Minggu, 26 September 2010

Negeri Para Pemburu

Teguh Winarsho AS
http://www.kr.co.id/

“AKU TAKUT melihat perang, darah dan kematian,” katanya pada suatu hari saat jalan raya menjelma hujan batu dan kobaran api. Langit menjadi lebih merah. Udara pengap meruap anyir darah. Ia lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi para serdadu itu terus memburu sembari menggenggam senapan dan pentungan kayu. Melempar gas air mata dan juga batu. Mata mereka nyalang, berkilat, seperti menyimpan belati. Membuat ia ketakutan setengah mati seperti dikejar-kejar sekelompok mummi.

“Apakah yang salah dengan sejarah?” ia menggumam satu pertanyaan saat berhasil menyelinap masuk ke dalam sebuah rumah kosong mirip gudang dekat jembatan. Rumah tua dengan jendela-jendela lebar berjeruji besi hitam berkarat dan lantai cokelat. Atapnya kereopos penuh sarang laba-laba. Juga puluhan tikus saling berkejaran, berdenyit-denyit meruap bau selokan. Membuat perutnya mual mau muntah. Tapi ia sangat letih, menyandarkan punggungnya yang ringkih pada tembok kusam. Wajahnya sayu oleh debu. Matanya kuyu. Rambutnya kusut terburai acak-acakan.

“Sejarah perlu dicatat bukan cuma diingat. Tapi kenapa kalian memburu, memukul dan menembak?!” lagi ia mendesah lirih. Mengusap wajah pasi. Mencoba menenangkan diri. Di luar matahari hampir terbenam dan gelap mulai merayap. Sebentar lagi malam akan segera tiba. Malam yang nyaman untuk istirahat dan barangkali juga sedikit bercinta — sekadar memberi kecupan mesra pada orang-orang tercinta. Tapi suara-suara tembakan ke udara itu masih terdengar keras. Berdentum-dentum memekak telinga. Juga deru panser yang sesekali melintas. Membuat setiap orang merasa was-was. Merasa hidup tak pernah bebas.

“Mungkinkah aku datang di kota yang salah?” merinding ia mengusap sepercik noda darah di lengannya. Sedikit anyir seperti damir busuk. Tapi jelas itu bukan darah miliknya. Lengannya tidak luka. Juga anggota tubuh lainnya. Entah darah milik siapa. Mungkin darah orang-orang yang kepalanya tertimpuk batu saat ingin menyelamatkan diri. Atau darah Jane, temannya yang baru datang dari Perancis dua hari lalu saat jatuh menabrak tiang listrik, lututnya sobek. Atau darah Bram, pemuda asal Aceh yang hobi fotografi dan suka mengenakan rompi.

Pelipis Bram retak dipukul tongkat kayu. Darah segar berleleran memenuhi wajah Bram hingga wajah cokelat itu tampak memerah. Bram tak sempat melolong. Dengan cepat tubuhnya terhempas di jalan aspal. Ia sebenarnya ingin menolong Bram tapi para serdadu itu keburu datang menyerang. Mereka persis kawanan serigala liar yang baru lepas dari kandang. Ia tinggalkan Bram yang terkapar di pinggir jalan, lari sekuat tenaga menyelinap di antara orang-orang.

“Bram hanya mencatat, tapi kenapa kalian pukul?!” tiba-tiba ia mendengus. Lalu meludah. Sejak tadi mulutnya memang terasa pahit seperti habis menelan kaos kaki. Kepalanya sedikit nyeri.

Bosan berdiri, ia berjalan menghampiri jendela mengintip jalan raya. Jantungnya mendadak berdebar. Jalan raya selalu mengingatkannya pada kehidupan yang hiruk pikuk, keras dan kejam. Dalam remang tampak para serdadu masih berjaga-jaga. Memanggul senapan menenteng pentungan kayu.

“Bram mungkin mati…” desisnya. Nafasnya longsor. Tenaganya raib. Ia terduduk lemas menatap langit-langit atas. Ada lentik api pada bola matanya saat menatap lurus ke atas. Tapi lentik api itu tiba-tiba meredup kembali. Sesekali tubuhnya menggigil gemetar persis seorang pengidap busung lapar. “Tapi aku tak butuh makan!” ia membatin mengencangkan ikat pinggang. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang!”

Malam kelam tapi deru panser masih terdengar menderu-deru di jalan. Juga raungan sirine melengking-lengking membuat malam tambah mencekam. Ia sebenarnya ingin keluar mencari Bram atau menemui Jane, tapi ia takut jika dihadang moncong senapan. Ia tak ingin mati di tangan para serdadu yang pongah dan congkak, — merasa bangga jika berhasil menghantam kepala orang. Puh! Ia tak ingin mati di tangan mereka.

“Apakah Jane juga dipukul?” Pertanyaan itu membuat kepalanya semakin nyeri. Bagaimana pun ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan Jane karena ia yang menyuruh Jane datang. Selain itu, ia juga merasa berdosa karena terlalu berlebih-lebihan. “Datanglah ke negeriku dan kau akan melihat orang-orang yang ramah dan pemurah! Ini negeri ajaib, Jane. Tanahnya subur penduduknya makmur. Bahkan tongkat ditanam pun bisa tumbuh dan berbuah. Kau pernah dengar negeri seperti itu, Jane? Tak ada lain itu hanyalah negeriku. Datanglah, Jane. Datanglah…” Ya, ya, ya, ia ingat, lewat telepon, kalimat-kalimat itu meluncur deras dari mulutnya satu minggu sebelum kedatangan Jane. Tapi Jane kelihatan masih ragu dan ia terus meyakinkan.

“Tenanglah, Jane. Sudah tidak ada lagi kerusuhan sejak penguasa diktator itu tumbang. Kerusuhan hanya omong kosong masa lalu belaka. Orang-orang di sini kembali ramah dan pemurah seperti dulu. Kau tak perlu takut mati kelaparan sebab orang-orang dengan senang hati akan memberi makan. Kau cukup membawa tiga ribu franc dan kau bebas melenggang. Harga-harga di sini sangat murah dengan kualitas terjaga. Apakah ada negeri yang lebih indah selain negeriku, Jane? Jawablah?”

Dan mulut Jane bungkam tak mampu menjawab. Jane justru menutup teleponnya lalu sibuk menekan angka-angka menghubungi maskapai penerbangan, memesan tiket. Satu minggu kemudian Jane datang dengan senyum mengembang. Matanya kuntum-kuntum mawar merekah. Rambutnya berkibar-kibar merah. Dan ia masih ingat kalimat apa yang pertama kali keluar dari mulut Jane saat menuruni tangga pesawat. “Ini benar-benar luar biasa. Seperti di surga…”

Malam kian larut. Dingin memeluk. Ia tak kuasa menahan kantuk. Tertidur dalam posisi duduk. Sementara jalan raya mulai lengang. Hanya gelap membentang. Hanya sunyi meradang. Tak terdengar lagi deru panser memburu setiap kerumunan orang. Atau sirene meraung-raung memekakkan gendang telinga.
***

IA BARU bangun saat cahaya matahari menampar mukanya lewat celah atap rumah yang bolong. Matanya mengerjat silau. Wajahnya berkelopak hangat. Ia menggeliat resah, menggosok-gosok mata, meraba sekujur tubuhnya, sekadar memastikan bahwa semalam para serdadu itu tidak memergoki dirinya lalu memperkosa. Tidak. Pakaiannya masih tertutup rapat meski sedikit kusut lesai. Juga tas ransel warna abu-abu masih teronggok di lantai.

Ia berdiri ingin meninggalkan rumah itu. Tapi pada saat bersamaan terdengar derap langkah kaki puluhan orang mendekat. Semakin dekat. Ia menggigil merapat tembok. Ia tahu siapa pemilik derap langkah kaki itu. Dan telinganya masih cukup jernih untuk menangkap percakapan-percakapan itu.

“Kemarin ia masuk ke dalam rumah ini. Menurut Sertu Tumijo dan Serka Ngadirin sampai pagi ini belum keluar.”

“Belum keluar?”

“Ya. Mungkin tertidur di dalam. Atau…”

“Kenapa ?”

“Mungkin ia sekarat atau malah sudah mati. Sebab Lettu Koprik sangat yakin bahwa ayunan tongkatnya masih cukup keras meski sudah tiga bulan tidak bertugas karena indisipliner; mengganggu istri orang. Hanya Lettu Koprik kurang begitu yakin apakah ia yang masuk ke dalam rumah ini.”

“Apakah ia membawa kamera?”

“Tidak hanya kamera tapi juga tape kecil dan buku catatan.”

“Laki-laki?”

“Bukan. Perempuan.”

Ia gemetar mendengar percakapan itu. Mendadak wajahnya pucat seperti mayat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lututnya bergetar bagai ada gempa. Langit runtuh menimpa kepalanya. Tanpa pikir panjang ia meraih tas ransel lalu lari lewat pintu belakang. Tapi sial, sebutir peluru lebih cepat melesat dari sebuah moncong senapan menembus tengkuknya. Tubuhnya terhempas menghantam tembok lalu roboh bersimbah darah…
***

“Mereka hanya berkumpul dan berdoa, tapi kenapa kalian pukul dan tembak? Mereka mengutuk segala macam bentuk terorisme sekaligus mengutuk segala macam bentuk penyerangan terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Apa salahnya?” Tulisnya pada selembar kertas yang tercecer di jalan raya. “Sedang aku, kenapa terus kalian buru? Padahal aku cuma seorang wartawati bergaji rendah dari sebuah koran daerah yang ingin ikut andil mencatat sejarah…”

Seorang pemulung menemukan catatan itu. Mula-mula hanya ditumpuk bersama barang-barang rongsokan yang akan dijual ke tukang loak. Tapi beberapa hari kemudian entah kenapa tiba-tiba ia memendam hasrat ingin mengirimkan catatan yang sudah lusuh itu pada Ibu Presiden. Pemulung itu yakin Ibu Presiden dengan legawa pasti akan menerima dan membaca catatan itu sebagaimana dari dulu ia sangat yakin dengan pilihan tanda gambar untuk Ibu Presiden tercinta. Tetapi sebelumnya ia akan menjual barang-barang rongsokan lainnya terlebih dulu untuk beli prangko dan amplop.

Mudah-mudahan tidak lupa…

Kulonprogo, 2001-2002

Tawur

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Luruh Indon memerah ketika tersulut kobaran amarah purba. Orang-orang sibuk mengamati. Menunggu sepasukan bala gempur dikeluarkan dari barak kelurahan. Para orang tua memandang udara dengan mengambang. Mereka masih ingat bagaimana dulu panji-panji dikeluarkan. Diarak-arak ke alun-alun untuk mendengarkan semangat tutur Lurah pertama yang diangkat sebagai raja pertama.

Di tengah ramainya kemarahan itu, Dhimas Gathuk menemukan Kakangnya di halaman belakang sedang membelah bambu kering. Dhimas Gathuk tersenyum lalu secepatnya datang membantu. Dia teringat untuk membenahi pagar rumah yang lapuk. Seringkali, dia menemukan tetangga lewat pagar rapuh itu. Dhimas Gathuk betapa jengkelnya, saat si tetangga yang lewat sering tanpa aturan sampai merusakkan mawar yang di dekat sana. Kini, Kangmas Gothak membelahi bambu. Membuat hati Dhimas Gathuk senang.

Berlajur-lajur bambu Dhimas Gathuk angkati dari kebun sebelah. Kebun Dalem Gothak-Gathuk yang lain. Kangmas Gothak tertawa melihat kedatangan adiknya yang membawa bambu kering di atas pundak.

“Ah, kamu pengertian, Dhi!” Kangmas Gothak tertawa renyah dan adiknya hanya tersenyum kecil sambil menahan berat.

“Hehehehehe.. semua demi kepentingan bersama, Kang!” Dhimas Gathuk melemparkan bambu-bambu kering dari bahunya, “Musti bersama-sama. Biar ringan.”

Kangmas Gothak menganggukkan kepala. Pandangannya terpaku pada adiknya yang telah berbalik untuk mengambil bambu lagi.

“Dua cukup!” teriak Kangmas Gothak yang melesat.

Dhimas Gathuk tersenyum sendirian. Terus melanglah dan menggeleng saja, “Dua cukup. Hehehehe mah iklan KB, Kang, Kang!”

Tidak lama, Dhimas Gathuk sudah kembali memanggul dua bambu panjang. Melemparkan kembali lalu duduk. Kelelahan sambil menyaksikan Kakangnya membelah bambu-bambu itu. Betapa Dhimas Gathuk kaget, menemukan bambu terbelah kecil. Langsing, kurang dari satu meter.

“Lho, Lho.. Kang, Lha ini mau dibuat apa?” Dhimas Gathuk mengangkat beberapa yang terbelah.

Kangmas Gothak melongo. Adiknya menunjukkan bambu itu ke mukanya.

“Ini buat apa, Kang? Masak iya, pagarnya mau dihias juga?”

Kangmas Gothak masih melongo. Dia tidak tahu masalah pagar. Apalagi hiasan pagar.

“Lha, pagar apa, Dhi?”

“Pagar samping itu, Kang. Aku jengkel. Mentang-mentang pagarnya rusak mah dijadikan jalan. Eh, lewatnya gak pakai aturan. Seenaknya sendiri.”

“Siapa yang mau buat pagar, Dhi?”

“Kakang?”

Tawa Kangmas Gothak pecah. Membelah heningnya halaman yang luas. Sampai daun-daunan pohon pisang dan rambutan bergetar.

“Walah, Dhi, Dhi. Siapa tho, yang mau buat pagar.”

“Lha, Kakang mau buat apa?” Dhimas Gathuk mengambil yang lain yang berukuran lebih panjang dan besar.

“Hehehehehe,, bukan pagar, Dhi. Apa kamu tidak tahu kalau kita sedang dalam bahaya?”

“Hah?”

“Desa kita ini ditantang tawuran sama kelurahan sebelah. Ini buat jaga-jaga saja. Mau buat panah. Buat siap-siap kalau tawuran meletus.”

Dhimas Gathuk masih diam. Memandangi Kakangnya yang disibukkan dengan bambu.

“Idealnya musti dibuat dari kayu, Dhi. Tapi daripada repot-repot mending pakai ini saja. Toh, tidak ada rotan, akar pun jadi. Bener to?”

Dhimas Gathuk masih saja tidak mengerti. Dia pikir, Kakangnya sudah gila. Kalau memang benar meletus tawuran masal itu, sudah tidak zamannya lagi pakai panah.

“Yang ini buat tombak, Dhi!” ucap Kangmas Gothak bangga sambil mengangkat yang lain.

“Hahahahahaha….” Dhimas Gathuk tertawa.

Tawa itu meledak menembusi langit yang muram karena sedikit mendung. Lalu angin bertiup sedikit nakal. Menggoda dua manusia yang saling bertatapan.

“Kenapa, Dhi?”

“Kang, kok aneh tho?? Sekarang itu zaman nuklir, kok Kakang buat tombak sama panah. Hahahahaha……”

“Lha, kamu tidak ngerti, Dhi. Makanya tertawa. Masalah yang sebenarnya itu kompleks. Sangat kompleks.” Kangmas Gothak terdiam beberapa saat lalu mengangkat pandangan pada adiknya. “Kita ini kelurahan besar, sedangkan Kelurahan Maling itu kecil. Kalau mau habis-habisan, mereka pasti kalah. Tapi, di wilayah lain, kelurahan ini dimiskinkan sampai rakyat ikut miskin. Kemarin sempat ibu-ibu bunuh diri gara-gara hutang dua puluh ribu. Bagaimana kelurahan ini akan tawuran dengan tenang?”

Dhimas Gathuk menganggukkan kepala. “Tidak lantas pakai tombak dan panah, Kang. Kita pasti kalah!”

“Walah, Dhi, kelurahan ini pernah menang dengan senjata seperti ini. Selama niat di dalam dada suci, kemenangan pasti di pihak kita. Tidak boleh gentar menghadapi musuh.”

“Lha, Pak Lurah Beye saja mah surat-suratan, Kang. Kita belum siap. Jelas tidak siap.”

“Ah, Dhi, jangan pengecut. Andaisaja semua orang cinta tanah airnya, dengan apa pun kita akan menang.”

“Sudah, Kang. Lebih baik sekarang aku buat pagar saja.” Dhimas Gathuk berdiri, “Kalau sudah dipagari rapat kan aman. Dari pencuri dan perusak. Sekarang aku harus tegas, masak tak biarkan saja halaman ku diinjak-injak orang!”

Dhimas Gathuk berlalu sementara Kangmas Gothak memandangi. Dia baru membicarakan nasib kelurahan yang mau tawur. Adiknya justru sibuk dengan pagar yang rusak. Kangmas Gothak menggelengkan kepala dibarengi buangan nafas berat.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 02 September 2010

Cermin

Agus B. Harianto
http://www.sastra-indonesia.com/

Cermin itu telah retak. Retakannya membentuk garis tak beraturan. Layaknya pantulan petir menyambar pepohonan. Sebuah garis tak beraturan memisahkan dua sisi retakannya. Dari pojok kanan atas. Memecah keutuhan cermin hingga kiri bawah. Tak ayal lagi, bias sebelah kanan menjadi lebih tinggi. Cermin itu layak tak terpakai. Seharusnya dibuang. Untuk mengaca pun, cermin itu terasa kurang pas. Apalagi mengamati pantulan kekurangan riasan diri.

Cermin itu kubeli tiga bulan lalu. Tukang loakan yang kebetulan lewat membawanya. Tawar menawar pun terjadi. Hasil akhir dicapai. Sebuah cermin untuk menghiasi kamar. Pelengkap ruangan tempat melihat-lihat diri. Dan kala ingin keluar, tiada lagi perasaan kekurangan dengan dandanan.

Aku melangkah tergopoh melawan kejamnya waktu. Tak pernah kudapati ia mau berhenti dan tak pernah dapat mengerti. Terlambat bangun adalah kebiasaan yang tak mampu kupatahkan begitu saja. Saat begadang semalaman menjadi idaman semenjak sore. Berkejaran dengan jadwal jam masuk kerja menjadikanku terbatah melawan kantuk. Kamar tempatku ngekos menjadi mau memahami. Kepanikan sebagai akibat keterlambatan bangun pagi. Dua kamar terpisah seakan telah hafal dengan peristiwa yang jarang terjadi, bangun telat. Dapat ditengarai. Hampir setiap jum’at pagi, hal ini terjadi. Gedubrak barang-barang. Langkah tergesa ataupun senggolan tangan menjadi penyebab. Jatuh dari tempatnya semula atau terguling menjadi akrab pada telinga sekitar. Tawa kawan-kawan sekitar tak bisa menyurutkan kepanikanku.

Aku mandi sekenanya. Air yang membatasi dirinya mengalir pelan. Hingga tak menetes setitik pun. Kuguyurkan sedikit pada kepalaku. Otakku masih terasa penat dengan diskusi semalam. Keesaan dan pengesaan Tuhan. Pening kepalaku memikirkannya.

Senyum-senyum kecut kulewati. Tampang-tampang menertawakan kulalui. Wajah-wajah sok usil tak kuhiraukan. Mereka hanya berniat menggoda dan mengendurkan semangatku mencumbui kehidupan yang keras. What the hell! Aku tak perduli. Aku mainkan saja peran sok penting. Sok sibuk. Dalam benakku hanyalah jam masuk kantor yang terus meneror.

Kamar kontrakan yang tidak begitu luas dapat menghemat gerakku. Tiga kali empat merupakan ukuran umum di Ciputat. Sebuah pintu menghadap ke utara menjadikannya terhindar dari panas menyengat. Kala liburan dan ingin istirahat dari penat pekerjaan. Kaca bening dan jendela krepyak di sebelahnya membuatku dapat melihat keluar dengan leluasa. Hanya dengan menyibakkan sedikit kelambu usang yang menempel padanya.

Lemari plastik yang terpampang di balik pintu adalah perkakas yang kubeli dengan cicilan. Buku-buku tertumpuk rapi menyebelahi lemari itu, hampir semuanya pernah terbaca. Di sisi satunya dari lemari itu, sebuah kardus yang terisi pakaian kotor yang kerapiannya melebihi ombak lautan. Tiga inchi dari buku-buku itu kasur kecil, tempatku meregangkan penat, terburai tak sedap dipandang mata. Dan, di sebelah pintu bagian dalam kugantungkan cermin yang retak tersebut. Jika pagiku longgar, seringkali aku memandangi cermin itu. Ataukah memandangi diriku sendiri dalam cermin?

Semenjak cermin itu tergantung di sana, dan jika pintu terbuka, selalu saja ada yang memanfaatkannya. Aku sendiri memakainya sebelum berangkat kerja, ataupun kawan-kawan sekitar.Walaupun murah dan kubeli dari tukang loakan, ia tak pernah sepi dari kegunaannya. Ia tak pernah lepas dari bayangan wajah orang-orang sekitar.

Seragam kerja telah terpakai di badan. Kesiapan kerja untuk hari jum’at ini telah di tangan. Tinggal kunci motor dan berangkat. Seperti biasa, aku pun berdiri mematung. Diam sebentar sebagai pelaksanaan pemasrahan diri dan doa sebelum berangkat. Sebagaimana pesan kedua orangtuaku. Berdoa sebelum melaksanakan segala sesuatu.

Tawa anak kosan yang lain beriringan melaju ke areal parkir. Deru suara motor dipanasi telah terdengar. Bersaingan. Berselingan dengan canda dan obrolan ringan tentang demo kemarin. Anak-anak kampus mengusut korupsi. Jalanan macet. Suara-suara jahil anak majikan merasa berisik. Sayup-sayup terdengar ke telingaku. Mengalun lamban untuk akhirnya hilang di telan angin pagi. Menguap musnah dipanggang hangat mentari pagi.

Sejak tiga bulan lalu, kunci motor aku gantung di bawah cermin itu. Untuk kemudahan dan kecepatan. Bercermin sebentar sambil meraih kunci dan pergi. Dengan sigap, aku pun melangkah ke depan cermin. Maksud hati meraih kunci dan helm di atasnya. Mengamati dandanan dan membenahi yang kurang sedap dipandang.

Aku tersentak kaget. Kulihat gerakanku tidaklah demikian. Tiba-tiba cermin itu memantulkan bayangan yang gerakannya berbeda sedikit dengan gerakanku. Otakku berputar cepat. Analisa masalah sedang berlangsung. Sambil. Mataku terus menatap cermin retak itu. Kugerakkan sedikit lain tanganku kini.

Cermin itu retak memanjang. Tentunya bayangan sebelah kanan lebih tinggi. Hanya aku yang berada di depan cermin. Dan pastinya segala macam gerakan yang ada di dalam sana akan sama dengan gerakan yang kubuat. Tetapi kenapa tangan yang ada dalam cermin itu bergerak berbeda?

Tanganku sebelah kanan kugerakkan menyamping. Tangan kiri tergerai memegang kunci. Sedangkan tangan-tangan yang ada dalam cermin itu bersilang di depan dada. Ia membentuk silangan pertapa. Tak ayal lagi, aku bingung. Kacau otakku memikirkannya.

Istirahatku kurang. Mataku belum terpejam cukup. Perih. Berkaca-kaca. Benakku berusaha keras menelaah kejadian itu. Kupejamkan mata dan kubuka kembali berulang-ulang. Kedipannya tak terhitung lagi. Sembari kugerakkan kepala memahami yang sedang terjadi. Tetap saja gerakan dalam cermin itu tidak juga sesuai dengan gerakanku.

Kubuka mulutku. Ia tidak menirukannya. Kupegang hidungku. Ia masih mematung. Matanya melotot menatapku. Nanar. Jalang. Tetapi, kepasrahan dan penuh pengharapan dapat kurasakan dari tatapan mata itu.

Kutelisik wajahnya. Ia sama mirip dengan gambar wajahku yang kuhapal dari foto-fotoku. Codetan memanjang di pipi sebelah kiri pun terbentang di wajah itu juga. Buru-buru aku memegangnya. Ia tetap mematung. Bagai pertapa-pertapa yang tidak mendapatkan gizi berbulan-bulan. Namun kini matanya memejam. Mulutnya berkomat-kamit. Entah yang ia gumamkan.

“Hei, kamu!” teriakku pada bayangan di cermin itu.

Mendengar teriakanku, bayangan manusia dalam cermin itu membuka matanya. Mulutnya tidak lagi berkomat-kamit. Mata itu sendu menatapku. Rasa memelas dapat kutengarai darinya. Tangannya tetap bersilang di depan dada.

“Iya, Baginda!”
“Siapa kamu?”
“Saya adalah engkau, Baginda!”

Aku semakin bingung dengan suaranya. Jawabnya. Cermin bisa bicara? Apakah ini hanya mimpi? Kucubit pipiku. Sakit dapat kurasakan dari bekasnya. Bayangan itu masih menatapku sayu. Mulutnya bungkam. Wajahnya menyiratkan penantian. Kuputar otakku keras. Aku tak percaya fenomena di hadapanku.

Aku menoleh ke belakang. Harapanku akan orang lain yang mirip diriku berada di belakangku berdiri. Sedang ingin bercanda denganku. Seperti saat-saat istirahat sore sepulang kerja dengan kawan sekosan. Mataku mulai menyapu sekeliling kamar kosan. Tak seorang pun. Kosong. Hamparan tembok beku masih berdiri kokoh di belakangku. Bersih dari tempelan gambar. Kasur kecil berserak di dasar tembok itu.

Jam dinding tergantung menempel di tembok samping kanan. Dapat kulihat pula ia di dalam cermin itu. Detakannya terdengar miris. Aku beringsrut dari tempatku semula. Mundur selangkah. Bulu kudukku semakin tidak sabar untuk berdiri. Satu persatu mereka berkejaran untuk berdiri. Hingga puncak ubun-ubunku. Terkesiap aku dibuatnya. Merinding.

Kutatap lagi cermin itu dalam-dalam. Retakannya masih sama. bayangan yang ada di dalamnya masih membisu. Kini, matanya mengamati gerak-gerikku. Ia menelisik setiap lekuk tubuhku. Tiap helai rambutku. Aku merasa ditelanjangi.

“Siapa kamu sebenarnya?”
“Maaf, Baginda! Saya adalah engkau!”
“Jadi benar! Kamu adalah aku?”
“Benar Baginda!”
“Kalau kamu adalah aku, maka seharusnya aku adalah kamu!”
“Benar, Baginda!”
“Tapi kenapa kamu tidak mengikuti setiap gerakanku?”

Suasana lengang. Seperti biasa, jam masuk kerja. Kawan-kawan pasti sudah berangkat. Deru motor tiada lagi kudengar. Kota metropolitan ini membuat kami harus berjuang keras melawan kejamnya waktu. Tinggal caci maki ibu-ibu pada anak-anaknya, yang sebentar kemudian menghilang. Sepoi panas angin Jakarta menelusuk celah-celah bangunan.

Bayangan dalam cermin itu diam. Ia tiada menjawab pertanyaanku. Kesunyian pagi sungguh terasa. Kutajamkan telingaku. Barangkali ada langkah datang, setelah aku membentak keras pada bayangan dalam cermin itu. Tak satu pun. Sunyi. Tik-tak jam dinding ikut hanyut dalam kesunyian.

“Baiklah! Jika kamu adalah aku, aku ingin menanyakan suatu hal! Jikalau aku berkata ‘A’, maka seharusnya kamu pun berkata ‘A’. Jika aku mengangkat tangan kiriku, seharusnyalah kamu juga mengangkat tangan kirimu. Apakah karena kamu berhadapan denganku sekarang, yang itu berarti kiriku adala kananmu, hingga kamu tidak mau mengangkatnya dan hanya menyilangkannya? Dan, itu berarti kamu bukanlah aku!”

Bayangan dalam cermin itu masih diam. Malah, ia kini duduk bersila. Seperti pertapa-pertapa kesepian di atas garis-garis keramik yang terpantul dari lantai kamarku. Matanya terpejam, seakan tidak menghiraukanku. Aku mengernyitkan dahiku. Harapan hati dapat memahami yang sedang ia lakukan. Tapi, bagaimana aku bisa memahaminya tanpa sepatah kata pun darinya?

Otakku terhenyak dalam keheranan. Wajahnya adalah wajahku. Tubuhnya adalah tubuhku. Segala yang aku kenakan ia memakainya juga. Tetapi kenapa segalanya berbeda dengan semua yang aku kehendaki? Gontai aku berjalan mendekat kembali. Kuamati sekali lagi. Dari ujung rambut hingga lutut-lutut yang bersila itu. Semuanya sama persis dengan diriku. Hmmm!

“Baiklah akan kucoba menuruti kemauanmu. Kamu ada karena aku, namun aku ada bukan karena kamu. Dengan membelakangi dirimu, akankah kamu bertindak seperti yang kuperintahkan? Dengan membelakangi dirimu berarti sisi kananmu adalah sisi kananku juga. Lantas bagaimana aku dapat mengawasi kamu melaksanakan apa yang kuperintahkan dengan membelakangi dirimu?”

Ia tetap membisu. Mulutnya berkomat-kamit yang tidak bisa aku baca. Matanya terkatup rapat. Tangannya masih menyilang di depan dada. Wajahnya memancarkan keseriusan. Tiada gerak lain yang aku temukan. Kecuali dadanya yang menahan nafas keluar masuk.

Aku semakin tidak mengerti. Aku asyik mengamatinya. Tiba-tiba saja muncul dalam cermin itu. Bayangan-bayangan lain dalam sikap posisi yang sama. Satu persatu mereka bermunculan. Sepuluh. Seratus. Seribu. Jutaan. Milyaran. Hingga berjubel tak terhitung lagi. Dan suara-suara lantang menggemuruhkan telingaku. Suara-suara itu berbunyi sama.

“Aku adalah engkau!”
“Aku adalah engkau!”

Aku tersentak. Mataku liar memperhatikan mereka . Mulut-mulut itu meneriakkan yel-yel yang sama. “Aku adalah engkau!” Benakku semakin bingung. Dan, tanpa kusadari, tanganku meraih helm di atas cermin itu. Pyarrr!

Kamis, 16 September 2010

Krisis Kepenyairan Kita

Ribut Wijoto
http://www.sastra-indonesia.com/

Dalam rentang sepuluh tahun terakhir, telah terjadi krisis kepenyairan di tanah air kita. Banyak sekali bentuk-bentuk puisi yang sebelumnya pernah berkembang, kini, mengalami kemacetan. Padahal bila dikembangkan, bentuk-bentuk puisi itu akan menemukan kemantangannya yang baru.

Pertama, bentuk puisi balada seperti yang dikembangkan WS Rendra. Kedua, bentuk puisi mantra seperti yang dikembangkan Sutardji Calzoum Bachri. Ketiga, bentuk puisi lugas tetapi mengandung filosofi mendalam seperti yang dikembangkan Subagio Sastrowardoyo. Keempat, bentuk puisi kosmopolitan seperti yang dikembangkan Afrizal Malna. Kelima, bentuk sufi seperti yang dikembangkan Abdul Hadi WM. Keenam, bentuk puisi protes sosial seperti yang dikembangkan Wiji Thukul. Ketujuh, bentuk puisi mbeling seperti yang dikembangkan Remy Sylado. Sungguh disayangkan, tidak ada penyair tanah air kita yang secara intens mengembangkan ketujuh bentuk puisi itu.

Kita semua tahu, bentuk puisi bukanlah sekadar permainan wujud puisi alias otak-atik bahasa. Bentuk puisi juga merepresentasikan penilaian atas realitas dan sikap kepenyairan. Lebih jelas lagi, bentuk puisi mengemban adanya tradisi. Masing-masing bentuk puisi memiliki kesejaharannya tersendiri. Memiliki kewenangan dan tugas yang tidak terakomodasi oleh bentuk puisi lain. Lebih jauh lagi, masing-masing bentuk puisi memiliki “kitab-kitab” yang berseberangan.

Penyair WS Rendra ketika mengungkapkan greget kepenyairannya melalui bentuk puisi balada, dia belajar pada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca (1898-1936). Upaya ini sangat rasional, bentuk puisi balada memang pernah memuncak pada puisi Lorca. Justru tanpa belajar pada Lorca, Rendra bisa dituduh tidak berpijak pada tradisi puisi balada. Atas proses kreatif ini, Subagio Sasrowardoyo secara apik menuliskannya dalam esai “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca” (1974).

Rendra tidak hanya meniru puisi, dia sampai menapak-tilasi gaya hidup bohemian Lorca. Tradisi dari Lorca ini dipadukan dengan kepiawaian Rendra mengolah kisah-kisah tokoh fenomenal dari babad maupun serat Jawa. Kadang-kadang dipadukan pula dengan tokoh dalam foklor atau cerita rakyat. Hasilnya sangat mengagumkan. Kepada masyarakat Indonesia, Rendra mampu mempersembahkan puisi-puisi yang tersaji dalam kumpulan Ballada Orang-Orang Tertjinta (1957), Blues untuk Bonnie (1971), dan Sadjak-sadjak Sepatu Tua (1972).

Berpijak pada ranah yang berbeda, Sutardi Calzoum Bachri mengusung bentuk puisi mantra. Untuk kematangan bentuk puisinya, Sutardji mengaku belajar tradisi puisi Arthur Rimbaud dari Prancis. Lebih dari itu, tokoh yang kerap menyebut dirinya “presiden penyair Indonesia” ini juga meneguk daya magis mantra-mantra kuno yang melimpah ruah di bumi Nusantara.

Pilihan bentuk puisi penyair berdarah Melayu Riau ini ditegaskan melalui kredo, “Menulis puisi bagi saya ialah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra”. Kredo ini mengalir deras melalui puisi-puisi yang terkumpul dalam O (1973) dan Amuk (1977).

Sutardji tidak hanya mengusung mantra dalam puisi. Dia juga belajar membaca puisi dengan gaya pawang. Hasilnya Sutardji mampu memukau penonton melalui pembacaan yang penuh daya magis. Begitulah, Sutadji secara total memperjuangkan bentuk mantra dalam kazanah kepenyairan di tanah air. Sebuah perjuangan yang terancam sia-sia karena tidak dikembangkan para penyair terkini.

Eksplorasi pola sintaktik puisi tidak “aneh-aneh” dikembangkan oleh penyair Subagio Sastrowardoyo. Bentuk puisinya sangat lugas. Di balik kelugasannya, ada kedalaman muatan filosofi. Subagio seperti menunjukkan kepada khalayak riuh, menulis puisi tidak harus dengan jungkir-balik bahasa. Puisi justru berharga dengan kesederhaannya. Penyair kelahiran 1924 ini memang berhasil menurunkan beragam kerumitan pemikiran filsafat ke dalam ilustrasi keseharian. Sekali lagi, puisi dengan memakai bahasa keseharian.

Subagio secara sabar memungut tema-tema, pralambang, motif-motif, maupun ajaran filosofi Jawa. Memadukannya dengan beragam wacana lain. Semisal wacana Islam, Kristen, Hindu, Budha, sampai pada filsafat Barat. Kesemuanya diperas dan disaring untuk membicarakan kesepian, cinta jasmaniah, teka-teki kematian, nasib yang tidak menentu.

Bentuk puisi lugas dengan filosofi mendalam, sekarang ini, tampaknya benar-benar kesepian di tengah gegap gempita puisi yang mengedepankan kerumitan metafor. Padahal, kebersahajaan puisilah yang merawat harmonisasi antara bahasa puisi dengan bahasa masyarakat. Artinya, penyair mengkerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana.

Tapi memang, pengungkapan sederhana bukan satu-satunya kebenaran dalam puisi. Awal tahun 1980-an, tradisi puisi Indonesia seperti mendapat “tabrakan” keras dari Afrizal Malna. Secara total, penyair yang juga menulis naskah untuk pementasan Teater SAE ini mengabarkan wacara antroposentrisme berbelah. Sebuah penilaian bahwa modernisasi telah melontarkan manusia dalam krisis identitas. Manusia tidak lagi mampu menguasai jati dirinya. Identitas manusia tergantikan dengan jati diri benda-benda hasil ciptaannya sendiri. Afizal berhasil mengadopsi beragam pemikiran postmoderisme ke dalam puisi Indonesia.

Kontribusi Afrizal sangat kentara. Berbagai diksi (pilihan kata) yang semula “seakan” haram masuk puisi Indonesia tiba-tiba bebas “bersliweran”. Misalnya diksi semacam radio, televisi, supermarket, Mc Donald, kolonialisme, dan lain-lain. Kesemuanya memuncak dalam kumpulan puisinya Arsitektur Hujan (1995). Sebuah gerakan puisi yang menghasilkan bejibun “Afrizalian”. Tapi sayang, Afrizal kini kesepian dengan bentuk puisi kosmopolitannya. Sekian banyak penyair yang meniru bentuk puisinya sedikit demi sedikit berguguran. Afrizal memang masih meneruskan tradisi puisinya, hanya saja, pencapaiannya pun menunjukkan grafik menurun. Bandingkan saja pencapaian puisi-puisi Arsitektur Hujan dengan kumpulan puisi Kalung dari Teman (1998), Dalam Rahim Ibu Tak Ada Anjing (2003), dan Teman-Temanku dari Atap Bahasa (2008).

Tradisi puisi sufi Indonesia berutang jasa kepada penyair Abdul Hadi WM. Dialah gambaran penyair yang memiliki ketekunan luar biasa untuk menjabarkan pemikiran teologi para penyair sufi. Baik dari penyair tanah air maupun penyair luar negeri. Melalui seruan “kembali ke akar”, penyair berdarah Cina-Madura kelahiran Sumenep 1946 ini mengajak penyair terkini untuk mengaji lagi warisan dan spirit sastra lama di Nusantara. Khususnya yang bermuatan teologi. Tidak hanya mendedahkan wacana, Abdul Hadi juga menghasilan ribuan karya puisi bertema kesufian.

Saat ini, masih banyak penyair yang menulis puisi bertema sufi. Utamanya penyair berlatarbelakang sekolah agama atau pesantren. Sayangnya, perkembangan puisi sufi tidak memperlihatkan gejala yang menggembirakan. Puisi sufi seperti menghuni wilayah pinggiran. Tidak berani menunjukkan diri sebagai satu entitas penting dalam kazanah kepenyairan di tanah air. Sebetulnya, ada dua penyair yang berpotensi menghasilkan kematangan eksplorasi puisi sufi, yakni Jamad D Rahman dan Acep Zamzam Noor. Keduanya lahir dan besar dengan latarbelakang pesantren. Awal-awal puisinya pun berwatak kesufian. Hanya saja, lama kelamaan, puisi kedua penyair ini lebih mengarah pada pemikiran humanisme daripada pemikiran teologi.

Kalaulah ada penyair yang tewas (tidak diketahui rimbanya) karena menulis puisi, kasus ini menimpa Wiji Thukul. Dia adalah bekas buruh pabrik yang memperjuangkan ketimpangan sosial dan skandal politik melalui puisi. Satu penggalan puisi Wiji Tukul, “satu kata lawan” diteriakkan ribuan mahasiswa dalam unjukrasa menggulingkan rezim Soeharto. Sampai kini, penggalan itu masih kerap menggema dalam aksi-aksi massa.

Wiji Thukul menyadari betul lingkungan puitik puisi protes sosial. Puisi protes sosial tidak bisa sekadar ditulis lantas dikirimkan ke media massa. Puisi protes sosial harus diperjuangkan secara verbal. Memperjuangkan puisi protes sosial sama artinya memperjuangkan kandungan isinya. Bersama Arief Budiman, dia mendatangi para buruh pabrik, berdiskusi dengan mahasiswa, turun ke jalan, mengepung kantor pemerintahan, dan merangsek pertahanan polisi. Memang seperti itulah tuntutan puisi protes. Tanpa aktivitas sosial politik, makna puisi protes bakal kurang greget.

Beberapa penyair sekarang memang masih menulis bentuk puisi protes sosial. Tapi sayangnya, mereka lebih banyak mengurung diri di kamar. Padahal, saat menggulirkan kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi, Rendra pun dulu membacakannya di depan forum mahasiswa.

Nasib sedikit beruntung dialami bentuk puisi mbeling. Beberapa tahun lalu, bentuk ini dikembangkan oleh Joko Pinurbo. Melalui empat kumpulan puisinya, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), dan Telepon Genggam (2003), Joko Pinurbo meneruskan “keusilan-keusilan kecil” seperti yang pernah digulirkan oleh Remy Sylado dan kawan-kawan pada tahun 1970-an. Kontribusi Joko Pinurbo terletak pada gaya bahasa yang lebih santun dan filosofi pemikiran yang lebih terjaga.

Sayangnya, stamina Joko Pinurbo sepertinya mulai pudar. Usai penerbitan Telepon Genggam, dia kembali lagi pada bentuk-bentuk puisi yang konvensional. Sementara di luar Joko Pinurbo, tidak ada penyair yang secara intens mengembangkan bentuk puisi mbeling.

Penulis menilai, surutnya pengembangan ketujuh bentuk puisi ini sebagai tanda krisis kepenyairan di tanah air. Padahal bila masing-masing bentuk puisi itu dikembangkan, niscaya akan menemukan kematangannya tersendiri. Kematangan bentuk puisi mantra yang berpijak dari Sutardji. Balada yang lebih matang dari puisi karya Rendra. Syaratnya hanya satu, tekun. Penyair harus tekun belajar pada tradisi. Misalkan mengembangkan puisi sufi, seperti yang dilakukan Abdul Hadi WM, penyair harus tekun mempelajari beragam pemikiran melalui bermacam kitab para sufi. Melacak pencapaian puisi sufi mulai dari zaman Raja Ali Haji, suluk para Sunan, sampai puisi hasil karya penyair luar semacam Jalaluddin Rumi.

Mengapa krisis ini sampai terjadi? Ada banyak sebab yang bisa dijadikan alasan. Tetapi jawaban utama hanya dua. Pertama, penyair tanah air telah mulai kehilangan personalitasnya. Penyair ideal adalah sosok yang memiliki personalitas tinggi, kadang justru egois. Penyair ini tidak mau menulis puisi yang sama dengan penyair lain. Dia bersikukuh menciptakan bahasa tersendiri. Sayangnya, personalitas itu kian tipis. Akibatnya, penyair tanah air terpengaruh kode bahasa estetik yang dominan. Kedua, penyair tanah air malas belajar pada sejarah puisi. Mereka merasa bahwa puisi baru saja lahir sejarah sepuluh tahun terakhir. Tidak memahami fakta sejarah; puisi juga telah ditulis sejak 30 tahun lalu, 40 tahun lalu, bahkan ribuan tahun lalu. Akibat dari kemalasan ini, penyair tanah air tidak mengetahui adanya berbagai bentuk puisi yang telah pernah ada. Pengetahuan mereka hanya sebatas puisi-puisi yang ditulis dalam 10 tahun terakhir.

_____Surabaya, 2009
Sumber: http://id-id.facebook.com/people-index/RibutWijoto

Sastra dalam Basis Orientasi dan Komitmen Estetika Lokal*

Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/

WACANA desentralisasi komunitas sastra kembali menggemuruh pada awal tahun ini. Marwanto, Ketua Komunitas Lumbung Aksara Kulonprogo Yogyakarta membebernya dalam esei yang berjudul Temu Sastra Tiga Kota (Harian Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 2008) lalu. Sayang, cuatan pikiran Marwanto hanya sebatas paparan pemetaan sastrawan yang ada di tiga kota, yakni Yogya, Kulonprogo, dan Purworejo. Selebihnya, hanya menyinggung sedikit tentang kemungkinan potensi yang bisa dikembangkan dari kegairahan bersastra yang ada di kota-kota tersebut.

Dalam khazanah dinamika sastra Indonesia, wacana desentralisasi sudah terlalu sering muncul. Sekadar kilas-balik, yang fenomenal adalah perbincangan mengenai revitalisasi sastra pedalaman yang berhasil menembus pasar isu nasional pada era pertengahan 1990-an. Karena polemik yang berkembang pada masa itu, sejumlah sastrawan dan karya-karyanya yang bernilai “lokal” menjadi terdongkrak dan ikut mendominasi sirkulasi khazanah sastra nasional.

Dalam konteks ini, saya hanya ingin urun rembug, bagaimana seandainya dalam poros sastra tiga kota yang dibentuk Marwanto mempertimbangkan kemungkinan kematangan komitmen untuk lebih menggali kekayaan khazanah estetika lokal, terutama yang bercorak Kulonprogo atau Purworejo. Terus terang, sampai saat ini, saya belum melihat adanya upaya penggalian estetika warna lokal khas Kulonprogo atau Purworejo dalam karya sejumlah pengarang yang nota bene lahir dan tetap berdomisili di Kulonprogo atau Purworejo.

Sedikit perbandingan orientasi gerakan, sudah sejak lama ada Komunitas Penulis Sastra Kudus. Tapi, apakah karya yang dihasilkan ada komitmen khas eksplorasi warna lokal Kudus? Bukankah karya yang dihasilkan sama seperti halnya karya sastra “umum” lainnya? Bukankah kata Kudus hanya sebagai rujukan geografis tempat si penulis tinggal? Saya memang mengidealisasikan, wacana desentralisasi sastra yang kapan pun selalu aktual dicuatkan kembali tersebut diiringi dengan komitmen kuat untuk memperkaya karya khas warna lokal setempat. Hal ini, tentu saja, karena juga merupakan bagian dari peran yang bisa disumbangkan karya sastra dalam memotret zeit geist (jiwa zaman) pada kurun waktu tertentu. Sebagaimana serat-serat Jawa yang ditulis pada masa-masa tertentu, akan menjadi tengokan literatur yang sangat berharga bagi pembaca atau peneliti ratusan tahun setelah serat itu ditulis. Dengan kata lain, ada dokumen otentik perihal situasi sosiologis dan antropologis tertentu karena karya sastra mengabadikannya.

Di ranah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, saya melihat hanya Kabupaten Bantul yang pernah membikin gebrakan dengan Lomba Fiksi Sosial warna lokal Bantul berskala nasional pada 2005 lalu dan akhirnya mempopulerkan novel Menuju Bantul karya Sunardian Wirodono yang betul-betul sahih memotret situasi sosiologis dan antropologis Kabupaten Bantul, baik dari sisi kesejarahan atau apa pun. Bayangkan saja, pada setiap bab dalam novel yang sudah diterbitkan Penerbit Sultan Agung itu berisi nama-nama kecamatan yang ada di Bantul. Bagaimana jika spirit penciptaan karya berbasis kekuatan warna lokal ini diikuti oleh Kabupaten Sleman, Gunung Kidul, dan Kulonprogo, misalnya? Bukankah akan semakin kaya dokumentasi sosiologis dan antropologis warna lokal setempat dalam bentuk literatur karya sastra?
***

DESENTRALISASI gerakan kesusastraan yang ada di Indonesia, secara umum, selain kurang matang pada aspek orientasi dan komitmen pada estetika lokalnya, adalah pada basis apresiator. Soal kemungkinan keberjamakan apresiator ini, menurut saya bisa dibangun dengan adanya komunitas pembaca sastra yang ada di sekolah-sekolah setempat. Mungkin saja sosialisasi programnya bisa bekerja sama dengan perpustakaan daerah setempat atau langsung menembus ke sekolah-sekolah. Bayangkan, jika dari tingkat SD, SMP, sampai SMU dibentuk komunitas pembaca sastra di sekolah-sekolah, bukankah sosialisasi karya sastra warna lokal setempat juga mendapatkan komunitas pembaca yang signifikan? Tidak hanya berhenti sampai di sini, komunitas pembaca sastra ini juga bisa diarahkan menjadi segmen yang permanen dalam upaya distribusi karya sastra bercorak warna lokal menjadi lebih luas lagi. Saya percaya, gerakan yang kuat di daerah-daerah, sebetulnya juga akan “mengganggu” kemapanan “pusat-pusat sastra”, katakanlah dominasi dan hegemoni Jakarta. Buktinya, puisi-puisi khas warna lokal Bali mendapatkan tempat tersendiri dalam hitungan kualitatif dan malah dicari serta dijadikan rujukan oleh “pusat-pusat sastra” misalnya saja yang ada di Jakarta atau kota legitimasi eksistensi dan kualitas karya sastra lainnya.

Dengan kata lain, “gerakan separatis” dalam bersastra memang perlu lebih digairahkan lagi, sebagaimana gerakan komunitas petani atau nelayan di daerah tertentu yang karena peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu jadi bisa menguat sebagai gerakan alternatif dan mampu menggeser mainstream atau standarisasi kelayakan yang diberlakukan oleh legitimator yang ada di atasnya.

Sampai di sini, jujur saja, saya sendiri merasa gagal menciptakan idealisasi semacam itu. Karena sebagai penulis yang dilahirkan dan besar di Kecamatan Wates saya sempat alpa memotret realitas faktual dan fiksional yang ada dalam ranah sosiologis dan antropologis Kabupaten Kulonprogo. Dengan adanya poros gerakan sastra yang digagas Marwanto, pastilah bernilai membangunkan saya dari “tidur panjang” dalam kecenderungan menggumuli eksplorasi estetika yang non-Kulonprogo. Ah, andaikan setiap pengarang merasa terpanggil dan bertanya kepada dirinya sendiri, apa yang sudah disumbangkan dalam pengayaan estetika warna lokal daerahnya? Adakah yang sudah berarti yang ia sumbangkan dalam memperkuat gerakan separatis bersastra yang sangat luhur itu?

Memang, membangun paradigma pengarang yang berbasis warna lokal estetika daerah setempat adalah juga persoalan tersendiri. Betapa pengaruh globalisasi atau apa pun di luar diri pengarang cukup rentan, dan bisa saja membentuk selera estetik yang susah diarahkan ke dalam orientasi khas warna lokal daerah tertentu. Tetapi, bukankah setiap perjuangan harus selalu dicoba, seperti perjuangan menggeser paradigma estetik yang kini saya lakukan sebagai upaya penebusan dosa kultural yang telanjur mengerak. Aih, aih…. ***

*) koran Kedaulatan Rakyat.

Sebuah kompleks besar

SEKS, SASTRA, KITA
Kumpulan Esei Goenawan Mohamad
Penerbit Sinar Harapan,
Cetakan I, 1980, 173 halaman
Peresensi : Th. Sumartana
http://majalah.tempointeraktif.com/

SASTRA Indonesia modern lahir dari induknya yaitu nasionalisme. Ia lahir dan dibesarkan bersama dengan anak-anak nasionalisme yang banyak. Pendidikan, institusi keagamaan, kegiatan sosial, ideologi, birokrasi, partai politik dan lain sebagainya. Ia turut merasakan kesakitan beranak bagi lahirnya suatu bangsa. Ikut pula berpasang surut bersama dengan peri kehidupan bangsanya. Ia merupakan bagian integral revolusi suatu bangsa yang menerobos keluar dari kungkungan isolasi masyarakat sukunya dahulu, dan dari penindasan bangsa lain.

Jelas, bahwa para pendukung sastra Indonesia modern adalah species yang bernama homo Indonesiensis. Dan sebagaimana persoalan yang dihadapi oleh gerakan nasionalisme di Indonesia, maka sastra Indonesia modern pun berada di sebuah jalan simpang tiga. Yaitu internasionalisme, nasionalisme dan daerahisme.

Sejak akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 telah muncul elite pendidikan baru di Hindia Belanda. Dengan munculnya elite pendidikan ini turut terangkat pula bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual. Ia terangkat dari bahasa pasar dan bahasa administrasi pemerintahan.

Kontinyuitas Tahun 1917 berdirilah Balai Pustaka, lalu muncul Pujangga Baru, 1933, sebagai upaya memenuhi tuntutan baru. Lahir pula Angkatan 45 yang gegap gempita dengan semangat perang dan revolusi. Angkatan tahun 50-an merupakan reaksi yang ingin hidup realistis dengan soal pedesaan dan kedaerahan. Dan yang terakhir adalah Angkatan 66.

Kelima angkatan dalam sastra tersebut resah menjawab tantangannya sendiri dan sibuk berpolemik satu dengan yang lain. Seluruh watak, citra serta semangatnya tumbuh dalam pergolakan dan persoalan lingkungan masyarakatnya. Antara tahun 1933-1963 terjadilah pergulatan batin yang intens yang kesemuanya muncul dalam sastra Indonesia modern, baik dalam bentuk puisi, prosa maupun telaah sastra.

Ternyata sastra Indonesia modern adalah sebuah kompleks yang besar. Dan amat rumit. Sastra Indonesia tumbuh secara spontan bagaikan tumbuhnya kota-kota tanpa rencana. Tak ada cetak biru, tak ada pola, tak ada tata sastra yang merancang perkembangannya. Tak ada instansi penanggungjawab. Dalam keadaan semacam ini maka ia mirip dengan suasana sebuah slum besar. Dan publik sastra Indonesia hanyalah mengenal sastrawan mereka sebagai nomor-nomor karya yang terserak-serak. Masing-masing berdiri sendiri tanpa hubungan.

Dalam kompleks besar tersebut, salah satu fungsi esensial kumpulan esei Goenawan Mohamad ini, ialah bahwa ia bisa menjadi semacam buku penunjuk jalan tentang sastra Indonesia dan tentang karya seni pada umumnya. Dalam delapan eseinya Goenawan Mohamad mencoba menelaah hasil dan persoalan kesenian Indonesia dari sejarahnya masing-masing.

Apa yang ingin ia tunjukkan adalah kontinyuitas. Kesusastraan Indonesia mempunyai satu sumbu, garis sumbu itu bisa ditarik dari kenyataan kesenian di masyarakatnya. Empat esei pertama khusus bicara tentang sastra. Salah satu pokok yang menarik adalah upaya Goenawan untuk mengidentifikasikan para sastrawan dalam strata sosial masyarakatnya serta publik peminatanya.

Agak berbeda dengan para penelaah lainnya ia menunjuk bahwa produsen karya sastra di Indonesia adalah sekelompok orang yang dibesarkan, dan hidup, sebagai bagian dari lapisan sosial yang justru tidak aman dengan strata atas masyarakatnya. Tapi, sementara itu, juga bukan bagian dari tingkat yanng bawah. Pada mereka terdapat pelbagai ciri satu kelas menengah yang sedang bergerak — paling sedikit karena pendidikan, kalau tidak karena asal-usul.

Dengan identifikasi semacam ini Goenawan lalu menarik garis yang amat konsekuen hampir dalam sekujur tulisannya yang menelaah hasil, persoalan, serta kontinyuitas karya sastra Indonesia. Kelas Menengah Bawah Pada bagian lain ia menyebut, bahwa dunia sastra Indonesia adalah dunia 15% penduduk Indonesia. Ia adalah kesusastraan kota. Ciri khasnya adalah pembacanya yang terbatas. Kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan minoritas. Dan sastrawan Indonesia sebenarnya adalah ahli waris dari lingkungan kebudayaan yang belum sudah, yang bernama Indonesia, berada di antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang belum pasti.

Dengan deskripsi tersebut maka Goenawan dengan leluasa dan tegas berbicara tentang tema sastra Indonesia yang bercirikan keraguan, kebimbangan, keterpencilan, keresahan, pemberontakan, keterasingan, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut menjadi sah. Penjabaran semacam ini tentu memberi kesan seolah-olah para sastrawan tinggal dalam suatu kompleks ghetto kelas menengah bawah yang terisolasi dari dunianya.

Dengan kata lain, Goenawan terasa kurang bicara soal heterogenitas serta gerak mobilitas mereka sebagai seniman. Tapi lepas dari alasan-alasan filosofis tentang fungsi karya sastra, mungkin “penemuan” Goenawan tersebut di atas dapat pula merupakan semacam legitimasi sosial bagi fungsi karya sastra itu sendiri di tengah masyarakatnya.

Ia selalu bergerak sebagaimana subyeknya yang resah mempertanyakan persoalan masyarakatnya. Di situ ia mendapat kebebasannya sebagai ‘orang luar’ yang tak terhisab dalam masyarakat. Tulisan lain yang amat menarik adalah tentang penyair Amir Hamzah. Goenawan menempatkan Amir Hamzah dalam konflik kreatif di lingkungan masyarakat pada masanya. Demikian pula ditampilkan konflik spiritual yang mendalam dari Amir Hamzah sebagai penyair besar Indonesia. Ia muncul sebagai penyair yang penuh ragu, seorang yang sendu dan penyabar. Yang berpolemik secara mental dengan dirinya sendiri.

Goenawan Mohamad bukanlah seorang dari kelompok kritisi ‘pendidikan’, bukan pula pemikir sastra ‘perjuangan’. Dan Amir Hamzah bukan seorang penyair partisan. Membaca bagian ini terlintas kesan adanya pantulan-pantulan proyektif antara Goenawan Mohamad dan Amir Hamzah, setidak-tidaknya dalam sikap spiritual menghadapi persoalan zamannya.

Dalam artikel ‘Kesusastraan Indonesia dalam kebimbangan’ penutupnya berbunyi “Untuk apa berdebat dan berpolemik, jika segala pendirian adalah nisbi?” Pertanyaan tersebut mungkin untuk sebagian kita kedengaran ganjil. Sebab bukankah sesuatu yang nisbi justru mestinya tinggal dalam nisbahnya dengan yang lain? Atau adakah sastrawan yang sadar diri (self-conscius) dan sadar tentang kenisbiannya akan menjadi self-sufficient? nisbi tanpa nisbah? Manifes Kebudayaan.

Namun, ketika kita membaca renungan Goenawan tentang Amir Hamzah dapatlah kita pahami dengan terang kenapa ia sampai kepada pertanyaan yang ganjil semacam itu. Posisinya itu pula yang mungkin turut menyebabkan kupasannya tentang film Indonesia, nyaris menjadi semacam pembelaan — seperti yang ia lakukan terhadap kehidupan teater mutakhir di Indonesia.

Sebagai eksponen Manifes Kebudayaan banyak kita harapkan Goenawan membahas kehidupan sastra tahun 60-an, sewaktu terjadi polemik sengit antara kubu ‘realisme sosialis’ dan ‘humanisme universil’. Pada tahap ini agaknya jalan simpang tiga yang klasik di zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan tahun 50-an sudah habis ditelusuri.

Pilihan tidak lagi antara internasiolisme, nasionalisme dan daerahisme. Akan tetapi pilihan ideologis yang menjangkau seluruh persoalan itu secara seutuh-utuhnya. Goenawan mengatakan bahwa Manifes Kebudayaan bagi sejumlah besar mereka adalah suatu usaha untuk memecahkan dilema itu secara kurang lebih berhasil. Tanggung jawab pribadi dipulihkan. Diakuinya bahwa Manifes bersikap skeptis terhadap ideologi bahkan cenderung anti-ideologi.

Ekspresi literer yang mutakhir dari kecenderungan semacam ini berpuncak dalam kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri yang bukan hanya anti ideologi, akan tetapi bahkan anti ide dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Itulah potret terakhir yang kita dapat tentang sastrawan Indonesia.

Melayu, Puisi, Mantra

Jamal D Rahman*
http://cetak.kompas.com/

Usaha merevitalisasi kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung cukup marak, terutama di Riau. Berbagai kegiatan berkaitan dengan usaha menghidupkan atau menyemarakkan kembali kebudayaan Melayu kerap dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan kepada individu-individu yang memainkan peran tertentu dalam memajukan kebudayaan Melayu.

Semua itu jelas menunjukkan adanya kesadaran generasi Melayu kini akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkan juga memajukannya sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa silam.

Salah satu unsur penting dari kebudayaan Melayu tentu saja bahasa Melayu. Ini bukan saja karena bahasa Melayu sejak berabad-abad silam merupakan lingua franca di kawasan Nusantara, melainkan terutama juga karena corak atau watak yang memang inheren dalam bahasa Melayu itu sendiri. Dengan wataknya yang unik, bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai bahasa komunikasi dalam pergaulan sehari-hari di dunia Melayu dan kawasan Nusantara, tetapi juga berkembang menjadi bahasa yang kokoh sebagai alat ekspresi spiritual dan intelektual sehingga lingkup pengaruhnya melampaui wilayah geografis dunia Melayu itu sendiri.

Watak bahasa Melayu adalah terbuka, egaliter, dan praktis atau mudah digunakan. Tiga hal itu sangat cocok dengan kecenderungan atau orientasi masyarakat modern. Kemodernan adalah keterbukaan, kesamaan, dan kepraktisan. Keterbukaan bahasa Melayu menjadikan bahasa ini berkembang begitu kaya dan kokoh: ia menyerap berbagai bahasa asing berikut konsep-konsep modern dalam berbagai aspek kehidupan. Kiranya ia juga mendorong masyarakat menuju masyarakat terbuka dan toleran. Sementara itu, kesamaan atau egaliterianisme bahasa Melayu pastilah turut mendorong masyarakat berkembang menjadi masyarakat egaliter dan demokratis, baik menyangkut hak-hak ekonomi, politik, maupun budaya. Dalam pada itu, kepraktisan bahasa Melayu membuat bahasa ini memiliki daya guna maksimal, baik secara sosial, sastra, maupun keilmuan.

Dalam proses panjang pembentukan bahasa dan kebudayaan Melayu yang berlangsung khususnya sejak abad ke-17, Islam jelas memainkan peran sangat penting. Seiring dengan islamisasi yang berlangsung sangat efektif di kawasan ini, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk kebudayaan Melayu, yang tentu saja turut memperkaya khazanah kebudayaan setempat. Di samping bentuk puisi khas Melayu, seperti pantun, terus berkembang, kebudayaan Melayu selanjutnya diperkaya oleh bentuk puisi Arab yang kemudian dikenal dengan syair. Sementara itu, pemikiran Islam—bahkan sampai bentuknya yang paling muskil, spekulatif, dan kontroversial, seperti faham wahdatul wujud—mewarnai dunia intelektual Melayu setidaknya sejak abad ke-17. Transmisi ajaran dan pemikiran Islam serta berbagai polemik yang menyertainya, yang sangat marak di dunia Melayu sejak abad itu menunjukkan intensitas pergaulan intelektual dunia Melayu dengan dunia Islam secara luas. Dalam arti itulah Islam secara umum memberi isi pada kebudayaan Melayu. Dan, dengan cara itu, kebudayaan Melayu mewujud sebagai sebuah entitas kebudayaan yang kokoh.

Jika inti atau substansi dari agama adalah aspek kerohaniannya, Islam benar-benar diterima bukan saja pada aras formalnya, melainkan juga pada aras substansialnya, yakni aspek moral dan kerohaniannya. Demikianlah misalnya pemikiran atau ajaran Islam ditransmisi dan diajarkan kepada masyarakat luas, dan bersamaan dengan itu pemikiran dan praktik tarekat-kesufian dikembangkan pula di tengah masyarakat luas. Kita tahu, Raja Ali Haji, ulama dan pujangga kenamaan itu, adalah pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di Pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu pada abad ke-19. Melihat begitu maraknya kehidupan intelektual dan praktik kerohanian Islam di dunia Melayu, sumsum kebudayaan Melayu pada dasarnya adalah moralitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, yang antara lain—karena kuatnya pengaruh Islam di kawasan ini—secara formal terlembaga melalui praktik kesufian kelompok tarekat.

Turut memperkaya

Uraian di atas sama sekali tidak bermaksud menafikan sumber-sumber lain dalam proses pengayaan kebudayaan Melayu. Harus dikatakan bahwa beberapa kebudayaan dan agama lain juga hidup di kawasan Melayu dan tentulah turut memperkaya kebudayaan Melayu itu sendiri, seperti China, India, dan Persia. Dengan demikian, kebudayaan Melayu pada dasarnya bersifat jamak, dengan Islam sebagai arus utama yang sekaligus merupakan orientasi umum kebudayaannya. Hal ini merupakan konsekuensi yang wajar belaka dari pergaulan yang intens dan berlangsung lama antara dunia Melayu dan dunia Arab-Islam.

Ketika bahasa Melayu diterima sebagai bahasa Indonesia, ia telah mencapai tingkat kematangan yang cukup mengesankan. Ditambah dengan keinginan melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa pada awal abad ke-20 dan kemudian hasrat menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa modern pada paruh kedua abad itu, bahasa Indonesia adalah alat yang amat sejalan dengan semangat modernitas. Modernisasi Indonesia dengan demikian didukung oleh bahasa nasionalnya yang memang berwatak modern. Membawa serta watak bahasa Melayu yang terbuka, egaliter, dan praktis tidaklah mengherankan bahwa bahasa Indonesia dengan cepat berkembang menjadi bahasa modern. Ia segera menyerap bahasa etnis-etnis lain, menyerap juga bahasa negara-negara lain sehingga ia benar-benar mampu menjadi alat artikulasi modern.

Di bidang sastra kita tahu lahirlah sastra Indonesia modern, yang berbeda, baik bentuk maupun isinya dari sastra Melayu-Indonesia lama. Jika kemodernan adalah semangat melakukan pembaruan, modernisasi sastra Indonesia berlangsung dengan amat baiknya. Sastra Indonesia modern membebaskan diri dari belenggu atau kungkungan masa silamnya dan mencoba menerobos batas-batas bentuk dan isi konvensionalnya. Dirumuskan secara konsisten dengan watak bahasa Melayu yang terbuka, sastra Indonesia modern pun terbuka menerima bentuk-bentuk sastra asing, seperti roman, soneta, dan puisi bebas, sama seperti kebudayaan Melayu dulu terbuka terhadap bentuk syair dan bahasa asing. Sastra Indonesia modern diperkaya oleh pergaulannya secara terbuka dengan sastra belahan dunia lain.

Dalam pada itu, pengarang-pengarang modern kita dari dunia Melayu tetap berusaha berdiri kokoh dan menggali akar kebudayaan mereka sendiri. Itu merefleksikan betapa mereka menyadari sekaligus percaya diri bahwa mereka lahir dari kebudayaan besar mereka sendiri. Dalam konteks terakhir inilah mereka turut merayakan dan mengarnavalkan bahasa dan sastra Indonesia.

Salah satu sumbangan penting yang telah mereka berikan pada sastra Indonesia modern adalah elaborasi mantra dan memaknainya secara baru yang kemudian diturunkan ke dalam puisi Indonesia modern. Penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah adalah tokoh paling penting dalam hal ini. Puisi-puisi Sutardji, seperti diakuinya sendiri, adalah usaha mengembalikan bahasa pada mantra, di mana kata-kata dibebaskan dari beban makna. Mantra konon memiliki kedudukan penting dalam kebudayaan Melayu Riau sehingga usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.

Diteruskan

Usaha mengelaborasi mantra sebagai sebuah tradisi Melayu Riau untuk menciptakan puisi diteruskan oleh penyair yang lebih muda, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib, seperti tampak misalnya dalam buku puisinya Negeri Airmata (2004). Sapardi Djoko Damono membicarakan pengaruh mantra dalam puisi-puisi Akib dalam diskusi buku itu di Taman Ismail Jakarta, 2004. Akib sendiri mengakui itu, seraya menekankan bahwa mantra merupakan tradisi Melayu Riau.

Sehubungan dengan pengaruh mantra Melayu Riau dalam puisi Indonesia modern, pada hemat saya, ada yang perlu dipertimbangkan. Mantra jelas bukanlah tradisi khas Melayu. Mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain, fungsi dan kedudukan mantra pada hemat saya sama di mana-mana. Sehubungan dengan puisi Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan Melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, dalam khazanah kebudayaan Melayu yang sangat kaya dengan capaiannya yang begitu cemerlang, terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, pada hemat saya, mantra hanyalah ”tradisi kecil”. Dalam kebudayaan Melayu, mantra bukan ”tradisi besar”. Dilihat dari kacamata hubungan pusat-pinggiran, mantra hanyalah ”tradisi pinggiran” dalam kebudayaan besar Melayu, bahkan mungkin merupakan tradisi yang sesungguhnya cenderung dihindari atau kurang diinginkan.

Dilihat dari konteks ini, mantra dalam kebudayaan Melayu menjadi penting bukan karena kedudukannya yang begitu penting dalam kebudayaan Melayu itu sendiri, melainkan karena ia mengilhami penyair untuk melahirkan karya baru dalam puisi Indonesia modern—dan penyair itu berasal dari Melayu Riau.

Namun, pada hemat saya, tidak seharusnya kenyataan itu lantas mendudukkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam struktur kebudayaan Melayu. Menempatkan mantra pada posisi yang sedemikian penting dalam kebudayaan Melayu, pada hemat saya, hanya akan membuat ”tradisi kecil” ini mengaburkan atau bahkan menutupi sama sekali ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Orang jadi silau pada ”tradisi kecil” dan sementara itu dia lupa pada ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu yang agung. Bagi saya, sesungguhnya agak mengherankan bahwa generasi Melayu kini lebih mewarisi ”tradisi kecil” mereka tinimbang mewarisi secara sungguh-sungguh ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu. Penyair Melayu kini, demikianlah saya berharap, sejatinya mewarisi ”tradisi besar” mereka setidaknya dengan cara yang sama kreatif dan produktifnya dengan cara mereka mewarisi ”tradisi kecil” kebudayaan Melayu.

Apa ”tradisi besar” dalam kebudayaan Melayu itu? Bagi saya, tak lain adalah moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang. Inilah sumsum kebudayaan Melayu, yang telah dicapai dengan gemilang dan diwariskan antara lain oleh Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji. Jika mantra mengilhami penyair untuk bereksperimen dalam puisi, bagaimana pula Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji tidak mengilhaminya bereksperimen dalam puisi? Jika penyair berfilsafat dengan mantra, bagaimana pula penyair tidak berfilsafat dengan Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji?

Inilah satu eksemplar masalah kebudayaan Melayu dalam hubungannya dengan puisi Indonesia modern.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison

Berhenti untuk Meneguk Kopi

Ignatius Haryanto
http://majalah.tempointeraktif.com/

Ada kebiasaan tak lazim yang ditekuni penulis cerpen Hamsad Rangkuti di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat. Di dalam kolam ikan yang airnya menggenang sebatas pinggang, pria 60 tahun itu setiap hari berendam badan. Kadang hanya beberapa menit, tapi tak jarang hingga berjam-jam. Tak jelas apa yang dilakukannya: mungkin untuk mengademkan badan, barangkali juga untuk mencari ilham bersama ikan mas yang berenang di sela-sela kakinya.

Di rumah yang didiaminya selama 25 tahun itulah Hamsad menggali ide untuk cerpen-cerpennya. Dua pekan lalu kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot, mendapat anugerah Khatulistiwa Award—penghargaan tahunan untuk buku fiksi bermutu.

Tak tanggung-tanggung, Hamsad mendapat hadiah Rp 70 juta untuk kemenangannya itu. “Saya belum cek rekening bank saya. Sudah dikirim atau belum, ya? Dua hari lagi saya akan cek bank saya,” katanya enteng. Di dekat meja telepon di ruang tamu rumahnya, ia memajang plakat penghargaan itu.

Hidup bagi Hamsad, lelaki yang selalu melempar senyum kepada siapa saja, adalah sesuatu yang bisa dijalani dengan enteng. Di rumahnya yang mungil itu ia membuka warung. Hingga malam, Hamsad kerap nongkrong menjaga kiosnya itu. “Warung ini justru ramainya kalau malam karena yang beli kebanyakan para sopir yang sedang mencuci mobilnya,” tutur Hamsad. Di dekat rumah Hamsad memang terdapat bengkel pencucian mobil. Ketika anak ketiganya menikah beberapa waktu lalu, ia tak segan mencarter satu gerbong kereta api rel listrik (KRL) untuk mengantar keluarga pengantin.

Dilahirkan di Padang dan menghabiskan masa remajanya di Medan, Hamsad merasa lebih senang tinggal di Jakarta. Dua kali ia dikirim ke Jakarta untuk acara kebudayaan pada dekade 1960. Pada kedatangannya yang kedua, ia nekat tak mau pulang lagi.

Hamsad lalu bekerja sebagai sekretaris di kantor PPFI (Persatuan Produser Perfilman Indonesia). Setiap ada produser hendak mengurus rekomendasi pembuatan film, Hamsad yang bertugas mengetik surat dan mengejar Zulharman Said, sekretaris jenderal lembaga itu, untuk meminta tanda tangan.

Empat tahun bekerja di PPFI, pria yang tak tamat SMA itu mundur dan memilih tinggal di Balai Budaya bersama pelukis Nashar dan sejumlah seniman lainnya. Hidupnya tak jelas. Ia biasa tidur di kursi atau meja. Tak jarang ia keluyuran menikmati kehidupan malam di Pasar Senen.

Tahun 1969, Arief Budiman, yang saat itu mengelola majalah Horison, mengajak Hamsad bergabung sebagai korektor. Sejak saat itu hingga 2000, Hamsad bekerja pada majalah sastra tersebut. Selama 14 tahun ia bahkan menjadi Pemimpin Redaksi Horison.

Tapi karier, seperti juga dunia, bagi seorang Hamsad Rangkuti hanyalah sebuah perhentian untuk meneguk kopi. Hakikat hidupnya adalah menulis. Bangun pukul lima pagi, Hamsad biasanya langsung salat subuh, lalu berjalan keliling kompleks rumahnya. Sambil jalan-jalan pagi, ia selalu membawa kertas dan pulpen—benda yang dipakainya mencatat ide atau kata yang tepat untuk cerpennya. Setelah itu selama dua jam ia akan terpaku di depan komputer. “Pagi adalah waktu yang pas untuk menulis. Saya mendapat banyak inspirasi kalau bekerja pagi,” kata bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (1997-2002) ini lagi. Sambil menulis, ia terkadang mendengarkan lagu kasidah atau alunan Mozart.

Menjelang siang, barulah ia keluar rumah. Ia biasanya menumpang bus atau kereta api. Hamsad mengaku senang menggunakan dua kendaraan ini karena di sana kerap banyak menemukan ide untuk cerpennya. Di Stasiun Jatinegara, misalnya, ia pernah memperhatikan perilaku seorang pengemis cacat yang kerjanya menaik-turunkan kabel di pinggir rel kereta untuk memudahkan pejalan kaki melintasi rel kereta. “Dari peristiwa itu saya menulis cerpen berjudul Hukuman untuk Tom,” kata Hamsad. Cerpennya, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu (2002), dibuatnya dalam perjalanan ke Sumatera.

Satu-satunya kekurangan Hamsad adalah ia tergolong pelit terhadap dirinya sendiri. Ia, misalnya, lebih suka makan di rumah ketimbang menyantap makanan warung atau restoran. Bahkan, jika waktu makan sudah tiba, ia bertahan pulang ke rumah meski untuk itu ia harus menahan lapar selama lebih dari dua jam.

Dengan hadiah Khatulistiwa Award sebanyak Rp 70 juta, apakah Hamsad akan menghapuskan “kepelitannya” itu? Tidak juga. Dengarlah apa rencana dia dengan uangnya itu. “Mau saya belikan angkot. Bukan yang baru, tapi yang second saja,” katanya sambil tertawa lebar.

Dunia, bagi Hamsad Rangkuti, hanyalah perhentian untuk meneguk kopi.

AZ/Ignatius Haryanto

Repotnya Menulis Berdasarkan ‘Mood’

Eddy Flo Fernando
http://umum.kompasiana.com/

“menulis atau apapun karya yang berasal dari dalam, sangat bergantung pada suasana hati”

Sebulan yang lalu seorang teman mengirim pesan elektronik kepadaku. Dalam surat elektronik tersebut, dia meminta kesediaanku untuk memberikan komentar pada blognya. Maklum blognya baru dibuat dan dijadikan semacam tempat curhat antara dia dan temannya. Aku senang ternyata temanku itu diam-diam menekuni dunia tulis menulis. Buat temanku, menulis di blog pribadi hanya sekadar selingan dari mumetnya pekerjaan sehari-hari di kantornya. Dari beberapa postingan, aku paham kalau temanku itu memiliki banyak minat dan ingin segera dituangkan dalam bentuk tulisan. Saban kali aku mengunjungi blog, aku membaca sekitar empat postingan berupa kegelisahan, kekaguman dan kesannya terhadap banyak hal yang dilihat dan dialaminya. Sebagai teman, aku selalu mendukungnya untuk tetap menulis. Namun belakangan ini, jumlah postingannya masih belum bertambah. Setelah aku menanyakan alasan jedanya, temanku bilang dia masih menunggu ‘mood’ yang enak untuk menulis.

Jawaban temanku itu benar dan aku juga mengalaminya. Sebagai penulis pemula dan orang yang baru belajar menulis, ‘mood’ alias suasana hati sangat penting. Biasanya, sebuah tulisan akan lancar mengalir jika suasana hati penulisnya sedang bagus atau dalam kondisi yang asyik, menyenangkan. Mood yang bagus membuka ruang kreatif dalam imajinasi dan nalar seseorang. Menulis berdasarkan mood bukan sebuah kelemahan apalagi bencana. Bagiku menulis berdasarkan mood penting karna dalam keadaan tertentu, mood dapat berperan sebagai motor atau penggerak yang menimbulkan ide-ide atau fantasi tertentu. Mood memungkinkan penulis dapat berkreasi menurut caranya sendiri dalam menuangkan ide dan gagasan. Tanpa mood yang enak, penulis menjadi mandek bahkan kehilangan gairah dalam menulis.

Persoalan mood dalam menulis bukan hanya masalah penulis pemula. Beberapa penulis besar juga mengalami hal yang sama. Dalam perbincanganku dengan Penyair Hamsad Rangkuti, beliau mengakui bahwa mood menjadi vital dalam proses kreatifnya. Di kalangan para pujangga Indonesia, Hamsad Rangkuti terkenal dengan penulis yang setahun satu tulisan. Tapi dari segi kualitas dan nilainya, aku yakin semua sepakat karya tulis Pemimpin Redaksi majalah sastra Horison itu sangat luar biasa. Siapa sangka dari tangan lahir sebuah cerpen yang memenangkan hadiah Sasra Kathulistiwa. Judulnya : maukah engkau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu. Menarik, bukan? Selain Hamsad Rangkuti, ada nama lain yang fenomenal di kalangan para pengarang. Siapa lagi kalau bukan J. K. Rowling. Pengarang Harry Potter ini termasuk penulis ‘mood-ian’. Dalam sebuah wawancaranya, J. K. Rowling mengakui bahwa mood menulisnya selalu bagus kalau sedang berada di kafetaria di sekitar stasiun kereta api. Perempuan Inggris ini mengakui bahwa Harry Potter berasal dari Coffee-shop di Stasiun subway kota Manchester. Makanya ketika ditanyakan apa yang menjadi keinginan terbesar dalam hidupnya, JK.Rowling menjawab, ” ingin menikmati kesunyian kafetaria di stasiun kereta api karna bisa konsentrasi dalam menulis serta bisa bebas menikmati suasananya.”

Belajar dari pengalaman JK. Rowling dan Hamsad Rangkuti ternyata menulis berdasarkan mood dapat menghasilkan karya yang luar biasa. Tapi risikonya seperti yang dialami Hamsad Rangkuti, bisa jadi dalam setahun kita hanya menghasilkan satu tulisan. Penulis membuang banyak waktu hanya untuk menunggu datangnya mood. Jika mood belum ada, tulisanpun tidak akan ada. Memang repot kalau menulis berdasarkan mood, namun dari segi kualitas dan kepuasan jelas luar biasa dan dahsyat. Dalam dunia tulis-menulis produktivitas seorang penulis tidak dihitung dari berapa tulisan atau karyanya saja, tapi bagaimana pengaruh dan kualitas karyanya. Pertanyaan selanjutnya, dapatkah mood itu diciptakan atau dipacu? Semua kembali kepada pribadi masing-masing penulis. Ada yang bisa memacu moodnya tapi ada pula yang membiarkan moodnya mengalir apa adanya. Toh, jika sudah waktunya mood itu akan dengan sendirinya bekerja dalam diri penulis.

Menulis berdasarkan mood memang menjadi pilihan yang paling bagus bagi penulis pemula atau siapa saja yang berminat pada dunia tulis menulis. Berdasarkan pengalaman pribadiku, karya kreatif seperti menulis dapat berkembang dengan baik jika mendapat tantangan dan ruang yang bebas serta tidak terikat pada aturan atau batasan tertentu. Ledakan kreatif dalam terjadi dalam setiap situasi akan tetapi lebih banyak dalam suasana yang nyaman, asyik serta menunjang daya fantasi dan nalar. Jangan takut menulis berdasarkan mood meski itu agak merepotkan. sebab, menulis sendiri dalam perspektif tertentu adalah sarana katharsis yang paling mencerahkan.

Jembatan Merah

Danarto
http://www.jawapos.com/

Setiap tanggal 10 November kami berbondong datang dari berbagai kota untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan Surabaya di mana ”Bidadari November” kami kuburkan. Kami, berikut keluarga kami, berdoa penuh khidmat di kuburan seorang perempuan, pahlawan kami, yang sesungguhnya tak kami kenal yang kedudukannya sangat misterius sampai kami beranak-pinak di berbagai kota besar dan kecil di seantero pulau Nusantara ini.

Dewi ini, siapa pun dan apa pun namanya, tanpa sengaja atau disengaja, telah menyelamatkan nyawa kami, tujuh pejuang, yang sebenarnya tak cukup berjuang, punya banyak alasan untuk menghindar dari pertempuran karena tak punya peluru cukup, yang sesungguhnya tak punya keberanian cukup.

Hati orang siapa bisa menduga, bahkan Tuhan pun tidak (nah, ada gejala murtad). Tapi Tuhan tak bisa ditanya. Kita hanya bertatap wajah dengan diam. Ruang lengang, waktu pun beku. Tak bisa kita memaksa kalender bicara karena ia sudah banyak berujar tentang hari-hari penuh berkah atau penuh pertempuran, setahun lamanya. Hanya kita yang tak bisa menebak padahal seribu bahan dugaan dalam diri perempuan yang duduk di depan kami ini. Alangkah bodohnya kami ketika seorang di antara kami memaksanya mengaku: Kamu mata-mata musuh. Perempuan itu cuma diam bagai beban di pundaknya membenamkannya.

Memang banyak musuh kami: Jepang, Belanda, para pengkhianat, mata-mata, dan para komprador. Tapi kenapa perempuan di depan kami ini cuma diam saja? Dia tak membela diri? Apa dia stres? Apa dia pemberani? Apa dia menantang kami untuk menggunakan kekerasan?

Hari itu kami terjebak di dalam gedung-gedung yang sudah hangus terbakar di sekitar Jembatan Merah. Kami bertujuh: Jubair, Manua, Roy, Topo, Fadli, Nowo, dan saya, Gowo. Dengan empat bedil, tiga pistol, sebelas peluru, dan perut kosong, kami tak bisa lari karena kami sudah terkepung hampir tiga hari.

Kenapa Belanda-Belanda itu tak mau menyerbu kami? Seandainya mereka merangsek masuk, pasti kami keok. Apa mereka mau menyiksa kami dengan mati kelaparan?

Jangan-jangan perempuan ini hantu, begitu akhirnya pikiran kami menabrak jalan buntu. Ketika kami tak bisa ke mana-mana, perempuan itu begitu saja teronggok di ruangan, duduk diam mematung. Perempuan yang elok. Perempuan yang tak pernah tersentuh debu pertempuran. Perempuan yang selalu tersimpan di dalam kamar yang wangi. Kelihatannya begitu.

Kami bertujuh duduk di lantai mengelilingi perempuan itu. Sekali-kali Roy atau Nowo menjenguk lewat jendela menyigi tentara Belanda yang bersiaga di bawah dengan persenjataan lengkap. Juga panser.

”Kalau kamu bukan mata-mata, apa kamu bidadari?” tanya Jubair yang membuat kami tertawa.

”Baiklah,” kata Manua, ”Kamu pasti dewi yang diutus para dewa untuk menguji kami.” Ah, omongan yang bertele-tele.

”Perempuan yang bikin lapar,” kata Topo yang membuat kami tak bisa menahan tertawa.

Tentu saja ketawa kami cekikikan saja. Kalau ketawa kami keras pasti kedengaran Belanda-Belanda yang di bawah itu. Betul-betul biadab, mereka mau menghukum kami dengan kelaparan. Mereka sangka kami akan menyerah karena lapar, betul-betul Londo-Londo itu minta ditempeleng. Nanti dulu. Tapi perempuan ini siapa? Jangan-jangan sundelbolong. Ah, si sontoloyo Roy selalu omongannya soal hantu melulu. Sedikit-sedikit gendruwo. Sedikit-sedikit wewegombel.

Tampang Roy sih persis Londo Didong. Tubuh jangkung, hidung mancung, kulit kurang garam alias albion, cerdas, kritis, ilmiah, pemberani. Tapi, minta ampun Kanjeng Nabi, otak demitnya ngudubilah, gendruwo melulu yang berjubel uyel-uyel di benaknya.

Pernah, pada suatu malam dalam sebuah pertempuran di hutan Mojokerto, Roy lari terbirit-birit dari rerimbun semak hanya karena merasa dipeluk kuntilanak. Ia marah ketika kami semua terbahak-bahak yang mengakibatkan Belanda mengetahui posisi kami dan menghujani kami dengan rentetan tembakan beruntun. Alhamdulillah, tidak ada yang gugur dalam pertempuran itu.

Pernah pula Roy kami hukum karena dalam pertempuran malam selalu bikin ribut. Kami semua marah lalu memerintahkan Roy sendirian untuk menyerbu sebuah kubu pertahanan darurat Belanda di kawasan Sidoarjo. Sedikit pun ia tidak takut. Malah ia sombong mempertontonkan keberaniannya. Kubu pertahanan Belanda itu ia obrak-abrik yang membikin Londo-Londo itu kalang-kabut dikiranya diserbu besar-besaran. Roy kembali dengan rampasan dua pucuk bedil dan satu pistol.

Lucunya, Roy suka bertempur di malam Jumat di mana menurut pikiran klenik kami dan sudah menjadi keyakinan masyarakat Jawa, di malam itu segala macam hantu bergentayangan. Roy punya seribu alasan untuk keluar di malam Jumat meski kami malas-malasan. Ada saja alasannya. Katanya, bertempur di malam Jumat itu penuh berkah. Bahkan ia berani pergi sendirian tapi ujung-ujungnya ia kembali lari tunggang-langgang karena merasa dihadang banaspati.

Lalu kami mengambil kesimpulan, meski ketakutan tapi Roy sebenarnya kasmaran sama hantu sampai ingin bertemu dengan lelembut itu setiap saat. Ha ha, Roy sungguh menjadi hiburan kami sehingga kami semakin sayang kepadanya.

Nah, sampai dengan munculnya sang bidadari di ruang menemani kami saat ini, Roy merasa dikabulkan doanya. Ia berjalan mengelilinginya menatap dengan takjub si ayu. Tentu saja kami tak membiarkannya memonopoli Venus itu sendirian. Mungkin karena perempuan ini cantik dan menggiurkan sehingga kami tidak rela kalau cuma Roy yang mengaguminya.

Dalam keadaan ketakutan, kami memujanya. Di saat maut begitu mendekat dalam kepungan pasukan Belanda, kami rela jatuh cinta kepada Afrodit ini. Ya, apa boleh buat.

Pada malam kelima pengepungan itu, kami semua jatuh tertidur karena kelaparan. Nowo dan Jubair yang kami tugaskan berjaga, tak sanggup mengganjal pelupuk matanya. Ketika kokok jago subuh membangunkan kami, tergagap kami karena sang bidadari lenyap. Kami memarahi Nowo dan Jubair karena kelengahannya berarti maut bagi kami.

”Kamu berdua harus dijatuhi hukuman mati,” kata Topo sambil menunjuk dada Nowo dan Jubair. ”Tapi baiklah, kami nggak mau kalah sama Lincoln, kami penuh belas kasih pada kamu berdua.”

”Bangsat!” maki Nowo dan Jubair bersamaan.

Saya tertawa. Sadar, kami ini gerombolan anak-anak muda, sekitar 19 dan 23 tahun, yang bertempur karena tak ada jalan lain, juga rasa malu pada para orang tua yang gigih berjuang melawan penjajah.

”He, lihat,” teriak Roy sambil melongok keluar jendela.

”Alhamdulillah,” desah Fadli setelah ikut menjenguk ke bawah.

Lalu kami ikut melihat ke bawah. Pasukan Belanda yang mengepung kami telah pergi. Bagaimana mungkin, kami yang sudah sekarat kelaparan ini sebenarnya sangat mudah digebuk, kok malah ditinggal pergi.

Satu, dua, tiga hari kemudian, ketika menyamar ke kota, saya dan Fadli melihat kerumunan orang di Jembatan Merah. Makin lama makin banyak orang berdatangan di jembatan itu.

Beberapa orang tampak sibuk di bawah jembatan. Ingin melihat apa yang dilakukan orang-orang itu, saya dan Fadli ikut turun ke bawah jembatan.

”Masya Allah,” teriak Fadli sambil menyibak orang-orang itu.

Saya terkesiap sesaat tak bisa bernapas ketika melihat perempuan yang tergeletak di tepi sungai itu. ”Bidadari kami” tewas dengan dada kirinya bersimbah darah. Secepatnya saya dan Fadli membopongnya pergi. Kami harus berlari kilat membopong jenazah batari menyusuri gang demi gang, jangan sampai terlihat serdadu Belanda. Di ruang yang hangus, kami baringkan ”dewi kami”. Fadli berlari menghubungi teman-teman sedang saya terduduk menatap ”bidadari penyelamat” yang telah jadi mayat yang dengan ikhlas mengorbankan nyawanya untuk keselamatan kami. Air mata saya deras berlelehan mencoba memahami cerita singkat yang menggores sejarah perjuangan kami, anak-anak muda yang tak tahu apa-apa.

Atas kesepakatan bersama, kami menguburkan ”Bidadari November” kami di Taman Makam Pahlawan pada malam hari. Di sebuah pojok tanah yang sedikit tak kami harapkan terlihat, dengan cekatan kami menggali dan memasukkan jenazahnya dan menimbuninya kembali, sementara Roy meraung dengan memukuli tanah di sisi kuburnya sambil mengaduh-aduh. Sambil berdoa sekenanya kami semua menangis tersedu-sedu sampai subuh. (*)

Tangerang, 10 Oktober 2008

Senin, 13 September 2010

PETA KONSTELASI PENYAIR SUMATRA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Pertemuan penyair se-Sumatera (Aceh, Babel, Bengkulu, Jambi, Kepri, Lampung, Riau, Sumbar, Sumsel, Sumut) di Bengkalis, 17—19 Januari 2003, memperlihatkan, betapa sesungguhnya Sumatera masih menyimpan potensi yang kaya dan berlimpah. Kepenyairan Sumatera yang pernah mendominasi perjalanan sastra Indonesia sebelum dan awal merdeka –seperti yang pernah dibangun sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, hingga ke nama-nama Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, dan sederet panjang nama lain—sangat mungkin kini akan bangkit kembali.

Empat skenario mungkin dapat dijalankan penyair Sumatera. Pertama, melakukan perlawanan dan mencoba menyeruak di antara kemapanan sastrawan di luar Sumatera. Kedua, bergerak menghimpun kekuatan guna membangun mazhab sendiri. Ketiga, seolah-olah “menafikan” Jakarta dan berorientasi ke Singapura atau Kuala Lumpur. Keempat, menjalankan semua skenario itu dengan mengusung kultur etnik dan sejarah masa lalunya.

Dengan keempat skenario itu, penyair Sumatera kini lebih leluasa bergerak. Dan itu membuka peluang bagi kebangkitan kembali peranan mereka dalam konstelasi peta sastra Indonesia modern. Persoalannya tinggal bergantung pada kesiapan mereka menjalankan skenario itu? Tanpa kerja keras dan usaha yang serius, skenario itu tetap akan menjadi sebuah mimpi. Peran mereka akan jatuh pada sebutan sekadar pelengkap dan kontribusinya dalam peta kesusastraan Indonesia tidak cukup signifikan.

Antologi Purnama Kata: Sajak-Sajak se-Sumatera (Bengkalis: Dewan Kesenian Bengkalis, 2003; 112 halaman) barangkali boleh dipandang sebagai representasi gerakan penyair Sumatera. Antologi ini menghimpun karya-karya penyair Aceh, Medan, Padang, Riau, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, dan Lampung. Adakah mereka punya potensi untuk menjalankan skenario itu atau sekadar kekenesan belaka?

***

Diawali enam buah puisi A.A. Manggeng (Aceh) yang melantunkan kegetiran atas tragedi berdarah yang menimpa tanah rencong. Gaya persajakannya yang seperti monolog antara narasi dan refleksi, mewartakan duka panjang yang dijawab dengan pertanyaan retoris: “berapa harga kemerdekaan dibandingkan nyawa?” Keenam buah puisinya menyampaikan tema yang sama: tragedi Aceh. Manggeng memang tidak mengangkat kultur etnik. Ia terpaku pada musibah puaknya yang dilakukan justru oleh saudaranya yang entah siapa dan dari mana asalnya. Rupanya, musibah itu begitu menggetarkan batinnya.

Sebagai puisi yang coba mengangkat luka-duka-darah, Manggeng menyajikannya dengan puitis. Ia seperti sedang menggambar pesona gadis cantik yang seketika diterjang kereta. Kita ikut nelangsa, tetapi pandangan mata masih terpaku pada pesona gadis itu, dan bukan pada tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah-darah. Dalam hal ini, Manggeng melantunkan rintih kematian tanpa menyentuh tubuh hancur, koyak-moyak dan berdarah. Di sinilah pemahaman ruh kultural menjadi penting. Ia mesti menyatu dalam pewartaan puitik ketika penyair dilanda kegelisahan atas tragedi yang menimpa puaknya. Cukupkah ia digambarkan dengan: Siapa yang pecahkan vas bunga/di pekarangan rumah kita/Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya// Di manakah denting kilat rencong dan hingar-bingar semangat jihad? Di mana pula ledakan amarah yang tiba-tiba jadi kobaran api?

Thompson Hs (Medan) agaknya mengalami problem yang sama ketika ia dikaitkan dengan persoalan kultur. Ia cenderung mengangkat refleksi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang per orang. Boleh jadi kesengajaan menyelimuti pesan merupakan representasi dari khawatirannya terjebak pada eksplisitas. Kecenderungan seperti itu memang banyak terjadi pada diri penyair kita. Akibatnya, sebagai pembaca sering kali kita merasakan sesuatu yang entah, tetapi entah apa pula yang kita tangkap. Dalam puisi “Mendengar Ruang yang bisa Berbisik” misalnya, kuda dapatlah kita tafsirkan sebagai simbolisasi nafsu. Boleh juga kita menafsirkan sebuah kisah persenggamaan. Tetapi, ia tidak coba memanfaatkan citraan. Sebaliknya, dengan pernyataan yang abstrak, kisah persenggamaan itu menjadi seperti narasi untuk dirinya sendiri. Demikian juga, ketika berbicara tentang Palestina—Israel, ia terjebak pada pewartaan, dan bukan kegelisahan kultural, meski ia mencoba mengangkat kisah-kisah lama dari al-Kitab.

Yusrizal KW (Padang) dengan enam puisinya –kecuali “Perasaan Berkerikil” dan “Sajak untuk Maya” lainnya pernah dimuat dalam Interior Kelahiran— tampak melompat ke sana ke mari. Ia bisa mengangkat apa saja yang dilihat atau direnungkannya. Dengan begitu, ia dapat leluasa mewartakan peristiwa atau benda apapun, tanpa harus mengalami kegelisahan yang dahsyat. Dalam hal itulah, puisi-puisi Yusrizal seperti sebuah narasi tanpa pretensi. Pilihannya untuk mengangkat apa pun, tentu saja tak menjadi soal. Dan ia bebas menentukannya sendiri. Meskipun demikian, ketika kita menghubungkaitkan puisi (sastra) sebagai ruh kultural, kita kehilangan cantelannya. Lalu, muncul pertanyaan: Di manakah Minangkabau? Maka, yang dapat kita tangkap adalah serangkaian peristiwa biasa, suasana keseharian yang juga biasa atau sesuatu yang diperlakukan seperti adanya. Ketika semua itu diejawantahkan dalam puisi, kita sangat mungkin akan hanyut dalam suasana yang seperti itu. Sebuah refleksi yang justeru tidak kita jumpai dalam cerpen-cerpennya.

Berbeda dengan Yusrizal, Taufik Ikram Jamil seperti penjelajah yang tak kunjung sampai pada tujuan. Ia tiada henti dibakar kegelisahan atas sejarah puaknya, meski boleh jadi ia sadar, sesuatu itu tak bakal dijumpainya kini. Puisinya, “Datang lagi ke Bengkalis” dan “Aku sudah Menjawab” merupakan bentuk kegelisahan kultur etnis masa lalunya. Kesetiaannya pada puak, romantisismenya, dan rasa duka pada kondisi sosial kini, berjalin kelindan dalam idiom Melayu. Maka, alam di sekeliling yang menjadi bagian hidupnya, muncul begitu saja seperti anak panah yang melesat, namun gagal membawa kurban.

Kegelisahan kulturalnya tak pernah berhenti menggelegak. Jamil berusaha konsisten pada obsesi yang dibangunnya sendiri. Lalu, ketika ia menghadapi kenyataan kini, masa silam dan catatan sejarah seperti datang begitu saja. Dikatakannya: kubentangkan tubuhmu telanjang/antara sulalatus salatin dan tuhfat al-nafis/alasmu adalah wustan wal-qubra/ buku sejarah yang belum selesai ditulis. Di sana ada luka sejarah yang tak pernah sembuh: bukankah kita terbanting dalam traktat london.

Bagi Jamil, romantisisme masa lalu, catatan sejarah, dan persahabatannya dengan alam telah memberinya banyak hal. Segalanya itu telah menjadi alat permainan yang lalu menjelma menjadi larik-larik puisi. Jika ia tampak begitu lincah memanfaatkan semuanya itu, sesungguhnya itu hasil dari sebuah proses panjang cintanya pada Melayu.

Dengan gaya persajakan yang berbeda, Syaukani Alkarim (Riau) juga mengusung kegelisahan kultural. Ia juga jatuh pada masa lalu puaknya. Pengucapannya sangat kuat sebagai refleksi penghayatan masa lalu dalam konteks problem yang dihadapi puaknya kini. Perhatikan sebaik puisinya, “Membaca Diri”. Kita yang sekarang bukan lagi sejarah yang kau baca, hanya ting­gal hari-hari yang gagap/ sekeping luka, dan beribu janji yang meminta jawaban. Kemenangan yang pernah/ menuliskan risalah, kini menjelma sekapal rindu,/dan engkau harus bertarung dengan/ gelom­bang, atau tenggelam di laut waktu.//

Di luar luka sejarah puaknya yang tergambar dalam “Air Mata 1824”, Syaukani menukik menjelajah masuk wilayah yang agak filosofis. Dalam Hikayat Perjalanan Lumpur (1999), sejarah dan simbol sufistik mengemuka sangat padat, sekaligus menunjukkan, betapa penyair ini tidak sekadar bermain dengan larik-larik yang disusun lewat diksi yang matang dan cerdas, menyajikan kesungguhannya memanfaatkan wawasan, tetapi juga menegaskan bahwa ia masih menyimpan kekuatan napas yang panjang.

Di antara para penyair itu, menyeruak penyair wanita, Murparsaulian. Dalam deretan penyair wanita Riau, ia tergolong generasi di belakang Ar. Kemalawati, Tien Marni dan Herlela Ningsih. Agak berbeda dengan kebanyakan penyair wanita yang terpaku pada dunia romantik, Murparsaulian menjelajah pada persoalan sosio-kultural etniknya. Ada hasrat melakukan kritik sosial atas dampak modernisasi dan pembangunan. Ada kecemasan atas derasnya budaya populer. Dan penyair coba mengangkat problem itu berkaitan dengan romantisisme masa lalu puaknya. “Syair buat Marina” misalnya, mewartakan perubahan alam dan arus dunia modern. Dikatakannya, pelabuhan itu sebagai seorang tua yang merayau di tengah kelam di satu pihak, dan dunia modern yang menerjangnya di pihak lain. Sebuah gambaran dua dunia: kehidupan tradisional yang tergusur oleh modernisme.

Kegelisahan Murparsaulian agaknya tidak hanya jatuh pada lingkungan sekitar. Ia juga protes atas carut-marut negeri ini, seperti dalam “Mengeja Sejarah” dan “Kulabuh Kasih pada Negeri yang Perih”. Ada usaha mengangkat masalah itu lewat persajakan dan diksi atau citraan alam. Kadangkala ia tak sabar menahan gejolak kemarahannya sendiri. Meski begitu, keberanian melakukan pilihan tema itu, memang membawa persoalan yang tak sederhana. Dan itu perlu perenungan yang lebih intens, sebagaimana yang diungkapkan dalam “Di mana Selat Kita?” Usaha Murparsaulian menemukan jati diri kepenyairan, telah dijumpai di sana. Sebuah pola yang memperlihatkan perkembangan kepenyairan yang lebih matang dan berpribadi, meski ia tak dapat menyembunyikan pengaruh penyair lain.

Permainan bunyi dalam larik dengan memanfaatkan pesona persajakan, hadir dalam karya Hoesnizar Hoed (Kepri). Ia memang tak berusaha mengangkat sejarah. Persahabatan dengan alam dan dukanya pada problem sosial, merepresentasikan kegelisahan yang tak dapat diajak berdamai. Beberapa puisi yang lain, seperti “Shelma”, “Membaca Jakarta” atau “Aku Diam dalam Kaca” terasa lebih cair dibandingkan puisi-puisinya dalam Tarian Orang Lagoi (1999). Meski begitu, kita masih melihat kekuatannya dalam permainan kata dan usahanya memanfaatkan bunyi persajakan. “Surat dari Simpang Lagoi” sesungguhnya merupakan pola yang pas memperlihatkan kepenyairannya yang lebih berpribadi. Ada pesona yang kuat dalam larik dan repetisi persajakan dalam puisi itu.

Kembali, perenungan yang intens menjadi penting saat penyair mengejawantahkan ekspresi puitiknya. Dan Lagoi telah mencengkram Hoed begitu kuat. Ia hanyut di sana dan berteriak mewartakan kepedihan orang-orang Lagoi. Ia berhasil menukik dan menyembul kembali lewat ekspresi puitiknya. Di sinilah kebersatuan ruh penyair dengan dunia yang hendak diangkatnya sering kali melahirkan potret yang mempesona.

Ari Setya Ardhi (Jambi) condong bermain dengan abstraksi. Di sana ia mencoba memanfaatkan alam untuk membangun citraan. Dalam puisinya, “Mempersiapkan Waktu” Ardhi hanyut dalam subjektivitas ekspresinya sendiri. Akibatnya, sinyal-sinyal yang dapat membantu pembaca memahami teks, terganggu oleh kecenderungannya memadukan realitas dengan dunia abstrak. Meskipun begitu, dalam puisinya yang berjudul “Merebut Sejarah”, penyair berhasil mengangkat potret perubahan secara meyakinkan.

Bahwa Ardhi melakukan pilihan itu, tentu dengan kesadaran kepenyairannya. Dalam puisinya “Menjaga Musim Purba” kita menemukan rangkaian kata yang enak dibaca. Tetapi agak menyulitkan pemahaman kita mengingat kecenderungannya membangun abstraksi. Atau barangkali, Ardhi memang sengaja memanfaatkan itu untuk membangun semacam close reading yang mensyaratkan pembacaan yang berulang-ulang. Justru di situ estetika puitiknya menggoda untuk menjelajahi dunia yang ditawarkannya.

Kecenderungan yang sama terjadi pada diri Anwar Putra Bayu (Sumsel). Bahkan, lebih dari itu, ia lebih banyak mengobral pernyataan daripada citraan. Dalam hal ini, Bayu seperti memberi jarak antara dunia yang ditawarkan dengan teks yang membawakannya. Akibatnya, kegelisahan tentang masalah disintegrasi yang terjadi di negeri ini, sebagaimana tampak dalam “Abad Burung Bangkai” menjadi semacam pewartaan tekstual. Hal itu pula yang tampak kentara dalam “Nyonya Anwar dan Sepotong Tulang”. Kembali, perenungan menjadi sesuatu yang penting. Ia mesti menjadi bagian dari proses kreatif yang lahir dari kegelisahan atau ketakjuban pada sesuatu. Puisi “Kepada Alexandre Pusjkin” misalnya, memperlihatkan, betapa penyair punya jarak yang jauh dengan sastrawan Rusia itu.

Isbedy Stiawan ZS dalam “Telah Kulepas Pakaian Sunyiku” sungguh telah menunjukkan sebuah perkembangan kepenyairan yang meyakinkan. Dibandingkan antologi Daun-Daun Tadarus (1997), puisi-puisinya kali ini tampak lebih matang dan kokoh. Ia tak lagi menjadikan subjek yang melihat benda-benda sebagai objek, melainkan objek yang menyatu lebih dalam sebagai diri subjek, atau sebaliknya.

Ia seperti bertutur begitu saja, mengalir, dan tiba-tiba berhenti pada pertanyaan yang menggoda: siapakah aku lirik? Dalam hal ini, napas religiusitas dan kerinduannya pada sesuatu yang entah, menyatu dalam kerinduan itu sendiri. Isbedy hadir dengan pribadi yang kuat dan matang. Pencarian si aku liris telah sampai pada hakikat. Sebuah gaya kepenyairan yang banyak dianut para penyair ketika ia mengalami kegelisahan sufistik.

Dalam “Aku Masih Rasakan” hubungan aku liris dengan alam dan dunia sekitar, terasa sangat padu, menyatu dalam narasi aku lirik. Dalam hal ini, subjek tidak lagi melihat alam sebagai objek, melainkan sebagai subjek itu sendiri. Bahkan, kadangkala, aku liris sengaja diperlakukan sebagai objek untuk member ruang yang lebih leluasa bagi alam mencengkeram dan menjadi bagian dari alam itu sendiri, sebagaimana dikatakannya: bahwa kita seperti butiran air itu/bahwa kita juga ada di atas daun itu/ diamdiam menunggu tergelincir// Dalam “Dermaga Lama” Isbedy memanfaatkan kisah masa lalu yang menjadi bagian dari kekayaan kulturnya. Dengan itu, ia tak bakal kehabisan bahan. Bahkan, niscaya pula ia makin memperlihatkan kekayaan bentuk ekspresinya.

***

Catatan kecil ini tentu masih perlu pendalaman. Di sana tercecer nama Gus tf Sakai, Iyut Fitra, Upita Agustine, Ratna Komala Sari (Minang), Junewal Muchtar (Kepri), Eddy Ahmad, DM Ningsih, Merie I. Zairi, Zainurmawaty, Cecen Cendrahati, Kunni Masrohanti (Riau), Syaiful Tanpaka, Naim Prahana, Panji Utama (Lampung), Wina SW I, Kemalawati, Rosni Idham (Aceh), Gita Romadhona, Iriani R. Tandy (Jambi), Laswiyati Pisca, Neny Rosaria (Medan) dan nama-nama lain yang sering kita jumpai dalam berbagai antologi.

Dalam kaitannya dengan peta konstelasi penyair Sumatera, catatan ini sekadar hendak menegaskan, bahwa mereka mustahil kehabisan ekspresi puitik jika ada usaha melakukan eksplorasi pada kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. Dengan cara itu, mereka akan mengangkat kekayaan kultur lokalnya, sekaligus menempatkannya dalam problem kemanusiaan sejagat. Bagaimanapun juga, sastra yang baik selalu akan menghadirkan unikum, dan sekaligus universalitasnya. Masalahnya tinggal, bagaimana sastrawan Sumatera memanfaatkan kekayaannya sendiri.

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 16424)

Goenawan Nilai Pram Egois

Diskusi Sastra Karya Pramudya
Syarifudin
http://www.suarakarya-online.com/
baca ini http://www.sastra-indonesia.com/2010/06/pertukaran-pendapat-antara-goenawan-mohamad-dan-pram/

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer telah meninggal dunia, 30 April 2006 lalu. Jasadnya pun telah dikebumikan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Bagaimana dengan karya-karya sastra yang telah dilahirkannya? Apakah ikut “terkubur” seiring meninggalnya novelis kelahiran Blora, 6 Februari 1925 itu? Jawabnya, “Tidak!”

Pramoedya tak hanya melahirkan anak rohani berupa karya sastra, tapi anak rohani lainnya. Mereka adalah yang dianggap sepemikiran bahkan merasa senasib dengan Pram - panggilan akrab pria dengan 8 anak dan 7 cucu ini.

Bagaimana pula dengan sikap orang-orang yang berseberangan dengan Pram? Konon, tak sedikit orang yang kesal pada Pram, tak terkecuali para manikebuis seperti Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad. Taufik Ismail bahkan sengaja mengeluarkan buku bermantel merah dan menyebut-nyebut nama Pram tak ubahnya sebagai garong kebudayaan.

Bagi Pram, menulis adalah melawan. Dan, Pram yakin bahwa perlawanan itu bisa dilakukan dengan menulis buku, seperti yang dilakukannya. Buku, kata Pram pula, adalah visi sekaligus sikap. Perjuangan tanpa visi adalah perjuangan yang hanya menanti mati disalib kekuasaan pragmatis setelah riuh pasar malam perjuangan usai diteriakkan.

Bukulah yang membuat suami Maemunah Khasim ini tidak menjadi gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takhluk terhempas menjadi sampah di pantai. Celakanya, sejarah yang terkandung dalam buku Pram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dikreasi negara.

Goenawan Mohamad sendiri ketika menjadi nara sumber bersama Sitor Sitomorang dan Taufik Rahzen dengan moderator Radhar Panca Dahana dalam diskusi sastra bertema “Peta Pram, Peta Indonesia: Di Mana?”, di Jakarta, Selasa (6/6) lalu, mengritik karya-karya Pram yang dinilainya lebih menonjolkan keakuannya.

“Dalam prosa Pram, tampak semacam garis lurus antara aku ada, maka aku menulis, dan aku menulis, maka aku ada. Pramoedya bukan seorang realis, dalam artian yang ghalib. “Realita” tidak terasa hadir di sana (dalam karya Pram), dan dibiarkan begitu rupa hingga seakan-akan menampakkan dirinya sendiri. “Realita” diberi kerangka yang tegas oleh aku,” papar Goenawan Mohamad.

Goenawan mencontohkan antologi cerita pendek karya Pram berjudul “Tjerita Dari Djakarta.” Menurut Goenawan, dalam karyanya itu Pram tidak mendeskripsikan sebuah lanscap kota, gedung-gedung besar dan tinggi, lalu lintas yang sibuk, taman yang rindang atau jorok, melainkan menulisnya sebagai sebuah problem. Jadi, Jakarta bukannya sebuah lanscap tetapi sebuah problem.

Goenawan juga berpendapat bahwa Pram dalam membuat karya-karya sastra lebih mengedepankan realis sosialis. Kritik Pram yang sangat tajam dan tidak ada henti-hentinya, kata Goenawan, ditujukan terhadap kebudayaan Jawa. “Pram bahkan ketika diwawancarai sebuah media massa mengatakan sangat anti Javanisme,” kata Goenawan.

Dari sikap anti Jawa yang ditunjukkan Pram, Goenawan menangkap seolah-olah ada satu hakikat Jawa. “Ini yang disebut orang sekarang ini sebagai esensialisme. Jadi, seolah-olah ada esensi Jawa, esensi Sunda, esensi Islam, atau esensi Indonesia. Sebab, Jawa itu terdiri dari bermacam-macam daerah. Saya dan Pram sama-sama berasal dari pesisiran. Tapi, saya tidak melihat Solo dan Yogya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kemudian kalau ada anggapan bahwa batas Jawa itu dari Cirebon sampai Madiun itu satu kebudayaan dengan Solo, itu kurang benar. Sebab, orang Tegal dengan orang Banyumas berbeda ngomongnya dengan orang Solo,” lanjutnya panjang lebar.

Tak hanya itu. Dalam diskusi itu juga sempat disingung sosok Pram yang menurut anggapan banyak orang dia adalah komunis. Dan, komunis pastilah ateis dengan kebencian terhadap agama yang luar biasa. Namun, novelis Sitor Situmorang, menolak penafsiran seperti itu. Meski Sitor tidak berani menyebut Pram yang juga sahabatnya itu apakah seorang komunis atau penganut agama tertentu, namun ia lebih cenderung tidak ingin mencampuradukkan antara pribadi Pram dengan karya-karya sastranya.

Dia hanya menegaskan, kalau memang ada orang yang mempunyai pengetahuan sastra yang lebih baik, buatlah karya sastra itu untuk perkembangan karya sastra Indonesia. “Begitu pula dengan Pram. Dia membuat karya sastra dengan caranya sendiri. Tapi itu semua karya yang dihasilkannya itu merupakan karya sastra, meskipun dianggap masih banyak kekurangannya,” tukas Sitor.

Sementara ziarawan Taufik Rahzen lebih menyarankan untuk melihat secara terbalik, baik dari pengalaman Pramoedya maupun karya-karya sastra yang dilahirkannya. Seperti ada anggapan yang menyebutkan Pram anti Jawa, Taufik justru melihat sebaliknya. “Coba perhatikan karya-karya Pram. Semuanya berlatar belakang Jawa. Tidak satu pun karyanya yang berlatar belakang luar Jawa. Meskipun dia menulis tentang Pulau Buru, misalnya, tetapi yang digambarkan bukan tempat itu, melainkan tentang suatu Jawa,” kata Taufik, seraya meminta menelaah karya-karya Pram.

Lebih jauh Taufik mengatakan, untuk mengetahui apakah Pram seorang ideolog atau seorang pengarang, bisa dilihat dari catatan hariannya yang ditulis pada 22 Desember 1990 tentang Hari Ibu. Menurut kaca mata Taufik, dalam catatan hariannya itu, Pram selalu mengendalikan dirinya itu sebagai seorang ibu, bukan sekedar seorang perempuan. Karenanya, kata Taufik, tidak mengherankan Pram susah payah menerjemahkan buku-buku Maxim Gorky (sastrawan Rusia) tentang sosok ibu. “Jadi, seluruh karya-karya Pram dijadikan sebagai anak rohaninya. Misalnya, buku-buku yang dibuatnya itu seolah-olah dia sedang melahirkan anak rohaninya itu. Dan ‘anak’ itu kemudian memiliki nasibnya sendiri,” ujar Taufik.

Dalam beberapa hal, masih menurut Taufik, Pram dalam catatan hariannya itu tidak membedakan dan selalu bersikap sama antara anak-anak rohaninya yang terdiri dari karya-karya sastra, anak biologis, dan anak ideologinya. Oleh karena itu Taufik bisa memahami kenapa Pram tidak membaca ulang tulisan-tulisannya. Karena sebagaimana dia melahirkan anak, apakah anaknya itu sempurna atau cacat, tetap dia adalah anaknya, dan harus diterima sebagaimana adanya.

Sementara “tindakan” Pram dalam kaitannya dengan religiusitas, kata Taufik, juga dibayangkannya sebagai seorang ibu. “Dalam beberapa hal, Pram juga sangat menyukai tentang simbol Maria. Maria adalah seorang virgin (lihat tulisan Pram tentang virginitas), namun melahirkan Yesus, kemudian membuat sejarah. Begitu pula Muhammad yang “melahirkan” Al Quran. Karena itu, menurut saya, tindakan Pram melihat hasil karya-karyanya adalah tindakan religiusitas seorang ibu. Dalam konteks inilah, kita perlu membaca terbalik tentang Pram, tak cukup menelaah bagaimana dia memandang dirinya, tapi juga bagaimana dia melihat masyarakat sekitarnya,” imbuhnya.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi