Tapi nalurinya mengatakan orang-orang pasti akan mencercanya jika dia benar-benar melakukan itu.

Maka, Misdi pun membersihkannya. Dia butuh waktu lebih lama untuk membersihkannya karena masih terdapat sebagian kue adonan beras pada daun-daun pisang bungkus nagasari. Kebanyakan bungkus-bungkus pisang dan kotoran itu bertebaran di sekitar bagian yang hanya tertutupi batu-batu kali, terselip-selip diantara bebatuan. Hal ini merepotkan Misdi. Ditambah lagi, sebagian dari bekas-bekas itu sudah mulai lengket pada bangku beton dan lantai monumen. Dia harus mengorek-ngorek. Dia butuh waktu sekitar setengah jam sendiri untuk membersihkan monumen itu. Dia tahu, nanti sekitar pukul sebelas siang, anak-anak karang taruna akan ke sini lagi dan mempersiapkan lomba-lomba ceria. Anak-anak Misdi pasti juga akan ikut lomba itu. Tak apa lah, pikirnya, anaknya pasti akan berbahagia. Dia senang sekali memikirkan itu. Tapi tetap saja dia geram saat harus melihat sampah-sampah itu. Namun, dia jadi ingat betapa jengkelnya dia kepada para pemuda dan orang-orang di kelurahan.

Orang-orang kelurahan itu menggajinya dengan bayaran yang tidak seberapa, tetapi mengharapkan dia bekerja dengan luar biasa berat. Contohnya pada hari ini, pada hari kemerdekaan dimana semestinya dia bisa berlibur, dia tidak mendapat libur. Bahkan, dia harus bekerja ekstra pada subuh hari seperti ini.

Betapa anehnya ini, pikirnya. Mereka telah mempersulitnya mendapatkan dana bantuan sosial dari pemerintah sementara dia begitu berbakti kepada mereka. Dan sekarang, pada hari kemerdekaan, dia sudah membuatnya bekerja dengan lebih keras tanpa penghargaan semestinya. Menurut pengalamannya, jika sebuah tempat bersih, mereka tidak pernah berterima kasih kepadanya. Namun, pada saat suatu tempat umum kotor, mereka yang menyindir-nyindir dirinya. Sungguh menjengkelkan. Ini bukan kemerdekaan.

Misdi yang sudah menemukan letak pentungan kasti di belakang bangku itu segera mengambil satu. Dia memanjat ke pedestal patung sehingga dia bisa menjangkau tangan si patung dengan pentiungannya. Dia ayunkan tongkat besi itu ke arah tangan si pahlawan yang sedang terkepal dan teracung di udara. Thang! Thang! Thang! Setelah beberapa kali, tampaklah pangkal lengan itu retak. Dia pukul lagi lengan yang kini sudah mulai bergoyang itu. Sebentar lagi tidak akan ada tangan yang mengacung tanda merdeka, pikirnya. Sebentar lagi kau akan putus. Ternyata, lengan itu tidak putus. Kerangka besi di dalam lengan membuat lengan itu tidak mungkin putus. Kini, Misdi memanjat lebih tinggi dan menarik lengan itu dengan kedua tangannya. Lengan beton itu berayun dan mulai bengkok. Pada akhirnya, setelah usaha yang melelahkan, lengan itu kini menghadap ke bawah. Ini baru bukan merdeka!

Tapi masih kurang, pikirnya. Gambar pahlawan yang tersenyum itu masih membuatnya kesal. Misdi berlari ke depan monumen. Di sana terdapat batu-batu sebesar tinju orang dewasa. Dia ambil salah satu batu di sana. Kemudian dia memanjat lagi ke tubuh monumen. Dia pukuli wajah sang pahlawan sampai wajahnya benar-benar hancur dan tak ada lagi senyum di wajahnya.

Nah, sekarang, tak ada lagi yang bisa bilang kita sudah merdeka, pikir Misdi. Kita masih belum merdeka, Pak Pahlawan! Saya masih terjajah, Pak Pahlawan!
* * *

Maka, pada hari kemerdekaan itulah semua orang bisa melihat patung yang masih berumur dua minggu itu hancur tak berbentuk. Lomba-lomba hari kemerdekaan tidak jadi diadakan di sekitar monumen. Bahkan, setelah dirundingkan, pada akhirnya lomba-lomba itu tidak jadi diadakan.

Baru keesokan harinya orang-orang tahu dari kejadian itu setelah membaca headline koran lokal yang berbunyi: NEGERI KITA BELUM MERDEKA. Isi dari berita itu adalah tentang “pemerkosaan” patung kemerdekaan tersebut.

Atas laporan beberapa orang yang melintas di depan monumen—tanpa sepengetahuan Misdi—pada saat Misdi melakukan “pemerkosaan” itu, Misdi ditangkap dan dibawa ke tahanan atas tuduhan pengrusakan sarana umum. Kepada koran-koran yang mewawancarainya karena tertarik, Misdi hanya mengatakan satu kalimat. Dan kemudian, di koran-koran ada headline seragam yang berbunyi MISDI: NEGERI KITA BELUM MERDEKA!.

9 Maret 2010
* Wawan Eko Yulianto adalah seorang cerpenis anggota Komunitas Bengkel Imajinasi Malang, dan blogger di http://berbagi-mimpi.info

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi