Sabtu, 29 Oktober 2011

Dari Bedah Serat Bimasuci

Teropong Laku Batin Orang Jawa
Saroni Asikin
http://www.suaramerdeka.com/

Wuwusira Dewa Suksma Ruci,/payo Wrekudhara dipun enggal,/manjinga garbengong kene,/Wrekudhara gumuyu,/pan angguguk turira aris,/ dene paduka bajang,/kawula geng luhur,/inggih pangawak parbata,/saking pundi margine kawula manjing,/jenthik mangsa sedhenga./

(Dewa Ruci berkata, ''Ayo Werkudara, cepatlah! Masuklah ke dalam garbaku!'' Werkudara tertawa, tawa yang terguguk lalu berujar lembut, ''Tapi Paduka itu bajang (bertubuh kecil-Red), sedangkan saya bertubuh tinggi-besar bagai gunung. Dari jalan manakah saya harus masuk, sementara jari pun musykil rasanya.'')

Itu petikan percakapan Dewa Ruci dengan Bima yang ditulis dalam Serat Cabolek karya R Ng Yasadipura I. Petikan kisah keragu-raguan Bima atau Werkudara ketika berhadapan dengan Dewa Ruci saat panenggak Pandawa itu ingin berguru kepadanya.

Dalam perkembangannya, kisah itu telah banyak diinterpretasikan baik dalam literatur maupun pertunjukan wayang. Beberapa versi penamaan pun muncul, antara lain Bimasuci dan Nawaruci.

Proses penginterpretasian serat itu juga yang terjadi pada Kamis (29/8) malam di Dalem Padmasusastran Solo. Sebuah sarasehan yang khusus membedah Serat Bimasuci digelar dengan disertai sebuah pertunjukan wayang pakeliran padat berlakon Dewa Ruci.

Prof Dr Soetarno, Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo, hadir sebagai pemakalah dengan moderator pemerhati masalah kejawen MH Zaelani Tammaka.

Kajian Soetarno bersandar pada pendekatan filosofis yang mencakup beberapa aspek. Yaitu metafisis, antropologis, etis/estetis, dan epistemologis. Yang menarik, untuk mendukung gagasan dia memaparkan peradegan pada kisah dalam serat itu.

Mistikisme Jawa

Lebih menarik lagi ketika dia mengungkapkan kisah Bimasuci sebagai ungkapan mistikisme Jawa.

''Perjalanan Bima demi mencapai kemanunggalan dengan khaliknya, dia lalui pada tahapan umum di dalam mistik Jawa. Dengan kata lain, Serat Bimasuci layaknya teropong laku batin orang Jawa.''

Dia lalu menyebut tahapan mistik mencakup sarengat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Dia kemudian memaparkan keempat tahapan itu pada kisah dalam karya sastra Jawa itu.

''Perjalanan Bima sebelum dan saat berhadapan hingga masuk ke tubuh Dewa Ruci dengan jelas mengandung keempat tahap itu. Manunggaling kawula gusti yang terjadi antarkeduanya boleh disebut tahapan makrifat.''

Dalam diskusi, gagasan yang dipaparkan Soetarno berkembang luas. Bambang Indiarto dari Fakultas Sastra UNS menyebut Serat Dewa Ruci itu asli teks Jawa tanpa pengaruh unsur lain. Interpretasi yang berkembang dari serat itu pun beragam. Dia menyebut Suluk Syekh Maloyo yang ditengarai karangan Sunan Kalijaga sebagai varian serat dimaksud.

Lain lagi pendapat Sumanto, pencinta serat kuno asal Gompang, Kartasura.

''Tak perlu diperdebatkan teks itu asli Jawa atau tidak. Sebab, isi serat itu hampir sama dengan Serat Kamahayanikan yang merupakan ajaran Buddhis. Yang pasti ada pendapat yang mengungkapkan, Dewa Ruci itu ekspresi pengalaman batin seseorang. Bukankah perjalanan batin seseorang berbeda-beda?''

Menanggapi hal itu, Soetarno hanya berujar, ''Perbedaan interpretasi sangat mungkin terjadi. Itu bisa dilihat pada pertunjukan wayang yang menggelar lakon itu. Interpretasi tiap-tiap dalang beragam. Itulah yang menarik dari serat tersebut, juga banyak serat lain. Karena itu, sarasehan seperti ini sangat penting diselenggarakan untuk mempertemukan berbagai interpretasi.''

31 Agustus 2002

Thukul, Engkau di Mana?

Wisnu Kisawa,Saroni Asikin
http://www.suaramerdeka.com/

//Ana wiji ilang, katerak zaman/ana wiji ilang, ketendang kahanan/ilang wiji, thukul/ wiji ilang, thukul.//

TEMBANG itu mengakhiri film bertajuk Wiji Thukul Penyair dari Kampung Kalangan Solo karya Tinuk R Yampolsky. Pemutaran film tersebut menjadi bagian acara yang diselenggarakan Forum Sastra Surakarta bekerja sama dengan TBS Solo. Bersama pembacaan puisi karya Wiji Thukul dan diskusi mengenainya, seolah-olah sosok penyair yang kini masih "raib" itu hadir di Teater Arena TBS Solo, Minggu (15/9) malam.

Malam itu penyair Sosiawan Leak membuka dengan pembacaan tiga sajak karya Wiji Thukul. Penonton menyimak "Kenangan Anak-Anak Seragam", "Ibunda", dan "Momok Geyong" yang dibaca Leak dalam keheningan. Begitu selesai, figur Wiji Thukul benar-benar hadir di panggung. Sayang, dia hadir hanya lewat garapan Tinuk.

Pada film itu, sang tokoh utama muncul dalam sosok yang kurus. Dengan sikap khas dan suara cadelnya, dia membaca dengan lantang beberapa buah sajaknya, antara lain "Help Me" dan "Di Bawah Kedalaman Selimut Kedamaian Palsu".

Tentang Thukul

Maka, cerita kegetiran hidup Wiji Thukul, baik sebagai buruh sebuah pabrik maupun sebagai penyair, tersaji dalam layar. Dia lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen Solo yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh, dari keluarga tukang becak pula. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, dia menamatkan SMP (1979) lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo Jurusan Tari tetapi tidak tamat (1982).

Selanjutnya, dia berjualan koran, sebelum kemudian diajak tetangganya bekerja di sebuah perusahaan meubel sebagai tukang pelitur. Itulah saat-saat Wiji mulai dikenal sebagai penyair pelo (cadel), menyusul seringnya dia mendeklamasikan puisinya untuk teman-teman sekerja.

Dia mulai menulis puisi sejak SD, sedangkan ketika SMP tertarik pada dunia teater. Lewat teman sekolahnya, dia berhasil menjadi anggota Kelompok Teater Jagat (Jagalan Tengah). Puisi-puisinya dimuat di berbagai media cetak dalam dan luar negeri.

Dua kumpulan puisinya Puisi Pelo serta Darman dan Lain-lain, telah diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta. Pada 1989, ia diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di Aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Lalu pada 1991, dia tampil mengamen puisi di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan oleh Erasmus Huis di Pusat Kebudayaan Belanda Jakarta.

Pada 1991 pula Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Belanda. Bersama WS Rendra, penyair cedal itu menerima award pertama sejak yayasan tersebut didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda WF Wertheim.

Sejak peristiwa 27 Juli 1996 yang menghebohkan, Wiji Thukul menjadi salah satu korban "asap" politik Orde Baru. Hingga sekarang, nasibnya belum juga diketahui: masih hidup atau sudah mati?

Penyair malang itu, memang tidak hadir dalam arti nyata. Dalam diskusi yang menampilkan Eko Tunas sebagai pembicara dan moderator MH Zaelani Tammaka, sosok kepenyairan dan pribadinya dibedah.

17 September 2002

Sufisme dan Problem Gender

Mh Zaelani Tammaka
http://suaramerdeka.com/

GERAKAN sufisme (sebagai bagian dari dunia spiritualitas) ternyata memendam persoalan tersendiri dengan problem gender. Gerakan sufisme sering dianggap bersikap "seksisme" dan terlalu berpihak pada patriarkis, yaitu ideologi kekuasaan laki-laki atas inferioritas perempuan. Tuduhan tersebut memang bukan tak beralasan.

Selama ini, di kalangan kaum sufi tumbuh suatu anggapan, (kepemimpinan) spiritualitas adalah hak prerogatif laki-laki atau kaum pria. Lihatlah, sekian panjang daftar mursid (guru sufi) dalam sejarah sufisme adalah laki-laki. Kita nyaris kesulitan mencari nama mursid yang dari kalangan perempuan. Mitos ini semakin diperkukuh oleh satu pepatah Arab yang tumbuh di kalangan kaum sufi, thalib al-mawla mudzakar, yang berarti "pencari Tuhan adalah pria atau laki-laki".

Mitos Javad Nurbakhsh (seorang pakar sufisme kontemporer yang kini bermukim di London) mencoba menjawab persoalan itu. Lewat bukunya Sufi Women (1983), ia mencoba menghimpun sejumlah nama wanita sufi dalam kurun kurang lebih sepuluh abad (abad kedelapan hingga abad kesembilan belas). Hasilnya, terkumpul tak kurang seratus dua puluh nama wanita sufi yang hidup pada kurun tersebut.

Dari data itu, setidaknya, memberi bukti, sufisme bukanlah hak monopoli manusia yang berjenis kelamin laki-laki saja. Dia, bukan saja membongkar mitos ketiadaan wanita sufi dalam lintasan sejarah sufisme Islam, tapi juga membuktikan ada wanita sufi yang mampu mencapai pengalaman spiritualitas hingga tingkat (maqam) yang tertinggi, dan melampaui apa yang pernah dicapai oleh kaum pria.

Hal tersebut seperti diteladankan oleh wanita sufi termasyhur dari Bashrah yang hidup pada abad kedelapan, Rabi’ah Al-Adawiyah. Rabi’ah termasuk dalam golongan wanita sufi yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya, baik dalam keutamaan sosial (mu’amalat) maupun pencapaiannya menuju Allah (ma’rifat). Karenanya, tak salah jika Farid Al-Din ’Aththar, salah satu tokoh besar dalam sufisme Islam, merasa perlu menyampaikan pujian secara khusus kepadanya. Hal itu seperti terungkap dalam salah satu kitabnya, Tadzkirah Al-Awliya.

Jalan Muhammad Dalam hal menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam, kaum sufi menganut paham (ideologi) ’’Jalan Muhammad’’. Seperti diketahui, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam banyak bercerai-berai. Berbagai firkah atau sekte bermunculan. Akhirnya menurut Javad Nurbakhsh (1982), berbagai sekte tersebut mengkristal menjadi tiga kelompok besar, yakni kaum Sunni, Syiah, dan penganut "Jalan Muhammad".

Paham Sunni lebih banyak dipengaruhi paham tradisionalisme Islam dan nasionalisme Arab. Dan dalam hal kepemimpinan, mereka mengikuti ’’Khalifah Empat’’ (Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib).

Faham Syiah lebih condong pada kepemimpinan khalifah Ali dan keturunannya saja. Asumsi dasar kelompok ini lebih didasari: "Carilah aroma mawar dari air mawar!" Artinya, kalau hendak mencari sari Islam juga harus pada sumbernya: nabi dan keturunannya. Paham ini lebih banyak dianut bangsa Mesir dan Iran.

Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga (paham ’’Jalan Muhammad’’) lebih mengambil jalan tengah. Mereka mencintai keluarga dan keturunan nabi karena nabi memang mencintai keluarga dan keturunannya. Tapi, mereka juga mencintai para sahabat nabi, karena nabi juga mencintai sahabat-sahabatnya.

Kaum sufi kebanyakan menganut pada paham yang ketiga tersebut, meski juga tak jarang lebih berat pada salah satu sisi dari paham sebelumnya. Dasar pemikiran kaum sufi memilih jalur "Jalan Muhammad" tidak lain ketakwaan pada hakikatnya lebih sebagai penghayatan pribadi dan tak memandang golongan ataupun keturunan.

Penafsiran Baru Khusus untuk Islam, tuduhan tersebut didasarkan pada salah satu ayat Alquran yang artinya: ’’Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S. An-Nisa’: 34).

Tafsir tradisional atas ayat tersebut memang lebih condong pada sintesis yang bersifat seksis: melebihkan sebagian mereka (laki-laki) terhadap sebagian yang lain (perempuan). Tapi, tafsir-tafsir baru, seperti yang dicerminkan dari hasil-hasil penafsiran tokoh-tokoh neo-modernisme Islam semacam Fazlur Rahman, Asghar Ali Engineer, Amina Dadud Muhsin, Fatimah Mernissi, dan sebagainya, pada umumnya berkesimpulan lain.

Ayat itu tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang bersifat seksis karena relasi gender yang digambarkan lebih pada tataran peranan atau fungsional; bukan hierarki kederajatan. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan tetap dalam tingkat kesederajatan, hanya saja keduanya memiliki fungsi/peran yang berbeda, sesuai kodratnya.

Ajaran Islam, dalam memandang persoalan gender, lebih menganut "paham kesetaraan", yaitu setiap manusia (baik pria maupun wanita) setara atau setingkat di hadapan Tuhan. Hal itu seperti tecermin dalam beberapa dalil-dalil yang lain, baik Alquran maupun As-Sunah, yang sering menyebut pria dan wanita secara bersamaan dan dalam posisi kesetaraan.

Penafsiran serupa juga dilakukan Sachito Murata, profesor studi-studi agama pada Department of Comparative Studies di State University of New York at Stony Brook, Amerika Serikat. Dalam bukunya, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender in Islamic Thought (1992) memandang relasi gender dalam teologi Islam memiliki kemiripan dengan kosmologi Tao dari Cina.

Dalam dunia sufisme atau mistik Islam, perbedaan gender juga bukan lagi faktor yang menentukan dalam pencapaian spiritualitas. Bukankah sejarah telah membuktikan, tak sedikit perempuan-perempuan sufi yang mampu mencapai kedudukan (maqam) yang tinggi dalam pencapaian spiritualitas. Bahkan, dalam hal tertentu, wanita justru mendapat keutamaan dalam Islam.

_____________16 Juli 2008
*) Mh Zaelani Tammaka, peminat studi sosial dan kebudayaan, pengurus Pondok Pesentren Baitul Musthofa Surakarta. Buku terbaru, Mosaik Nusantara Berserak (PSB-PS UMS & Ford Foundation, 2007).

Jumat, 21 Oktober 2011

Ibuku Perkasa

Ahmad Zaini
http://sastra-indonesia.com/

Di bilik rumah sebelah kanan, terdengar suara suamiku mengerang-erang kesakitan. Riuh rendah suaranya terbawa oleh hembusan udara yang memenuhi ruang depan. Rintihan-rintihan itu seakan seperti sembilu yang menyayat-nyayat kalbu. Rasa sakit yang berkepanjangan belum juga sampai ke muara kesembuhan. Pedih rasanya mendengar erangan suami yang menahan rasa sakit di luar kemampuannya.

DARI DAN KE …

Bambang Kempling *
http://sastra-indonesia.com/

Mimpi masih berlanjut setelah itu.

Suatu perbincangan pada suatu sore masih saja mengiang di telinganya sepanjang hari yang dilalui kini. Apakah hal yang tampak selalu di depan mata, telah menjelmakan racun pada setiap lembut udara yang dihirupnya? Ataukah semacam tabir bagi kebanggaan jalan yang pernah dilalui?

Sore itu, selesai rintik hujan dan di barat matahari kuning keemasan hampir terhimpit di antara gedung-gedung tua tertiraikan pohon-pohon akasia, ketika sepasang kekasih duduk berhadapan di bawah tiang bendera yang menjulang di tengah lapangan rumput, ketika dia dan seorang temannya melintas di antara mereka tanpa begitu peduli, ketika mereka lalu menyapa,

“Hallo!!”

Ketika sapaan itu tak ada sahutan sama sekali. Ketika sang perempuan menyebulkan senyum kecil yang manis sekali, lalu bertanya pada sang kekasih:

“Kemana mereka?”

“Entah!” jawab sang kekasih.

Di perempatan jalan mereka berhenti, ketika seorang pengendara motor melambaikan tangan tanpa menoleh lalu mengencangkan laju motornya, ketika percakapan itu terjadi:

“Seekor nyamuk sekarat di atas sehelai kertas putih lantas mati. Begitu mengagumkan ia dalam mengakhiri kebebasannya dengan bermula dari kebahagiaan tanpa beban kelaparan. Tapi dengan begitu, mungkin dan bahkan sangat mungkin, ia justru sangat menderita karena tidak sempat menikmati keinginan-keinginan yang akan terjadi sesudahnya,” temannya mencoba membuka kebisuan.

“Hidup tidaklah sesederhana itu kawan. Adalah tidak salah kalau saya tiba-tiba memilih keputusan yang benar-benar menyakitkan, yaitu pulang. Tidak seperti nyamuk itu, sebab kami ternyata bukan kawan yang baik untuk mati bersama-sama. Kalau hal ini kau anggap menuju kematian? Tunggu dulu! Siapa sebenarnya yang telah merintis jalan itu bahkan cenderung untuk mempertahankannya?”

“Stop!! Saya hanya berbicara tentang nyamuk, bukan untuk berdebat tentang pilihan kita.”

“Apologi kuno!! aku berangkat.”

“Kita belum selesai bicara!”

“Kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan pembicaraan! aku berangkat pulang!”

“Sudah kau pikirkan masak-masak?”

“Busyet! kita sehari-hari di sini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mimpi-mimpi..”

“Tunggu dulu.., paling tidak dengarkan perkataanku kali ini!”

“Otakku capek.”

“Apa perlu kita saling berkabar?”

“Kita titipkan pada angin.”

“Itu klise!”

“Ya… pada embun.”

“Sama saja!”

“Kalau begitu tidak usah!”

“Adakah ini keberartian jalan?”

“Simpan kalimatmu untuk nama jalan ini?”

Masih di perempatan jalan itu, di bawah jajaran pohon palem yang menjulang, berpacu dengan matahari mereka berjabatan. Dia berjalan ke timur mengejar bayangannya yang meliuk-liuk di atas rerumputan sepanjang pinggir jalan.

Bagaikan sesosok tubuh tunggal, terasa ada yang hilang dari diri mereka yang lelah dengan harapan-harapan.

“Hai…! tidak kau ucapkan sepatahpun kata pepisahan?” teriak sang kawan.

“Kita bukanlah sepasang kekasih sobat!” jawabnya dari kejauhan dan akhirnya menghilang di kelokan.

Sang kawan berjalan ke utara menyusuri jalan sempit berlawanan dengan arah air sungai kecil yang mengalir di bawahnya.

“Kenapa pulang selalu menjadi masalah?” kalimat itu terulang bersekian juta kali di kepalanya, bagaikan kekhusukan dzikir sepanjang perjalanan beriringan dengan denyut nadi, langkah kakinya sendiri, langkah kaki orang-orang yang bersimpangan, guguran daun-daun sepanjang jalan, laju mobil angkutan, teriakan kenek-kenek bus, obrolan penumpang, sapa orang tuanya sesampainya di rumah, bantingan pintu kamar, ngorok tidurnya.

Pagi-pagi benar ketika bangun tidur, dia menyambut pagi dengan umpatan keras. “Bangsaaat…kubunuh kau!!”

Ibunya yang baru serekaat melaksanakan sholat subuh, membatalkan sholatnya, cepat-cepat menghampirinya. “Ada apa?” tanyanya.

“Cicak…”

“Kenapa dengan cicak?”

“Mukaku dikencingi!”

“Oh…alaaah, begitu saja kok mengumpat! Sana sholat! biar bening hatimu.”

Dengan berang dia beranjak dari kamar menuju kamar mandi, membasuh muka dan bagian-bagian tubuh yang layak tersiram air wudlu lalu segera pergi. Ibunya yang belum selesai sholat tak sempat bertanya.

Matahari sudah membentuk bayangan panjang bagi lalu lalang orang-orang di pasar. Keramaian yang sudah sejak tadi, sebagai satu tanda tentang harapan-harapan. Tapi dia bukanlah seperti kebanyakan dari mereka. Kemarahan yang iseng mengantarkannya ke salah satu toko mainan,“Pistol ini berapa?” tanyanya pada penjaga.

“Baru benah-benah Mas!” jawab perempuan penjaga.

“Busyet!! Pistol ini!!”

“Untuk adiknya?”

“Saya bertanya harganya!? Adapun ini nanti untuk saya atau nenek saya, itu bukan urusanmu! Yang penting saya beli! Titik!!” sahutnya kesal.

Wajah penjaga toko tiba-tiba pucat dan gemetar mendengarnya, segera ia memberikan mainan yang dikehendakinya sekaligus menunjukkan harganya. “Kok sekarang jadi gitu?” desisnya.

Bagaikan remaja belasan tahun dia mengendarai motornya, para tetangga yang kebetulan bangun pagi pada ngedumel lantas segera memasang tanda tanya dan tanda seru yang besar di atas kepalanya: “Ada apa?!” atau “Kok?!” Pengedumel-pengedumel itu serta-merta berkerumun untuk merumuskan tentang sebab dan musabab dari “Ada apa?!” dan “Kok?!”. Hasilnya, tidak lebih dari satu rumusan tanda tanya dan tanda seru yang semakin besar menindih setiap kepala mereka. “Nihil!” Celotehnya.

Sesampai di kamar, cicak di atap semakin banyak, bahkan ada yang asyik bercumbu. Dia segera mengeluarkan pistol mainannya, menembakinya satu persatu. Satu persatu cicak itu terjatuh: ada yang mengenai kepalanya, ada yang ekornya hingga putus dan seakan-akan hidup memisahkan diri dari induk tubuh, menjentik-njentik di lantai sementara sang induk tubuh terus melanjutkan kehidupannya. Tetapi dia tetap tidak akan memberikan hak untuk itu. Ketika dilihatnya ada sepasang yang bercumbu dia jadi tertawa sekeras-kerasnya,

“Ha…ha…ha… Keterlaluan..! Dan inilah ganjaran bagi yang tak tahu diri!!”

Tas!!

Tas!!

“Kena kau…! Mampus kau…!” teriak girangnya.

Di balik pintu kamar ibunya yang masih bermukena setelah menyelesaikan sholat dhuha mengelus dada, meneteskan air mata. “Apa ada yang salah dari doa saya?” tanyanya dalam hati.

Kabar tentang itu segera terdengar sampai di setiap sudut kampung. Peristiwa yang teramat ganjil dalam pikiran-pikiran sederhana mereka dengan santernya menjadi topik setiap pembicaraan di warung-warung, di toko-toko kelotong, di pasar-pasar, di jalan-jalan, di hampir semua tempat orang-orang biasa bergerombol termasuk di tempat ibadah. Sepanjang hari itu topik tidak pernah berubah bahkan cenderung berkembang menjadi pro dan kontra, dan masalah pro dan kontra ini di suatu warung kopi dua orang nyaris saling melempar cangkir kopi kalau tidak segera dilerai dengan geram oleh pemiliknya:

“Kalau berani saling melempar dengan cangkirku, maka kursi ini nanti akan kulempar ke kalian, biar sekalian hancur!!” bentak pemilik warung itu.

Sudah tiga hari dia tidak keluar kamar, kecuali untuk buang air kecil atau makan, lampu kamar dibiarkan menyala terang. Yang dilakukan selama itu kalau tidak ada cicak dia membaca, kalau tidak membaca ya menulis, kalau tidak membaca dan menulis dia bernyanyi keras atau berdeklamasi, kalau semuanya tidak dia tidur mendengkur.

Hari keempat dia mulai jenuh dengan rutinitas perang melawan cicak, maka diputuskannya untuk menempelkan foto-foto dirinya di dinding dan sudut kamar sebagai bidikan barunya. Tidak tanggung-tanggung kali ini senjatanya tidak dengan pistol mainan, tapi dengan senapan angin yang dimiliki. Mula-mula yang dibidik matanya kemudian jidat sampai seluruh bagian tubuhnya. Kalau tidak mengenai sasaran dia berteriak menyumpahi ketololannya.

Hari berikutnya, dia tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba mengamuk menghancurkan semua benda-benda dalam kamar, menyobeki semua buku-bukunya, menempelengi kepalanya , bernyanyi keras-keras, berdeklamasi keras-keras, dan menangis keras-keras.

Melihat keadaan yang dianggap ganjil, seluruh keluarganya berkumpul untuk membicarakan sikap dan tindakan yang tepat. Dan hasilnya segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa.

Seminggu di rumah sakit jiwa dia lepas, pulang naik taxi. Di depan rumah dia berteriak keras, “Saya tidak gila! saya tidak butuh rumah sakit jiwa! tidak butuh dokter! yang saya butuhkan hanya kebebasan untuk menjalani pilihan hidup saya! Pilihan hidup yang didasari oleh kebebasan cara berpikir! Apakah kemudian dengan demikian lantas dengan enaknya kalian menempatkan saya pada ketidakmampuan akal sehatku untuk menjalani hidup? Percuma saya sekolah! Percuma saya belajar psikologi, sastra, dan filsafat! Kalau kemudian dengan pengabdianku kepada kehidupan yang baru kurintis terlalu cepat dianggap sinting! Tidak adakah bentuk penghargaan lain kecuali tuduhan yang tidak beradab ini? Hari ini saya pergi!”

Selesai mengucapkan itu, dia langsung pergi. Sementara sang supir taxi masih linglung, salah seorang dari keluarganya menanyakan tentang upahnya, setelah dibayar dalam kelinglungannya buru-buru tancap gas. Di perjalanan kembali bertemu dengan bekas penumpangnya tadi, karena takut ditumpangi lagi supir itu semakin tancap gas sampai laju taxinya tak terkendali dan di tikungan jalan nyelonong ke sebuah toko kelontong hingga ringsek, sedang sang supir luka parah. Banyak orang berkerumun, ketika dia sang bekas penumpang tadi lewat tidak menoleh sedikitpun.

“Sombong!! Takabur!! Sok..!!” bisik seseorang kepada seseorang yang kebetulan menyaksikan dia.

*

Tiga tahun sudah peristiwa itu terjadi, dan selama waktu itu, dia telah hampir menyinggahi seluruh kota di negri ini, menjalani hidup sebagai manusia kelas pinggiran, bermukim di rumah-rumah kardus bawah jembatan dan pinggiran jalan kumuh. Untuk makan dia mencari uang dengan mengais dan menjual barang-barang bekas yang dari gundukan sampah pinggir kota. Anehnya selama bermukim di setiap permukimannya, dia hanya dikenal oleh yang lain sebagai ‘entah’ dan mengenal yang lain pun dengan ‘entah’ saja.

“Kamu siapa dan dari mana?” suatu ketika salah seorang wanita bertanya kepadanya, langsung wanita itu diringkusnya lantas disetubuhi, anehnya wanita itu tidak berontak. Esoknya, tepat tengah malam dan bulan bundar terang menyinari perkampungan kardus itu, wanita itu dengan berkain sarung masuk ke rumah kardusnya, dia tidak terkejut dan langsung meringkusnya setelah mendengar pertanyaan yang sama. Begitulah yang terjadi di hari-hari berikutnya apabila wanita itu bertanya. Lama-lama pertanyaan itu sudah terlalu basi bagi bibir manisnya, tapi tetap saja diringkus bahkan sampai menjalani hidup selayaknya sebuah rumah tangga yang aneh dengan tanpa kata-kata. Percintaannya terjadi hanya dengan isyarat-isyarat. Dan dengan isyarat pula, ketika pada suatu pagi dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi sebelum wanita itu bangun, ditulisnya pesan singkat dengan arang di salah satu dinding kardus.

“lewat terang bulan yang menerobos di persinggahan ini

aku kabarkan pilar rahasia dari percintaan kita

pada langit terang bila tak ada hujan

luka dan tangis adalah sia-sia

sia-sia

pergiku adalah beruntai-untai kisah panjang

yang tak kan pernah terungkap

Akhirnya hanya pada angin aku bersimpuh.

Hanya pada angin.”

Semula wanita itu tidak terkejut melihat dia sudah tidak di sampingnya, tetapi keadaan menjadi lain ketika ditemuinya tulisan itu.

“Siapa yang kucintai ini?” desisnya, sambil mengusap air mata yang tiba-tiba berurai. Tangisnya semakin menjadi, semakin menjadi setiap dibacanya tulisan yang tepat dihadapannya. Seharian wanita itu menangis, seharian wanita itu membacanya.

*

Beberapa hari kemudian, di suatu tempat yang jauh, di sebuah warung kopi, dia seperti sedang menunggu seseorang. Para pengunjung warung kopi tampak sudah akrab sekali dengannya, sesekali mereka terlibat dalam kelakar dan basa-basi juga saling mengabarkan sesuatu. Seseorang dengan tubuh kerempeng sambil membawa buku tebal melongokkan wajah dari balik jendela, dengan tertawa ia menyambut kedatangannya, “Aku tadi dengar kalau kau datang, bagaimana pulangmu?” sambutnya.

“Busyet!” jawabnya.

November 2003
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Baginya menulis adalah sebagai bentuk ‘dialog’ yang harus dilakukan. Bersama teman-teman KOSTELA, ia akan terus menulis sepanjang masih bermakna.
Alamat surat: KOSTELA, Jln Raya Karanggeneng No.107 Cuping, Madulegi, Sukodadi, Lamongan. Tlp. (0322) 393042. HP. 081 332 002 807

Jumat, 14 Oktober 2011

CAHAYA DI UFUK KEJUANGAN

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sebelum mengakhiri buku pengembaraan panjangnya di Bali, K’tut Tantri dalam “Revolt in Paradise” (Revolusi di Nusa Damai) menulis sebagai berikut : “Di atas kota, bintang-bintang memancarkan cahayanya yang gemerlapan, dan aku teringat akan sebuah kisah di masa bocah, yang mengatakan : Mereka yang ingin memperoleh ketenangan, haruslah berani meninggalkan kesenangan dan harta dunia, dan pergi berkelana mencari tempat bintang suci. Kalau pencarian itu berakhir, maka bintang suci itu akan muncul dengan sendirinya di atas kepala. Tetapi yang dapat melihatnya hanyalah mereka yang telah banyak merelakan pengorbanan. Aku telah mengunjungi berbagai negeri untuk mencari bintang suci itu, tetapi tak pernah menemukannya. Bintang-bintang di atas kota New York bersinar dengan sejuk dan tenang. Adakah diantaranya terdapat bintang suci itu? Dan apakah dia akan muncul dengan sendirinya di hadapan mataku? Aku menyelidikinya dengan penuh harapan..”

2.
Cahaya berbinar mengikuti ufuk-induknya. Jikalau manusia mengejar seberkas sinar, dan bukan sekedar bayang-bayang di kesemestaan, sepatutnya dia mengejar juga nilai yang diwedarkan oleh sendratari agung semesta nan rampa-rancak itu. Kita misalnya memulai sebuah episode kehidupan dengan lantunan nurani sendiri—karena memang begitulah fitrahnya. Kesejatian pribadi, ibarat tembang yang bergema di angkasa, mengatasi warna-warna yang berpencaran. Dan di kala kita berusaha untuk merekamnya dalam indera kita yang terbaik, kita sudah mulai dengan langkah lugas. Cahaya bintang yang berada di atas diadem yang terbuat dari logam dan batu mulia, mungkin hanya terjadi, lantaran ada diejawantahkan oleh pengorbanan diri kita sendiri. Kehidupan terasa utuh, karena kita mau “basah kuyup” dan “jungkir balik” untuk menyelamatkan oranglain yang terinjak atau tersungkur.

3.
Kehidupan tak bisa ditakik-takik seperti perca atau karet cair. Namun demikian, manakala kita mengambil pelbagai perumpamaan seputar hidup, maka pertama-tama yang nampak adalah sebagai berikut : pertama, adakah manusia mengenal bentuk kesenggangan yang lain artinya daripada santai biasa, yang antara niat untuk menikmati saat-saat kosong itu bukan untuk sebuah hajat badaniah, melainkan sesuatu yang bermakna bakti. Kedua, tatkala seorang manusia menciptakan andalan-andalan dalam upaya mencapai prestasi gemilang, dia justru membentuk impian khusus yang bersifat dedikatif, bukan ambisi-ambisi kosong. Ketiga, kita memiliki “diri kita sendiri”, sebagai keabsahan nan tak tak terganggu oleh sifat-sifat sementara yang naïf. Manakala pembicaraan tentang martabat ini menjadi serangkum kepribadian, maka kitapun bisa mengaitkannya dengan krida yang lebih langgeng, lebih berkualitas.

4.
Kenalkah pada seseorang seperti Mahatma Gandhi dan Sri Ramakhrisna Paramahamsa yang pernah mewarnai alam pikiran India selama setengah abad berselang, dan membuat tiap mata menatap benua tersebut dengan rasa kagum bercampur khidmat? Pada Gandhi, kita melihagt bagaimana wajah politik sebagai kancah-juang dikawinkan dengan manis pada “olah brata” yang kita kenal di sini sebagai lampah kebatinan ini. Kombinasi yang tepat antara kedua unsur itu ternyata membuahkan kelompok-kelompok pendukung yang merasakan, bahwa Gandhi bukan hanya seorang yang memiliki sikap akurat, melainkan juga seorang yang lugas. Artinya, jikalau dia mencintai manusia, maka sebagai konsekuensi logisnya kudu membenci kebatilan-kedurjanaan, yang merupakan musuh kemanusiaan nomor wahid. Sedangkan pada Sri Ramakhrisna, kita temukan alam pertapaan India—seperti halnya dunia Timur pada zaman penuh kegelisahan—di mana tokoh ini memisahkan pemikiran pandangan, bagaimana kita perlu mempersembahkan kehidupan sama sekali pada Yang Maha Pengasih, tanpa alas pijak politik manapun, kecuali rasa agamawi nan terlembut. Cara begini, boleh jadi cocok dengan abad ke-19 yang lebih meminta kepasrahan sebagai totalitas, tanpa laternatif apapun. Sedangkan Gandhi, kreasi politiknya mengantar manusia pada perjuangan kongkrit, dengan mempergunakan senjata-senjata modern yang dimungkinkan, bahkan kalau perlu dengan kompromi pada system penjajahan. Tetapi, wujud juang Gandhi juga sudah kedaluwarsa.bkarena kita yang berada di abad ini, rupanya lebih suka mengorbankan hal-hal prinsipil, apalagi kemudahan dan kemungkinan hidup yang mengacu pada comforbalitydan enjoyment jadi lidah nan menderi-deru.

5.
Perjalanan gelombang tekad para Pandawa sendiri, tatkala memperebutkan Indra prastha dengan pihak Kurawa, bukan hanya lewat potensi pengerahan sesuatu nan putih belaka, kita lihat bagaimana diperlukan juga strategi juang yang meminta ketangguhan, sikap bijak, dan terkadang disertai sedikit agak keras. Dengan langkah seperti ini diinginkan agar masyarakat menjadi sesuatu yang komplit. Masalahnya, apakah kita perlu menggugat (kalau ada, dan perlu digugat : lembaga yang memiliki wibawa, ataukah sebuah guyub biasa?). atau, kudu menembus kebekuan-kebekuan yang dianggpa jadi perinta ng (kalau pikiran orang sudah sampai pada kegersangan yang membuat kita memandang oranglai sebagai lawan)—dan justru karena itu, tendensi kepahlawanan menjadi teramat lengkap, bahkan menguyupkan diri sendiri.

6.
Sarana yang dikehendaki oleh Abad Pemikiran Sekarang, lebih ditekankan pada sesuatu yang nampak, tergeyong-geyong, kendatipun banyak di antaranya adalah justru batu sanding bagi hidup yang tentram. Salah satu faktor penyebab, kenapa manusia mengalami goncangan, keretakan, dan kebimbangan yang berlebih-lebihan, adalah ini : tiadanya lagi rasa kepemimpinan murni. Boleh jadi, ungkapan begini tak enak untuk didengar. Namun demikian, saya pikir, tiap kelompok yang hadir di tengah gumelarnya kebudayaan, niscaya kepingin menam,pilkan sang pemimpin(dengan kadar yang paling positif menurut wawasan kelompok). Sampai-sampai ada yang dicetuskan sekolah bagi calon pemimpin bangsa (yang sebenarnya susah dirumuskan, apakah hal begini sifatnya yang luar biasa!). tatkala kita mendengar bahwa saran-saran yang tertuju kepada pembangunan watak angkatan muda, harus lebih banyak mendengarkan uluran tangan angkatan tua, terasa sedikit ganjalan (karena angkatan muda lantas hanyasebagai epigon yang tanpa inisiatif dan idealism sendiri)—dan dengan cara ini, kita merasa, betapa impian wangi yang musti diimpikan, juga impian wangi seluruh generasi.

7.
Bincang-bincang tentang mencapai harmoni, adalah ibaratnya bincang-bincang tentang keindahan rembulan di langit, sementara para bocah dolan yang dolanan di pelataran itu hanya menciptakan beberapa gambaran ideal tentang langit, makhluk langit, suasana langit, dan bukan tentang bagaimana menurunkan butir-butir bintang itu ke bumi, supaya hangatnya kulit meteor ruang angkasa itu dapat pula dirasakan oleh warga dunia yang banyak ingin tahu ini. Bincang-bincang tentang mencapai kebahagiaan yang selaras dengan alam yang “lebih tua”, agaknya tidak terbatas kepada siapa pemeluknya, siapa pencetusnya, siapa penggugah senandungnya. Masyarakat adalah produk dari sebuah kurun sejarah yang panjang, di mana di dalamnya terkandung berbagai sentra ketegaran peradaban. Masyarakat adalah sebuah hamparan amat kompleks, di mana satu sama lain anggotanya mencari kesetimbangan dalam geraknya (dan karena itu, rujukan yang tepat senantiasa dicari sepanjang masa)—dan dalam tilikan demikian, tidak dipersoalkan benar-salahnya. Adalah wajar, bahwasanya kembang dari hayat ini adalah tokoh yang mengabstrakkan kuntum falsafah melalui medium-medium yang diyakini. Walaupun beberapa di antaranya seperti pletik-pletik lintang terakhir di kumparan galaxy yang semayup pada nilakandi terjauh!

8.
Primanya kekuatan setiap bangsa adalah bagaimana dia ditelentang-telengkupkan menurut sendi-dasarnya sendiri. Mungkin juga, dalam istilah ini : menurut nada dan Pathet yang dimiliki oleh tiap metrum. Setiap budayawan, yang bukan hanya sibuk menuju bukit pertapaan, melainkan juga sibuk membangun kanal, bendungan, jembatan dan bengkel kerja bagi anak rakyat, barangkali lebih tepat dikatakan bukan hanya sibuk menjual asset bumi warisan ini sebagai atraksi bagi mata dan telinga orang luar, tetapi ikut ngopeni, nyengkuyung, mengayomi dan membela mati-matian khasanah kultural yang diemban negrinya ini, agar lebih awet-sejahtera. Kalau itu yang jadi soal, maka kita bisa dengan sadar mengatakan, bahwa ada saatnya sosok Gandhi yang realistis-fanatik bertemu dengan sosok Sri Ramakhrisna yang altrustik-religius dapat mengembalikan teduhnya suasana pagi-baru, walau tanpa rasa teduh yag panjang.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA

Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/

Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya kerap mengisi antologi-antologi puisi maupun cerpen di antaranya: antologi puisi Tugi (1986), Tonggak 3 (1987), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajalli (2000) dan lain-lain. Cerpenya dalam antologi Lukisan Matahari (1993), Liong Tembang Prapatan (2000), dan lain-lain. Sejak tahun 2004 ia menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa.

Setiap ujaran bahasa merupakan tanda dari objek yang ditandainya. Tanda-tanda tersebut pada dasarnya memiliki makna, baik hanya sebatas ikon maupun indeks, bahkan bisa jadi itu merupakan simbol. Makna yang dihasilkan ikon biasanya hanya bersifat tersurat, sedangkan makna yang ditimbulkan indeks dan simbol itu bersifat tersirat. Indeks dan simbol maknanya bersifat konotatif.

Puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul Potretmu, Potretku, Potret Kita Nanti. mengandung makna yang begitu dalam akan realitas kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia. Penyair seolah memberikan gambaran dan alarem kepada setiap manusia akan perjalanan hidupnya. Ia memperingatkan bahwa yang mesti ditakuti oleh setiap orang dalam hidupnya bukanlah kematian, melainkan masa tua. Ituah hantu jiwa yang eksistensinya perlu diwaspadai oleh setiap orang.

Sungguh bukan maut yang menakutkan // tapi tua terpuruk sendirian (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Kata terpuruk dalam baris kedua puisi di atas menggabarkan bagaimana suatu kondisi seseorang yang berada dalam kesusahpayahan. Kata itu memiliki konotasi makna yang lebih kuat dan mendalam akan gambaran pribadi seseorang yang begitu menyedihkan dan begitu payah. Kata terpuruk tersebut dapat merujuk pada derajat dan martabat. Seseorang hargadirinya digambarkan telah hilang. Ia berada dalam kehinaan.

Masa itu sebagaimana gambaran penyair, terjadi saat diri telah renta dan sudah tidak ada lagi orang yang berkenan menemani. Sanak, saudara, teman, bahkan keluarga sudah tidak ada di sisi lagi. Hal itu belum cukup, yang lebih tragis lagi adalah saat tubuh dalam keadaan sakit. Tubuh sudah tidak berdaya dan telah diserang benih-benih penyakit. Saat-saat itulah yang sungguh memrihatinkan bagi setiap orang. Itulah potret manusia ke depan yang harus diwaspadai keberadaannya

Dimakan batuk dan kembali ingusan // dijaga tongkat, sapu pengusir lalat // menunggu suapan sanak kerabat (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Ini adalah gambaran realitas yang terjadi di masa tua. Penyair begitu jeli dalam mengungkapkannya. Penyakit yang kerap menghinggapi usia-usia lanjut adalah penyakit batuk dan flu. Lebih dari itu, kata kembali ingusan bahkan tidak sekedar menyaran pada penyakit flu. Kata itu dapat menjadi simbol bagi keadaan saat masa kanak-kanak, di mana mereka kerap ingusan meski tidak terkena flu. Kata tersebut memiliki makna konotasi bahwa seseorang yang telah lanjut usia itu pola pikir dan perilakunya seolah-olah kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia menjadi bersikap lebih manja dan ingin perhatian yang lebih dari kerabat dan keluarganya. Tapi bagaimana jika realitas berbicara lain, ketika lanjut usia seseorang tidak ada yang memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih kepadanya? Ia tidak ada lagi yang memenuhi kebutuhannya, baik makan, minum, maupun yang lain. Sungguh, betapa terpuruknya ia.

Keadaan itu belum melihat dari sisi fisiknya. Di usia tua, tenaga dan kekuatan seseorang telah menurun derastis. Jangankan untuk mengangkat beban, berdiri tegak saja sudah tidak mampu. Ia harus ditopang dengan tongkat penyangga. Kondisi semacam inilah, bagi masyarakat jawa kerap memberi julukan kepada mereka sebagai sapu gerang (sapu pengusir lalat). Sapu yang sudah tidak dapat difungsikan lagi untuk membersihkan tumpukan sampah. Itulah simbol dalam kehidupan masyarakat bagi mereka yang tengah measuk pada kriteria lanjut usia. Ia sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi tenaganya. Yang dapat dilakukanya hanyalah sebatas mengusur lalat saja.

Biasanya, ketika sanak-saudara dan keluarga sudah tidak ada di sisi dan tidak mendampingi mereka yang tengah lanjut usia, harapan satu-satunya hanyalah kerabat dan teman sejawat. Tidak adanya keluarga dan famili yang menemani mereka, kemungkinan disebabkan faktor-faktor tertentu, seperti meninggal dunia dan berada di tempat jauh. Itu biasanya yang kerap terjadi.

Puisi ini juga mengandung isyarah pengingat untuk mereka yang berada di kejauhan yang sekian lama tengah meninggalkan keluarganya. Apalagi keluarga yang telah lanjut usia, misalkan; orang tua, kakek, nenek, dan lain-lain. Alangkah mulianya mereka yang berkenan mengikat kembali tali silaturrahmi keluarga. Membawa mereka yang tengah lanjut usia keluar dari kesendirian dan keterpurukan usia.

Selai itu, puisi tersebut memberi isyarat bagi para lanjut usia, jika terjadi demikian, janganlah berharap sesuatu yang lebih akan kehadiran teman sejawat. Bisa jadi mereka telah wafat terlebih dahulu. Biasanya saat-saat semacam itu, mereka kerap mengenang masa lalu yang indah yang tengah dilewati bersama, entah dengan sanak,-saudara, kerabat, keluarga, maupun teman-teman sejawat. Kini kenagan hanya tinggal kenangan yang tidak mungking diulang kembali di masa depan. Oleh sebab itu, untuk menghadapi kondisi semacam itu, seseorang tidak perlu memberikan harapan kebahagiaan yang berlebihan. Apalagi sampai membongkar kembali kenangan indah masa lalunya. Yang mereka butuhkan hanya satu, yaitu pendekatan diri kepada tuhan. Ajaklah mereka untuk banyak mengingat Tuhan, sebab tujuan mereka yang lanjut usia hanya satu, yaitu menjemput kematian yang ada di depan mata dan hanya tinggal sejengkal saja.

Jangan bertanya teman sejawat kemana // sebab lama telah mendahului
Jangan menyapa dengan salam bahagia // karena cita-citanya satu semata. Mati! (Dunia Semata Wayang, bait 2 dan 3, hal 34).

Kata mendahului maknanya berkonotasi pada kata mati. Orientasinya adalah keadaan jiwa yang telah kembali pada pemiliknya, yaitu Tuhan. Teman sejawat di sini digambarkan telah terlebih dahulu kembali pada alam keabadian. Ia telah masuk pada alam kehidupan setelah kematian untuk mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Jadi, keberadaan teman sejawat tidak perlu diharapkan lagi. Kondisinya pun pasti sama sebab keterkaitan usia, bahkan bisa jadi ia telah wafat terlebih dahulu.

Fenomena yang tidak dapat dipungkiri dalam realitas kehidupan manusia adalah adanya harapan dalam pribadinya. Ini dimulai dari masa kanak-kanak bahkan jika seorang bayi telah diketahui kehendaknya, ia pasti memiliki kehendak yang sama, yaitu ingin lekas besar dan bercinta. Kehendak inilah yang menyugesti seorang anak untuk selalu mengejarnya. Pada dasarnya mereka selalu dibayang-bayangi dengan fantasi yang indah dan membahagiakan saat beranjak besar, dewasa, dan bertaut dengan cinta. Mereka akan terobsesi dengan kegagahan, ketampanan dan kecantikan atas diri sendiri, sehingga mereka dengan mudah menggaet hati lawan jenisnya untuk masuk dalam dunia percintaan. Dunia yang secara imajinatif digambarkan sebagai dunia yang selalu diselimuti dengan keindahan dan kebahagiaan oleh para remaja.

Besar dan bercinta, dulu // anak suka mengejar dan mengecapnya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Itulah fenomena yang terjadi dalam perkembangan fase seorang anak hingga usia remaja. Apa yang terjadi saat fase tersebut telah terlewati dan mereka telah masuk pada dunia setenga baya? Orientasi kehidupan mereka telah burubah lagi. Dulu yang selalu mendambakan dan mengejar-ngejar cinta kini telah beralih pada pekerjaan. Mereka berfokus pada dunia kerja dan bagaimana cara mempertahankan hidupnya serta keluarganya. Fokusnya adalah mencari nafkah bagi keluarganya, mencukupi kehidupan sehar-hari, dan membesarkan keturunannya.

Berbeda lagi saat menjelang usia lanjut melingkupi kehidupanya. Mereka dengan sendirinya akan terbersit benih-benih ketakutan dalam hatinya. Mereka takut akan kecantikan dan ketampanannya memudar. Kulit menjadi keriput. Tulang-tulang renta tak berdaya. Ingatan mulai melemah. Potret semacam inilah yang mesti diwaspadai dalam kehidupan mendatang bagi setiap orang. Apalagi kerabat dan keluarga tiada lagi menjadi pendamping yang setia.

Begitu senja merebut, takut // cantik tampan tercerabut // badan jiwa lelah menuntut bicara (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Ungkapan yang menyimbolkan usia tua atau lanjut terdapat pada kata senja. Kata ini menunjukan keberadaan hari yang hedak berganti; siang menjadi malam. Ini berkonotasi pada pergantian hidup di dunia menuju kehidupan akhirat sudah semakin dekat. Kehidupan seseorang telah dekat dengan kematian dan akan menuju kehidupannya yang baru. Keadaan semacam itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Kematian akan segera tiba, namun masih menjadi misteri kedatangannya. Ingin rasanya untuk mengakhiri hidup, tapi tidak menemukan jalan kematian yang wajar dan diridhai Tuhan

ingin pamit justru lupa alasannya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34)

_____________________
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

Selasa, 11 Oktober 2011

Tradisi Pesantren dalam Sastra Sunda

Rameli Agam
http://regional.kompas.com/

Kedudukan pesantren dalam kehidupan masyarakat Sunda mempunyai posisi yang cukup penting. Pesantren tradisional (salafiyah) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan melengkapi keberadaan suatu dusun atau kampung yang tersebar di pelosok Tatar Parahyangan. Sebagai lembaga pendidikan agama (Islam), pesantren sangatlah akrab dengan budaya masyarakat tradisional di Jabar.

Di lingkungan pesantren, ajaran nilai-nilai agama diajarkan dengan penuh kegembiraan. Para santri dilatih melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa dengan cara membiasakan diri sesuai kemampuan. Menghafal rukun iman dan rukun Islam, mengutip ajaran yang bersumber dari kitab kuning, menghafal nama-nama nabi, dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW kerap dilakukan melalui metode kidung nadoman.

Dengan cara seperti itu, tanpa terasa ajaran agama merasuk ke dalam jiwa para santri dan mengalir alamiah. Kisah para nabi dan cerita-cerita lainnya merupakan metode pengajaran di pesantren. Tak sedikit kiai yang memanfaatkan cerita-cerita tersebut sebagai media dakwah. Dari kalangan pesantren telah lahir pula cerita yang bersumber dari budaya lokal. Sekadar menyebut contoh, cerita tentang Si Kabayan Jadi Lebe dan Si Kabayan jeung Santri Kalong. Kisah Si Kabayan itu merupakan cerita yang cukup dikenal dan digemari masyarakat Sunda, termasuk di lingkungan pesantren.

Catatan penelitian Endang Supriatna dalam Jurnal Patanjala BPSNT Bandung (September 2009) mengungkapkan, dalam karya-karya sastra Sunda klasik banyak dijumpai unsur-unsur dakwah yang bersifat langsung. Pesan-pesannya selain bersifat formal, seperti uraian tentang fikih, akhlak, tasawuf, dan sejarah, juga berisi ungkapan simbolis, di antaranya kisah-kisah para wali dan hikayat-hikayat berbau mistis. Dalam karya sastra modern di masa sebelum kemerdekaan, unsur-unsur dakwah disajikan dengan lebih halus dan tersamar. Yang menonjol justru berbagai persoalan keseharian masyarakat Sunda.

Dari sejumlah pengarang Sunda, terdapat beberapa nama kawentar yang kerap mengambil tradisi kehidupan pesantren sebagai inti tema cerita. Mereka di antaranya Moh Amri, Samsoedi, Tjaraka, Ki Umbara, Ahmad Bakri, Rahmatulloh Ading Afandi (RAF), dan Usep Romli HM. Tokoh-tokoh seperti kiai, haji, santri, pemuda kampung, penghulu, lurah, dan dukun merupakan tokoh-tokoh yang umum ditemui dalam karya mereka.

Santai

Ki Umbara yang piawai menggambarkan suasana batin masyarakat Sunda, bersama SA Hikmat, menulis roman Pahlawan-Pahlawan Ti Pasantren. Dia pun banyak menulis cerita saduran dari khazanah pesantren, seperti yang terkumpul dalam Nu Tareuneung dan Hamzah Singa Allah. Kisah-kisah perjuangan mempertahankan tauhid tersaji dalam karya Sempalan Tina Tareh.

Di tangan para pengarang Sunda, tema-tema keagamaan, termasuk penggambaran kultur tradisi kehidupan pesantren, sering ditampilkan secara santai, bahkan terkesan main-main. Ahmad Bakri adalah pengarang Sunda yang sangat digemari, selain produktivitasnya, juga karena keterampilannya dalam melukiskan kahirupan masyarakat kecil dengan begitu hidup, renyah, dan segar. Pengarang yang semasa mudanya pernah tolab elmu di pesantren ini tidak hanya menulis cerita pendek, tetapi juga cerita anak-anak dan beberapa roman atau novelet.

Jumlah karyanya yang telah dibukukan terbilang lumayan banyak. Karyanya yang terkenal di antaranya Payung Butut, Rajapati di Pananjung, Srangenge Surup Manten, Sudagar Batik, Mayit Dina Dahan Jengkol, Jurutulis Malingping, Ki Merebot, Dina Kalangkang Panjara, dan Dukun Lepus. Tema-tema keagamaan, seperti puasa, tarawih, zakat, dan Lebaran, dihidangkan dengan cara perilaku dan jalan pikiran orang kebanyakan.

Umpamanya, bagaimana orang sekampung tidak makan sahur karena pemuda kampung memboikot untuk tidak membangunkan mereka. Juga cerita beduk yang dipindahkan dari masjid ke atas bukit, sebagai protes karena dilarang ngadulag selama bulan puasa.

Dengan caranya yang santai, Ahmad Bakri yang karya-karyanya matak pogot dibacana sejatinya banyak melakukan kritik, misalnya terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan penghulu atau aparat desa. Kritiknya juga ditujukan kepada kaum menak sombong dan serakah, haji yang merasa benar sendiri, ustaz yang gila hormat, atau lurah yang ucapannya patojaiyah dengan kelakuannya. Kritiknya mengalir santai, tetapi menggelitik dan terkadang dibumbui unsur humor.

Wajah pesantren yang akrab dengan lingkungan sekitarnya tergambar pula dalam Dongeng Enteng ti Pasantren karya RAF. Meski ditulis dalam dekade 1960-an, cerita-cerita seputar pesantren ini memiliki kekuatan tersendiri. RAF bertutur bukan dengan pandangan orang luar, melainkan sebagai orang dalam yang tinggal di pesantren. Detail tentang kehidupan santri dan suasana pesantren terungkap dengan gamblang. Bagi yang pernah mondok di pesantren tradisional, membaca karya RAF tersebut seperti mengurai kembali kenangan lama.

Istilah Arab

Pengarang lain yang juga sering menggarap tradisi pesantren sebagai tema cerita adalah Usep Romli. Karya-karya pengarang pituin Limbangan, Garut, yang telah diterbitkan ini di antaranya Jiad Ajengan, Ceurik Santri, Bentang Pasantren, Dulag Nalaktak, Angin Janari, dan Paguneman jeung Fir’aun. Gambaran kondisi pesantren sederhana yang dikelilingi sawah, kolam, gunung, dan sungai seakan menjadi ikon keberadaan pesantren-pesantren tradisional di Tatar Sunda.

Dengan gayanya yang santai dan juga terkadang serius, Usep Romli sering mengutip dalil-dalil Al Quran dan hadits. Untuk menghidupkan ceritanya, ia kerap memasukkan istilah-istilah bahasa Arab. Maklumlah, selain pengarang, Usep Romli juga dipikawanoh sebagai mubalig dan pembimbing jemaah haji.

Sebagai sebuah subkultur dari kultur-kultur yang ada, posisi pesantren memang unik. Dari satu kesempatan obrolan dengan penyair teureuh Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor, terungkap bahwa pesantren memiliki sistem kehidupan tersendiri yang dijalankan kiai dengan keterlibatan masyarakat sekitar. Pesantren memiliki pertautan dengan kehidupan masyarakat dan melahirkan hubungan timbal balik.

Ketokohan kiai yang menjadi panutan pun tidak lahir begitu saja, tetapi ikut terlibat dalam pengembangan komunitas sosial masyarakat. Kiai tidak hanya dimintai pendapat tentang hal keagamaan, tetapi juga dalam soal tatanen, kesehatan, kesenian, ekonomi, dan sebagainya. Beragam keunikan, ciri kemandirian, dan kultur pesantren itu telah melahirkan berbagai karya sastra Sunda yang mengisahkan tradisi kehidupan pesantren dan memperkaya khazanah jagat sastra Sunda.

RAMELI AGAM Bergiat di Komunitas Celah Celah Langit, Kota Bandung.

Geliat Menulis Esai Kritik Sastra dan Eksistensi SST (Sanggar Sastra Tasik) di Tasikmalaya

D. Dudu AR
http://oase.kompas.com/

AJAKAN workshop menulis kritik sastra dan laporan budaya dari Jodhi Yudono (pemangku rubrik oase-kompas.com) kepada saya (Pondok Media) beberapa waktu lalu, merupakan salah satu indikasi produktivitas masyarakat Tasikmalaya–menulis essay kritik sastra–jarang geliatnya. Beliau menyatakan ingin sekali masyarakat Tasikmalaya intens menulis kritik sastra dalam rangka memasyarakatkan sastra. Pernyataan tersebut dikuatkan Ashmansah Timutiah (Budayawan dan salah satu pendiri Teater Ambang Wuruk), pada kesempatan acara Tadarus Puisi (04/09) di markas OI Trotoar bahwa sudah saatnya masyarakat Tasikmalaya sering mengadakan acara kritik sastra secara rutin, seiring kelahiran penyair-penyair baru, sepatutnya didampingi kritik konservatif dari apresiator (masyarakat) sehingga berkembang dinamis dan membudayakan masyarakat sadar sastra.

Berbeda dengan pelaku sastra seperti: Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Soni Farid Maulana, Nazaruddin Azhar, Bode Riswandi, Yusran Arifin, Ashmansah Timutiah, Irvan Mulyadi, Sarabunis Mubarok, dll. Beliau-beliau ini produktif menulis essai seputar sastra. Ya, karena mereka sastrawan dan budayawan Tasikmalaya! Penelusuran saya, selama browsing alias berselancar di media online atau cetak pun hanya menemukan esai-esa sastra dari para pelaku sastra di atas. Artinya, masyarakat Tasikmalaya masih kurang aktif dan produktif menulis essay kritik sastra. Bukan masalah ingin menjadi penyair atau ahli sastra, setidaknya jiwa apresiasi dapat bertumbuh dan berkembang – dengan menulis esai kritik sastra – seiring waktu berjalan kesadaran masyarakat terhadap sastra akan meningkat.

Pada kenyataannya, kesadaran masyarakat Tasikmalaya dalam menulis esai kritik sastra, masih sangat minim. Pernyataan saya ini dapat dibuktikan dengan esai-esai yang setiap saya baca di media online atau cetak, hampir nihil yang penulisnya masyarakat (citizen) Tasikmalaya.

Menulis, erat kaitannya dengan membaca. Menurut hemat saya, ada dua ruang perihal kategori membaca (reseptif); literature (bahan bacaan/pustaka) dan lingkungan (peristiwa). Sebelum menulis, seseorang harus sadar membaca berbagai literatur dan lingkungan, sebagai referensi dan penguatan terhadap tulisan itu sendiri. Artinya, membaca memerlukan waktu dan kesadaran. Mungkin untuk sebagian orang, membaca itu membuang waktu dan energi. Barangkali ini yang menyebabkan masyarakat Tasikmalaya enggan menulis, khususnya esai kritik sastra. Seperti yang dikatakan Saeful Badar (Sastrawan dan Pemerhati Budaya), ”Menulis adalah menulis. Artinya dilewati setelah kita melakukan membaca. Kita tidak mungkin bisa menulis tanpa kita mampu membaca. Membaca tidak hanya yang berupa teks saja, tapi juga membaca beragam peristiwa dan berbagai fenomena di sekitar kita. Seribu kali orang berteriak ingin menjadi penulis, tapi dia ogah membaca apapun (cuek) terhadap segala hal yang berlaku di sekitarnya, maka seribu kali pula dia sebetulnya tengah mengatakan omong kosong belaka!!!!!”.

Latar belakang di atas mendorong saya sebagai warga masyarakat untuk menulis (jawaban) sekelumit perkembangan sastra di Tasikmalaya, alakadarnya. Pada tahun ini saja, Tasikmalaya diramaikan acara-acara sastra yang di antaranya: lomba baca puisi se-Jabar dan Banten (SST), lomba baca puisi tingkat SMP-SMU se-Priangan Timur (SMU Pasundan), lomba baca pusi siswa tingkat SD se-Priangan Timur (Aksara UPI Kampus Tasikmalaya), bedah buku antologi puisi karya Bode Riswandi (UNSIL), Tadarus Puisi, bedah antologi puisi tiga penyair sasntri: Aos Mahrus, Syifa Agnia, Aan A. Farhan (Komunitas Cermin), bedah buku antologi puisi karya Dhea Anugerah (Penyair Yogyakarta), dan bedah puisi penyair luar daerah lainnya.

Sanggar Sastra Tasik
Sepanjang pengetahuan penulis, tumbuh-kembang kesusasteraan di Tasikmalaya, khususnya sajak/ puisi memiliki perjalanan panjang, dimulai lahirnya Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Nazaruddin Azhar, Soni Farid Maulana, Bode Riswandi, Sarabunis Mubarok, Irvan Mulyadi, Yusran Arifin, dll. Beliau-beliaulah yang memberi khazanah kesusasteraan di Tasikmalaya khususnya dan nasional. Kemudian membangun Yayasan Sanggar Sastra Tasik (SST) yang dikukuhkan dengan Akta Notaris Heri Hendriyana, SH. nomor 21.- tanggal 29 Oktober 1998 yang bersekretariat di Jalan Argasari No. 18 Telp. 0265-327386 Tasikmalaya 46122.

Selama ini pun, Sanggar Sastra Tasik telah berhasil menerbitkan antologi-antologi berikut:
(1) Antologi Puisi NAFAS GUNUNG. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 1997 bekerjasama dengan Penerbit Biduk Bandung. Berisi puisi-puisi yang lolos seleksi ketat pada acara Cakrawala Sastra Kita (CS-KITA) di Radio RSPD FM Tasikmalaya yang diasuh oleh Sanggar Sastra Tasik (SST).

(2) Antologi Puisi DATANG DARI MASA DEPAN. Editor Toto Sudarto Bachtiar, Acep Zamzam Noor, Hikmat Gumelar & Karno Kartadibrata. Terbit tahun 1999, berisi 37 puisi dari 37 Penyair Indonesia yang masuk nominasi Lomba Cipta Puisi Nasional, Pesta Sastra Tasikmalaya 1999.

(3) Antologi Puisi ORASI KUE SERABI. Editor Drs. Jojo Nuryanto M.Hum. Terbit tahun 2001 bekerja sama dengan Gedung Kesenian Tasikmalaya. Berisi
puisi-puisi para penyair Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Ciamis yang aktif
bersosialisasi di Sanggar Sastra Tasik (SST).

(4) Antologi Puisi 6 PENYAIR MENEMBUS UDARA. Editor Irvan Mulyadie. Terbit tahun 2001. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 1.

(5) Antologi Puisi EPIGRAM BUAT SUHARTO. Karya Saeful Badar. Terbit tahun 2001. Berisi 36 puisi sosial karya penyair Saeful Badar.

(6) Antologi Puisi 6 PENYAIR MEMBENTUR DINDING. Editor Nizar Kobani. Terbit tahun 2002. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 2.

(7) Antologi Puisi 6 PENYAIR MEMINUM ASPAL. Editor Sarabunis Mubarok. Terbit tahun 2002. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 3.

(8) Antologi Puisi MUKTAMAR. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari 30 Penyair peserta Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 yang diselenggarakan oleh Sanggar Sastra Tasik bekerjasama dengan Forum Komunikasi Sastra Jawa Barat di Tasikmalaya.

(9) Antologi Puisi 6 PENYAIR MENGHISAP KNALPOT. Editor Ashman Syah Timutiah. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi
Enam’ tahap ke 4.

(10) Antologi Puisi POLIGAMI. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari para Penyair Tasikmalaya yang lolos ‘Program Tradisi Enam’, sebuah program dengan mengupayakan uji publik dan telaah karya (kritik) bagi para penyair Sanggar Sastra Tasik (SST).

SST sebagai media sastra, menjadi vital eksistensinya menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat terhadap sastra di Tasikmalaya. Sebagai warga biasa, penulis berharap, SST tetap survive dan tidak jenuh menebarkan virus kesusasteraan di Tasikmalaya agar seiring perkembangan sastra yang sekarang telah beralih ke cyber sastra mampu mendampingi masyarakat untuk memahami dan tentunya memasyarakatkan sastra lebih intens lagi.

Dengan begitu, perkara menulis esai sastra yang masih minor dikidungkan masyarakat Tasikmalaya akan semakin mayor seiring perkembangan kesadaran masyarakat terhadap sastra meningkat. Terimakasih.

*) D. Dudu AR : Guru SDN. Perumnas 1 Cisalak Kecamatan Cipedes dan Pimpinan Pondok Media (Citizen Journalism Forum) Kota Tasikmalaya Jawa Barat

Rahim Sastra Ibu Pertiwi

Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS
Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Nurel Javissyarqi, sahabatku ini seperti menyorong sampan ke arahku yang berdiri di seberang tepian telaga, saat ia menyuruhku: “Sabrank, tolong kau resensi Antologi Puisi Sihir Terahir yang ditulis Komunitas Perempuan ASAS.” Dan aku mengibaratkan 23 penyair wanita ini sebagai bentangan pulau-pulau Nusantara, yang tak akan pernah khatam kujelajahinya, sebab tiap pulau menyimpan wilayah rahasia kealaman. Lelaki hanyalah perantau yang tak pasti kakinya mampu berjejak pada jalanan setapak. Pulau Nusantara ini adalah gempilan tembok sorga yang jatuh berpuing-puing saat tersenggol Raja Malaikat ketika ia berdansa merayakan kemenangan kontes kilauan cahaya yang digelar Tuhan, jauh sebelum kehidupan ada.

Per-empu-an, kata dasarnya’empu/bentol/bonggel yang menumbuhkan tunas. Saat ia remaja disebut ‘gadis per-rawan’, kemudian nona, nyonya yang tetap konstan sebagai wanita dan memiliki perempuan.

Adalah sebuah proyek raksasa jika kemudian wanita ASAS berdebut di perpuisian, yang kreatifitas itu nyata mengisi celah di antara himpitan privacy kewanitaannya. Pengantin baru temanku diawali dengan perselisihan kecil. Sang suwami, mengajak istri berkunjung ke rumah saudara sekiar jam 11 siang. Istri menunda sore hari biar tidak terlalu panas. Suwami berargumen filsafat,”panas matahari saja takut, toh kepanasan tidak sendiri. Matahari memang tercipta untuk bumi. Kenapa harus menyesali panas? Petani, kuli bangunan, pemecah batu, lebih kepanasan dari kita.” Meski perselisihan usai beberapa jam kemudian, pengantin wanita sempat menangis. Permasalahan mereka sepeleh. Sang wanita sedang menstrulasi, dan dalam perhitungannya sekitar 2 jam lagi sudah harus banjir dan ganti softtex. Ketabuahan berganti softtex di rumah orang lain tidak dipahami suwami. Sementara istri tidak menjelaskan secara utuh.

Puisi puisi Antologi Sihir Terahir adalah ‘jabang bayi sejarah’ dari rahim 23 wanita: Aldika Restu Pramuli, Alfatihatus Sholihatunnisa, Amelia Rachman, Cut Nanda A, Dea Ayu Ragilia, Desti Fatin Fauziyyah, Dewi Kartika, Dian Hartati, Dian Budiana, Ellie R. Noer, Evi Sefiani, Evi Sukaesih, Fadhila Ramadhona, Fina Sato, Ikarisma Kusmalina, Ike Ayuwandari, Laila N. Guntari, Lela Siti Nurlaila, Maya Mustika K, Seli Desmiarti, Tita Maria Kanita, W. Herlya Winna, Winarni Rahmawati.

Corak puisi yang meraka lahirkan dalam Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS ini merupakan garis mediteranian sejarah sebelumnya, dimana keserempakan warna tekstur menisbikan kemajalan fluktuatif. Ruang medium semacam ini menjadi zona pembatas yang memisahkan corak bersikap wanita dari kungkungan hepnotis sejarah sekian lama yang memandang wanita hanya sebatas pelengkap penderita kaum Adam. Sihir Terahir bukan sekedar letupan damba puisi Seli Desmiarti, tapi ekspresi geliat wanita zaman yang menandai proses pelonggaran jerat konvensi perkembangan sejarah sastra yang menyerimpungnya.

Sebagai makhluk dunia, wanita tak bisa menghindar dari ekses muara kegelapan sitem sosial, politik suatu negara. Di Indonesia, kwantitas wanita yang lahir di atas tahun 1965 membaik seiring tertingalnya masa traumatisasi G30 S PKI. Semakin jauh meninggalkan jejak trauma, semakin baik pula. Apalagi perempuan ASAS lahir seputaran tahun 80 an. Wanita Indonesia prakemerdekaan hidup dirundung was was dan ketakutan. Sedang di sisi lain, wanita harus menggendong bayi yang dilahirkan, yang artinya ketika menggendong, wanita sedang menghembuskan suasana hati yang direkam langsung sang bayi, dan diputar ulang ketika bayi dewasa kelak. Jika ibu menggendong dengan hati was, iri, takut, merasa tertindas, maka anak akan merealisasikan dalam hidupnya. Sampai pada sekitar tahun 2017, pejabat di Indonesia adalah anak yang dilahirkan pra1965. Rasa dendam dan was wanita waktu itu tergambar jelas dari ulah pejabat sekarang yang tak henti korupsi, mencurigai yang lain, bersaing menumpuk kekayaan dll. Dunia sastra pun demikian. Simak pertikaian Lesbumi, Lekra, Manikebu, Poros Tengah, Poros Langit, Poros sorga, TUK, dll yang untung saja tidak mengeluarkan KTP sebab royokan ‘tua’. Dan ini membosankan.

Tapak-tapak jejak meninggalkan tahun 1965, wanita masih harus lekat dengan rendahnya SDM yang memberlakukan wanita sebagai sangkar madu. Dan ini terjadi sampai batas yang belum diketahui ujungnya. Kekuatan karya sastra tak pernah beranjak dari pijakan mengexploitasi aroma sex belaka. Komposisi ini disebut sastra kelamin. Paul I. Willman, WS. Rendra dan semua penulis sampai era2010 masih asyik mengexploitasi wanita sebagai karya kebesaran. Dalihnya sederhana, yakni menyibak keutuhan sastra. Bahkan sepanjang penulis wanita yang saya amati masih ajeg merelakan buka aurat dalam sastranya yang sesungguhnya hanyalah program mendukung ambisi kaum adam.

Sejak Joyce Carol Oates, Joan Didion, Susan Sontag, Nadine Gordimer, Elizabeth Bishop, sampai Ayu Utami, Lang Fang, Ida Ahdiah, Yetti A.KA, Oka Rusmini, Ana Balqis, Aquarina Kharisma Sari, Abidah El Khalieqy dan banyak lagi barisan penulis wanita yang happy enjoy dengan aroma sastra kelamin. Keadaan ini menggambarkan kesempitan ruang sastra yang seolah olah tidak ada lagi kreasi puncak suspansi terhadap wilayah sastra yang luas.

Puisi ASAS menapaki lambaikan tangan seraya membelok keadaan ke arah zamaniahnya. Inilah yang disebut garis medium. Rontaan untuk menuntut diri wanita tampil baru sebagai penghuni zaman dilontarkan Tita Maria Kanita dalam larik puisi//menyimak wanita tidak cuma dilihat, namun didengar// puisi Telinga. W. Herlya Winna dalam Cahaya di Halaman Mata//Kutanam cahaya di halaman mata//menghasilkan anak-anak matahari//Kukayuh tubuh saat petang, rubuhkan sisa-sisa waktu//. Fina Sato dalam Tak Pernah Kutemukan Wujutmu dalam Riuh//ihwal seorang perempuan bukan dongeng si penjaga cahaya//. Ellie R. Noer dalam Bidadari Mandi//dulu bidadari mandi di pelangi//sekarang mandi di menu pagi//. Puisi Bahteranya Dian Hartati juga mengambil langkah tegas//aku dan tubuhku diintai waktu//siapa penghuni berikutnya//dapatkah kujelaskan pada mereka//tempat berlabuh yang aman tetap tubuhku//. Sikap perpuisian mereka ini sedang mempersiapkan new space bangunan peradapan wanita yang proporsial.

Meski keadaan ini tidak nyata membalik sastra, tetapi gelagat Sihir Terahir awal sentakan sihir sastra dalam menggali wanita sebagai kelengkapan.

Hehehe. Tentu saja tidak bisa menuntut wanita secara berlebihan. Wanita sebagai makhluk kealaman, syarat dengan keterbatasan. Namanya juga wanita. Seluas jangkahnya terbatas jarik dan daster yang dikenakan. Meski wanita menyarap bak ular kobra yang sengit, bengis, apalagi wanita produk fakultasan, keinginannya sejajar dengan pria, kerap menghilangkan esensi kewanitaannya. Se-gander apapun, wanita tetap menstrulasi, hamil, melahirkan, mengasuh, menghembuskan suara hati untuk mewarnai si jabang bayi. Wanita hanya memiliki satu gen keturunan. Tabiatnya tentu sama sejak suku Hawa, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Minahasa, Padang, Jombang, Bandung, Aborigin, Mindanao, Arab, Yahudi, suku awal wanita hingga suku ahir wanita. Berbeda dengan laki-laki yang menurunkan berjuta-juta gen spermatozoon.

Wajar. Fitroh, jika dalam Antologi Sihir Terahir masih menyerta tradisi pramedium, yakni tradisi wanita mencipta karya sebagai pelampiasan/ekstas diri membangun dirinya, pandangan mengenai dirinya, di hadapan dirinya sendiri. Puisi wanita adalah wakil bahasa tabu dan diamnya. Kejalangan menyertakan nama seseorang yang dituju dalam puisinya sesungguhnya hanya mengotori/inveriority penafsiran sastra. Fina Sato misal, dalam puisi Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah, ditujukan buat Rosadi, dalam puisi Kota Kuno ditujukan buat Eko Budiharjo, dan satu lagi buat Wayan Sunarta. W.Herlya Winna ditujukan pada Kang Nyonk dan Novia, Winarni.R membingkis khusus buat inisial ‘Deng’, Fadhila Ramadhona menyertakan A.R. Kusumah dan H.S Wijaya dalam puisi Lelaki Senja-nya. Sementara Dian Hartati dan Ellie R. Noer masing-masing mendata satu tautan nama: ~ba dan Acep Zamzam Noor. Hehehe, seandainya perantauan mereka mengarungi jagat raya dan bertemu idola, kekasih, musuh, tokoh ternama, jin, malaikat, bahkan ‘tuhan’, berapa banyak lagi deretan nama dijumpai dalam puisi yang hanya untuk ngudal rasa pelampiasan.

Minggu 12 September 2010, buku Sihir Terahir baru sampai di tanganku. Aku baca serius. Aku amati. Aku orasi mondar-mandir di balai rumah, didengar saudara, bapak, ibu, teman yang mereka tak mengerti sastra. Yang mereka tau, aku penulis dan sering diundang baca puisi. Kenapa aku seriusi buku ini? Bukan karena aku laki-laki, dan Sihir Terahir ngerumpinya 23 penyair wanita, hingga aku memberi perhatian khusus. Hehehe, sederhana saja yang ingin kuketahui. Apa rahasia buku ini kok sampai menyebabkan aku dan tunanganku terpisah gara-gara buku ini.

Sebetulnya tidak ada hubungan antara pertengkaran hebat aku dengan tunanganku. Tapi juga tidak bisa jika buku ini tidak dihubungkan. Setelah 3 minggu buku ini dipinjam pacarku, ia aku mainta menghantar kerumah, karena aku ingin segera meresensinya. Sampai di tengah perjalanan pacarku tidak mau kerumah, malu bertemu ibuku. Aku marah. Dia menangis. Aku memahami pacarku tak ada militansi dengan kepentingan sastraku, persahabatabku yang sudah tertunda sebulan. Pacarku memahami bahwa aku cowok yang tak memahami wanita. Hubungan kami beku, padahal kami mestinya sudah resmi.

Ternyata, sekecil apapun oleh-oleh bagi wanita yang ia bawa saat bertamu adalah hal penting. Tetapi lelaki kerap tak memahaminya.

Suara wanita adalah yang tak diwakili laki-laki. Sebagaimana kekuatan wanita jika didampingi lelaki dekatnya. Untuk berkarya, laki-laki hanya memerlukan dukungan dari wanita. Untuk berkarya, wanita memerlukan kelonggaran waktu yang diberikan laki-laki.

Era Baru Penghormatan terhadap Puisi

Fuska Sani Evani
http://www.suarapembaruan.com/

Kelompok musik Pardiman Djojonegoro yang juga meresepsi puisi ke dalam pitutur Jawa pada rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 Sabtu (25/8) di sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogyakarta.

Romo Sindhunata SJ, tampak manggut-manggut. Kadang menekuk siku, kadang geleng-geleng. “Asyik juga ya, gak kalah sama dangdut, bisa juga buat goyang,” katanya.

Ternyata, Romo Sindhu, sedang menikmati irama musik Hip-hop yang dilantunkan empat anak muda, Mamox, Heldi, Bo, dan Balan, personel “Jahanam” salah satu dari sekian kelompok musik Hip-hop di Yogyakarta.

Simak saja syair milik Romo Sindhu yang dilebur dalam irama hip hop.

Sengkuni leda- lede, Mimpi baris ngarep dhewe, Eh barisane menggok,Sengkuni kok malah ndheProk, nongji, nongro.

Anak-anak kelompok musik hip-hop asal Yogyakarta itu, melantunkan syair-syair puisi milik Romo Sindhunata SJ dari kumpulan puisinya Air Kata-kata berjudul Cintamu Sepahit Topi Miring, Rep Kedep dan karya mereka yakni Bingung. Kelompok lain juga tak kalah. Kontra mengambil puisi dari Azep Zamzam Noor.

Satu komentar biarawan eksentrik ini. “Saya apresiatif, saya senang, biar saja puisi saya mau diobok-obok yang penting mereka juga ikut mengapresiasi,” begitu Romo Sindhu sambil terus manggut-manggut.

Jelas, malam Minggu (Sabtu, 25/8) halaman sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogya, semarak oleh untaian-untaian puisi gaya baru. Ada puisi milik Taufiq Ismail dan Acep Zamzam Noor. Dengan puisi, Jahanam menjadi begitu terkenal di Jawa Tengah dan berhasil menjual album indie mereka yang berjudul Tumini sebanyak 20 ribu kopi.

Sementara Kontra me-ngaku hampir setiap bulan mendapat panggilan manggung sebanyak dua kali, dengan tarif Rp 1 juta untuk dalam kota serta Rp 1,5 juta (nett) untuk luar kota.

Adalah Word Aloud, rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 yang menjadi ajang pertama I Gede Putu Bawa Samargantang menyerukan sajaknya dalam bahasa Bali.

Sebanyak 14 penampil, tidak hanya berasal dari Yogyakarta saja. Selain Pardiman Djojonegoro, Abbas Ch feat Purwanto, Alex Suhendar, Erynthrina Baskoro feat L Enrico, Jahanam, Kontra, Jamaludin Latief, Dina Oktaviani, Afrizal Malna, Tony Maryana feat Ika Sri Wahyuningsih yang berasal dari YOgyakarta, tampil juga D Zawawi Imron (Madura), I Gede Putu Bawa Samargantang (Bali), Asmara Laut Tawar (Aceh), dan Irmansyah (Jakarta).

Kelompok music hip-hop “Jahanam” asal Yogyakarta dan Romo Sindhunata SJ, usai mendendangkan puisi dengan irama Hip-hop pada Word Aloud, rangkaian acara sajian Divisi Sastra FKy-XIX 2007 Sabtu (25/8) malam di sebuah restoran di depan Stasiun Tugu Yogyakarta.

Parade Seni

Salah satu panitia, Risky Sasono menjelaskan, parade seni tulisan tangan ini akan diramaikan dengan berbagai penampilan yang mungkin tak lazim seperti story telling, monolog dengan dukungan multi media bahkan penampilan rapper Kontra yang akan mendendangkan musik rap dihadapan pengunjung.

“Word Aloud kali ini merupakan sebuah ruang ekspresi yang integral antara sastra dan pertunjukan. Jadi parade seni tulisan tangan ini akan diramaikan dengan berbagai penampilan yang mungkin tak lazim seperti story telling, monolog dengan dukungan multi media bahkan penampilan rapper Kontra yang akan mendendangkan musik rap,” kata Risky.

Suasana itu tampak sangat berbeda dengan acara sehari sebelumnya, saat 30 penyair se-Indonesia membacakan narasi-narasi yang puitis. Malam itu, puisi tidak lagi menjadi untaian kata-kata yang dibacakan dengan deklamasi. Tidak ada lagi unsur teaterikal. Namun, kata-kata bermajas itu menjadi semakin melejit dan bisa diterima kalangan anak muda.

Tidak ada lagi penyair, yang melantunkan puisi dengan menggebu-gebu. Tidak ada lagi menunggui dengan bosan. Membaca puisi, sekarang bisa dilakukan dengan apa saja.

“Bukannya sok puitis, tapi kami ingin mencari jati diri dalam puisi itu,” komentar Mamox.

Selain Mamox dan kelompoknya, setidaknya sudah ada 10 kelompok yang menggabungkan diri dan punya misi sama, yakni menyebarluaskan puisi-puisi karya para sastrawan kelas berat, kepada khalayak muda.

Lepas dari persoalan pementasan, puisi adalah pojok yang tersisa dari kesibukan yang melelahkan. Puisi adalah pengalaman. Membaca puisi dengan berteriak adalah menjadi kuno pada saat ini.

Memang bukan hal yang baru. Semua bentuk puisi dalam tradisi indonesia selalu mempunyai praktik pelisanan yang khas. Geguritan, pantun dan syair pernah menjadi primadona. Lambat laun hilang dan tergantikan deklamasi atau baca puisi. Rendra, adalah penggerak cara membaca yang mendayu-dayu.

Setelah itu, muncul Sutardji Calzoum Bachri dengan gaya dewa mabuk-nya. Namun lantas sepi.

Puisi milik Romo Sindhu contohnya. Bisa dilantunkan dengan nge-rap. Soal pertentangan? Pasti itu ada. Ada pendapat, puisi adalah kesakralan, dan harus dilantunkan oleh pakarnya. Namun, itu dulu. Sekarang, kalau tidak mau bercampur dengan dinamika, daya tarik puisi akan sirna.

Gairah nge-rap-kan puisi itu kemudian mencuat dan menuai sukses yang dikuti dengan pembuatan album kolektif, berjudul Poetry Hip Hop. Di dalam rekaman berbentuk cakram itu, ada 10 lagu yang dibawakan oleh 10 kelompok hip-hop Yogya. Dari Serat Centini (Sinom 231), sampai Dikawinkan Alam (Sitok Srengenge), Cinta Dalam Retropektif Alkohol Akhir Tahun (Saut Situmorang) hingga karya Sindhunata (Cintamu Sepahit Topi Miring), muncul menjadi sebuah repertoar yang sangat berbeda. Sebuah puisi percintaan dari Acep Zam-Zam, diotak-atik menjadi sebuah repertoar hip-hop yang erotis. Puisi-puisi itu lahir kembali dalam wajah dan era baru.

Massa Penyair dan Fanatisme Memalukan

Binhad Nurrohmat
http://www.kr.co.id/

BILA DISENSUS, penembus rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk ini sangat populer, “sakral”, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus. Dua penulis sastra yang terakhir ini jumlahnya minim, bisa dikata hanya sehitungan jari tangan kita. Penyair juga dianggap representasi paling umum kesusastraan kita serta juru bicara kebudayaan kita.

Hampir setiap kota provinsi di Indonesia memiliki penyair yang dianggap sebagai wakil dari basis geografis-administratifnya masing-masing. Bahkan ada predikat personal-geografis yang dilekatkan pada identitas seorang penyair didasarkan pada tempat domisilinya, misal Afrizal Malna Penyair Jakarta, Acep Zamzam Noor Penyair Bandung, Amien Wangsitalaja Penyair Yogyakarta, Warih Wisatsana Penyair Bali, Isbedy Stiawan ZS Penyair Lampung dan masih banyak lagi.

Selain itu, saking banyaknya jumlah serta interaksi yang kuat antar penyair, mereka mendirikan komunitas atau forum di daerahnya masing-masing, yang sebagian besar anggota dan ketua serta pendirinya adalah penyair juga. Di Bandung ada Forum Sastra Bandung (FSB), di Jakarta ada Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), di Bali ada Sanggar Minum Kopi (SMK). Menurut sebuah penelitian, ada lebih dari 50 komunitas di sekitar Jabotabek. Kecenderungan mengelompok seperti ini tak ditemukan pada kelompok penulis sastra yang lain.

Ada sejumlah asumsi mengenai kecenderungan itu. Pertama, untuk menciptakan komunikasi kreatif yang lebih intens melalui acara atau agenda pertemuan. Kedua, manifestasi ketakpercayaan atau ketakmampuan untuk ‘sendirian’ mengolah potensi kreatif, sehingga membutuhkan kelompok atau komunitas untuk mengukuhkan eksistensi. Maka ada gejala seolah komunitas-komunitas itu menjelma sebagai ‘blok-blok’ kelompok sastrawan tertentu yang menunjukkan adanya upaya saling bersaing satu dengan yang lain dan memiliki ‘massa fanatik’ masing-masing.

Fenomena kepenyairan kita belum juga surut, setidaknya dari segi jumlah personal dan produksi teks puisi. Hampir setiap penyair kita pernah mempublikasikan/mengirimkan puisi ke media massa (yang memiliki rubrik puisi) dan memiliki antologi puisi tunggal maupun kolektif dalam bentuk manuskrip maupun buku. Juga sudah lama ada media yang mengkhususkan diri memuat puisi seperti Jurnal Puisi. Situs-situs sastra kita seperti Cybersastra.net dan Bumimanusia.or.id juga lebih banyak diserbu puisi. Penghargaan sastra Anugerah Sastra Chairil Anwar, Lontar Award, Khatulistiwa Literary Award, Rancage (dan masih banyak lagi) maupun penghargaan sastra dari mancanegara seperti SEA Write Awards (Thailand), Hadiah A Teeuw (Belanda), maupun Hadiah Yayasan Wertheim (Belanda) lebih banyak yang disabet penyair ketimbang kelompok penulis sastra yang lain. Gambaran-gambaran demikian barangkali yang telah ikut memberikan sebuah pembesaran citra kepenyairan kita tampak kuat, mapan dan legitimated dalam dunia penulisan sastra kita sampai detik ini.

Massa Penyair

NAMUN pembesaran citra itu tak selalu persis dengan kondisi obyektif kualitas mayoritas kepenyairan kita. Ada semacam pars prototo dalam dunia kepenyairan kita saat ini. Prestasi kepenyairan yang diraih oleh hanya minoritas penyair, seakan telah membuat mayoritas penyair juga terangkat citranya, tersanjung. Kemudian dari sikap gede rasa ini muncul nuansa semangat massa yang luar biasa besarnya, kadang dihiasi histeria dan terciptalah semacam “massa penyair” –istilah yang semoga saya pakai sementara saja. Massa ini berada di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Lampung, Tangerang dan daerah-daerah lainnya dan sekarang masih aktif bekerja memproduksi teks puisi yang melimpah jumlahnya.

Rekor jumlah penyair kita mungkin sebuah ‘prestasi’ tersendiri secara sosiologis dan fenomena menarik di mata para pengkaji cultural studies. Tapi prestasi jumlah itu tampaknya sangat jelas tak seimbang dengan jumlah upaya eksplorasi yang lebih jauh. Sebagaimana karakter massa, puisi penyair kita saat ini cenderung seragam tema dan pengucapannya. Penyair kita seperti bekerja dalam sebuah rumah berdinding cermin, sehingga yang berada di dalamnya satu sama lain saling berpantulan bayangannya, melakukan pesta besar interteks.

Penyair kita saat ini lebih banyak mempertebal garis capaian-capaian lama yang sudah digaritkan para pendahulunya ketimbang melakukan eksplorasi inovatif dan hanya berputar-putar dalam labirin capaian-capaian lama itu dan tak kunjung mampu menembus batas garis atau menemukan lorong keluar dari dinding-dinding labirin usang yang mengurungnya itu. Barangkali tuduhan demikian ini sudah klise, berulang-ulang. Tapi justru itu menjadi sebuah petunjuk bahwa kepenyairan kita memang belum berubah dan tak beranjak dari titik-titik itu juga.

Dari kondisi demikian, sampai-sampai ada ungkapan pesimis-retoris dari lingkungan penyair muda seperti Jamal D Rahman, “Jika para penyair terdahulu telah hampir menghabiskan eksplorasi dalam pengucapan, apalagi yang bisa tersisa untuk kami?”. Pesimisme ini sebuah representasi wajar dari dalam lingkungan penyair kita yang sadar diri dan sekaligus gelisah dengan kemacetan mobilitas estetik dalam perpuisian kita saat ini. Pesimisme ini dengan sangat menggebu dan panjang lebar dinilai esais Nirwan Dewanto sebagai adanya perasaan dibebani oleh sejarah sastra nasional. Menurut esais ini, ada yang patut dipertimbangkan dari ungkapan ini, antara lain, bahwa dia (Jamal D Rahman-pen) sedang menyempitkan dunia dan menutup mata pada sumber dari segala zaman yang sebenarnya bisa dia pilih secara merdeka, tetapi ternyata tidak pada ‘para penyair terdahulu’ (…) sehingga dia tak pernah siap menjelajahi kemungkinan yang begitu kaya dalam khazanah puisi yang sesungguhnya (…) ibarat sebuah bidang lukisan sudah terisi barik dan jejak para pendahulu, sehingga baginya hanya tersisa sebuah pojok kosong yang kecil saja, di mana ia hanya bisa melanjutkan bentuk-bentuk yang sudah (terlanjur) ada.

Saya kira dalam konteks ini Jamal D Rahman dengan ungkapan pesimistik itu hanya ingin jujur memberikan sebuah representasi obyektif kondisi kepenyairan kita saat ini. Dan tanggapan kritis Nirwan Dewanto itu suatu upaya terobosan untuk memberikan solusi yang kemungkinan bisa menjawab dan memecahkan pesimisme penyair Jamal D Rahman itu. Representasi jujur-obyektif Jamal D Rahman tentang kepenyairan kita dan dialektika-kritis sebagaimana yang ditawarkan Nirwan Dewanto, adalah contoh persentuhan dua pendapat yang aktif dan produktif. Tanpa harus berpolemik panjang berbusa-busa sebagaimana tradisi polemik kita selama ini tentang dunia sastra kita yang cenderung tanpa hasil cuatan solusi atau dialektika yang signifikan dan hanya menjadi tumpukan wacana yang beku, tak fungsional, nihil. Dua pendapat itu merupakan wujud keprihatinan mendalam terhadap dinamika kepenyairan kita saat ini. Banyakkah makhluk sejenis ini yang masih mau meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menyumbangkan pemikirannya bagi perkembangan puisi kita?

Adanya sinisme, olok-olok intelektual ataupun sekadar anekdot yang nyata-nyata ditujukan pada hasil kerja kepenyairan kita saat ini, kerap muncul dengan nada vulgar dan menggugat (melalui forum diskusi maupun tulisan di media massa) itu saya kira sangat wajar, bahkan ‘menguntungkan’ dan di baliknya mungkin justru mengeram niat baik untuk bersikap kritis dan obyektif pada kondisi kepenyairan kita saat ini. Menurut saya, sikap sumbang itu bukan suatu nonsense belaka. Sikap itu mesti diterima dan dimaknai sebagai representasi yang memiliki akar-akar kausalitas obyektif yang bisa dirunut pijakan paradigma dan nilai kebenarannya. Dengan pemahaman lain, sikap sumbang itu menjadi semacam warning signifikan bagi kepenyairan kita saat ini. Semua itu representasi kerja kritik dalam versi lain.

Kenapa Jadi Massa

KESERAGAMAN dan kemacetan mobilitas estetik puisi penyair kita saat ini disinyalir, salah satunya, karena adanya bias berlebihan dari semaraknya puisi kita di media massa jurnalisme sastra. Terutama koran. Koran-koran penting (di Jakarta) yang memiliki rubrik puisi konon selalu kebanjiran serbuan kiriman naskah puisi para penyair yang berdomisili di Jakarta maupun daerah. Kondisi demikian seringkali merepotkan pihak redaksi untuk melakukan pemilihan terhadap unggunan naskah yang menumpuk di mejanya. Hal ini memaksa redaktur untuk harus memilih dengan kriteria-kriteria tertentu yang mungkin bersifat subyektif, sebab tidak adanya konvensi yang jelas dan pasti tentang puisi (yang baik). ‘Subyektif’ di sini lebih tepatnya sebagai sebuah pilihan yang sesuai dengan selera redaktur, yang kadang tak bisa dipaparkan secara rinci dan jelas. Akibatnya, muncul identifikasi terhadap sebuah corak atau warna puisi yang dimuat media jurnalisme sastra tertentu yang diidentikkan dengan pilihan selera redakturnya. Contoh, pada tahun 70 dan 80-an koran Berita Buana ketika masih memiliki rubrik puisi yang diredakturi Abdul Hadi WM yang identik dengan puisi sufistik, atau majalah Aktuil yang diredakturi Remy Silado dengan puisi mBeling. Kecenderungan identifikasi demikian ini berlangsung juga pada media jurnalisme sastra saat ini, meskipun agak tak mudah untuk merumuskan dan memetakannya secara tepat-menyeluruh.

Sementara itu penyair kita sudah kadung mempertaruhkan dan menggantungkan media ekspresi puisinya melalui media jurnalisme sastra (khususnya koran) dengan semacam ‘histeria publikatif’. Hal ini membuat penyair kita terpaksa (sadar atau di luar sadar) kompromi dalam kerja kreatifnya, menyesuaikan diri dengan corak puisi media jurnalisme sastra yang diharapkan bisa memuat puisinya. Kondisi demikian membuat puisi yang dimuat media dijadikan sebagai konvensi puisi. Salah kaprah ini pun seakan-akan menjadi kesadaran umum penyair kita tentang hakikat kerja kreatif, terutama puisi. Tapi justru pola kerja demikian membuat keseragaman penulisan puisi penyair kita ‘selamat’ dan menemukan wilayah atau medium dan memberi ruang yang bisa menampung ekspresinya yang dipercayai dapat memberikan legitimasi kepenyairan, terutama media jurnalisme sastra yang dinilai memiliki citra istimewa. Akibat ketergantungan berlebihan ini, membuat penyair kita menjadi kehilangan kepribadian, mampat eksplorasi kreatifnya yang radikal-alternatif dan sekadar menjadi massa pengikut mainstream puisi tertentu, mungkin, dengan kadar fanatisme yang memalukan.

Gambaran di atas menunjukkan sebuah disorientasi eksistensial penyair kita yang lebih banyak melebarkan ruang legitimasi melalui media jurnalisme sastra dan menciutkan ruang untuk eksistensialisasi individu penyair lewat nilai sastra itu sendiri. Puisi dijadikan jalan pintas yang pragmatis dan efektif untuk mencari sumber pemasok ke dalam ruang eksistensi yang belum penuh dengan cara simbolik hadir menemui publik pembaca yang seluas-luasnya. Sehingga seorang penyair merasa sudah berhasil bila puisinya dimuat media jurnalisme sastra dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya.

Penyair kita tanpa sadar justru lebih banyak ‘belajar’ menulis puisi secara sekilas dari puisi yang dimuat media jurnalisme sastra itu dan sangat jarang membaca, belajar dan melakukan pembandingan khazanah puisi dari literatur (buku) penyair lain (terutama puisi dunia) yang sebenanrya layak untuk dijadikan bahan untuk belajar karena khazanahnya yang begitu beragam dan luas. Puisi koran kemudian menjadi mainstream yang luas dan kuat yang diam-diam ‘melemaskan’ gairah idealisme kerja kreatif yang difference atau alternatif. Kelemasan ini berlangsung massal dan hanya segelintir penyair yang berani dan mampu mengambil jalan lain dan bekerja keras melepaskan diri dari kelemasan massal itu, lalu belajar dan berpaling pada literatur lain yang lebih memungkinkannya mendapatkan keluasan wawasan puitika.

Jam Kerja Laborat

PENYAIR KITA sangat jarang yang memiliki disiplin dan metoda kerja kreatif, atau katakanlah ‘jam kerja’, yang diterapkan secara ketat. Misal, dalam sehari berapa jamkah penyair kita menggeluti puisi, bertarung dengan bahasa, bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan artistik di ‘laboratorium’ kerjanya? Tradisi menulis puisi penyair kita masih bersifat sambil lalu dan lebih mengandalkan keterampilan bakat alam belaka sebagaimana cara kerja seniman tradisional. Payahnya disiplin dan metoda kerja membuat penyair kita terperosok ke dalam kepicikan-kepicikan pada mainstream penulisan yang tidak berkembang dan konservatif, sehingga terpencil dari perkembangan puisi (yang sesungguhnya) jauh di luar sana.

Selain itu, dimensi intelektual penyair kita jarang diasah dengan bahan-bahan wacana sastra dan kebudayaan secara luas, sehingga kesadaran intelektualnya tidak dinamis, bahkan merosot ditandai dengan minimnya pemikiran sastra dari penyair kita. Efek dari kemerosotan dan ketidakdinamisan intelektual ini adalah kekurangmampuan (kemalasan?) untuk mengambil saripati kazanah sastra dan wacana yang ada untuk keperluan memperkaya agenda kerja kreatifnya. Sehingga kritik-kritik puisi yang ada saat ini pun menjadi tidak operasional, karena penyair kita tidak memiliki kepekaan intelektual.

Massa penyair ini kemudian menjadi sekadar para pecandu bahasa yang letih tapi terus saja keras kepala bekerja dengan cara memunguti bias-bias dan remah-remah puisi mainstream yang ada dan tak ada usaha untuk mencoba menembus khazanah puitika yang lebih luas yang masih mungkin dirambahinya. Sebab bagi penyair kita, produktivitas terlanjur jadi ukuran penting. Maka, sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, biografi kerja (track record) kepenyairan kerap menjadi kebanggaan dan seringkali direkayasa dengan pembubuhan-pembubuhan biografi kepenyairan yang tak jujur (‘Dusta Biografis’ Kepenyairan Indonesia, Republika Minggu, 2 Desember 2001).

Kemana massa penyair kita saat ini akan menempuh arah perkembangannya? Energi budaya yang fantastik itu masih menggeliat-geliat, asyik sendiri dan hiruk-pikuk di tempat di tengah gemuruh percepatan perkembangan ilmu, teknologi maupun cabang-cabang seni lain yang berada di sekitarnya. Betapa luar biasa perkembangan prosa kita dengan sejumlah capaian, masterpiece dan tokoh sastrawannya yang mumpuni dan diakui dunia internasional. Penyair kita sekarang harus menengok serta mempertimbangkan gemuruh di sekitarnya itu untuk menggenjot dan mereformasi hasil kerja kreatifnya seoptimal mungkin, atau hanya akan jadi kerak kebudayaan nasional yang tersisih di negeri sendiri (apalagi bagi standar seni kosmopolit). Percayalah, bila tidak ada perubahan fundamental terhadap pola kerja dan wawasan intelektual yang meluas melampaui batasan-batasan lokal dan nasional, penyair kita kian terpuruk dan menjadi sehimpun massa yang hanya ribut-ribut dengan persoalan-persoalan usang dan klise itu melulu.

* Binhad Nurrohmat, penyair dan kurator Indonesia Literature Watch.

Empat Merapal Sajak

Ismi Wahid
http://www.korantempo.com/

Empat penyair terkemuka Indonesia membacakan sajak ciptaan mereka dalam sebuah pentas puisi di Teater Salihara.

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya, mati di kayu salib tanpa celana. Dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawa celana yang dijahitnya sendiri. “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana buatan ibunya, Yesus naik ke surga.

Begitulah penyair Joko Pinurbo melukiskan saat-saat naiknya Yesus ke surga. Ia menuangkan peristiwa religius itu dengan sangat manusiawi dalam sajaknya yang bertajuk Celana Ibu. “Agama bukan sesuatu yang angker. Agama itu nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari,” katanya.

Jokpin, begitu panggilan akrab sang penyair, sedang merayakan pesta puisi di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis malam pekan lalu. Jokpin tampil bersama tiga penyair terkemuka Indonesia lainnya–Remy Sylado, Acep Zamzam Noor, dan D. Zawawi Imron–dalam perhelatan Mendaras Puisi. Para penyair ini menyuguhkan karya mereka yang dekat dengan tradisi keagamaan di sekitar tempat mereka lahir dan tumbuh.

Boleh dibilang, pentas puisi malam itu cukup istimewa, karena pengarangnya sendiri yang membacakan karya-karyanya. Seperti diketahui, belakangan ini acara pembacaan puisi lebih kerap dibawakan oleh kalangan artis dan selebritas. Tak mengherankan jika ruang Teater Salihara penuh sesak dipadati oleh pendengar dan penikmat sastra. Sampai-sampai, banyak di antara yang hadir terpaksa berdiri atau duduk di undakan.

Celana Ibu, yang dibacakan Jokpin, mendapat sambutan sangat meriah. Tepuk tangan penonton yang bercampur gelak tawa terdengar riuh menyambut penampilan Jokpin. Artikulasi Jokpin yang sangat datar dengan logat Jawa yang begitu kental justru menimbulkan suasana berbeda. Terkesan nyeleneh dengan permainan logika yang unik.

Jokpin pernah mengenyam pendidikan calon pastor di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Karya-karyanya banyak menghadirkan suasana keagamaan yang dekat dengan wilayah domestik. Tak jarang ia juga menyuguhkan sebuah ironi dalam sajak-sajaknya.

Meski banyak karya Jokpin yang sudah dialihbahasakan, itu tidak berlaku untuk Celana Ibu. Masalahnya, idiom yang dipakai sebagai kata kunci tak lagi sesuai dengan ide cerita jika dialihbahasakan. Dalam prosesnya, Jokpin sering menemukan kata-kata kunci. Dari situlah ia kemudian membuat narasi untuk mendukung alur ceritanya.

Lain halnya dengan penyair serba bisa, Remy Sylado. Malam itu, Remy membawakan sajaknya yang berjudul Enam Puluh Lima Tahun yang Astaga. Penyair berambut keperakan ini masih saja menampilkan puisi mbeling-nya, sebuah label yang selama ini melekat pada karya-karyanya. Sajak-sajaknya penuh sindiran dan slenthingan pedas terhadap negeri yang, menurut Remy, sudah morat-marit.

Remy adalah pelopor puisi mbeling pada 1970-an. Puisinya sarat dengan pemberontakan terhadap kaidah estetika. Disertai empat penari yang membawa rebana sebagai alat musik, Remy membawakan karyanya dengan nuansa lain. “Kalau sudah di depan panggung, puisi menjadi sebuah pertunjukan,” katanya. Karya tersebut khusus dibuat Remy untuk acara ini.

Yang tak kalah menarik adalah penampilan Zawawi Imron. Ia tampil sangat ekspresif. Sesekali ia bercerita bebas tentang pengalamannya yang tak jarang mengundang tawa penonton. Zawawi pernah nyantri di Pesantren Lambicabbi, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Maka tak aneh jika puisinya sarat dengan religiositas Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya tak kehilangan unsur humor khas Zawawi. Kumpulan sajaknya, Bulan Tertusuk Ilalang, pernah mengilhami sutradara Garin Nugroho untuk membuat film dengan judul yang sama.

Dan malam itu, penyair romantis sepertinya cocok diberikan untuk Acep Zamzam Noor ketika ia membacakan karyanya yang berjudul Sepotong Senja. Tak hanya itu, Acep juga menyuguhkan kelincahannya memainkan tema-tema urban dan pesantren serta religius yang dibenturkan dengan sekularisme. Lalu, melalui Sajak Nakal-nya yang sangat pendek, Acep memperlihatkan kenakalan imajinasinya.

Tinggal Kritik dan Penerbitan

Fenomena Sastra Jawa Timur
Reporter: Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/

Dalam satu tahun terakhir, 2010, ada beberapa fenomena baru dalam kesusastraan di Jawa Timur. Fenomena yang cukup menggembirakan. Kian tumbuh-matangnya kaum muda dalam peta kesusastraan. Tapi problem-problemnya tidak bergerak dari problem tahun-tahun sebelumnya. Problem yang semestinya mulai dicari jalan keluarnya pada tahun 2011 ini.

Infrastruktur kesusastraan di Jawa Timur sebenarnya amat menunjang. Setidaknya ada 4 indikator. Pertama keberadaan akademik, kedua keberadaan media massa, ketiga keberadaan even, dan keempat keberadaan komunitas kesenian.

Keberadaan kampus memberi kontribusi signifikan bagi tumbuh kembangnya kesusastraan di Jawa Timur. Fakta yang ada, mayoritas sastrawan merupakan jebolan kampus. Beberapa kampus mempunyai jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia . Semisal Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, dan Universitas Jember. Ketiganya dilengkapi dengan beberapa kampus yang membuka jurusan Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, maupun jurusan Sosial Politik.

Di Unair ada teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. Dua komunitas ini tak pernah kering menelorkan sastrawan-sastrawan muda. Hadirnya mahasiswa baru, tiap tahun, memberi peluang pemunculan nama-nama baru. Sementara itu, mahasiswa lama dan alumninya mematangkan diri di wilayah luar kampus. Sembari sesekali terlibat dalam diskusi di kampus.

Situasi serupa juga terjadi di Universitas Negeri Surabaya. Setidaknya ada dua institusi mahasiswa yang memiliki mobilitas tinggi dalam kesusastraan. Teater Institut dan Komunitas Rabu Sore. Penyair Muttaqin dan Umar Fauzi adalah dua produk Unesa yang tahun ini kian mendapat sorotan dari banyak kalangan.

Perkembangan di Universitas Petra pun menunjukkan gejala menggembirakan. Petra menghasilkan para penulis yang direspon baik oleh media-media Jakarta. Tercatat ada nama-nama prosais seperti Lan Fang, Ella Mart, Stevani Irawan, dan lain-lain.

Situasi di Universitas Negeri Jember tampaknya belum terlalu kondusif. Setelah sukses melahirkan penyair Mardi Luhung, belum ada sastrawan baru yang cukup berwibawa. Tapi kegiatan belajar menulis dan berdiskusi sastra tak pernah hilang dari Unej. Pada tahun-tahun mendatang, kita bisa mengharapkan munculnya sastrawan baru dari sana.

Sastrawan Jawa Timur juga dimanjakan oleh adanya banyak even kesusastraan. Semisal Festival Seni Surabaya, Festival Seni Cak Durasim, Lomba Naskah Drama Remaja, penerbitan buku oleh Dewan Kesenian Jawa Timur, Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Regional, Pertemuan Sastrawan Muda (HALTE SASTRA). Even-even tersebut dilengkapi dengan banyaknya even lain yang bersifat situasional. Semisal lomba baca puisi, lomba cipta puisi, sayembara cerpen, ataupun lomba naskah drama. Tidak dapat dipungkiri, kemampuan sastrawan kian terasah dengan adanya banyak lomba.

Kerja kreatif para sastrawan juga mendapat wadah yang secara reguler terbit, yakni di media massa . Ada lima media massa harian yang memuat tulisan sastra. Jawa Pos, Surabaya Post, Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Kompas Jawa Timur. Belum lagi adanya beberapa majalah. Semisal majalah Mimbar Pembangunan Agama, Media Dinas Pendidikan, Kidung, Bende, dan lain-lain. Kecuali berperan sebagai media publikasi, media massa juga bermanfaat sebagai ajang silaturahmi. Para sastrawan bisa saling mengetahui sekaligus saling mengukur pencapaian estetik.

Pada kehidupan keseharian sastrawan sendiri, ada beberapa komunitas kesusastraan yang tidak berbasis kampus. Lokasi Balai Pemuda misalnya. Bagiamanapun juga, Balai Pemuda dengan Bengkel Muda Surabaya dan Dewan Kesenian Surabaya tetap representatif sebagai tempat berkumpulnya sastrawan. Di situ setidaknya ada Saiful Hadjar yang selalu siap diajak ngobrol perihal kesusastraan. Waktu telah membuktikan, banyak sastrawan muncul dari penggodokan di Balai Pemuda. Komunitas-komunitas lain muncul di beberapa daerah. Semisal Mojokerto, Sumenep, Bangkalan, Madiun, Ngawi, Tulungagung, Jombang, Malang, dan masih banyak lagi. Pada dataran ini, peran pesantren kerap kali tidak bisa diremehkan.

Sayangnya, situasi positif infrastruktur kesusastraan tersebut tidak ditunjang oleh dua problem utama. Yakni, wilayah penerbitan dan wilayah kritik sastra. Dibanding dengan Yogyakarta, Jakarta , Bandung , dunia penerbitan di Jawa Timur terbilang senyap. Penerbitan Jawa Timur terlalu disesaki dengan terbitan buku-buku agama, klenik, dan buku-buku memasak. Penerbitan buku sastra, boleh dikata, nyaris tidak ada.

Ada memang beberapa penerbitan tapi jumlahnya sedikit dan kerapkali tidak dipasarkan secara umum. Sebagai contoh, empat buku terbitan Festival Seni Surabaya (2010) dan buku terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur. Selebihnya hanyalah penerbitan dari komunitas tertentu. Biasanya dicetak secara terbatas. Kerap kali malahan dengan format stensilan.

Padahal semua tahu, bagi wilayah sastra, penerbitan buku adalah tolok ukur utama dari perhatian publik. Pemuatan di media massa harian dan majalah dibatasi beberapa kelemahan. Semisal puisi bertumpukan dengan aneka berita dan iklan. Pembaca puisi menjadi kurang konsentrasi. Harian juga bersifat temporal. Susah dalam pengarsipan.

Kita mengenal akrab karya Acep Zamzam Noor bukan dari pemuatannya di media massa harian tapi melalui buku-buku puisi yang diterbitkan. Begitu pula dengan puisi-puisi D Zawawi Imron, Abdul Hadi, Mardi Luhung, ataupun Budi Darma. Bandingkan pula membaca novel dalam cerita bersambung di koran dengan membaca dalam bentuk buku. Kenyamanan dan intensionalitasnya jauh lebih terjaga dalam bentuk buku.

Problem kedua adalah masalah kritik sastra. Sudah sering diungkapkan, kemunculan para sastrawan muda Jawa Timur tidak dibarengi dengan kemunculan kritik sastra yang memadai. Imbasnya, sastrawan seperti iseng sendiri. Jembatan antara tafsir karya dengan publik menjadi terputus. Pembaruan dan jelajah estetik pun tidak dapat teridentifikasi secara terperinci dan teoritis. Adanya beberapa kritikus semacam Shoim Anwar, Tjahjono kembar, dan beberapa akademisi tidak sanggup memenuhi kebutuhan kritik yang proporsional.

Tahun ini, 2011, dua problem utama kesustraan di Jawa Timur tersebut harus mulai dicari jalan keluarnya. Sebenarnya, potensi ke arah sana telah ada. Yang perlu dilakukan adalah memompa agar lebih komprehensif. Misalnya usaha penerbitan yang dilakukan oleh Nurel dan Alang di Lamongan. Sayangnya, usaha dua pemuda tersebut kerap terganjal oleh rendahnya modal. Juga beberapa penerbitan dari Mojokerto dan Malang. Sementara pada ranah kritik sastra, para akademisi dan sarjana sastra seharusnya mulai membikin penelitian dengan berpijak pada kondisi kekaryaan sastra yang lebih konkret.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi