Kamis, 30 Oktober 2008

Kelirunya Kaum Akademisi

Hudan Hidayat
http://karyahudan.wordpress.com/

Di penghujung tahun lalu, seakan gemas menyimak arah politik dan polemik sastra yang mengeras, seorang penyair dalam esainya meminta agar kembali kepada teks. Kembali kepada teks, artinya bukanlah menunjukkan ke depan publik “inilah saya”, seperti anggapan orang dengan polemik brutal Saut-Wowok dan Goenawan-TUK. Tetapi “inilah karya saya,” seperti yang terlihat dalam tanggapan balik terhadap Taufiq Ismail cs dalam “polemik sastra pornografi”.

Harapan penyair ini, sepintas mengandung kebenaran yang tegas. Tapi kalau kita simak lebih jauh, “inilah saya,” dan “inilah karya saya”, adalah sesuatu yang berimpit dan niscaya. Karena, “saya” berada di dalam “karya saya”. Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah karya saya”. Atau “inilah karya saya” bisa terjadi, atau tak bisa dipisahkan, dari “inilah saya”.

Kenyataan seperti itu, dimaknai Fadlillah Malin Sutan Kayo sebagai “pengarang atau kritikus yang tidak rela melepaskan kekuasaan atas makna karya sastra kepada pembaca”. Padahal masyarakat sudah bergerak ke arah multikultur. Karena itu, menurutnya, telah terjadi perebutan, bahkan tabrakan, kekuasaan atas makna karya sastra.

Darimanakah model pertama, dari cara menampilkan diri “inilah saya?” Tuhan bisa langsung menciptakan manusia tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. “Akan Kuciptakan manusia ke dunia”, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini, adalah model pertama “inilah saya” itu, yang mewujud ke dalam bentuk dialog. Dan respon iblis itu model “konflik pertama”. Maka dialog dan konflik, menjadi paket niscaya dari pihak-pihak yang berkomunikasi.

Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, nyaris mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Dan kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga. “Inilah saya”, oleh Tuhan mewujud ke dalam inilah “karya Saya”, yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran Saya. Tetapi ingat, karena “Saya” ada di sana, maka kau harus mengingat Saya dengan menyebut nama Saya. Banyak memuji dan memuliakan diri Saya. Segera terlihat Dia yang ingin “diakui”. Dan Dia yang murka bila “eksistensi-Nya” tak diakui.

Maka Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya, tapi hadir juga beserta diri-Nya.

Dengan landasan seperti itu, maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam “kata”. Tapi juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi “seni fiksi” dan “seni fakta”. Sehingga sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Maka novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.

Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia (kini), bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual) . Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang berkonflik. Saya telah menjelaskan filsafat “saya” dan “mengada” dari sumbernya. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik.

Karena itu, saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari “inilah saya” dalam perspektif “inilah karya saya”. Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu, bukan saja dibutuhkan untuk mengawal “saya-nya” Sutardji yang telah terrepsentasi dalam “karya Sutardji”. Tapi ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri (seni fakta – tindakannya, ucapannya).

Angkatan 70-an, yang menurutnya telah menyelesaikan Barat dan Timur dalam sastra, tak jemu-jemu disuarakan Sutardji hampir pada seluruh esainya. Tardji seolah hendak menegaskan keberadaan dirinya di dalam tahun-tahun yang memang penuh hingar-bingar pencarian kreatif. Tapi Tadji lupa, di seberang sana ada Ayip Rosidi dan Ramadhan KH, yang juga menggenggam tradisi. Lagi pula bukan hanya angkatan 70-an yang melakukan eksplorasi habis-habisan dalam kesusastraan Indonesia modern, seperti yang hendak diyakinkan Sutardji.

Begitu juga saya memaknai, bila seorang Budi Darma menulis Para Pencipta Tradisi. “Marilah kita bayangkan ada seorang pengarang terkemuka bernama Nirdawat”, katanya.
Siapakah Nirdawat? Tidak lain adalah Budi Darma sendiri. Mengapa Budi Darma mengambil ekspose semacam itu? Apakah ia enggan, karena akan menunjukkan Rendra yang dikatakannya sebagai “Pak turut para teater terkemuka di New York?” - “Bangsat! Sesuai dengan dugaan saya, orang yang dianggap dramawan itu menjiplak dari sini”, kata Nirdawat.

Atau saat ia mengatakan ketidakberdayaan Goenawan Mohamad atas tulisan “Portrait of an Artist as a Doddering Man”, yang diejeknya sebagai “Potret Seorang Seniman Sebagai Orang Buyetan”. Dimana “Pintalan kata-kata dan pikiran orang yang dianggap umum sebagai esais di Indonesia itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah bias buku ini”. Tetapi tebaran-tebaran esai Goenawan kemudian toh menunjukkan pencapaian-epncapai annya sendiri.

Dan apakah kata Budi Darma terhadap dirinya sendiri? “Sebagai seorang pengarang terkemuka, tentu saja Nirdawat sendiri sudah membentuk sebuah tradisi. Dia tahu benar betapa banyak orang yang telah meniru-nirukan tulisannya”. Jadi Budi Darma, melalui metapor Nirdawat ini, telah menunjukkan “inilah saya”, yang sumbernya tidak lain dan tidak bukan, “inilah karya saya”.

Saya menunjukkan penggalan sejarah itu, untuk membuka kedok mereka (tua dan muda) yang seolah bersuara arif, atau meledek, “Menulis sajalah. Biarkan orang lain yang akan menilai karyamu.” Atau yang sering dikatakan mereka dengan (seolah) elegan: setelah karya lahir, maka sang pengarang pun meninggal. Karena, mereka yang berkata seperti itu, ternyata menyelundupkan juga “inilah diri saya” ke dalam esai-esainya.

Karena itu, saya ingin mengajak berhentilah menjadi “narsiskus malu-malu”.

Membicarakan “inilah saya” bukanlah narsis. Tapi menjadi kelanjutan dari “inilah karya saya” yang sering menjadi deadlock di dalam dunia kritik sastra, karena belum hidupnya tradisi dialog, atau karena macam-macam ambisi di dalamnya “yang tak ada hubungan sama sekali dengan klaim pemikiran: upaya untuk mencari atau menemukan kebenaran. Dan dengan perspektif inilah saya membaca peluncuran buku puisi Nirwan Dewanto baru-baru ini, yang lengkap dengan sebuah pernyataan bolak-balik antara “inilah karya saya” dengan “inilah saya”, seperti terbaca di dalam “buku kecil” sebagai properti dalam acara peluncuran buku puisi itu.

Saya mengatakan itu, tidak dalam perspektif yang dipakai Kayo (pengarang dan kritikus yang tidak rela melepas kekuasaan atas makna sastra), tapi sebagai “mengawal makna sastra”, yang menjadi implikasi logis dari seseorang yang sedang menunjukkan dirinya secara eksistensial: mereka yang berada dalam dunia, dan mereka yang menafsirkan dunia yang menghidupi mereka.

Tapi makna sastra, meski sang pengarang atau kritikus “mengawalnya”, telah diambil alih oleh pembaca, sebagaimana dikatakan Kayo. Dan pembaca sastra Indonesia, bisalah dikatakan sebagai cermin aliran-aliran politik di Indonesia yang terkenal itu.

Karena itu bisa dijelaskan, setelah periode ledakan “Saman” dan “Supernova”, dunia sastra kini sedang diserang wabah “Laskar Pelangi” dan “Ayat-Ayat Cinta”. Sebuah wabah yang, mungkin, telah mencengkam benak seorang Sutardji dengan kata-kata: sehebat-hebat karya sastra, dia tak akan punya arti kalau tidak hebat pula dalam pencapaian pada pembaca. Tapi, siapa pembaca yang dimaksud Sutardji itu? Orang banyak yang selama ini terasing dari sastra, atau orang banyak yang mengerti sastra tapi bersepakat terhadap suatu pencapaian karya sastra?

Kayo menghendaki masyarakat sastra multikultural yang santun, saling menghargai pendapat orang lain. Hemat saya, tulisan dengan semangat membela Taufiq Ismail itu, adalah tulisan yang bersiasat dalam logikanya: di satu pihak ia meneriakkan kata santun, menerima dan membenarkan kenyataan aliran kesusastraan, bahwa kebenaran juga adalah milik orang lain, bukan milik kita sendiri. Tapi bersamaan itu, cara ia mengungkap data jelas mengarah atau menunjuk kepada sebuah aliran – aliran “sastra pornografi”.
Dengan “melupakan” Taufiq Ismail yang melansir istilah Gerakan Syahwat Merdeka, Fiksi alat Kelamin, maka “santun” yang dimaksud Kayo adalah kekasaran metodologi dalam penyajian data. Santun di sana seolah sebuah kehendak untuk mengesankan pembaca tulisannya, bahwa sang sastrawan, atau aliran yang sedang jadi objek tulisannya, ditempatkan dalam keadaan “bersalah atau tertuduh”. Ketidakimbangan data dari kedua belah pihak yang berpolemik (Taufiq menyebutnya “polemik-polemikan”, tapi masyarakat menyambutnya antusias, bahkan di dunia maya ada yang menyebutnya sebagai hidupnya kembali pertarungan “sekularisme Nurcholis Madjid” tahun 70-an lapangan sastra) telah menggugurkan “santun” yang dikehendaki Kayo, ke dalam suatu ketimpangan arus data yang tidak “santun”.

Bagi saya tak mengapa. Tapi, Sutan Kayo sebagai warga dari sebuah komunitas akademis (dosen sastra Andalas), yang tak juga beranjak dari penanggap polemik sastra pornografi sebelumnya (berpendapat ada “sastra seks”), tanpa pembuktian akademis, telah melakukan pembalikan spirit dunia ilmu. Sikap ini, bagi saya telah ikut mematikan ilmu itu sendiri.

Tetapi perspektif “inilah saya” dan “inilah karya saya” ada batasnya. Meskipun ia bagian dari cara mengada yang mendapatkan pembenaran sebagai sesuatu niscaya, seperti di dunia politik orang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan politik, atau di dunia lain melakukan rekayasa untuk menguakkan konvensi alam, sehingga menjadi sebuah teori yang bisa menjinakkan alam, maka saat batas itu dilanggar, alam yang sudah berhasil dijinakkan itu justru menjadi bumerang. Kalau sudah begitu, bukan kemudahan yang didapat manusia saat batas dilanggar tapi bencana alam. Kerusakan seperti yang terus menerus kita saksikan selama ini, adalah contoh nyata dari pelanggaran batas itu.

Agaknya batas-batas itu, baru-baru ini telah dilanggar di bidang sastra. Adalah penghargaan Mastera kepada Ayu Utami, menunjukkan pelanggaran batas itu. Sudah menjadi rahasia umum di publik sastra, bahwa kedua orang juri di dalam penghargaan Mastera (Sapardi Djoko Damano dan Putu Wijaya), dekat atau dalam lingkaran ide dan kekuasaan dengan Goenawan Mohamad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ayu Utami dengan Saman-nya adalah sebuah karya “kolaborasi” TUK yang dikomandani Goenawan Mohamad. Dan sudah menjadi rahasia umum pula, bahwa Taufiq Ismail, adalah orang yang sangat berperan dan berpengaruh di lingkaran Mastera sebagai wakil dari Indonesia.

Pelanggaran ini, bagi saya memperlihatkan sebuah fenomena yang menarik. Seolah saya melihat di sini pertarungan atau perdamaian dua aliran sastra. Yakni sastra yang berkiblat kepada moral yang datang dari agama yang diwakili oleh Taufiq Ismal di satu pihak, dan sastra yang diwakili oleh kebebasan ekspresi tanpa harus dikekang oleh moral agama di pihak lainnya, yang dalam ajang penghargaan Mastera ini diwakili oleh Ayu Utami dengan Saman-nya.

Taufiq Ismail, sebagai orang yang sangat berperanan di dalam Mastera, tentulah secara ideologis tidak akan membiarkan Ayu Utami yang, sepanjang tahun 2007, bersama pengarang-pengarang lain, telah diklaimnya sebagai pembawa sastra dengan semangat “Fiksi Alat Kelamin”.

Bagaimana mungkin “Fiksi Alat Kelamin” bisa menang di dalam ajang penghargaan Mastera ini? Pertanyaan ini, tentulah membawa kita pada sebuah pertanyaan lain: apakah peran Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya dalam penghargaan itu?

Kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan normal di dalam ajang penghargaan ini, maka sebuah kesimpulan yang paradoks harus kita terima sebagai sebuah kenyataan, yakni bahwa ajang penghargaan Mastera itu, adalah sebuah ajang yang sangat toleran kepada segenap aliran-aliran sastra, termasuk sasta dengan pendekatan “fiksi alat kelamin” seperti yang diintrodusir oleh Taufiq Ismail. Kesimpulan ini nampaknya dikuatkan oleh fakta di lapangan, yakni saat Pusat Bahasa memberikan penghargaan pula kepada novel Ayat-Ayat Cinta sebagai sebuah novel yang telah berhasil menggugah masyarakat untuk membaca karya sastra.

Tetapi kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan dengan tidak normal, sudah cukup alasankah bagi kita untuk sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa telah terjadi pelanggaran batas terhadap filsafat “inilah saya” dan “inilah karya saya” yang sesungguhnya amatlah manusiawi itu? Pelanggaran yang menyempit pada satu arah: novel Saman. Dan mengapa harus novel Saman? Bagaimana mengujinya dari perspektif kritik sastra, dalam deretan novel atau pengarang yang lain?

Jakarta, 4/1-22/4 2008

Selasa, 28 Oktober 2008

Balada-Balada, Suryanto Sastroatmodjo

BALADA NILAKANDI

I
Dan pagi pun resik. Menala bakti rumesik
dalam tayung-tayungan kelana
Kuhamparkan tembang anclum. Tembang alum
lamun warna bumiku tambah ungu

Kemudian satu pahala menyeru ujung-ujung
cenungan istirah sangsi
sampai sebuah sangkakala menderu

II
Bukankah biduk tak berpelita
menguasai pagi sekali, dan sekali lagi
Mengusah serapah simbah
dan akhirnya membilang syukur pada mataharu

Entah pabila suntingan saksi
seta pabila pengharapan dini
menggeliar kowar dan jentar
-penyap di ribaan Mak Tujah!
Lantas berakhir di beledru tawang-

III
Nilakandi, o bayang-baurku sendiri
tatkala alam menyatukan puuspita maya
dan di awal tepungan-keruh dan rengkuh
senantiasa kasih hadir. Mengungkai gelisah

Biar aku jadi gembala, o, dingin
dan menyembah kabut di pulungan lilih

IV
Sampai matra ke selikur lindur. Sampai daya luruh
dan alangkah jauh gapaian senandung

Seru dan sentak si bocah lurung
ditundung, diharung dan dilarung
cakrawala yang tanpa tudung

V
Begini terombang di ujung muara kita, o, Nilakandi
serta ada yang menerpa laku Mak Tijah-dusun rimba
dan mengantar pematang-pematang di pusar asa-cita
Bila perjalanan larut menggulirlaratnya luka

Aku bakal lama lagi jadi penjajah asing
sekali tanpa diam. Tanpa unggun dan tudung
Cuma bukit ungu dan dedaunan rontok
menggusah belantara di jadat tak bermusim!



BALADA KUCING

1
Seakan dingin benalu adalah dingin kudukku
jika tentangnya aku berceloteh
memborong dingin yang ingin. Dingin merasuk
dan membual dalam hampar-hampar sebal

2
Benarlah kucing yang mengupas kembara larat
tatkala malang dan untung ke-nasib-an kita
masih lebih kuning sari gunung selatan
atau hutan pelipis luhung. Hingga pun aku terbebas
dari ayunan angan

3
Demikian kubilang kucing melompat,mendepak angka-angka
dan lantas pada pagi ini, ada longsoran tanah
di atas pekuburanku kelabu. Senyap hari terjadwal
seolah esok bakal menggumuli senduku

4
Bukan sekadar tawar-menawar. Hanya acunganku
yang geleng dan angguknya kentara
Kemudian asa dan reka sentara. Lolos menuku petang
meremas layang-layang sendi
Kemudian memercikkan salamtulusnya.

5
Kembali kucing kudedah di rimba sejarah
di kala tulisan amsal yang kubukukan senjakala
Dan adik-adik paling wuragil mencium tumitku
Sudahlah singgah para penarik pajak
bila nanti kuberjanji menapak:
mengganti pedang jadi matabajak

6
Gelegap sejenak pun kita enggan terlunta-lunta
di tengah kecongkakan kota yang pesing dan sesak
Aduhai, kesakitan yang paling perih
kini jadi keperihanmanusia sepanjang benua

7
Demi segendongan kucing manis belang-telon
kisahku menjelma terwujud lakon-lakon
Tapi mohon kau tikamkan belatimu, wahai Pak Tua
di perut bumi taffakurku, sebelum salamkasih tertunda.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Kritikus The Bandung Spirit

Rosdiansyah
http://www.jawapos.com/

Samir Amin adalah legenda hidup. Ia tampil ke muka gelanggang pertarungan gagasan sejak empat dekade silam. Ia mengkritik keras praktik-praktik kapitalisme yang sangat keterlaluan dalam mengeksploitasi negara berkembang. Ia naik ke podium untuk menguraikan betapa jahat praktik kapitalisme predator itu, sebentuk kapitalisme yang sama sekali tidak hirau atas kepedihan dan jeritan lapar warga negara berkembang. Sang intelektual ini memberitahukan kepada kolega-koleganya, sesama intelektual peduli nasib negara berkembang, bahwa sudah selayaknya kaum intelektual negara berkembang sendiri saling bertukar pengalaman ketika berhadapan dengan agen-agen kapitalisme. Tanpa lelah, Amin berusaha menyebarkan gagasan-gagasan kritisnya itu ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Amerika Latin dan Afrika yang selalu bergejolak, sampai ke pelosok Asia.

Gagasan-gagasan itu menggumpal dalam karya-karya besarnya yang bertumpu pada perlunya kemandirian, persis seperti yang dikehendaki para kepala negara non-Blok yang berkonferensi di Bandung pada 1955. Bagi Amin, kemandirian merupakan fondasi yang akan membawa perubahan mendasar pasca-kolonialisme dan imperialisme. Ingatannya pada Bandung tetap menyalakan api perlawanan terhadap praktik-praktik hegemoni pada kurun global saat ini. Meski tetap bersikap kritis pada gerakan lintas negara pasca-konferensi Bandung, Amin tetap memandang keberadaan konferensi Bandung itu sebagai langkah nyata membangun semangat kemandirian. Di era jejaring saat ini, tentu saja kemandirian sangat dibutuhkan, apalagi kemandirian untuk menentukan nasib sendiri, kemandirian menolak agenda-agenda neoliberal sebagaimana tampak dari usulan institusi keuangan internasional (World Bank dan IMF) kepada negara berkembang.

Amin sangat kritis, malah cenderung radikal, dalam mengurai tiap usulan yang disodorkan lembaga keuangan internasional tersebut. Baginya, usulan itu sepertinya masuk akal walau sesungguhnya penuh tipu daya, karena usul itu dikemukakan bukan untuk membenahi carut-marut praktik ekonomi pembangunan negara berkembang. Sebaliknya, proposal yang dikira obat mujarab tersebut tak lain adalah upaya hegemonik koalisi negara maju dan lembaga keuangan internasional untuk menguasai sumber-sumber daya alam negara berkembang. Lembaga keuangan internasional tak mungkin membiarkan masalah ketimpangan global terselesaikan, karena pada dasarnya lembaga itu sendiri hadir ke panggung internasional justru untuk mengabadikan ketimpangan demi melanjutkan eksploitasi negara maju atas negara berkembang yang tak kenal henti. Ketika Uni Sovyet berantakan akibat pertikaian internal tiada henti, maka revolusi sosialisme pun dipertanyakan keampuhannya.

Lahir pada 1931 dari keluarga perpaduan antara ibu berdarah Alsace, Prancis, yang sangat kuat memegang tradisi Jacobinisme, dan ayah berasal dari Koptik Mesir yang memegang erat tradisi nasionalis-demokrat, Amin sudah merasakan penetrasi ideologi komunisme ke dalam dirinya sejak kecil. Peristiwa sehari-hari di Mesir yang penuh ketimpangan telah menjadi buku terbuka baginya. Ia mempertanyakan ketimpangan dan keterpinggiran warga miskin Mesir, yang lantas ibunya atau ayahnya menjelaskan dalam bingkai keberpihakan kepada kaum tertindas, lalu menjadikan Amin kecil sudah menunjukkan diri sebagai komunis tanpa harus terlebih dulu mendalami Marxisme. Amin kecil merasa resah melihat kekuasaan semena-mena telah memperpuruk kondisi masyarakat. Ia tak kuasa membendung rasa pedih tatkala negara seperti Mesir dan negara berkembang lainnya, harus tunduk pada aturan-aturan kolonial.

Mulai 1947 sampai 1957, Amin menghabiskan masa remaja hingga dewasanya di Paris, kota yang saat itu dipenuhi pergolakan mahasiswa. Dalam sejumlah tulisannya Amin mengakui bahwa masa-masa di Paris inilah yang menjadi masa pembentukan sikap intelektual serta politiknya. Ia berinteraksi dengan banyak aktivis serta intelektual kiri Prancis, berdebat dan membangun kemampuan kritik. Sebagai aktivis yang terlibat langsung dalam pembentukan ''Republik Keempat'' yang mengatasnamakan suara rakyat. Amin mangalami bagaimana krisis internal front partai politik melawan kebijakan pemerintah Prancis dan negara-negara maju lain pasca-perang dunia kedua. Front ini ditujukan terutama untuk mendukung upaya-upaya membangun sinergi kekuatan alternatif di luar jalur parpol pendukung pemerintah. Utamanya ketika negara-negara Eropa mulai diiming-iming Bantuan Marshall (Marshall Plan) oleh AS pada April 1948. Bantuan ini kelak menjadi pintu masuk penyamaan persepsi antara AS dengan para sekutunya di Eropa untuk membendung pengaruh komunisme Uni Sovyet.

Dekade 50-an merupakan tahun-tahun penuh perlawanan. Para mahasiswa Prancis tak pernah menanggalkan sikap kritisnya menghadapi hegemoni pemerintah yang dikuasai kaum kanan. Kritik terhadap kebijakan kolonial dan hasrat pemerintah negara-negara Eropa untuk terus menguasai wilayah koloninya di Afrika dan Asia, telah menimbulkan reaksi keras. Amin yang telah menjalin hubungan baik dengan para aktivis asal negara-negara Afrika, mulai ikut membedah konstelasi politik ekonomi dunia yang timpang pasca-perang dunia kedua. Ia tampil dalam berbagai forum pertemuan mahasiswa Asia dan Afrika di Paris, membawakan berbagai tema-tema penting melawan kolonialisme dan imperialisme. Sebagai mahasiswa Institute of Political Science di Paris (1949 - 1953), Amin juga bergulat dengan pola serta struktur kekuasaan dunia yang mulai memasuki era perang dingin. Struktur kekuasaan yang timpang ini merupakan kelanjutan dari proyek kolonialisme dan imperialisme klasik Eropa atas benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Sikap anti-kolonial ini telah membawa Amin mengikuti konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955. Konferensi yang berusaha menyatukan kekuatan anti-kolonial di negara-negara Asia-Afrika ini merupakan usaha pertama di dunia untuk meneguhkan, bahwa pemerintahan di Asia dan Afrika yang baru merdeka tidak akan mengikuti struktur sistem dunia hegemonik yang dipaksakan AS dan sekutunya. Menurut Amin, konferensi Bandung itu merupakan manifestasi dari revolusi sosialis yang tidak boleh dipotong oleh agenda kapitalisme global. Amin melihat Indonesia di bawah Sukarno adalah negara yang sedang melawan kembalinya embrio imperialisme. Amin menempatkan Sukarno, Nehru, dan Nasser ke dalam satu lingkaran kepala negara yang ingin memerdekakan bangsanya dari segala bentuk penindasan negara maju (hlm. 169). Artinya, tiga kepala negara itu mempunyai semangat sama untuk meminggirkan upaya negara-negara kapitalis yang ingin kembali mengolonialisasi daratan Asia dan Afrika.

Amin merupakan intelektual penting yang berada di garis terdepan dalam mengevaluasi kinerja revolusi sosialisme Uni Sovyet dan negara-negara sosialis lain. Saat ini, perang sedang berada di bawah gunung es wacana kemenangan kapitalisme AS dan sekutunya. Korporasi transnasional yang begitu cepat beradaptasi dengan situasi baru telah merumuskan langkah-langkah meredam evolusi gagasan sosialisme radikal yang menghendaki negara kembali memegang peran bagi kesejahteraan khalayak. Program-program seperti Corporate Social Responsibility (CSR) adalah bentuk adaptasi korporasi transnasional untuk mengantisipasi gejolak sosial setelah ketimpangan tak jua kunjung terselesaikan melalui program-program lembaga keuangan internasional. Pendekatan kemanusiaan langsung tertuju ke bagian terdalam masyarakat melalui program yang menyentuh hajat hidup orang banyak, pelan-pelan program ini mengubah cara pandang masyarakat terhadap korporasi transnasional yang rakus dan tamak. Masyarakat menjadi permisif terhadapnya.

Buku ini ditulis dengan gaya bertutur dan mengalir, dimulai dari penuturan seputar masa kecil dan remaja Amin dalam keluarga sejahtera di Mesir sampai masa-masa produktif sang maestro dalam gerakan kiri-global saat ini. Amin tentu mereaksi keras segala bentuk penindasan, dan ia tak segan-segan untuk mengatakan bahwa cara berpikir kritis, sistem nilai dan pengetahuan adalah warisan sesungguhnya yang patut dijaga. (*)
---

Judul Buku : A Life Looking Forward
Penulis: Samir Amin
Penerbit : Zed Books, UK
Cetakan : Pertama, Agustus 2008
Tebal : 266 Halaman
*)Direktur Eksekutif The Surabaya Readers Club

Selasa, 21 Oktober 2008

GERBONG GAGASAN MARHALIM ZAINI*

Catatan atas Antologi Langgam Negeri Puisi
Maman S. Mahayana**

Hakikat puisi adalah citraan (imagi). Dengan kekuatan citraan itulah, penyair coba membangun pesan moral, ideologi, atau apapun dalam bahasa yang kemas, padat, dan langsung. Tentu saja di dalamnya ia juga coba menghadirkan nilai estetis yang mungkin hendak ditawarkannya. Oleh karena itu, dalam puisi, penyair bergulat dalam tarik-menarik antara keinginan mengolah pesan dan menyampaikannya lewat citraan dan bahasa yang kemas-padat, tetapi juga dengan tetap memperhatikan nilai-nilai estetiknya. Akibatnya, penyair tidak punya banyak kesempatan untuk menguraikan sesuatu dengan deskripsi yang panjang atau menjelaskan perkara atau apa pun dengan uraian yang begitu terinci. Pertimbangan kehematan bahasa menjadi taruhan.

Itulah konvensi puisi. Setidak-tidaknya, citraan itulah yang menjadi salah satu ciri yang khas dan penting bagi puisi dibandingkan ragam sastra lainnya. Sebutlah sebuah kata tertentu, maka serempak dengan kata itu, pembaca digiring untuk membayangkan banyak hal tentang kata itu dan keberkaitannya dengan hal lain, baik secara sintaksis, maupun semantik. Kata “Braak!” misalnya, memaksa kita membayangkan sesuatu yang patah, ambruk, atau pecah. Sesuatu yang patah itu sendiri bisa kayu, dahan, kaca, atau bahkan hati. Jadi, hanya dengan satu kata itu saja, berbagai pembayangan dan asosiasi hadir secara serempak. Itulah yang dimaksud citraan. Lalu, agar sesuatu yang patah itu bermakna, harus ada rentetan kata lain untuk membangun tema yang dihadirkan di sana.

Meskipun demikian, konvensi itu tentu saja bukan tanpa risiko. Dalam hal ini, penyair terpaksa melakukan banyak pertimbangan untuk melakukan penyisihan sejumlah kata, frase, klausa atau kalimat yang dianggap dapat mengganggu nilai estetik puisi yang bersangkutan. Jadi, puisi apapun harus dipandang telah melewati proses panjang kesadaran penyairnya untuk melakukan pemilahan dan pemilihan yang berkaitan dengan diksi, style, atau gaya bahasa lainnya. Jika ada kata-kata tertentu yang dianggap tak perlu benar kehadirannya, penyair akan segera menyisihkannya agar keseluruhan bangunan puisi itu sendiri tak terganggu.

Mengingat kedudukannya itu, muncul tuntutan lain yang tak dapat dielakkan. Bahkan kerap menjadi kegelisahan para penyair, yaitu tindak eksplorasi bahasa. Efisiensi dan penghematan bahasa, penghadiran citraan, dan berbagai kemungkinan melakukan tindak eksplorasi bahasa merupakan bagian inheren dari kegelisahan sang penyair. Jika itu tak dilakukan, maka ia akan terjerembab dan masuk wilayah para perajin puisi. Mereka akan cukup puas mendapat label penulis puisi, meski tertolak sebagai penyair.
***

Puisi adalah puisi! Begitulah aliran Kritik Baru (New Criticism) mencoba mendefinisikan puisi. Sebuah rumusan yang sebenarnya secara logika tidak menjelaskan apa-apa, tetapi sekaligus juga menunjukkan betapa puisi tak gampang didefinisikan dengan seperangkat kata yang memberi pengertian tertentu. Ketika ia didefinisikan, ketika itu pula serempak lahir masalah atas rumusan yang mencoba mengikat puisi dalam kotak definisi. Lalu untuk apa puisi dipelajari jika ia “gagal” didefinisikan? Di sinilah kekhasan dunia sastra (: puisi). Keberadaannya penting bukan sekadar untuk dipelajari, melainkan juga untuk diapresiasi, dimaknai, dan diberi nilai. Maka, yang seyogianya dilakukan adalah mencermati substansinya, ciri-cirinya, dan ruh yang mendiaminya, kemudian coba menerjemahkan melalui kemampuan penafsiran kita.

Salah satu ciri yang lain yang juga penting bagi puisi adalah hadirnya apa yang disebut mukjizat komunikasi (the miracle of communication), begitu pandangan Cleanth Brooks –salah seorang tokoh penting dalam aliran Kritik Baru. Sebuah kekhasan yang ajaib; bagaimana sebuah kata atau serangkaian kata dalam puisi berpotensi menghadirkan sejumlah makna sesuai dengan konteksnya. Melalui konteks itulah, kata-kata dalam lingkaran metafora, simbol, ironi, paradoks atau majas yang lain, seperti didesakpaksa atau dibiarkan bergulir memancarkan berbagai makna. Oleh karena itu, puisi mestilah diperlakukan semata-mata sebagai puisi. Ia lahir dari sebuah sikap yang memperlakukan objek sebagai bagian dari dirinya. Subjektivitas penyair membawa penghayatannya atas objek, masuk, menyatu-padu dalam emosi atau obsesi dan kegelisahan pribadinya.

Sesungguhnya, Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri” mesti dipahami dalam kerangka menyimpan berbagai potensi makna dan ia sanggup memancarkan keberagaman makna, dan bukan sebaliknya, menjadi sesuatu yang tak bermakna. Kata atau sejumlah kata yang digunakan penyair mesti diterima dan dicurigai menyimpan kekayaan potensi makna, serangkaian makna, dan siap memancarkan makna-makna baru. Bagaimanapun juga, puisi hadir dalam kapasitasnya sebagai hasil pergulatan kultural –sekaligus intelektual—dari sosok seorang penyair yang tidak pernah berhenti menyimpan kegelisahan atas dunia di sekitarnya.

Atas dasar pemahaman itulah, maka di satu pihak, kita dapat bersetuju pada ambisi kaum struktural yang menempatkan sastra (: puisi) bebas dari beban berbagai persoalan yang melatarbelakanginya, dan di pihak yang lain, kita tetap membuka diri dari kemungkinan menghubungkaitkannya dengan ruh yang melahirkannya atau bahkan dari semangat kultural yang menjiwainya. Kita tidak hendak mempersempit ruang bergerak kita, ketika kita hendak mendekati dan coba memberi apresiasi terhadapnya. Dengan cara pandang demikian, berbagai kemungkinan dapat kita lakukan. Dengan begitu, dalam batas-batas tertentu kita dapat menerima pandangan bahwa puisi sebagai sebuah struktur dinamis hadir dengan berbagai kelengkapannya, dan oleh karena itu, ia tidak memerlukan perangkat lain untuk menjelaskan atau untuk menggali kedalaman maknaya. Meski begitu, ia sekaligus membuka kemungkinan lain ketika kita mencoba menelusuri semangat kultural yang sejatinya melekat erat dalam karya itu sendiri.

Dalam perspektif itulah antologi puisi Langgam Negeri Puisi (Dewan Kesenian Bengkalis, 2004) karya Marhalim Zaini (MZ) akan didekati, ditafsirmaknai, dan coba diapresiasi berdasarkan teks dan konteksnya.
***

Antologi Langgam Negeri Puisi (LNP) berisi 69 puisi yang dibagi dalam tiga bagian subjudul, yaitu “Tersebab Laut”, “Nocturno Burung Api”, dan “Surat Cinta Beracun”. Kata Pengantar Taufik Ikram Jamil –yang tajam terpercaya—tentu saja sangat membantu menemukan semacam pintu masuk dari sejumlah pintu lain yang disediakan penyairnya sendiri. Meski begitu, sebagaimana lazimnya hampir semua kata pengantar, selalu saja ada kecenderungan menggiring kita (: pembaca) memasuki wilayah apresiasinya. Kata Pengantar kerap menyihir kita dan membuat kita malas atau bahkan tertantang untuk bekerja keras melakukan penggalian lebih jauh. Oleh karena itu, bijaksanalah jika kita menerima sihir itu, tetapi sekaligus coba mempertanyakannya kembali secara kritis. Dengan bahasa yang lain, kita menerima sambil membuka diri atas kemungkinan hadirnya alternatif-alternatif dan sekalian mencari pintu lain yang belum dimasukinya. Maka, izinkanlah saya memasuki LNP melalui pintu-pintu lain yang masih dibiarkan tertutup. Dan jika mungkin, sekalian kita memasuki setiap kamarnya, lalu melakukan identifikasi, dan berkenalan dengan para penghuninya.
***

Benar, membaca LNP, kita seperti memasuki sebuah rumah dengan berbagai bentuk kamarnya yang luas dan sempit. Tetapi, manakala kita memasuki setiap kamarnya, kita berhadapan dengan para penghuninya yang beragam. Dari merekalah kita disodori setumpuk kisah tentang pengalaman batin, lompatan-lompatan pikiran, keliaran gagasan, kegelisahan, kerinduan, obsesi, dan serangkaian gumam dari sebuah keinginan untuk memberontak. Bagaimana hubungan penghuni kamar yang satu dengan penghuni kamar lainnya? Mungkin mereka tidak saling mengenal, atau mungkin juga di sana terjadi perselingkuhan dan hubungan gelap atau permufakatan untuk merencanakan sesuatu.

Sampai di situ, muncul sesuatu yang mengejutkan. Dan saya dibuatnya terperangah! Salah satu tugas kritik adalah melakukan penafsiran, pemaknaan, apresiasi, dan coba menghubungkaitkan penghuni kamar yang satu dengan penghuni kamar lain. Selepas itu, ia juga mesti berusaha melakukan identifikasi, menerjemahkan dan menjelaskan identitas para penghuninya. Di dalamnya, tentu saja termasuk menjelaskan sesuatu yang mengejutkan itu. Tetapi, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang kurang pas jika itu dikatakan sebagai rumah, beserta deretan kamar-kamarnya. Jika bukan rumah dan deretan kamar-kamar, lalu apa?

Pertanyaan itu tersimpan lama dan saya membawanya ke mana-mana. Sampailah kemudian pada sebuah daerah yang bernama Freudian, wilayah koloni Sigmund Freud yang kekuasaannya bernama psikonalisa. Di sana ada Christopher Bollas, teoretikus terdepan yang namanya kerap dijadikan acuan dalam kajian psikoanalisa dewasa ini.

Sungguh, LNP lebih pas tak disebut rumah dengan sejumlah kamarnya yang lebar dan sempit. LNP seperti sebuah kendaraan yang bergerak mengusung dan mengangkut setumpukan gagasan. Ia melaju dinamis. Dan gagasan-gagasan itu seolah-olah diam membeku ketika sekadar dipandangi belaka. Namun, tiba-tiba saja ia seperti menerkam kita dan memberondong dengan rentetan peluru gagasan. Lompatan-lompatan berbagai pikiran, bisa ditarik ulur ke sana ke mari. Asosiasi dan metaforanya kadang kala liar atau muncul secara hati-hati. Ia bisa berkisah tentang sebuah peristiwa yang tanpa disadarinya telah mengembalikannya ke masa lalu, ke tanah leluhur, tanah kelahiran. Ia rindu kampung halaman, tetapi cukuplah ditempatkan sebagai persoalan dirinya an sich yang menyadari akan segala keterbatasan. Maka, yang mungkin dan dapat dilakukannya adalah renungan reflektif, kegelisahan yang disadarinya sendiri tidak menyelesaikan masalah.

Dari situlah gagasan Christopher Bollas relevan dalam menerjemahkan LNP. Citraan dan asosiasi LNP dihadirkan dalam lompatan pikiran yang terikat masa lalu dan sekaligus tak dapat menyembunyikan obsesinya untuk melepaskan diri dari ikatan itu. Maka, pikiran-pikiran itu bergerak bebas dalam sebuah kendaraan yang terus melaju, dan kadang kala bergoncang-goncang. Itulah gerbong-gerbong gagasan, kereta pikiran yang berpenumpang emosi dan obsesi, berbusana imaji (citraan), asosiasi dan metafora. Sebuah metode asosiasi bebas yang didesain untuk mengungkapkan gerbong-gerbong gagasan. Dengan cara itu, penyair dapat mengungkapkan serangkaian jalur-jalur pikiran yang lain yang dapat dihubungkan dengan semacam logika tersembunyi.

Mungkin gagasan-gagasan itu seperti tidak berkaitan satu sama lain. Boleh jadi juga urutan pikiran itu terungkap melalui mata rantai gagasan yang kelihatannya juga tidak saling berhubungan. Meski begitu, di sana ada logika yang disembunyikan. Maka, harus kita dedahkan logikanya agar jelas, bagaimana mata rantai gagasan yang seperti tidak berhubungan itu dapat diterjemahkan. Harus dilacak pula maknanya, pesan di sebaliknya, dan barulah kemudian ditandai identitasnya.
***

Kecenderungan mambawa gerbong-gerbong gagasan dalam kereta pikiran itu sesungguhnya sudah tampak pada antologi puisi MZ yang terbit sebelumnya, Segantang Bintang Sepasang Bulan (Yayasan Pusaka Riau, 2003). Boleh jadi, itulah yang dimaksud MZ sebagai penghadiran “sebuah dunia yang di dalamnya menyimpan kemungkinan-kemungkinan ruang estetis yang tak terhitung jumlahnya. … ia menyerupai sarang lebah dengan ribuan lubang yang menyimpan madu. Sementara dengungan sayap lebah-lebah yang berterbangan di luarnya adalah langgam yang akan didendangkan oleh bahasa puisi yang telah jadi.” (SBSB, hlm. i)

Pernyataannya bahwa “puisi … adalah salah satu cara untuk mengucapkan sesuatu dengan bahasa yang paling jujur dan indah,” mesti ditempatkan dalam sebuah proses pencarian. Lihatlah puisi-puisinya yang terdapat pada bagian “Gumam Teluk Mambang.” Dalam bagian itu, yang dimaksud mengucapkan sesuatu, seperti memasuki sebuah lorong masa lalu tentang problem puaknya yang boleh jadi kemudian disadarinya sebagai telah membatasi ruang bergeraknya sendiri. Penyair tak dapat menghindari diri dari ketergodaannya pada problem puak dan masa lalunya itu.

Pada bagian “Melankholia Sebentuk Waktu” dan “Rel dan Jembatan Mati,” ketergodaan itu diejawantahkan pada kecenderungan untuk memotret apa saja, di mana dan kapan saja, tanpa merasa perlu terikat pada tema atau ideologi tertentu. Jadi, pernyataan berikutnya: “… bahasa menjadi serupa cermin yang memantulkan wajah jiwa dalam barisan kata-kata,” mesti dimaknai sebagai sebuah proses pencarian yang tak ingin lagi terpaku pada tema tertentu. Dan itu tercermin pada “Melankholia Sebentuk Waktu” dan “Rel dan Jembatan Mati”. Dalam hal ini, puisi-puisi MZ –dalam SBSB dan kemudian makin jelas dalam LNP—bisa saja menyerupai potret sosial, teriakan untuk memberi penyadaran, kegelisahan atas ketakberdayaan, kerinduan ilahiah atau sekadar bergumam sebagai bentuk respons atas apa yang dilihat dan dirasakannya. Sesungguhnya, dari sanalah MZ seperti mulai menemukan bentuk yang dicarinya, dan kemudian memperoleh saluran yang lebih leluasa pada LNP.

Demikianlah, LNP bolehlah ditempatkan sebagai salah satu capaian MZ selepas usaha pencariannya dalam SBSB.
***

Harus diakui, pengucapan MZ dan tema yang diusungnya dalam LNP agak berbeda dengan sejumlah penyair Riau lainnya. Bandingkanlah, misalnya, dengan gaya pengucapan Taufik Ikram Jamil yang cenderung obsesif terhadap dunia Melayu. Boleh jadi lantaran itu pula, suara kegelisahan Jamil terasa lebih kencang dan nyaring. Beberapa penyair lain –sekadar menyebut tiga di antaranya— seperti Syaukani Al Karim, Hoesnizar Hoed atau Hang Kafrawi, seolah-olah tak kuasa menutup mata atas problem sosial yang terjadi di lingkungan persekitarannya. Maka, kultur Melayu dengan peristiwa luka sejarah masa lalunya, kerap dipandang sebagai sebuah kecelakaan yang segala akibat dan kepahitannya harus menjadi beban generasi yang kemudian. Sikap itu pula yang lalu memunculkan semacam kecemasan dalam menatap masa depan puaknya.

Dalam wilayah keindonesiaan, problem sosial itu tidak jarang ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan sentralitas hubungan Jakarta—Daerah yang secara faktual malah memarjinalkan puaknya. Dominasi Jakarta yang dipandang sebagai monster yang lebih kejam dari pihak kolonial, makin mengoyak luka yang ada. Akibatnya, kehidupan masyarakat persekitaran yang penuh koyak-moyak luka itu menjadi pemandangan yang sungguh menggelisahkan. Dari sanalah tuntutan untuk bersuara nyaring hadir tidak sekadar sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya sebagai warga sepuak, tetapi juga sebagai sebuah perjuangan sosio-kultural.

Kesadaran kultural, sikap kebertanggungjawaban sosial, dan ingatan kolektif atas sejarah masa lalunya tentang puak Melayu –sadar atau tidak—telah menjadi semacam semangat atau élan yang mengerucut pada sebuah gerakan yang dikatakan Taufik Ikram Jamil sebagai Mazhab Riau. Sastra (: puisi) yang menjadi wilayah alternatifnya cenderung memperlihatkan semangat dan cita-cita yang sama. Maka, mungkin saja puisi yang dilahirkannya menyerupai potret sosial, romantisisme atas kebesaran marwah Melayu, gerakan melepaskan diri dari dominasi pusat (: Jakarta) atau usaha merumuskan kembali identitas yang lepas dari hegemoni pusat. Di sana, tak dapat disembunyikan adanya semangat menggelegak dari perasaan kolektif luka yang terkoyak.

MZ seperti begerak dengan caranya sendiri. Secara tematik, ia begitu bebas mengangkat latar tempat di mana pun, tanpa harus terus menerus mengusung problem puaknya. Dengan cara demikian, ia bisa memotret Kintamani, Selat Sunda atau bahkan ia bersimpuh di makam seorang wali, tanpa mesti dibebani oleh ideologi tertentu. Meski demikian, sebelah kakinya yang berada di masa lalu, menyeretnya untuk merasakan luka yang sama tentang alam dan masyarakatnya. Jadi, tentang luka yang terkoyak itu, MZ bukan tak ikut merasakan luka itu. Maka, yang dilakukannya adalah sekadar menjadi penonton yang ikut merasakan luka itu, sekadar memotret lantaran menyadari keterbatasannya, atau melepaskan kepedihan itu sebagai sejarah masa lalu dan kemudian menatap ke dunia lain. Oleh karena itu, kerinduan terhadapnya dan tanah leluhur, cenderung sebagai ungkapan romantik yang baru disadarinya sebagai keasingan, kekosongan, ketercerabutan dari akar atau ketercampakan oleh perjalanan waktu dan tuntutan zaman. Lihatlah larik akhir puisinya “Menggarami Rindu Sepanjang Juni” (hlm. 34), Sepanjang Juni, rinduku kehabisan garam, sebuah kerinduan yang sia-sia, basi dan asing. Juni –mungkin masa liburan panjang—makin mendesak dirinya pada keasingan.

Kerinduan pada tanah leluhur yang ternyata tak lagi seperti yang dibayangkan semula –lantaran perkembangan pengalaman hidup si aku—merupakan tema yang kerap diangkat para penyair. Lihatlah “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang yang gamang menghadapi kerinduan ibu dan keangkuhan ayah. MZ tak merasakan itu, karena ia bermain di tataran alam. Ia tak mengatakannya sebagai Melayu, karena tanah lain pun di dataran lain, sangat mungkin menghadapi problem yang sama. Maka, kegamangannya pada tanah leluhur cukup dikatakannya: “Ah, lama-lama aku merasa seperti di Vietnam.”

Cermati juga keseluruhan puisi yang terdapat dalam LNP. Akan sia-sia kita menemukan kata Melayu! Tidak ada satu pun kata Melayu di sana, lantaran MZ menyulapnya dengan kata lain yang tidak sekadar mewakili sebuah puak. Meski begitu, sebagai manusia yang berada dalam dua wilayah –masa lalu dan masa kini— MZ pun tak dapat melepaskan diri dari kultur masyarakat yang melahirkan dan membesarkannya. Dan itu terungkap tidak hanya dari kosa kata Melayunya yang masih dapat dengan mudah kita jumpai di sana-sini, tetapi juga dunia bawah sadarnya yang tidak dapat melepaskan diri dari kosmos alam. Jadi, satu kaki MZ berada di luar puaknya, dan kaki yang lainnya tetap tertanam pada alam (tanah leluhur), tradisi dan sejarah masa lalunya. Boleh jadi karena itulah, MZ seperti sengaja bergumam sendiri dan menempatkan persoalan yang dihadapinya sebagai problem individu dirinya sendiri.

Dalam posisi kedua kakinya yang seperti itu, yang tampak kemudian adalah hasrat hendak melepaskan diri dari kungkungan tradisi dan masa lalu, tetapi sekaligus ia sadar bahwa tradisi dan masa lalu yang hendak dilepaskannya itu, kerap menjelma sebuah sihir yang pesonanya tak gampang dibenamkan. Ia telah terjerat oleh sihir itu, karena identitasnya adalah bagian dari sihir itu juga. Itulah yang dikatakan Anthony Gidden, guru besar sosiologi dari Cambridge University, sebagai manusia pascatradisional.

Untuk menukik lebih jauh dan mencari bukti-bukti tekstualnya, mari kita masuk dan coba menjelajahi gerbong gagasan LNP.
***

Tak begitu jelas, mengapa ke-69 puisi dalam LNP dipilah ke dalam tiga bagian: “Tersebab Laut” (27 puisi), “Nocturno Burung Api” (20 puisi), dan “Surat Cinta Beracun” (22 puisi). Dilihat dari style, pengucapan, majas yang digunakan dan tema-tema yang diusungnya, tak ada perbedaan signifikan yang menyertai alasan khas atas pembagian itu. Meski begitu, ada sejumlah kata tertentu yang berulang kali digunakan sebagai tanda yang berkaitan dengan tema. Kata-kata kunci itu dapat dijadikan titik berangkat untuk menerjemahkan puisi-puisi MZ. Melalui kata-kata itu pula kita memperoleh pintu masuk untuk menyelusup lebih jauh, apa yang sesungguhnya hendak disampaikan MZ.

Secara umum kata-kata kunci itu dapat dikelompokkan ke dalam empat ranah, yaitu laut (termasuk di dalamnya, pantai, teluk, ombak, pulau, samudera, asin), waktu (pagi, senja, malam, sejarah), hujan (air, gerimis, angin), dan bahasa (puisi—sajak). Pengulangan kata-kata itu tentu saja signifikan mengingat dalam hampir semua puisi dalam LNP, kata-kata itu tidak sekadar meluncur begitu saja, tetapi juga seperti sengaja dihadirkan untuk mewakili simbol dan makna tertentu. Kembali, gagasan Christopher Bollas tentang asosiasi bebas menjadi relevan untuk mengungkapkan naluri ketaksadaran MZ dalam merepresentasikan kegelisahannya. Perhatikanlah puisinya yang berjudul “Tersebab Laut” berikut ini.

Sebagaimana anak sungai kita bertarung
di ujung kuala, demi laut yang membentangkan
hidup, lebih dari sekedar gelombang mimpi.
Perahu waktu, batu-batu masa lalu, dan
burung-burung hitam yang membayang
di seraut wajah senja adalah lukisan usang
yang memanjang di dinding gudang, tempat
sisa percakapan yang terbuang, merangkai
kata-kata dalam bingkai sajak yang hilang
Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan
cinta pada setiap debur ombaknya, maka
asin pantai lebih terasa daripada badai.
Sebab laut senantiasa mengapungkan buih
nama-nama ke tepian jauh, mengasingkan
rindu ke sudut-sudut sejarah, di antara
ribuan butir pasir yang terhampar kalah

Dengan permainan enjambemen yang memenggal kalimat demi kepentingan persajakan atau keindahan bunyi, MZ tidak hanya berhasil membangun kekompakan dalam setiap larik puisinya, tetapi juga dapat mempererat hubungan makna secara keseluruhan. Puisi “Tersebab Laut” sesungguhnya dibangun lewat empat kata yang lantaran terjadi enjambemen puisi itu seperti disusun dalam 16 larik (kalimat). Perhatikan lagi urutan kalimat dalam “Tersebab Laut” berikut ini:

Sebagaimana anak sungai kita bertarung/di ujung kuala, demi laut yang membentangkan
hidup, lebih dari sekedar gelombang mimpi.//Perahu waktu, batu-batu masa lalu, dan
burung-burung hitam yang membayang/di seraut wajah senja adalah lukisan usang
yang memanjang di dinding gudang, tempat/sisa percakapan yang terbuang, merangkai
kata-kata dalam bingkai sajak yang hilang//Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.//Sebab laut senantiasa mengapungkan buih/nama-nama ke tepian jauh, mengasingkan/rindu ke sudut-sudut sejarah, di antara/ribuan butir pasir yang terhampar kalah//

Jika diparafrasekan, puisi itu coba mewartakan, betapa kehidupan yang laksana gelombang laut itu tidak dapat disikapi dengan cara bersantai. Sebagaimana anak sungai kita bertarung/di ujung kuala, demi laut yang membentangkan hidup, lebih dari sekedar gelombang mimpi// Harus ada perjuangan untuk mencapai sebuah cita-cita hidup, meskipun perjuangan itu sendiri tidak ringan lantaran di sana ada garis nasib dan serangkaian kekalahan dan kesia-siaan. Perahu waktu, batu-batu masa lalu, dan

burung-burung hitam yang membayang/di seraut wajah senja adalah lukisan usang
yang memanjang di dinding gudang, tempat/sisa percakapan yang terbuang, merangkai

kata-kata dalam bingkai sajak yang hilang// Masalah utamanya adalah ketaksadaran pada identitas, pada potensi dan kemampuan sendiri. Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.// Jika itu yang terjadi, maka perjuangan itu akan mengalir ke muara kekalahan. Sebab laut senantiasa mengapungkan buih/nama-nama ke tepian jauh, mengasingkan/ rindu ke sudut-sudut sejarah, di antara/ribuan butir pasir yang terhampar kalah//

Yang menarik dari citraan yang dikembangkan MZ adalah keterikatannya pada laut sebagai medan kehidupan, waktu sebagai sebuah perjalanan yang terikat masa lalu dan harapan di masa depan, dan sajak sebagai keputusan, sikap, atau alat perjuangan yang dalam banyak puisinya diposisikan dalam keadaan kalah, sia-sia, dan pesimisme. Kalaupun ada nada optimis, MZ menghadirkannya lewat pengandaian, seolah-olah harapan itu pun akan sia-sia belaka. Lihatlah nada optimistik yang dihadirkan di sana: Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/ cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.// Andai perjuangan itu dilandasi cinta dalam setiap geraknya, maka hidup bisa lebih bermakna daripada kesia-siaan atau prahara. Mengapa nada optimistik itu harus dalam pengandaian? Atau, ia sendiri tak cukup yakin dengan langkah yang diperjuangkannya sendiri.

Pesimisme, kesepian, keterasingan, kesangsian, dan segala yang berkaitan dengan suasana muram seperti sengaja dihadirkan MZ dalam hampir semua puisinya. Maka LNP laksana serangkaian gumam sebuah suara yang datang dari dunia yang serba gelap. Lalu padam. Peti mati inilah rumah kita./Jagat yang legam, dan waktu tak bersisa// (Nocturno ‘Malam’ hlm. 67). Jika ditarik garis linier, LNP seperti hendak mewartakan sebuah perjalanan seorang anak manusia yang di belakangnya terbentang luka sejarah, di sekelilingnya bermunculan kegetiran hidup, dan di hadapannya masa depan seperti sebuah lorong panjang yang gelap. Itulah tema-tema yang diusung MZ dalam LNP.
Pertanyaannya kini: Siapakah MZ?
***

Mencermati keseluruhan puisi dalam LNP, agaknya kita mesti percaya bahwa sastra (: puisi) bagiamanapun juga dapat kita tempatkan tidak hanya sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya, tetapi juga sebagai potret diri sastrawan yang bersangkutan. Sastra dalam hal ini digunakan sebagai refleksi evaluatif atas problem sosial dan lingkungan persekitaran tempat sastrawan yang bersangkutan dilahirkan dan dibesarkan. Maka, di sana akan hadir catatan-catatan, perenungan, obsesi, kegelisahan dan harapan. Melalui bahasa sebagai medianya, sastra secara keseluruhan memantulkan wajah dan identitas sang penyairnya sendiri. Meskipun kita tidak harus serta-merta percaya pada pernyataan bahwa … bahasa menjadi serupa cermin yang memantulkan wajah jiwa dalam barisan kata-kata, setidak-tidaknya pernyataan itu merupakan refleksi kegelisahan penyairnya mengenai berbagai problem yang hadir sebagai pengalaman hidupnya.

Barangkali merupakan suatu yang kebetulan antologi puisi MZ ini diberi judul Langgam Negeri Puisi (LNP). Judul memang tidak selalu mewakili isi, tetapi makna kata langgam mengisyaratkan suatu gaya, cara, adat, kebiasaan atau bentuk irama lagu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 561) seseorang mengekspresikan dirinya. Mengingat MZ menggunakan puisi sebagai sarana ekspresinya, maka melalui puisi-puisi dalam LNP itulah kita coba memasuki wilayah identitas penyairnya.

Ada tiga dasar pemikiran yang menjadi alasan digunakannya pendekatan ini. Pertama, merujuk pada pernyataan Grebstein, kritikus sosio-kultural, bahwa pemahaman terhadap sastra hanya mungkin dapat dilakukan selengkapnya jika kita tidak melepaskan diri dari latar belakang sosio-budaya pengarangnya. Dengan demikian, menerjemahkan sebuah teks sastra melalui kajian sosio-budaya, tidak dapat lain, kecuali kita mencoba menelusuri lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkan pengarang yang bersangkutan.

Kedua, setiap karya sastra pada hakikatnya unik. Maka, pendekatan terhadap teks MZ dalam LNP dan mencoba memahami konteksnya belum tentu dapat dilakukan pada teks lain dari pengarang yang lain. Artinya, MZ menggunakan caranya sendiri dan dengan menelusuri cara MZ itulah, kita melakukan penafsiran atas teks yang dihasilkannya.

Ketiga, jika bahasa –secara kolektif—mencerminkan bangsa, maka bahasa dalam karya sastra –secara individual—mencerminkan individu atau pribadi pengarangnya. Dalam hal ini, dikaitkan dengan pernyataan Grebstein tadi, yang dimaksud mencerminkan individu atau pribadi pengarangnya itu inheren dengan masyarakat dan kultur pengarang yang bersangkutan. Mengingat ada sejumlah kosa kata tertentu yang berulang kali digunakan MZ, maka melalui kosa kata itulah, kita mencoba menelusuri latar belakang sosial-budaya pengarangnya. Jadi, kosa kata itu pula yang digunakan sebagai pintu masuk mengungkapkan identitas seorang MZ.
Mari kita mulai!
***

Bukalah secara sembarang halaman-halaman LNP, maka dengan mudah kita akan menjumpai kata-kata kunci yang seperti telah disebutkan, dapat dikelompokkan ke dalam empat ranah, yaitu laut (termasuk di dalamnya, pantai, teluk, ombak, pulau, samudera, asin), waktu (pagi, senja, malam, sejarah), hujan (air, gerimis, angin), dan bahasa (puisi—sajak). Pertanyaannya, mengapa kata-kata dari empat ranah itu kerap muncul dalam puisi-puisi MZ? Apakah ia tidak punya kata lain lagi, sehingga dalam konteks apapun, kata-kata itu seperti muncul dari luar kesadarannya. Itulah yang dimaksud Christopher Bollas sebagai asosiasi bebas yang nongol dan mencolot begitu saja dari ruang ketidaksadaran individu. Ketidaksadaran itu tentu saja tidak terlepas dari masa lalu. Inilah soalnya. MZ tak dapat melepaskan diri dari masa lalu, dari sebuah tradisi besar yang telah membentuk ruh dan sikap kulturalnya. Maka, asosiasi bebas seorang MZ akan berbeda dengan seorang Zawawi Imron atau Sapardi Djoko Damono. Di sana ada problem kultur yang di dalamnya tradisi menjadi bagian penting.

Bagaimanapun juga, tradisi adalah sebuah orientasi ke masa lalu yang –sadar atau tidak—sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku masa kini. Meskipun tradisi, seperti dikatakan Edward Said, selalu berubah-ubah, ia tetap memiliki daya tahan sebagai alat penentang desakan perubahan. Selalu ada jejak-jejak yang melekat dalam ingatan individu yang dalam konteks masyarakat menjadi ingatan kolektif. “Tradisi terkait dengan memori kolektif yang kemudian memancar dalam memori individu,” begitu keyakinan Anthony Giddens. Dalam hal itulah, puisi-puisi MZ punya cantelan kultural.

Ambillah salah satu puisinya secara sembarang, sebut saja sebuah puisinya yang berjudul “Laut Senja, Kota-Kota Mengapung” dan kemudian periksalah setiap lariknya. “Bukan sejarah benar yang merajai hidup, tapi keangkuhan/hiduplah yang membangun kerajaan sejarah”/Bagai menyeduh senja, kupetik senar kecemasan, setangkai/nada dari percikan halimun yang bergelombang di hamparan/Selat Sunda….

Meski larik awal itu mengingatkan saya pada gaya Chairil Anwar, duduk soalnya bukanlah terletak pada konteks pengaruh-mempengaruhi, melainkan pada sejumlah kata kunci, seperti sejarah (waktu), laut, puisi, dan hujan. Sesungguhnya, puisi ini bercerita tentang keterpesonaan aku lirik ketika ia berada di Selat Sunda. Apa hubungan Selat Sunda dengan sejarah, dengan masa lalu dan tradisi. Inilah sebuah contoh asosiasi bebas. Dari satu titik tertentu, pandangan terpesona oleh sesuatu atau sebuah peristiwa, pikiran mencantelkannya dengan sesuatu yang lain yang mungkin sebenarnya tak ada kaitannya, lalu dari sana, imajinasinya melayang ke masa lalu tentang sebuah puak.

Ketika ia membayangkan sejarah puaknya, ia menyadari bahwa kebesaran puaknya bukan dibangun oleh sejarah masa lalunya, melainkan oleh kebanggaan yang berlebih tentang sejarah itu sendiri. Maka, dikatakannya, “Bagai menyeduh senja” menghidangkan sesuatu yang sesungguhnya tinggal menunggu masa pudarnya. Dari titik itu ia hendak mengubur masa lalunya, karena yang dihadapinya kini hamparan kehidupan (laut) yang harus ia tempuh untuk menata masa depan. Kembali ia ragu, lantaran masa depan pun seperti mimpi yang menjelma terali besi. Di situlah ia menyadari eksistensinya. Ia terasing “dihimpit sepi”.

Begitulah, di mana pun ia berada, ia seperti berhadapan dengan sebuah paradoks. Masa lalu yang mengganggu yang ingin dikuburnya, tetapi sekaligus muncul begitu saja sebagai bagian dari masa kini dalam memandang masa depan. Yang muncul kemudian adalah kesepian, keterasingan, dan ketidakpercayaan pada masa depannya sendiri. Itulah langgam MZ: puisi sebagai representasi tarik-menarik antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sayangnya, kebanggaan atas masa lalu, juga tidak menyelesaikan masalah, sementara pandangannya terhadap masa depan, juga penuh dengan pesimisme. Maka, yang dapat dilakukannya adalah memotret apa saja, di mana saja, sebagai tindak konkret keinginannya untuk berbuat. Puisilah yang kemudian menjadi pilihan; itulah buah dari serangkaian tindak berbuat. Dapat dipahami jika MZ menempatkan puisi sebagai suara hidupnya, representasi perjalanan hidup yang kini dialaminya dan hendak dijalaninya. Sebuah bangunan beragam peristiwa yang menjelma dalam puisi. Itulah ciri, corak, gaya dan kecenderungan yang menurut versi MZ sebagai langgam.

Ambil lagi puisi lainnya yang terhimpun dalam LNP, maka kita akan menjumpai langgam yang sama, meski ia bercerita tentang hal yang berbeda dari tempat di mana pun dan pada waktu yang kapan pun. Dengan demikian, puisi telah menjadi catatan peristiwa, gugatan sejarah, dan ekspresi pesimisme atas banyak hal yang terjadi di negeri ini. Lalu, apakah LNP sekadar kisah tentang segala yang diuraikan itu? Di mana estetikanya, metaforanya, langgam puitiknya, dan kekhasannya dibandingkan puisi lain dari cara pengucapan penyair lain?

Selain sejumlah kata-kata kunci tadi yang dalam bahasa Cleanth Brooks sebagai mukjizat komunikasi (the miracle of communication), yaitu potensi sebuah kata atau serangkaian kata menghadirkan sejumlah makna sesuai konteksnya, MZ secara royal juga memanfaatkan apa yang disebut sebagai enjambemen yaitu pemenggalan kalimat demi kepentingan persajakan atau keindahan bunyi. Perhatikan puisi yang berjudul “Hujan dalam Diri” berikut ini:

Dalam diri, hujan tiba-tiba:
selangkah lagi, kakimu adalah puisi.
Dan aku harus pergi, membelah diri
sebelum sepi

Betapa, menduga jarak di jengkal tanganmu
jauhnya tak hilang di ujung jalan.
Mataku, semangat anak-anak malam yang
membaca teka-teki ini, bagai laying-layang
melenggang di tengah lengang.

Dalam diri, hujan menderas:
beribu langkah, menapak basah.
Cukuplah setetes darah
melukai sejarah?

Jika puisi itu tak menggunakan enjambemen, maka larik-lariknya sebagai berikut:
Dalam diri, hujan tiba-tiba:/selangkah lagi, kakimu adalah puisi.
Dan aku harus pergi, membelah diri/sebelum sepi

Betapa, menduga jarak di jengkal tanganmu/jauhnya tak hilang di ujung jalan.
Mataku, semangat anak-anak malam yang/membaca teka-teki ini, bagai layang-layang/melenggang di tengah lengang.

Dalam diri, hujan menderas:/beribu langkah, menapak basah.
Cukuplah setetes darah/melukai sejarah?

Dengan pemenggalan yang seperti itu, maka MZ terkesan hendak membuat persajakan (kesamaan bunyi), tidak hanya antarlarik, tetapi juga dalam larik. Perhatikan kesamaan bunyi tersebut yang saya tandai dengan cetak miring berikut ini:
Dalam diri, hujan tiba-tiba:/selangkah lagi, kakimu adalah puisi.
Dan aku harus pergi, membelah diri/sebelum sepi

Betapa, menduga jarak di jengkal tanganmu/jauhnya tak hilang di ujung jalan.
Mataku, semangat anak-anak malam yang/membaca teka-teki ini, bagai layang-layang/melenggang di tengah lengang.

Dalam diri, hujan menderas:/beribu langkah, menapak basah.
Cukuplah setetes darah/melukai sejarah?

Perhatikan kata-kata: selangkah lagi/membelah diri/sebelum sepi, atau: betapa menduga jarak di jengkal … malam yang/bagai layang-layang/melenggang di tengah lengah, atau juga: langkah/basah/cukuplah darah/melukai sejarah//

Demikianlah, MZ di sana-sini begitu banyak memanfaatkan enjambemen semata-mata untuk membangun persajakan atau keindahan bunyi. Pemanfaatan enjambemen itu juga barangkali dimaksudkan agar MZ dapat lebih leluasan membuat metaforanya atau justru untuk menyembunyikannya sekaligus. Untuk menggambarkan betapa pendek dan singkatnya ketika kita menghitung-hitung usia kehidupan, misalnya dikatakan bagaikan jengkal tangan. Tetapi, semangat untuk mencari jawaban segala misteri kehidupan tetap tidak surut, yang dikatakannya: Mataku, semangat anak-anak malam yang tak pernah tidur karena menyadari kehidupannya berada pada malam hari. Dan semangat untuk mendapat jawaban itu dikatakannya, bagai layang-layang/melenggang di tengah lengang.

Dalam beberapa puisinya, tampak adanya jejak Amir Hamzah dan Chairil Anwar, meskipun tidak begitu menonjol. Tetapi dalam hal penciptaan metafora dan usaha menyelimuti pesan ideologinya, puisi-puisi MZ agak dekat pada apa yang pernah dirintis Toto Sudarto Bachtiar mengenai apa yang disebut puisi gelap. Dalam hal ini, MZ tak terjerumus pada kekrumitan yang tak perlu. Dengan begitu, kita masih dapat menikmati puisi itu dan tak terlalu sulit memahaminya jika kita mencoba menghayatinya lebih jauh.
***

Membaca LNP dan coba membuat apresiasi terhadapnya, dalam banyak hal, harus diakui, memberi keasyikan tersendiri. Asosiasi bebasnya membawa kita ke berbagai tempat, peristiwa, dan perkara yang ringan dan berat, bergantung dari perspektif mana kita memasukinya. Dalam konteks kepenyairan Riau, MZ melenggang sendiri, seperti tak terpengaruh pada tarikan kekuatan penyair di sekitarnya. Meski begitu, sebagai makhluk sosial yang dilahirkan dari sebuah tradisi besar puak Melayu, ia terus-menerus dibayangi masa lalu yang disadari tak kuasa ditinggalkannya. Dan itu dirasakan benar sebagai problem psikis manakala ia berada di luar puaknya. Tradisi dan masa lalu seperti telah menyatu dengan masa kini dan masa depan. MZ telah menjelma menjadi manusia pascatradisional, begitu menurut Anthony Giddens yang menempatkan betapa kuatnya pengaruh tradisi dalam diri seseorang.

Sampai di situ, muncul pertanyaan –dan ini yang justru agak mengganggu: begitu pentingkah tokoh-tokoh asing macam Jocasta, Cleopatra, atau Oedipus dihadirkan di sana (“Nocturno Burung Api”) padahal tanpa mereka pun, puisi itu bisa hidup sehat dan cerdas. Demikian juga dengan kata nocturno, sepertinya punya makna sangat khas dan ajaib, sehingga tak dapat diganti dengan ‘pada malam hari’ atau ‘malam’. Tanpa kata asing pun, tokh ia sudah merasa terasing, sehingga ia lebih banyak bergumam reflektif. Atau, itukah ciri manusia pascatradisional yang berada dalam transisi menuju modern?

Terlepas dari perkara itu, dalam konteks strukturalisme, LNP jelas telah membangun dirinya dengan berbagai perlengkapannya. Kekayaan penciptaan metafora, paradoks atau majas yang lain, tidak hanya memancarkan keindahan puitik, tetapi juga menghadirkan apa yang disebut sebagai mukjizat komunikasi. Demikian juga citraan yang dibangunnya, terasa segar dan khas. Sekadar contoh, sebutlah, menyiangi usia, kabut mencuri angin, sekuntum sunyi, sejengkal lagi kekal, diam berarti terbenam. Bukankah pola-pola itu jauh dari klise dan MZ telah berhasil memanfaatkannya secara optimal. Satu usaha luar biasa yang menunjukkan keseriusan penyairnya yang menempatkan puisi sebagai salah satu alat perjuangan budaya.

Akhirnya, mesti saya katakan: Membaca LNP saya seperti memasuki deretan gerbong yang penuh berisi gagasan. Itulah kereta pikiran, dan MZ tidak menempatkan dirinya sebagai masinis. Lalu, siapakah masinisnya? Kita, –pembaca— yang bertindak sebagai masinis yang akan membawa kereta pikiran itu menuju tujuan masing-masing.

Nah!

*) Makalah Diskusi Majelis Jumat diselenggarakan Yayasan Pusaka Riau, 5 November 2004 di Gedung Akademi Kesenian Melayu Riau, Pekanbaru.
**) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok.

Selasa, 14 Oktober 2008

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA

Sutejo
Ponorogo Pos

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

BERKACA MENULIS DARI NUREL

Sutejo
Ponorogo Pos

Nama Nurel Javissyarqi memang belum seagung penulis Indonesia lainnya. Tetapi misteri perjalanan kepenulisan adalah etos nabi yang alir penuh jiwa berkorban, total, dan –nyaris—tanpa pamrih balas. Sebuah pemberontakkan pemikiran sering dilemparkan. Tradisi dibalikkan. Pilihan dilakukan, termasuk untuk memberikan pelajaran kepada orang tuanya.

Rabu, 08 Oktober 2008

LAMONGAN BERTERIAK LEWAT SENI DAN SASTRA

Imamuddin SA

Lamongan! Mungkin nama ini terlalu tabu di tengah-tengah semua gendang pendengaran anak manusia. Atau bisa jadi anda akan mengerutkan dahi dan bahkan merasa takut ketika nama tersebut disebut. Ya, bagi saya itu wajar. Kota kecil yang terletak antara kota pudak Gersik dan kota Bojonegoro ini memang pada mulanya dipandang sebelah mata oleh kota-kota lain di sekitarnya. Kota yang belum memiliki talenta lokalitas yang mampu menyuarakan namanya di kanca perkembangan zaman. Namun, menjelang peristiwa peledakan bom di Bali, nama kota ini berkibar di ujung daun. Entah pada waktu itu daunya tergerogoti ulat atau daun hijau muda yang segar. Yang jelas, kebanyakan orang yang mendengar nama Lamongan, hati mereka akan nggiris, ciut, dan takut. Mereka saling mengasumsikan akan betapa kerasnya jiwa-jiwa orang Lamongan. Tapi tidak apalah, yang penting sudah terkenal bahkan secara internasional. He....he....he...

Entah apa yang terjadi? Semenjak peristiwa peledakan bom itu seolah-olah hati dan jiwa masyarakat Lamongan terlecuti oleh cambuk membara. Mereka semua terbakar untuk berlomba-lomba mengibarkan panji Lamongan di muka publik lokal, nasional dan bahkan internasional. Bahwa Lamongan itu indah, damai, dan lembut. Dari berbagai lini, masyarakat dan Pemkot Lamongan berjuang sekuat tenaga serta semampunya untuk menjunjung tinggi nama Lamongan. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah membangun tempat pariwisata WBL (Wisata Bahari Lamongan) dan Goa Istanah Maharani yang bertaraf internasional, menyuarakan Lamongan lewat olahraga sepakbola ada juga yang melalui seni dan sastra dan lain-lain.

Untuk yang lain tidak perlu disinggung sebab Pemkot Lamongan tengah serius menangani dan terjun di dalamnya. Jangan keras-keras, kita omongkan dari hati ke hati saja. Bagaimana nasib kesenian dan kesusastraan Lamongan kemarin, sekarang, dan ke depan?

Dari sisi kesenian tradisional. Pada mulanya cukup banyak kesenian tradisional yang berkembang di kota Lamongan. Mulai dari ludruk, sandur, wayang, kentrung dan lain-lain. Dalam bidang-bidang tersebut cukup banyak komunitas yang berdiri di dalamnya. Namun sekarang ini banyak yang udzur diri. Entah sebab apa, juga tidak mengerti. Yang jelas mungkin sebab kesejahteraan sosial-ekonomi yang kurang dapat dipenuhi. Kini keberadaannya hanya tinggal segelintir saja. Jika hendak dihitung; sandur hanya ada di Modo Kecamatan Ngimbang, Kentrung Ki Dalang Kusairi desa Solokuro, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Kasiran desa Randu Bener, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Sudikno desa Moro kecamatan Sekaran. Generasi muda sekarang terasa ogah dan gengsi untuk menekuti seni-budaya semacam itu. Hal itulah yang juga menyebabkan semakin menurunnya keberadaan seni-budaya di Lamongan.

Selain kesenian tersebut, dewasa ini yang sangat berkembang di Lamongan adalah seni teater. Keberadaan teater di Lamongan dapat di katakan telah menjamur. Entah itu komunitas teater yang eksistensinya dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh atau hanya sekedar momental dan bahkan hanya sekedar mengisi kegiatan ekstra sekolah. Komunitas-komunitas tersebut di antaranya adalah teater Taman Babat (pelajar sekolah MAN Babat), Aum (pelajar sekolah MA. Matholi’ul Anwar Simo), Rekat (SMUN Mantup), Intan (SMA 3), Mata Es, Roda (Unisda), STNK (Unisda), Kentrung Formalin (Unisla dan SMA 3), teater MATA (Kranji Paciran), teater KENTUT (Payaman Solokuro), Cicak, Sangbala (pelajar SD Canditunggal Kalitengah). Beberapa nama penggerak di dalamnya adalah Pringgo HR, Sutardi Cempet, Javed Paul Syata, Heri Ambon, Paidi, Rokim Edan, Luqman Tohek, Kadjie Bitheng MM, Rodli TL, Heru Kusubiantoro, dan lain-lain.

Akhir-akhir ini nama Lamongan terbang membumbung tinggi ke angkasa sambil menebar wewangi kasturi melalui bidang teater. Teater Sangbala yang diasuh oleh Rodli TL berhasil mengantongi juara dalam festival teater internasional. Anak-anak Sangbala dengan naskah yang berjudul Past Game berhasil menyingkirkan rival mainnya baik yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Semua itu tidak lepas dari kerja keras, perjuangan dan pengorbanan, serta ridha Tuhan Yang Maha Kuasa. Perjuangan yang dilakukan Sangbala tidak hanya dari segi tenaga, pikiran, material, melainkan juga dengan korban perasaan.

Konon dijelaskan oleh pembina Sangbala bahwa komunitas mereka berjuang mati-matian secara personal untuk dapat mengikuti even tersebut. Meskipun mereka sangat dipusingkan dengan masalah biaya pemberangkatan. Bagaimana tidak pusing, komunitas yang notabenenya bernaung dalam lembaga sekolah kecil serta terpencil dan masyarakat yang relatif berekonomi menengah ke bawah, harus memberangkatkan siswa yang cukup lumaya banyaknya. Segala usaha dilakukan demi mengikuti festival tersebut sebagai wakil Lamongan. Anehnya, saat mengajukan permohonan dana ke Pemkot Lamongan, komunitas ini justru malah dipingpong yang pada akhirnnya berakhir bolong. Tapi ada satu sukarelawan yang mungkin merasa iba, ia rela memberikan bantuan secara pribadi. Meskipun demikian, biaya masih kurang banyak. Jadi ya pembina Sangbala terpaksa harus ngutang dulu untuk menutup kekurang biaya pemberangkatan itu. Walhasil, Sangbala pun menang. Lantas apa yang dilakukan Pemkot Lamongan! Sambuatan hangat yang bagaimana yang diberikan! Penghargaan apa yang disandangkan! Sangbala telah mengharumkan nama Lamongan!

Selain Sangbala, keberadaan komunitas teater yang lain juga tidak bisa di pandang sebelah mata. Dengan eksistensi mereka, baik di lokal sendiri maupun di luar kota, perlahan tapi pasti, kredebilitas Lamongan akan terangkat dengan sendirinya. Mereka telah turut meramaikan kota Lamongan. Bahkan kerap mengadakan festival teater antarkota. Yang sungguh aneh dan riskan, pengayoman terhadap pekerja seni dan komunitas teater tersebut masih menunjukkan intensitas yang kurang. Buktinya, gedung kesenian saja masih belum terbangun di Lamongan. Masak, ada orang kok gak punya rumah! Padahal dari sisi kesenian, nama Lamongan berkompeten menyemburatkan sinar gilang-gemilang. Tapi sudah lumayan, sebab sudah ada janji dari pihak Pemkot Lamongan. Tapi kapan terealisasinya? Entah! Ini kalau tidak salah dengar sudah hampir tiga tahunan bahkan lebih, janji itu diujarkan. E.....nyatanya sepetak tanahnya saja masih kabur! Mudah-mudahan tanah di Lamongan tidak habis dibuat bangunan toko dan perumahan. Paling tidak, masih ada dua meter persegi untuk pemakaman kesenian di Lamongan. Maaf salah omong. Maksud saya dua puluh meter persegi untuk pembangunan gedung kesenian di Lamongan. He...

Dari bidang kesusatraan misalnya. Para pekerja dan penggiat sastra sangat montang-manting dalam membudayakan membaca, menulis, dan bekarya kepada masyarakat Lamongan khususnya. Mereka senantiasa mencari dan membentuk regenerasi penulis Lamongan dewasa ini. Selain itu juga menanamkan kepribadian yang menghargai karya dan kreatifitas orang lain. Bentuk usaha yang dilakukannya ada yang mengadakan even lomba menulis puisi tingkat SLTA se-Lamongan (Van Der Wijck Award ke-1), membuat antologi puisi tingkat SLTA, Seminar sastra di sekolah-sekolah, diskusi Candrakirana dan lain-lain. Hal itu tentunya juga tidak lepas dari peranan guru di sekolah-sekolah tertentu yang memposisikan diri sebagai pekerja sastra yang bergerak secara mendasar dan juga para sastrawan serta penulis Lamongan yang lain. Di sana ada Hery Lamongan, Nurel Javissyarqi, Pringgo HR, Bambang Kempling, Rodli TL, Alang Khoiruddin, Haris Del Hakim, Javed Paul Syata, A. Sauki Sumbawi, A. Rodli Murtadho, Rian Sindu, Joko Sandur, Imamuddin SA. Selain mereka masih ada sekian banyak sastrawan Lamongan baik yang bereksistensi di Lamongan sendiri maupun di luar Lamongan. Mereka di antaranya adalah Satyagraha Hoerip, Mashuri, Gaidurrahman El Mistsri, Isnaini Komaruddin, Nur Aziz Asmuni, Aris, Raslayno, Sutardi Cempet, N yeas, Heru Kusubiantoro, Edy Maherul Fata, D. Zaini Ahmad, Heri Kurniawan, Ridwan Rachid, Anis CH, M Bagus Pribadi, Ariandalu, Atrap S. Munir, Ali Makhmud, Ghaffur al-Faqqih, Heri Listianto, Arina Habaidillah, Dijah Lestari, Hartiwi, dan lain-lain. Entah eksistensi mereka saat ini masih mengalir laksana gemericik air atau telah membatu, yang jelas mereka semua pernah mengisi khasanah kesusastran di Lamongan.

Kajian dan diskusi sastra di Lamongan secara intens dilakukan setiap malam lima belas bulan purnama. Sebab itulah kegiatannya dinamakan Candrakirana. Kegiatan ini digerakkan oleh Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan). Selama beberapa tahun kegiatan ini berjalan dengan lancar dan bergairah. Yang menghadiri acara tersebut cukuplah banyak, bahkan sastrawan luar kota sempat menyinggahkan diri di dalamnya. Beberapa di antaranya ada Mas Gampang Prawoto (Bojonegara), HU Mardi Luhung (Gersik), dll. Namun belakangan ini sempat fakum beberapa saat sebab menurunnya greget regenerasinya. Puncaknya pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2006 dan 2007. Tak ada suatu usaha itu yang bebas dari hambatan. Itulah yang mungkin berlaku bagi Candrakirana waktu itu. Sekarang dengan format dan strategi yang baru, Candrakirana kembali mengibarkan benderanya. Semoga menemukan kembali keharuman namanya.

Buku-buku karya sastra yang menjadi tolok ukur kontribusi pengarang Lamongan cukup banyak. Entah itu dicetak secara terbatas atau disebar di kawasan lokal. Beberapa buku tersebut di antaranya adalah Memecah Badai (1999), Negeri Pantai (2000), Rebana Kesunyian (Kostela 2002), Imajinasi Nama (Kostela 2003), Bulan Merayap (DKL 2004), Lanskap Telunjuk (DKL 2004), Mozaik Pinggir Jalan (antologi puisi SLTA, DKL 2005), Absurditas Rindu (Sastra Nesia 2006), Khianat Waktu (DKL 2006), Memori Biru (DKL 2007), Jalan Cahaya (sajak-sajak SMA, DKL 2007), Gemuruh Ruh (Antologi Sastra Lamongan, 2008).

Di lembaga-lembaga sekolah SLTP dan SLTA tertentu ada juga yang menerbitkan buku antologi sendiri. Semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk memotivasi dan menumbuhkan gairah membaca dan menulis sejak dini juga sebagai salah satu bentuk usaha regenerasi sastrawan Lamongan. Selain itu juga diupayakan dengan cara mengundang penulis-penulis ternama seperti Raudal Tanjung Banua, KH. Zainal Arifin Toha (di MA Matholi’ul Anwar) dll, di lokalitas kampus Unisda ada Tengsu Cahyono, Setya Yuwana Sudikan, dll. Di antaranya buku-buku yang diterbitkan adalah, MTs Putra-Putri Simo; antologi puisi dan esai ringan Enjelai (bunga rampai catatan harian siswa 2005), Rinai Sukma dan Guratan Pelangi (Teater Mata Es 2005), Ponpes dan MA. Matholi’ul Anwar Simo; antologi cerpen Mawar Putih (2007), antologi cerpen dan puisi Kristal Bercahaya dari Surga (2008), antologi cerpen The Power of Love (2008).

Secara individual, para sastrawan Lamongan juga membukukan karya-karyanya. Di antaranya adalah Herry Lamongan; Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008), Nurel Javissyarqi; Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga, Ada Puisi Di Jogja, Tabula Rasa Kumuda, Tubuh Jiwa Semangat, Kekuasaan Rindu Sayang, Segenggam Debu Di Langit, Kajian Budaya Semi, Sarang Ruh, Sayap-Sayap Sembrani, Kulya Dalam Relung Filsafat, Batas Pasir Nadi, Kumpulan Cahaya Rasa Ardana, Trilogi Kesadaran, Balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat, Mashuri; antologi puisi Jawadwipa 3003 (2003), Pengantin Lumpur (2005), Ngaceng (2007), Hubbu (novel 2007), Gaidurrahman El Mitsri; Kitab Dusta dari Surga, Langit Mekah Berwarna Jingga (novel 2008) dll, Pringgo HR; Sungai Asal (2005), Bambang Kempling; antologi puisi Kata Sebuah Sajak (2002), Alang Khoiruddin; Lorong Cinta (2000), Perjamuan Embun, Fenomena Sajak Religius (2003), Kontemplasi Sufistik (2004), Oase Cinta (2004), Majenun Mencari Kekasih (2004), Wanita: Pesona Paling Melati (2004), Seruling Cinta (2002), Percikan-Percikan Cinta, Haris Del Hakim; novel Berlabuh di atas Gelombang, Lars-liris, dll, Javed Paul Syata; Syahadat Sukma (2004), Tamasya Langit (2007), The Lamongan Soul (kumpulan sajak dan cerpen 2008), A. Sauki Sumbawi; Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen 2006), #2 (cerpen 2007), Dunia Kecil, Panggung dab Omong Kosong (novel 2007), Waktu di Pesisir Utara (novelet 2008), Maskerade (prosa pendek 2008), Rodli TL; novel Dozedlove (Pustaka Ilalang, 2006), Imamuddin SA; Esensi Bayang-Bayang, Sembah Rindu Sang Kekasih, Kidung Sang Pecinta, dan Sasmita Kembang Widerda, M. Rodli Murtadho; Pameran Makam (Pustaka Ilalang, 2008), Kadjie Bitheng; Negeri Dongeng (puisi 2006) dll.

Ada yang unik dari eksistensi sastrawan Lamongan. Keunikannya terletak pada bentuk dan gaya kreatifitas karya yang dihasilkannya. Meski dalam satu paguyuban Lamongan, dari setiap sastrawan memiliki ciri khas masing-masing secara personal. Memang cukup variatif. Tentunya variasi tersebut bertumpu pada latarbelakang sosial dan kedekatan emosional serta psikologi dari tiap pribadinya. Mereka tidak mencipta genosis sastra. Tapi mereka berdiri dengan kekuatannya sendiri-sendiri. Berdiri dengan selera masing-masing. Dan tetap bergerak dalam satu langka bersama dalam menuju muara yang sama pula; kesusastraan Lamongan dalam kanca pergulatan dunia.

Di Lamongan juga ada beberapa media cetak yang tengah menampung karya-karya dari luar daerah. Ambil saja Indupati, Tabloid Telunjuk (alm), Jurnal Sastra Timur Jauh, dan Jurnal Kebudayaan The Sandour. Tidak jarang penulis-penulis besar nasional berkenan menggoreskan karyanya di media tersebut. Beberapa di antaranya adalah Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Alfiyan Harfi, Y. Wibowo, Hamdy Salad, Gugun El-Guyanie, Iman Budhi Santosa, Fahrudin Nasrullah, Teguh Winarso AS, KH. Zainal Arifin Toha, KRT Suryanto Sastroatmodjo, dll (di jurnal kebudayaan The Sandour). Selain itu di Lamonngan juga ada penerbitan yang telah memiliki ISBN, yaitu Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, Sastra Nesia, dan La Rose. Semua penerbitan itu bergerak pada wilayah kesusastraan. Tidak jarang para penulis terkemuka menerbitkan karya-karyanya di penerbitan Lamongan. Seperti: dari Pustaka Pujangga ada Hudan Hidayat (esai, Nabi Tanpa Wahyu), Teguh Winarsho (novel, Kantring Genjer-Genjer), Binhad Nurrahmat (esai, Sastra Perkelaminan), Amuk Tunteja (cerpen, Marhalim Zaini), dari Pustaka Ilalang ada Supaat I Lathief (Sastra: Eksistensialisme-Mistisme Religius 2008 dan Psikologi Eksistensialisme 2008), dll.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pergerakan sastrawan Lamongan juga turut berkembang. Demi menjalin relasi dan menyuarakan nama Lamongan di kawasan regional dan internasional, generasi muda sastrawan Lamongan mengambil inisiatif untuk membuat blog di internet. Mereka membentuk komunitas blog yang bernama Forum Sastra Lamongan (FSL). Seluk-beluk dan perkembangan sastra di Lamongan dan sekitarnya mereka dokumentasikan di sana guna memberi infomasi kepada pengunjung blog. Prioritas utamanya adalah para penulis dan sastrawan Lamongan. Anggota FSL pada dasarnya jarang bertemu secara bersama-sama. Mereka menjalin relasi dan persaudaraan dengan jalan lewat email, hand phone, dan bahkan kunjung ke rumah-rumah anggotanya. Itu sih dilakukan bagi mereka yang tengah memiliki sedikit kelonggaran waktu. Paling tidak, paling cepat sebulan ada yang kunjung ke rumah dan itu kadang dilakukan secara bergantian. Sebab semuanya bertumpu pada kondisional waktu dan kesibukan masing-masing. Selain itu juga sebab pengaruh tempat tinggal yang cukup berjauhan. Ada yang tinggal di Surabaya dan ada juga yang di Lamongan. Yang kerap mereka bahas tidak lain adalah bagaimana kesusastraan Lamongan ke depan. Bagaimana kesusastraan Lamongan dapat dikenal hingga taraf internasional. Hal itu kadang dilakukan sambil ngopi bareng di warung pinggir jalan raya atau sekedar di rumah saja. Nama-nama yang tergabung dan bergerak dalam FSL di antaranya adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, Haris Del Hakim, A Sauki Sumbawi, Javed Paul Syata, dan Imamuddin SA.

Selasa, 07 Oktober 2008

Ketika Korona Matahari Membunuhku

Dian Hartati
http://sudutbumi.wordpress.com/

Matahari tidak terlalu panas siang ini. Entah mengapa itu terjadi padahal saat ini adalah musim kemarau. Jalanan tidak begitu terik seperti kemarau tahun lalu, pohon-pohon pun seakan diam tidak terlalu sibuk membuat klorofil-klorofil. Yah, apa mau di kata mungkin itu pengaruh penduduk bumi yang terlalu apatis dengan masalah lingkungan hidup.

Angin berhembus dan menerbangkan daun-daun yang gugur ketanah. Barisan semut hitam tampaknya sibuk bekerja tanpa diperintah. Mengangkut remah-remah yang entah diambilnya dari mana. Masuk ke dalam gundukan tanah yang sepertinya telah mereka buat sendiri mencapai dasar tanah. Tak ada beban bagi semua semut-semut pekerja itu, semua diam dalam kesibukannya.

Langit tetap biru dengan gemawan yang terus berarak mengikuti pola angin yang membawanya. Gurat-gurat membentuk simbol di angkasa. Langit yang selalu saja bersahaja tanpa kebingungan memikirkan apa yang ada di bumi. Tak lama setelah gemawan pergi peri-peri cinta datang dan segera menuju bumi. Mengabarkan cerita indah kepada setiap mahkluk yang membutuhkan cinta. Cinta adalah rasa yang pasti dimiliki setiap nyawa di bumi. Begitu juga aku yang sedang menunggu hadirnya cinta entah kapan. Mungkin esok, lusa, atau hari ini. Biarlah aku akan menunggu datangnya peri-peri cinta ke pangkuanku.
*

Cinta memang dapat hadir kapanpun dan dimana pun. Saat aku terbaring lemah cinta itu datang melalui bunga-bunga yang dikirim seseorang, entah siapa dia aku tidak tahu. Yang pasti aku mencintai sosok itu. Sosok yang selalu hadir di mimpiku. Kehadiran cinta datang pertama kali saat aku meratapi nasib dan menangisi kenangan. Nasib dan kenangan telah mengikat aku pada cinta masa lalu yang abadi. Lembar-lembar kehidupan telah aku lewati bersama derasnya masalah. Begitu saja aku mulai jatuh cinta pada sosok yang aku sendiri belum pernah melihatnya secara nyata. Kelebat bayangannya selalu muncul memaku setiap raut yang kemudian remuk redam menahan rindu.

Siapa kira aku harus terbaring tak berdaya. Ketika diagnosa dokter menvonis aku, bahkan dibalik penderitaan ada hikmah terdalam. Ya, aku harus rela membagi nafas hidupku dengan sebuah penyakit tanpa obat. Aku harus mau membagi tubuhku dengan virus yang menggerogoti pertahanan tubuhku. Hingga kini aku lemah tak berdaya. Semangat itu muncul kembali setiap datangnya kiriman bunga, kadang putih, merah, bahkan sempat kuning. Seolah-olang kematian menemui diriku.

Aku tak dapat berbuat apapun selain mnerima dan tetap bertahan. Karena yang aku tahu jika kita putus asa maka siapapun tak ada yang dapat membantu termasuk diri sendiri. Perlahan aku melupakan apa yang bersarang di dalam organ-organ hidupku. Aku membiasakan diri untuk menjalani hari-hari dengan membaca, menonton televisi, dan menjelajahi dunia lewat internet.

Cinta hadir bersama kata-kata yang hadir melalui bunga-bunga. Tak ada yang aku nanti selain kedatangan buket-buket bunga. Diharumnya terselip kata-kata yang dituliskan pengirimkan sebagai pesan singkat. Terkadang aku meresapi kata-kata yang hadir dengan begitu puitis. Entahlah yang aku nanti hanyalah kedatangan pengirimnya, entah itu esok, lusa, atau kapanpun akan aku tunggu.

Tiba-tiba aku ingin melihat matahari senja di tepi pantai dengan hembusan angin yang akan menyegarkan kulitku. Menyibakkan rambutku dan, menawarkan aroma air laut yang asin. Aku begitu ingin merasakan hagatnya udara sore dengan camar laut dan gemerisik pasir putih yang terinjak-injak. Aku ingin semua itu dan ingin, hanya ingin.

Tak apa lanskap laut itu hanya membayang dalam ingatanku sampai suasana itu membekas pada mimpi-mimpiku. Hari-hari berselang dan hanya dunia maya yang kugenggam sampai saatnya aku muak dengan semua itu. Tiba-tiba saja tak ada yang dapat aku lakukan. Hanya terbaring dan terbaring. Hari ini mawar kuning terkirim dan yang kucari secarik kertas yang lama tak kujumpai.

Kutemukan kertas kecil berwarna merah muda. Laut tenang akan menjadi latar perjumpaan kita. Matahari senja akan kita pandang bersama. Aku nanti kau disana saat matahari terbenam. Setelah membaca itu apa yang kulakukan adalah menanti datangnya senja yang tenang.

Tidak jauh dari belakang rumahku, terdapat ceruk kecil yang indah. Orang-orang di sekitar tempat itu menyebutnya Laut. Walaupun kecil siapa saja yang datang sore hari akan dapat menikmati sajian alam yang begitu alami. Matahari yang terbenam dengan siluet merah dan keemasan. Senja merah yang magenta dapat terlihat dengan indah bahkan terlalu indah bagi sepasang mata yang penuh dosa. Semilir angin yang dingin akan membuat siapapun terlena, apalagi gemuruh ombak kecil yang menyejukkan telinga.

Aku mencoba mengarahkan pandanganku ke berbagai sudut. Aku ingin menemui sosok yang selalu mengirimkan bunga-bunga cantik setiap pekannya. Sosok yang sepertinya telah menancap dalam ingatanku. Lama aku menunggu, tapi tak juga aku temukan. Waktu terus bergulir, dan langit yang aku pandangi semakin merah. Mencoba berjalan mencapai kaki langit yang tak tergapai tapi sosok itu tetap tidak aku temukan.

Ada jejak langkah baru di pesisir. Aku mengikuti dan sampai pada karang hitam penuh lumut. Jejak itu hilang dan kutemukan mawar merah tanpa duri. Aku yakin sosok itu hadir diantara kebisuan Laut. Aku temukan pesan singkat yang mengecewakan. Belum saatnya kita bertemu. Nikmati senjamu dengan wamar ini. Karena saat kau menikmati senja yang merah aku tengah mereguk aroma tubuhmu. Aku hirup dalam-dalam wangi terbawa angin. Lama aku memandangi senja dengan dinginnya.

Aku harus meninggalkan ceruk yang semakin dingin. Tubuhku yang rapuh ini tak mungkin dapat bertahan lama dengan alam. Sosok yang aku incar belum dapat aku temui sekarang ini. Tapi harapan besar menanti ketika mawar merah ini menawarkan kerinduan yang panjang.

Sesampai di rumah aku diam dibalik jendela menatap malam yang menghampiri. Diam dan diam. Tak ada air mata hanya pesan yang tertangkap dan aku menuliskan pesan itu dalam relung hatiku. Malam akhirnya menjadi raja saat ini. Bagaimana hatimu yang menanti esok. Disini bintang tercerah berkat hadirmu, semoga kaupun begitu. Aku terlelap dengan senyuman bulan malam. Tak ada yang dinanti selain kedatangan sosok yang aku tunggu.
*

Matahari semakin tua dan mulai kelelahan menyinari bumi. Terbukti dengan perubahan cuaca yang tidak seimbang. Mawar itu tak juga layu, tetap segar dalam vas kaca. Matahari sepertinya bosan dengan tugasnya, sebagai sumber cahaya terbesar semua nyawa di bumi berharap padanya. Apalagi penghujan masih jauh di ujung tahun. Setiap hari cahaya yang ditumpahkan matahari pada tanah-tanah di bumi semakin berkurang. Beberapa peristiwa alam yang tak biasa menimpa bumi. Titik hitam semakin melebar di permukaan bintang yang memancarkan cahayanya sendiri itu. Violet semakin menipis dan korona matahari melebar mendinginkan suhu bumi. Dan apa yang terjadi pada bumi, semua menjadi takut akan kematian. Titik hitam matahari itu memiliki suhu 1000-1500 lebih dingin dari daerah sekitar matahari. Gurat-gurat magnet yang melingkupi matahari menyentuh lapisan bumi di angkasa. Angin pun berubah haluan, dan peri-peri cinta pun berbalik dari bumi menuju angkasa yang semakin dingin.
*

Kembali aku harus merutiki tubuh yang semakin rapuh. Menguatkan diri dengan senyuman-senyuman manis setiap pelayat yang menemani sakitku. Aku dengar dari mereka bahwa bumi dilanda kegelapan. Juga dingin yang beranjak meninggalkan kutub dan beralih pada daerah tropis.

Telah lama aku terbaring menunggu datangnya ajal. Tak sempat lagi aku membacai setiap pesan yang terselip diantara kiriman bunga. Hanya pendengaran yang menjadi hidupku yang tak lama lagi. Mataku telah mengatup dan aku sedang melayang-layang mencari kepastian pada setiap tutur yang diucapkan orang-orang.

Malam hari semuanya beku, tak ada lagi desah nafas yang terdengar. Hanya saja udara yang berputar di ubun-ubunku. Dan titik-titik hitam mengakhiri hidupku yang rapuh. Maka aku dengar seseorang membaca pesan terakhir dari bunga yang terkirim. Ini bunga terakhir yang kuberi padamu gadis rapuh. Kau telah jatuh pada pangkuan peri-peri yang membawakan cinta. Berbahagialah karena kau tak sempat melihat bumi gelap. Terselubung korona yang membadai.
***

Minggu, 05 Oktober 2008

Pertalian Minat Baca, Harga Buku, dan Daya Beli

Jawa Pos, 05 Okto 2008
Agus M. Irkham*

Dahulu mana, ayam atau telur? Pertanyaan itu yang bakal muncul, ketika kita mencoba menghubungkan antara minat baca, harga buku, dan daya beli. Pada pembaca buku berlaku demikian: minat baca tinggi tidak serta merta daya beli tinggi. Dalih klise harga buku mahal. Mendapatkan sangkaan itu, penerbit pun berkelit, bagaimana mungkin harga buku bisa murah, karena pengorbanan ekonomi masyarakat untuk memperoleh buku alias daya beli terhadap buku rendah. Belum lagi harga kertas yang terus-menerus naik dan pengenaan pajak buku. Sehingga penerbit terpaksa mencetak buku dalam jumlah yang tidak efisien. Karena tidak efisien, harga pokok produksi jatuhnya jadi tinggi/mahal. Sudah begitu, buku yang dicetak belum tentu ludes dalam setahun.

Menariknya, ketika suatu buku laris (bestseller), sehingga proses produksi berlaku sangat efisien, tidak menyebabkan harga jual buku lalu menjadi murah, atau minimal lebih rendah dibandingkan dengan harga buku cetakan pertama. Harga buku hasil proses produksi yang sangat efisien masih sama dengan harga buku hasil produksi yang tidak efisien.

Pengalaman di Indonesia tentu sudah menjadi pengetahuan jamak, ada buku yang meskipun tergolong mega bestseller --sekali naik cetak tidak lagi 3.000-5.000 eksemplar tapi bisa sampai 30.000 eksemplar-- harga jualnya per eksemplar tetap sama. Tetap mahal, maksudnya. Satu amsal yang menggiring pada simpulan sementara penerbit bahwa tidak ada jaminan, setelah harga buku betul-betul dapat ditekan, lantas dengan serta merta daya beli meningkat. Sebab, dalam kenyataannya, daya beli tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor harga --meskipun sering dijadikan kedok. Terbukti beberapa buku yang harganya tergolong mahal terjual ratusan ribu eksemplar, dan terus diburu orang.

Lantas pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk mengurai benang kusut pola hubungan antara minat baca, harga buku, dan daya beli itu?

Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan dan menjawab pertanyaan di atas. Sekadar beriur interupsi kecil: ternyata buku, yang dinilai sebagai produk budaya, lebih sering hanya menjadi tempelan, belum terintegrasikan ke dalam sistem nilai budaya. Dan, akibat yang paling tampak dari sekadar tempelan itu adalah, sulitnya menyusun formulasi yang cespleng antara minat baca, harga buku, dan daya beli.

Belum lagi tantangan dan tentangan yang ditimbulkan oleh melejitnya perkembangan audio (radio) dan visual (televisi), mengakibatkan terjadinya loncatan budaya. Dari kelesanan primer (primary orality) pada saat belum ada kemampuan baca tulis, ke kelesanan sekunder (secondary orality) ketika kemampuan baca-tulis tidak begitu dibutuhkan lagi karena sumber informasi lebih bersifat audio visual (Kleden, 1999). Dari visual wayang langsung ke visual film, Goenawan Mohamad menyebut.

Untuk sampai pada simpulan bahwa di Indonesia buku masih sebagai tempelan dapat ditelusuri dari asumsi berikut: secara umum, selama ini buku sering dipahami sebagai tanda bagi tahap-tahap perkembangan suatu bangsa ke arah kemajuan, keterbukaan, dan modernisasi. Citra yang terbentuk dari orang yang karib dengan buku adalah ia terpelajar, tercerahkan, memunyai kemampuan empati yang lebih luas dibandingkan dengan orang yang steril buku.

Empati adalah kemampuan untuk merasa ketika berada dalam posisi orang lain. Kemampuan itu dimungkinkan karena buku adalah hasil kreasi yang sifatnya personal. Pengalaman orang lain atau komunitas dilipat, yang kemudian dihidangkan pada publik pembaca dalam bentuk lembaran-lembaran kertas. Buku menjadi sarana orang mengasah dan memunculkan empati. Pendeknya, orang menghubungkan antara buku dan kemajuan dalam satu pola hubungan searah. Begitu seseorang membaca buku, seketika itu pula akan cerdas, tercerahkan, dan berempati tinggi.

Pada titik itu, buku menjadi variabel independen (sebab). Jika ini yang dipahami, maka bentuk kebijakan yang harus ditempuh untuk mencapai tingkat kemajuan (minat baca dan bangsa) yang lebih tinggi adalah dengan mendorong para pengarang, penulis, penerjemah untuk menyiapkan naskah yang banyak dan baik. Pada saat yang bersamaan penerbit-penerbit buku harus didirikan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang friendly pada industri perbukuan. Misalnya melalui penghapusan pajak buat penulis dan penerbit, sehingga harga buku jadi murah/terjangkau. Minat baca masyarakat pun pada akhirnya meningkat.

Betul begitu? Apakah tidak mungkin yang terjadi sebaliknya? Lantaran orang terpelajar, tercerahkan, sadar arti penting informasi dan pengetahuan, terdidik, lantas ia menjadi suka baca buku --sumber informasi dan pengetahuan. Dengan demikian, aktivitas membaca buku bersifat akibat (variabel dependen). Jadi, kalau menginginkan masyarakat kita gemar membaca (dan menulis), yang harus diperbaiki adalah soal-soal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, pembelajaran, baik sarana maupun isi (kurikulum). Bukan harga buku. Sebab, pertimbangan membeli buku sudah tidak pada harga lagi. Tapi pada kebutuhan.

Kurikulum pembelajaran diarahkan kepada kecintaan membaca buku dan mendaras bacaan. Sehingga di setiap tes, guru bisa mengecek capaian kemajuan bacaan pada tiap peserta didik, menyangkut bacaan wajib (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan yang menyangkut pengetahuan umum (general knowledge). Termasuk penugasan membaca novel sastra pada siswa SMA, seperti yang belaku di Amerika. Di negeri adi kuasa itu setiap tahun siswa ditugasi membaca novel sastra sebanyak 32 judul, Belanda (30), Prancis (20), Jerman (22), Jepang (15), Kanada (13), Singapura (6), Brunei (7), dan Thailand (5). Indonesia?

Buku, baik sebagai variabel independen maupun dependen, sejatinya menyimpan kebenarannya masing-masing. Dalam arti, salah satu atau kedua-duanya dapat menjadi pintu masuk untuk mengurai pola jalin minat baca, harga buku, dan daya beli yang ruwet itu. Tak terkecuali pamrih mencerdaskan bangsa. Namun yang terjadi di negeri kita sebaliknya. Tidak hanya salah satu, tapi kedua pintu itu sama sekali tidak dimasuki. Buku dan pendidikan sama-sama dinilai sebagai entitas yang semata-mata berdimensi ekonomi dan politik. Tidak ada sangkut pautnya dengan budaya. Alamak! (*)

*) editor lepas, esksponen komunitas pasar buku

SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=215


Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna, oleh sorot matahari menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I).

Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II).

Angin tanggung mempermainkan awan mengusir kabut pegunungan
sebinar fajar meremukkan tembang dangkal, terkumpulnya ragu segenggaman
melebihi lebatnya pepohonan di bukit barisan, kala hujan menderas
membasuh buah asam Jawa, rontok terhempas ke sebrang (X: III).

Bagaimana bimbang di belantara, sedang ia menerobos ilalang?
Dahan keras kan patah, yang terus melaju temukan makna tiada terkira
bagi penyetia takkan kecewa, dipenuhi kebutuhannya (X: IV).

Terpontang-panting diayun bayu membelah laut tenggelamkan gelisah,
perahu keyakinan ia tumpangi ringan melaju, menuju ujung-ujung waktu (X: V).

Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali kecompang-campinganmu, sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI).

Sudahkah diawali pergesekan ini, serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII).

Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII).

Begitulah menyukai anak-anak memberontak,
hukum tidaklah sama untuk para pengelana (X: IX).

Ia berkata; wujud tintaku darah kematian, dan setiap torehan kata
usiaku dikurangi, serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X).

Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?
Ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI).

Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII).

Yang dijalankan berbeda, berjumpa hikmah dari kekenesan kerja
bertatap mata menyenangkan prasangka, akan duga ilmu abadi (X: XIII).

Maha karya syair takkan selesai di segaris-garis keningnya
oleh muda usianya, ketika mengenakan ikat kepala pujangga (X: XIV).

Ruh serupa bayangan melayang-layang membebani kesadaran,
meski menjauh takkan sanggup melupakan seluruh,
seumpama isyarat bertemu dilaksanakan titahnya (X: XV).

Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI).

Saat berkaca di telaga, rautnya secantik bidadari bersayap bangau,
kepakannya membelai pagi, polesan biru di leher awan jenjang (X: XVII).

Kau mengusik kediriannya lewat menjatuhkan pilihan bergetar
pada cermin cerlang memantulkan cahaya kalbu berdegupan (X: XVIII).

Tidak lagi awan teman kembara ketika menapaki tangga langitan
menuju batas daya demi kehadiranmu di panggung penciptaan (X: XIX).

Ia mainkan melodi hening, harpa menggema ke dasar biru lautan,
menggempur karang bolong, ingin menguasai kesunyian malam (X: XX).

Yang duduk dalam permenungan wengi-wengi kepadanya, ialah
mengapungkan kabut kasih sayang, pijakanmu sebijak nafas denyutan aksara
kepada bintang di ruang waktu, menjadikan penentu gerimis rebah (X: XXI).

Terbangmu uap anggur mengendap dari persembunyian,
kemabukan itu membentangkan jalan tidak terkira menjaga lautan
serta ikan-ikanmu ialah kebaikan utuh di hadapan masa (X: XXII).

Ingatlah sayang, abad cantik menikam-nikam,
seumur hidup berkali-kali gugur itu kesegaran diri terpenjara (X: XXIII).

Racikan jamu bermomok rindu sejarah, sejauh tarian sampurmu
merangkul timur-barat menerbangkan uap bersayap wengi menyirap (X: XXIV)

; abu lelembaran kertas menggenang di lautan hitam, gugur bunga pasir
dan karang mengabadikan prahara, kau muntah lahar airmata di sana (X: XXV).

Tiada mengambil cintamu pada yang lain, ia mencipta jaring laba-laba,
yang disinggahi bayu mengantarkan diri terjerat bebenang jalannya (X: XXVI).

Sia-sia tersunggkur sebelum menyamai kata, adakah hamparan rumput
berkeindahan dipandang? Sebab cemburu, dilihatnya tak lagi nyata (X: XXVII).

Ia mengajak penjaga wengi mengumpulkan udara pagi, ketika nyawamu
tanpa bayang menyekutui badai, benci sebelum temukan terdalam (X: XXVIII).

Mengecup kembang legenda akan gelisah kasihmu, urailah gejolak ragu
lewat menempuh jalan kesadaran perang suci, demi kehadiran waktu (X: XXIX).

Mengunjungi sahabat kecil, belajar nilai-nilai kehidupan,
kegilaan berkarya, serta nasib dikejar-kejar tutup usia (X: XXX).

Ia berjanji demi ilmu mendukung harapanmu bertaruh,
seumpama ayam jantan di gelanggang itu takdirnya (X: XXXI).

Aliran darah kesatria membelai tidak segan membantu perjuangkan
keyakinanmu, bersamanya datang menghirup aroma kebebasan (X: XXXII).

Malam-malam tak lagi mendukung, rasa sakit tiada mencipta daya,
maka pahatlah bongkahan masa merenungkan telaga lama,
ia balik dari pusaran memandang kesungguhan (X: XXXIII).

Kau tak bisa tenang tanpa sangkar langitan, dirinya dekapan angin bersalju,
timur-barat miliki lentera, terkurung dalam pelita renungan kembara (X: XXXIV).

Carilah padanan cahaya, manakala tertelan kabut lembah,
memudar bersamamu masih lekat bayangannya (X: XXXV).

Hasrat terkumpul dalam relung jiwa memberi lekang kelegaan,
ia nyala api pembakaran dalam malam-malam pembaharuan (X: XXXVI).

Ia dahaga di setiap menyisakan pahit senja, duka nestapa dibawa lari,
segelas minuman dari perasan mawar dipetik pada jalan kembara (X: XXXVII).

Di sini bergolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII).

Melengking sedari jarak tidak terduga, asmara menciptakan bara,
berseru dunia pemuda menyulap kayu-kayu berarang kesatria (X: XXXIX).

Belum sempurna senyuman, sedang lainnya telah kenyang kelelahan,
tidak cukup terkadang baik pada kebijakanmu yang semu, jawabnya (X: XL).

Seyogyanya tidak dipersalahkan menuang anggur hitam kebebalan,
melukis dentingan gelas senyuman pada sudut-sudut pesta tengah malam
dan lenggokan bidadari menawan mata menggairahkan sukma (X: XLI).

Segera terkatakan, ia berteriak di kala bumi tidak lagi berhasrat
serupa ketegaran tugu menegak setia pada pergantian musim-musim
melepaskan ruh perbendaharaan kata-kata paling rahasia (X: XLII).

Sebagian berucap tumbal keegoan sakit,
sedang kekasihnya tidak menyalahkan (X: XLIII).

Gemuruh gelak ombak menggemuruh di bathin rindu bertalu,
tersisanya nyawa diserahkan kepada waktu kelanggengan (X: XLIV).

Dinding-dinding kamar beku gelap ditumbui jamur pengab,
tiada lintasan bayangan, semuanya menyatukan perasaan (X: XLV).

Ketika nafas tangis tersumbat sesenggukan, jantung berdegup
rahasia terawat nyala pekat, ini pengaduan dalam peraduan (X: XLVI).

Kabut keganjilan menyulami ketinggain memekatkan telinga
dan kepekaan buntu, oleh bebatuan waktu tidak menentu (X: XLVII).

Malaikat sekelebat pedang mendayu nyawa
seiring tubuh lunglai kehabisan rayuan (X: XLVIII).

Siapa berkunjung berbeban mendapati tubuh memberat
atas serpihan pekabutan terkumpul dalam pertemuan (X: XLIX).

Waktu tak berwaktu, gemuruh ombak menggedor tanjung pesisirmu,
tenggorokan parau, tiada cukup hidup sekadar memanjangkan hayalan (X: L).

Oleh kegembiraan, bahaya lupa melumpuhkan penunggu,
tanda-tanda terus dipertanyakan dalam kesendirian terpencil (X: LI).

Memaksa ingatan kepada bunga kekupu terbang disertai bayu
menghapus perasaan penat sedari ruang tanpa lobang (X: LII).

Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X: LIII).

Diri tiada haus-lapar, nging dalam telinga terbalut kulit (X: LIV).

Semakin kusut mata cekung, suara serak oleh kepakan (X: LV).

Usahakan gelap dapat terbaca, tapi apalah daya kau memuntah
saat alunan seruling khusyuk memperdengarkan gejolak jiwa (X: LVI)

; menilik kefahaman menerima kebijakan, dan
kelelawar menerobos lebih dari hitam malam (X: LVII).

Jangan telan sebelum semut keluar buah, ada perbedaan jelas dirinya;
dia tirakat demi persembahan, sedangkan kau tak nikmat mengenyam (X: LVIII).

Penolakan itu sembelit perasaan sakit, secangkir racun oleh sang putri
untuk kekasihnya, pembunuhan tersebut mengagungkan cinta abadi (X: LIX).

Para raja memburu drajad mulia, lelangkah menyusuri pandangan kaki,
di pundak lelah mata memberat, pada gilirannya menemukan hikmah (X: LX).

Beradu pukul terserak-mendetak, keringat mengucur lainnya menguap,
menyelesaikan sejarah tanpa nisan, berlalu sama berlakunya racunmu (X: LXI).

Batu-batuan krucuk pecah terlempar, bagi saksi siksa akhir kelegaan,
yang sadar bersabar, akan tahu melewati jalan batu menuju pulang (X: LXII).

Gerak lincah tinta hitam lembut menelusup ke urat syaraf nun jauh,
segera bertemu keremangan masa lalu yang dekat kepadamu (X: LXIII).

Sedenyut racun terminum sungguh, tubuh membujur di lingkar bertalu,
dibopongnya ke puncak halimun, di luarnya terdengar dentingan air tuwong,
bisik-bisik liar-meliar menggerayangi, mencari cela-cela keluar (X: LXIV).

Yang menetapkah keheningan ialah jiwa dalam pemukiman,
menggigit batang sekerat di dalam nada nadi syahadat (X: LXV).

Ditariknya irama gelisa ke goresan lama, saat berjumpa
mengenang catu pernah sakit terjatuh dahulu (X: LXVI).

Ke dasar kekosongan, sukma berputar membebas,
nafas-nafas merangsek menuju perburuan keras (X: LXVII).

Dalam setiap kelupaan ada kemarahan memuncak,
menggedor tembok meruntuhkan dinding langit (X: LXVIII).
Gemawan beterbangan menuju pusaran maksud sampai
derasnya ke titik kesadaran, sebagaimana suara nan abadi (X: LXIX).

Kematian meninggalkan luka, harum kembang menguntum mekar di udara,
tubuh satu ke tubuh lainnya, lintang-lintang berkerlipan menghiasi langit (X: LXX).

Kehidupan menerima umpat di tengah kedekatan, tangan kasih bayu pantai
mendatangi butiran pasir mengombak kepada karang memendam cerita (X: LXXI).

Datang waktunya menulis juwita, ia taruh kerinduan di ujung pena,
menyiratkan tinta hitam sedari keseluruhan kehendak dirasa (X: LXXII).

Kesaksian tubuh-tubuh kembang pada bebatuan dinding candi,
setia memberi salam merayu reinkarnasi pengabdian nilai (X: LXXIII).

Kalimah wangi sebarkan kata suci, atas gebalau jiwa memutih,
menggubah nafas langit menembangkan kemakmuran (X: LXXIV).

Sepadan direngkuh hangat pelukan legenda dikunjungi ruh,
tidakkah merasakan, bahwa inti degupannya mengisi piala ganjilmu,
mencurahkan angin kerinduan berluapan kabut seluruh (X: LXXV).

Sengaja lembaran beriktikat menyetiai meski meragu temukan ujung,
sedang yang sambillalu gelisah, atas gravitasi penciptaan waktu (X: LXXVI).

Ini halilintar hati menyambar naungan nurani, gelegak ombak samudra
menampar pepintu goa pada dinding-dinding angkasa jiwa mulia (X: LXXVII).

Renungkan gurau ricik kebersamaan wewaktu, duduklah di sampingnya
dan ayunkan kakimu biar lengan berselendang menjamah tubuh (X: LXXVIII).

Puja-puji berlangsung agung, berkahnya mengingat tujuan mulia,
selayaknya batu candi dihiasi relief, saling mengisi ruang-waktu (X: LXXIX).

Datang membawa rindu berabad kepada setiap masa berjumpa,
masikah kau terpenjara oleh irama kehidupan sekalipun? (X: LXXX).

Ingatlah masa silam berhujan jalan, debaran rintik gerimis
terdengar tangisan tumpah, dari sambaran petir hadirkan kisah (X: LXXXI).

Pemahat memenjara jiwa-jiwa, sekejap memang jeruji serasa nikmat,
penghuninya tiada sia-sia, kau menanti tubuh cairnya
saat mentari malu-malu mengintip dunia (X: LXXXII).

Fahamilah bebatuan hidup, gunung-gemunung kangen bertemu kabut,
manakala rumput ilalang diguyur senandung kebersaaan hujan (X: LXXXIII).

Kesempatan kembara menghampiri basah mengurai tetesan sahaja,
penantian mengunjungi setiap ruangan menciptakan sunyi (X: LXXXIV).

Jika mengalir deras melayang ringan, gerimis tersedu lewat pucuk
rambut cemaramu, sedang rumput terawat embun pagimu (X: LXXXV).

Yang patah sebab hembusan bayu kering menghampar payah,
melangkah menghirup bau padi mematangkan gairah (X: LXXXVI).

Elusan gerimis memukau senyum jantungmu dipersiapkan,
menyemai bentuk warna menyetiai alam perubahan (X: LXXXVII).

Ia cukupkan ini dan esok bakal tersambung oleh tidak selalu
keindahan terpaparkan serta ingin kau ketahui semua (X: LXXXVIII).

Menjadikan nyala kasih sayang,
menjilat di bokor kelanggengan dalam kerajaan keabadian (X: LXXXIX).

Manakala awan berkehendak meneguhkan pertemuan, ruang waktu
jadi kenyataan, sedang hasrat berselimut segera terketahui kesadaran (X: XC).

Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian birunya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangikan doa-doa beterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangkan kedamaian abadi (X: XCI).
----

*) Pengelana dari Lamongan, yang ingin jadi penyair sungguhan.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi