Sabtu, 31 Januari 2009

Sajak-Sajak Mardi Luhung

http://kompas-cetak/
Pendalungan

Di genting aku tertidur dan bersiap menantimu.
Tertidur seperti mayat yang matanya terbuka.
Terpulas warna samar sampai gelap pekat.
Di udara yang tipis, benang itu terentang.
Lurus dan lenyap di ketinggian. Lewat benang itulah
kau akan tiba padaku. Mungkin memelukku.
Dan menciumku. Seperti kisah perawan yang
tersihir di peti yang cokelat. Dengan tujuh lelaki
cebol yang selalu menangis dan tertawa.
Tujuh lelaki cebol yang kemarin memasuki kamarku.
Dan membangun sebuah keraton mini. Yang penuh
dengan kuburan dan kenduri.
Juga para badut yang selalu ribut dengan
gelang-gelang, obor dan sepatu raksasa. Serta
senapan yang berpeluru bunga-bunga dan hujan.
Katamu dulu: "Bidiklah aku dengan senapan itu!"
Tapi kataku kini: "Aku hanya ingin menantimu. Bukan
membidik!" Tujuh lelaki cebol pun terperangah.
Lalu, di udara yang tipis dan semakin tipis itu,
benang yang terentang bergoyang. Ada gelembung
besar menggelinding turun. Gelembung yang menyala.
Gelembung yang setiap bergerak selalu menyerakkan irama
saluang. Irama yang membuat ribuan tikus takjub.
Dan bersedekuh di seputar aku yang tertidur.
"Kemarilah, kemarilah, gelembung," pinta ribuan tikus itu.
Tapi, sebelum tiba, gelembung yang menyala itu pecah.
Sinar pun bersilangan. Membentuk dirimu yang aku nanti.
Dirimu yang begitu mirip diriku sendiri. Yang pernah
aku benci. Sebab telah merayu kekasihku yang lain.
Yang wujudnya telah aku torehkan di lantai-lantai!

(Gresik, 2007)



Pacinan

Hanya ada lanskap: sebuah warung rujak. Pesanggrahan yang disangga pilar kokoh. Pintu-pintunya terkunci. Gudang beras apak. Jajaran beringin. Dan kengerian yang kerap timbul ketika bulan purnama melintas. Selebihnya: tak ada jisim. Tak ada kuncir dipotong. Dan tak ada sepasang kupu-kupu yang selalu terbang di atas bong. Kupu- kupu yang bertelur di kitab yang dilisankan di pinggir kelenteng.

Sebab pagi itu: laut di belakang menggeram. Jukung ditiris. Seseorang memukul kentongan. Ikan-ikan pun menyembul: "Hai, hai, boleh dilihat, tak boleh dipukat!" Dan di punggung ikan-ikan itu ada garis. Putih menyala. Katanya: "Dulu, si naga sipit telah menitipkan jalur kapalnya di situ. Tapi, sayang, malah tersesat. Menabrak karang. Menangis. Jadi pulau!" Ya, ya, Pulau Menangis dengan mata semakin sipit.

Dan saat pulang: langit pun tertutup perada. Geraknya dihitung simpoa. Dan sebuah kecapi dipetik persik. Persik yang seliat giok. Tapi sekejap. Kemudian tersedot ke atap surau. Dari seribu surau yang bertaburan: "Bunda yang manislah yang telah mengajar si kanak mengaji di surau. Sebab, si bapak merantau ke negeri ringgit. Negeri para pantun dan datuk!"

Lalu malamnya: sambil minum air mineral. Seorang lelaki tua berwajah lokal. Tanpa senyum. Berjalan di bukit. Di belakangnya biji-biji lembayung berbaris. Mengekor panjang. Meliuk seperti liukan ular. Dan dari kejauhan, siapa saja pasti bertanya: "Itu pagebluk atau seluk-beluk pulung?" Memang, ada yang selalu tak terlihat di porselin Ming. Yang remukannya terpungut diam-diam. Dari pesanggrahan tadi pagi.

(Gresik, 2007)



Kelotok

Dengan sepeda. Dengan keranjang di depan sepeda yang penuh
bekal: "Aku memanggilmu." Rambutmu yang panjang jatuh di pusar
ranjang. Dan matamu yang tajam. Setajam ujung jukung. Yang
semalam aku gotong. Telah aku tempelkan di surat bersama
lumut dan ganggang. Surat yang saat ini aku lipat di kantong.
Surat segi empat. Surat dengan warna ungu.
"Aku membencimu Orang Gunung!" sergahmu. Dan tanganmu
meremasi selimut. Ranjang sedikit berderit. Dan aku tahu, kau
cemburu padaku. Juga pada gadis yang telah mengirimi aku
gandul. Gadis yang telah membuat si rabun jadi pecinta lagi.
Dan si pemabuk tertawa sambil berbisik: "Cinta adalah
lekuk-ceruk-teluk kekasih. Kekasih yang diburu!"
Lalu, lewat kibasan tanganmu, aku teringat pada sebuah gapura.
Gapura merah yang pernah aku gambar. Dengan dua singa batu
yang selalu mengunyah bulatan. Singa batu yang pernah mengaum.
Saat seluruh yang meluncur di laut ditumpas. Padahal, cuaca
bersih. Angin tenang. Dan di pantai, orang-orang asik bermain
gundu. Tanpa darah. Tanpa muslihat dan hasutan.
"Maka menjauhlah kau dariku Orang Gunung!" sergahmu lagi.
Seketika surat yang aku lipat di kantong terbakar. Membakar
tubuhku. Juga sepeda, keranjang dan bekalnya. Dan jika begini,
apa aku masih bisa memanggilmu? Kau melengos. Waktu itu
aku merasa, ada ketidakberesan yang lain. Yang akan menjadi
hikayat. Yang membungkus setiap yang kau pijak.
"Tapi, mana mungkin aku menjauh darimu?" selaku. Dan kau
kembali melengos. Dan lewat setiap kayuhan sepedaku, semua yang
terlewati jadi terbakar. Menjalar. Dan yang jika dilihat dari ketinggian,
akan tampak seperti garis yang menyala. Garis yang jika disambung
akan seperti sekepal jantung. Yang ditusuk trisula yang melengkung.
Dengan percik-percik yang bertaburan. Bertaburan di gunung-gunung!

(Gresik, 2007)



Kubur Panjang

Dalam usianya yang ke-700, dia kembali bangkit dari kuburnya. Berjalan ke pantai dan pergi mencari sore. Sambil sesekali mengingati tubuhnya yang limbung. Lewat perseteruan ujung parang. Dan kesetiaan untuk tetap menyimpan rahasia. Yang telah dititipkan guru. Saat seluruh bandar yang dipijak masih seperti lembaran lontar yang kosong. Yang bolong.

Dan ususnya terburai. Limpa dan hatinya yang keluar diseretnya. Lima ekor kera cuma menatap. Rimbun pohon setigi merunduk sesaat dia lewat. Meski langkahnya lebam seperti diarah ketam. Lalu seekor belibis melintas. Di sebelahnya, ada yang menunggang sapu terbang. Perawakannya kabur. Tapi, rasanya, selalu menyebut nama istri sunan yang tak mau dimadu: "Dinda, Dinda!"

Di karang yang licin dia pun bersedekuh. Matanya terpicing. Tapi langit keruh. Apa perseteruan ujung parang yang melimbungkan tubuhnya dulu telah mengusir sore? Ya, dia pun telentang. Seluruh tubuhnya penat. Dan rahasia guru masih disimpannya. Disimpan di jantung sebelah dalam. Bersebelahan dengan denyut yang tak bisa berhenti: "Tak-tak-tak…."

"Guru, bagaimana rahasia ini dapat aku lepas." Akh, racaunya pelan. Dan dari sela bakau yang subur, dia pun melihat istri sunan yang tak mau dimadu itu menangis. Menderas tafsir. Yang isinya: "Ketahuilah, ada yang memang tampak telanjang. Ada pula yang membayang. Di antara keduanya, ada yang terus mengapung. Ada yang terus mengepung. Dan memanjang…."

(Gresik, 2007)



Orang Gili

Aku menyapa dia. Tanpa salam. Tanpa kenal. Tanpa kedip. Dan
dia mengajakku ke pulaunya. Pulau yang terpencil. Pulau yang
penuh jalan sempit. Melingkar-melingkar. Naik-turun. Berdebu.
Yang kerjanya melahap setiap yang masuk. Dan yang keluar
dibekap mabuk. Mabuk laut yang licik.
"Aku punya tunangan. Tapi menampik. Sebab dipikir, dirinya
tak sepadan denganku!" katanya sambil merapikan rambutnya.
Matanya mengerling. Menjadi danau luas. Danau tempat dia
pernah mencium tunangannya. Danau yang di pusarnya ada
sumur yang berundak. Tempat orang ingin hilang.
"Tapi, meski ditampik, aku tak mau hilang!" tambahnya.
Memang, dia seperti tak bisa hilang. Dua kakinya kokoh. Dua
tangannya cekatan. Sedang badannya pun liat. Mengkilat.
Seperti baja yang berlapis-lapis. Baja yang akan membalik tanah.
Juga nasib pemiliknya.
"Segalanya mesti disederhanakan. Mesti!" Dan dia pun menulis
pesan di pohon dengan pisau. Artinya tak jelas. Cuma yang aku
lihat: gambar-hati, tanda-silang dan sebuah wajah-segi-tiga.
Dan di sebelahnya lagi, ada sebuah bendera bergambar rangka:
"Hidup memang cuma tulang!"
Dan ketika lebih masuk ke pulau, aku melihat dia melepas
pakaiannya. Di punggungnya ada tato. Tato binatang. Binatang
apa? Aku tak pernah melihatnya. Cuma mulut binatang itu terbuka.
Seperti sedotan sebuah kapal. Kapal ganjil yang angker. Yang
kaptennya putih. Berbau pesing.
"Kamu tahu, kapten itulah yang mengajari aku bersiul." Dan
bersiullah dia. Bersiul memanggil yang bisa dipanggil. Agar
keluar dari kerimbunan. Keluar dari gua-gua seperti orang
yang bingung menerjang cahaya. Orang yang bingung yang selalu
membakar dengan setiap apa yang bisa dibakar.
"Kamu tahu juga, tunanganku menampik karena orang yang bingung
itu!" Dan akh, dia pun memeluki yang disiuli itu. Lalu, seperti
kotbah yang mendadak, dia pun berkotbah di tengah-tengahnya.
Kotbah miring. Dan kedengarannya, seperti bahasa yang tersedak
oleh muntahannya sendiri.
Aku pun rindu pada jalan balik. Jalan ke sumur di pusar danau tadi....

(Gresik, 2007)

Jumat, 30 Januari 2009

Kemarau Air Mata

Fakhrunnas MA Jabbar
http://kompas-cetak/

Debu jalanan yang pekat menyesakkan napas. Sebuah truk pengangkut tanah timbun mengepulkan debu itu sehingga menggelapkan pandangan. Panas terik memang telah berlangsung terlalu lama. Aku sendiri tak sanggup lagi membilang karena sudah terlalu lama didera derita. Pohon-pohon meranggas. Dedaunannya berguguran. Entah kapan lagi sang pohon akan berbunga dan berputik kembali.

Setiap hari kusaksikan lalu lintas truk proyek dari gubuk yang kutempati bersama Maryam dan ketiga anak kami yang masih kecil. Wajah mereka terlihat penuh belas dan pasi karena jarang mendapatkan makan bergizi. Kemarau panjang tahun ini makin memperburuk keadaan kami sekeluarga. Tanaman padi di sawah yang luasnya kira-kira sepiring boleh dikatakan tak menghasilkan apa-apa. Hama pianggang mudah sekali menyerang saat panas berkepanjangan.

"Kapan lagi Abang ke Kantor Desa?" tanya Maryam membangunkan kesadaranku akan persoalan mendasar yang sedang kami hadapi. Bukan hanya kami, melainkan hampir semua orang-orang kampungku tak lepas dari kemelut persoalan yang sama.

"Untuk apa ke sana? Kata Pak Kades, belum ada tanda-tanda penyelesaian masalah ganti rugi itu dalam waktu dekat ini," jawabku. Memang kemarin aku baru saja menjumpai Pak Kades menanyakan persoalan yang sedang hangat dibicarakan orang-orang kampung sini.

"Bukankah persoalannya sudah terlalu lama terkatung-katung? Apa penduduk di sini akan dibiarkan mati kelaparan karena tak ada kepastian itu?" desak istriku mulai naik darah.

"Menurut Pak Kades, inilah akibatnya bila penduduk tak mau menerima uang ganti rugi yang sudah ditetapkan."

"Ganti rugi itu terlalu murah, Bang. Terlalu murah!" sergah Maryam.

Aku malas bertekak 1) dengan istriku sendiri hanya gara-gara adu pendapat soal yang sudah lama diapungkan. Bukankah aku pada hakikatnya sependapat dengan Maryam. Kami berada di pihak yang sama. Ganti rugi yang layak juga akan kami terima dan pergunakan bersama-sama.

Aku terpancing juga akhirnya. Kuambil fotokopi daftar ganti rugi harta benda dan tanah yang dicanang oleh pemerintah. Daftar ini ditandatangani oleh Bupati dan Pimpinan Proyek Listrik yang akan melaksanakan pembangunan PLTA di kampung kami dan beberapa kampung yang bertetangga dengan kami. Kami hanya merasa hanya menerima akibat buruk saja dari pembangunan itu. Soalnya, sungai Turip kini pun airnya sudah sangat dangkal karena didera oleh kemarau dan akan dibendung pula. Oleh sebab itu, bila pembendungan itu berjalan, maka kampung-kampung di kawasan aliran sungai itu akan ditenggelamkan.

Siapa pun bisa membayangkan bagaimana sebuah—eh, tidak hanya sebuah melainkan banyak kampung ditenggelamkan. Tidak hanya harta benda beserta tanah leluhur yang dikorbankan, melainkan juga kenang-kenangan dan catatan sejarah yang sudah menjadi sebutan orang kampung secara turun-temurun. Di kampung kami justru terdapat sebuah tanah perkuburan pejuang yang menjadi korban bala tentara Jepun.2) Kuburan itu boleh saja dipindahkan. Tapi, alam sekitar yang menjadi saksi selama berpuluh-puluh tahun tak mungkin tergantikan oleh tanah perkuburan baru. Sewaktu masih hidup dulu, Emakku yang paling pandai bergurau selalu bilang begini: ’sedangkan tempat jatuh lagi dikenang, apalagi tempat bermain’. Ya, kampung halaman bagiku dan juga bagi orang-orang kampung di sini tentulah lebih dari sekadar sebagai tempat bermain itu.

Aku mafhum bahwa penderitaan orang-orang kampung tak akan lebih baik dari kami. Apalagi yang diharapkan di saat segala usaha pertanian tak menjadi karena kemarau panjang ini. Lebih tersiksa lagi, akibat rencana penenggelaman kampung kami, maka kegiatan pembangunan nyaris berhenti sama sekali. Jalan dari ibu kota kecamatan yang dulunya pernah diaspal kasar, sekarang penuh lubang dan dunggul.3) Sungguh kasihan para petani yang mengangkuti sisa-sisa hasil kebun dengan hanya menaiki sepeda melintasi jalan penuh lubang itu. Lebih menyakitkan lagi begitu truk-truk pengangkut tanah timbun macam dikejar setan untuk memburu trip. Debu-debu pun berkepulan tanpa terkendali. Tampaknya, sebagian anak-anak kecil di kampung kami sudah ketularan batuk karena terhirup debu kotor jalanan itu.

Usaha penduduk hampir mati begitu ada larangan dari orang kabupaten supaya tidak bertanam tanaman. Meskipun yang dimaksudkan peraturan itu hanyalah untuk tanaman keras saja. Tapi, aparat Kantor Kepala Desa kadang-kadang melarang penduduk bertanam apa saja. Perekonomian rakyat tersendat. Lagi pula, mau bertanam apa-apa pun di musim kemarau ini tak ada gunanya. Tanah rengkah-rengkah. Rumput pun enggan bertumbuh sehingga terlihat mersik.4) Kerbau ternak pun kuyu 5) dan pucat dengan tubuh kerempeng.

Terasa kini bahwa kemarau bagaikan mewakili sosok jiwa kami dari kampung ini. Ya, hati kami pun tersaput kemarau. Hati kami kini sangat butuh setitik air penyejuk pikiran. Rasanya kami tak kuat bertahan bila kemarau di luar diri kami sebagaimana sedang berlangsung bersepadu dengan kemarau yang ada di batin kami. Bila kemarau sepanjang bulan-bulan lalu mampu mengeringkan sumur-sumur dan sumber air lainnya. Justru kemarau batin telah lama mengeringkan air mata kami. Sunggung, kami tidak bisa lagi menangis. Air mata kami tak cukup mewakili nasib kami yang sedang dikoyak oleh sebuah rencana besar.

Oh ya, sejak dulu—10 tahun silam—sebenarnya orang-orang kampung di sini tak pernah menolak pembangunan PLTA berskala besar itu. Proyek itu bagus untuk pembangunan. Pembangunan itu bagus untuk rakyat. Rakyat itu bagus bila menerima hasil-hasil pembangunan itu sebagai buah pengorbanan yang sudah diberikan lebih dulu. Siapa bilang kami tak berkorban dengan membiarkan kampung halaman kami ditenggelamkan. Siapa bilang tak? Apa namanya kalau bukan pengorbanan bila semua kami menyerahkan harta benda yang sudah kami pelihara selama ini untuk sebuah pembangunan PLTA raksasa? Tapi, ganti rugi yang terlalu rendah itu benar-benar akan menimbulkan kemarau perasaan yang lain di hati kami. Jangan perpanjang lagi kemarau-kemarau ini, air mata kami telah lama mengering disadap oleh kemarau batin bertahun-tahun.

Aku memang selalu bersikap bagai mewakili orang kebanyakan. Itulah sebabnya bayangan pikiranku selalu mangatasnamakan penduduk di sini. Aku lebih senang berbicara dengan menyebut ’kami’ daripada ’aku’. Sebab, ke’aku’anku memang ada di dalam ke’kami’an kami. Aku larut di dalamnya. Lain halnya bila aku berbicara dengan anak dan istri. Aku harus mendahulukan ke’aku’anku sendiri. Tak ada orang lain yang lebih bertanggung jawab atas diri anak dan istri selain diriku sendiri.

Rasanya dalam usia setua ini, aku masih punya keberanian untuk menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku sendiri. Barangkali, aku termasuk salah satu pensiunan pegawai negeri di mana pada masa masih bertugas dulu aku juga pernah disebut sebagai orang terpandang. Aku dulunya memang tokoh. Tapi begitu masa pensiun menggerogotiku, keberanian itu pudar tiba-tiba. Aku tak punya kekuasaan lagi meski sedikit. Aku telah lebur menjadi orang kebanyakan. Oleh karenanya, sisa-sisa keberanian itu saja yang selalu membuatku bangkit untuk memupuskan kesewenangan. Termasuk soal ganti rugi itu yang menurutku sudah termasuk kesewenangan baru.

Kadang-kadang aku jadi sulit berbicara soal kemarau yang sedang melanda kini. Sebab, kemarau batin makin garang mengeringkan impian-impian dan harapan. Oleh karenanya, aku tak begitu mempedulikan bagaimana orang-orang kampung berjejal mengambil air minum di sungai Turip yang makin dangkal itu. Sebab, mata air di dalam hati kami jauh lebih dangkal lagi.

Wabah kolera dan muntaber mulai merajalela. Musibah baru pun muncul. Ada kematian yang tiba-tiba datangnya. Aku pun merasakan deraan kematian itu ketika Hasyim, anak bungsu kami, juga meninggal dunia setelah muntah mencret selama sehari semalam. Puskesmas memang ada di kota kecamatan. Tapi jaraknya cukup jauh. Maryam memang tidak sanggup lagi menangis. Oleh sebab itu, sekarang kemarau juga ikut mengeringkan air mata semua penduduk.

Kemarau batin pula yang tiba-tiba mengubah sikap Maryam, istriku. Ia tampak lelah menahan derita. Lelah menatap kenestapaan dua anak kami yang tersisa.

"Bang, lebih baik kita terima saja ganti rugi itu. Walaupun rendah sekalipun," pinta Maryam beriba-iba. Dia tampaknya tak kuat lagi menyaksikan dan mengalami deraan kemarau demi kemarau ini. Kepergian Hasyim baginya suatu pukulan yang besar. Dia tak ingin maut akan ikut merenggut dua anak kami yang lain, Yunus dan Maksum. Hanya mereka berdua yang menjadi pewaris kami kelak.

"Maumu, kita terima perlakuan yang tidak adil itu?" balasku menyangkal.

"Apa lagi yang harus kita tunggu di sini. Hanya ada wabah, debu, maut, dan tanah yang rengkah. Bagaimana kalau kita ikut terenggut maut dalam selimut kemarau ini?" ungkap Maryam lagi.

"Jangan putus asa. Aku melihat ada gelagat lain yang bisa-bisa di luar dugaan sama sekali. Kemarau ini begitu panjang. Lihatlah air sungai Turip itu. Hanya tinggal sebatas lutut. Bila sungai itu pun kering, bendungan apa lagi hendak dibuat di kampung kita?" aku memang mulai menemukan keraguan baru sehubungan dengan rencana PLTA itu.

Orang-orang ahli seperti perencanaan proyek PLTA itu boleh saja membuat perkiraan-perkiraan tentang jumlah air sungai yang siap menopang pembangkit listrik itu. Tapi, kekuasaan Tuhan? Tak seorang pun dapat mendahuluinya. Inilah keyakinanku.

"Jadi menurut Abang, proyek PLTA itu bisa saja batal?" tanya Maryam penuh kebimbangan.

Aku mengangguk.

"Ya, kenapa tidak? Bila alam sendiri yang hendak membatalkannya. Siapa yang akan menghalangi?" balasku makin berani.

Maryam terdiam. Pikirannya memang tidak akan lebih kencang dari pikiranku. Namun, ia bisa memahami ramalan-ramalan yang kubuat.

Kemarau telah berlangsung setahun lebih beberapa bulan. Air sungai Turip benar-benar telah mengering. Ini di luar dugaan banyak orang. Seiring dengan itu, di kalangan pelaksana proyek PLTA terjadi sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan. Pimpinan proyek tersebut tiba-tiba tersiar bunuh diri. Alasannya malu hati karena perkiraan yang dibuatnya bersama perencana dan konsultan yang lain meleset sama sekali. Kadangkala, rasa malu bisa mengalahkan arti sebuah hidup.

Kampung kami dan beberapa kampung yang dicadangkan akan tenggelam benar-benar heboh. Sebagian penduduk mulai terbakar semangatnya untuk unjuk rasa. Aku pun diajak untuk meramaikan unjuk rasa itu. Sekadar mengingatkan pihak yang berkehendak bahwa semestinya pembangunan jangan sampai merugikan rakyat kecil seperti kami dan penduduk di sini. Tapi, sungguh, dengan kesadaran penuh, aku menolak untuk ikut unjuk rasa itu. Bagiku itu tak akan menyelesaikan masalah. Kemarau panjang selama ini sudah menjadi persoalan besar bagi kami sekeluarga. Ditambah pula kemarau yang ada di batin kami sendiri. Kami tak ingin akan bertambah lagi kemarau-kemarau baru dalam kehidupan kami. Biarlah air mata kami mengering, tapi kami tak akan meratapi apa yang terjadi.

Pekanbaru, 9107

1) bertengkar
2) Jepang
3) gundukan kecil
4) kering menguning
5) kurus dan pucat lesu

Minggu, 25 Januari 2009

Puisi-Puisi Iman Budhi Santosa

http://sastrakarta.multiply.com/
PUISI PAGI SEORANG PENGANGGUR

Tuhanku
hari ini tak ada yang tercatat dalam buku
tak ada ruang terbaik buat menunggu
tak pernah lagi hari-hari kuhitung
batu-batu lelap menatap
lewat jendela yang terbuka
terdengarlah senantiasa teriakan-teriakan
gemuruh roda-roda kehidupan
yang digerakkan tangan-tangan
kembali aku pun mengaca pada diri-sendiri
ketika Kau tetap bernama Sunyi
ketika segalanya hadir: puisi.
Tuhanku
hari ini untuk pertama kali
kuucapkan pada-Mu: Selamat Pagi
sebab, ketika hari bulan terus juga memberi
senantiasa aku pun merasa
hidup memang bukan milikku pasti



SEPOTONG WAJAH

Dari atap dan jalan-jalan kota
membidik masa lampau
indahnya semua yang indah
bertindak aku tak hendak dipandang salah
meski kasar mengusir
ditinjau tetap berdesir apalah penyair
di hulu batinnya, di hilir mata segan menerima
Seorang bertahan terhadap perlambang cendekia
Seorang bertahan rahasia mimpinya

Jangan kasihani kami, di mana-mana
biarkan tegak, sendiri
hingga tenggelam seluruhnya
kembali dahulu kanak tiada Nama dikenal
atas daunan gemetar dipandang saja Dunia
dunia yang nakal

1972



SEMALAM DI ASTANA
SAPTARENGGA IMOGIRI

Tinggal cungkup setia memayungi
masih saja mendaki bila mendekat
telanjang kaki, sembunyi
di balik seragam abdi kerabat

Tak adakah yang lebih tinggi
dari hamba sahaya
lebih bersahaja dari tahta
menyambut anak-anak zaman yang berbeda?
Padahal, Sunan dan Sultan telah bersalaman
dengan jengkerik, dengan burung-burung malam
bersahabat dengan ulat tanah
yang menghabiskan jasad dari sejarah

Aku termenung menyaksikan agathis alba
tirus melengkung, mengepung
Saptarengga, dan warung
menjajakan tikar pelita
semalaman berjaga
menunggu tuah itu menetes
serupa es
membasahi
kerongkongannya

1979



PERTAPAAN BONEKA

Biarkan sesekali anak-anak mengenal api
belajar menari sambil menarik pedati.
Mengejar bukti kelahirannya bukan sekadar mimpi
meskipun akhirnya harus mengepak meniru merpati

Biarkan mereka bertanya sejenak sehabis mengaji
mengenai sungai susu yang di sorga
atau matematika, sebelum kembali menjadi boneka
di rumahnya; biara bagi calon pendeta
penginapan anak-anak manja

Biarkan mereka memahami jengkerik berbunyi
disebabkan gesekan sayap dan kaki
bagaimana ular berganti kulit pada pertapaannya
yang tersembunyi, ataupun mengintip jantung pisang
yang ke luarnya senantiasa malam hari

Pada saatnya nanti
biarlah mereka mendengarkan sendiri
kebenaran dan ayat-ayat Tuhan
yang diterimanya dalam Sunyi

1989



JANDA PENJUAL SAYUR IMOGIRI-YOGYA

Malam ia sudah merancang
tidak kembali mengulang mimpi
pada stang bau seledri
kabur membawa tubuh
di atas sepeda
bagai sekeranjang bayam dan kapri
habis kecantikannya terbeli bintang pagi

Tapi, ia mendengar bisik tetangga
dan percaya. Perempuan bisa jadi bapak anak-anaknya
tidaklah jamak setiap menyalakan api
mengandalkan korek dari saku laki-laki

Tapi, ia merasa berulangkali
rahimnya minta
bernyanyi. Dan sedikit variasi
misalnya, kasur bersprei
keriut ranjang besi
nakalnya desah sapaan jalanan
lamaran manis dan pernyataan aman

Duh Gusti, rapatkah mahoni
dan angsana sepanjang Imogiri-Yogya
untuk sembunyi jejak-tapak merpati
saat mencuri cara
berdagang nasib di bumi manusia?

1992

Puisi-Puisi Thowaf Zuharon

http://sastrakarta.multiply.com/
Tanjung Tua 1856

aku cuma tanjung tua
pada seluruh abad yang diguncng mesiu

bila mampu menyebut nama
aku ingin fasih mendongeng kepada semua telinga
tentang asing serdadu yang haus menghirup rempahku

dalam dongengku,
puluhan perahu moyang dan jung berlabuh
di wajahku yang setedung purnama penuh
sauhnya angkuh menusuk lambung-lambung
langit langsung murung!
aku gemetar menahan ratap
menatap pulau Sikepal runtuh
dijarah musuh yang rusuh

seribu serdadu yang kuku kakinya angkara
begitu jumawa meretakkan dadaku hingga remuk
raung seram mencekam tengkuk malam
memberangus hangus langit Agustus
segera kuutus sekawanan angin
berhembus ke Benteng Bendulu
membisikkan kabar cemas ke telinga Tuan Intan
yang kuharap segera siaga
membangunkan seluruh prajurit jaga

angkat terapang! angkat terapang!
genderang perang lekas berkumandang
seribu asing serdadu hendak meradang

setelah usai dongeng itu
kuukir di lekuk karangku
sebuah riwayat penuh khianat penuh kesumat
meski dalam arus waktu yang terus menggerus
ombak tak lelah menampar menyapu
seukir riwayat itu
sampai segala benih seteru
menjelma aku!

19 Agutus 2006



Janganlah Tuhan Berlebihan

janganlah Tuhan berlebihan
aku membutuhkan udara dalam nafasku
Engkau melimpahkan angin

janganlah Tuhan berlebihan
aku rindu tirta ketika dahaga
Engkau menghamparkan samudera

janganlah Tuhan berlebihan
aku butuh penerang dan hangat cahaya
untuk membedakan jalan menuju surga dan neraka
Engkau menyorotkan bermilyar cerlang surya

janganlah Tuhan berlebihan
aku hanya membutuhkan panganan
Engkau menggelar subur daratan

janganlah Tuhan berlebihan
aku hanya mencari sejati ilmu
Engkau menganugerahkan ruang waktu

janganlah Tuhan berlebihan
aku mencoba menyusuri ruas ingin
Engkau menetapkan beribu mungkin

janganlah Tuhan berlebihan
aku merangkai rinai harapan dan kepastian
Engkau mengantarku kepada hasil dan musykil

aku terlalu berlebihan
Engkau mengasihiku dalam semesta
aku malah ingin menyatu denganMu

aku dan Tuhan terlalu berlebihan
aku ingin kekal dalam samsara
Engkau malah memberiku ada dan tiada

19 Agustus 2006



Prasangka tentang Waktu

aku menduga, waktu begitu mencintaiku
tak mau lepas mengiringiku, hingga akhir hayatku

aku menduga, waktu begitu menyayangiku
sering cemburu dan lumat menghabiskan usiaku
menyetubuhi segalanya dalam hidupku

barangkali, waktu adalah Tuhan
karena waktu begitu kekal
tak sefana diriku
waktu terus mengawasiku
meniupkan cinta, ada dan tiada

waktu terus mengajakku berpadu
sekujur diriku menggelinjang dipagut waktu
aku pun mencoba senantiasa menyetubuhi waktu
sembari mendera angkara hingga tiada

aku dan waktu abadi satu regu
terus berseteru siapa lebih rindu

barangkali, walau adalah Aku!

30 Agustus 2006

Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar

http://sastrakarta.multiply.com/
Dermaga Tiga Sebelum Keberangkatan

tubuhmu mengarak anak ombak
meniti beburit, melempar tampar jangkar hingga ceruk
terdalam tempat kau aku ceburkan resah yang membiak

jangan bimbang dan ragu. jangan tunggu sanak
kapal akan segera diberangkatkan menuju seberang
biar sanak-kerabatmu menyelam atau terbang jadi sisifus
barangkali mereka tengah bersiap tinggalkan gubuk-gubuk
tanpa menitikkan keringatnya pada kampung terkurung
jangan tanya ke mana ikan panggang terbuang
keringat sudah lama mengering

surabaya-jogja, 2007



Percakapan Malam

seusai gerimis membasahi alas tidurku dan tidurmu
di tanah pasir, di halaman panjang; kamu aku mengarak waktu
menapaki jalanan setapak menuju pusara
berbau kembang kecubung. bergoyang dan berserak di selembar almanak
lalu, kamu aku menandainya saat langit terkatup kabut.

tapi masih saja, sesuai gerimis, selepas jam dua belas malam
ketika sulur cahaya fajar mekar, kamu-aku lupa busur biosfir,
tanah-tanah basah melembab, halaman berpasir memanjangkan
kisah-kisah keluh letih. tak berkesudahan. memahat
kerut merut wajah kamu-aku yang terjebak oleh mantra akrobat

lihatlah, bulan dan bintang menggantung di antara alis mataku juga matamu,
bias menelusup ke sel darah mendetakkan jantung
sabit bulan meremangi halaman berpasir tempat kamu-aku berbaring
berbagi cerita tentang gerimis, dan matahari yang mulai beringsut ke barat
dari balik awan yang mencipta cuaca kelabu
menjadikan gerimis alpa di selembar almanak yang masih berserak;
di manakah kita berada; mengawali waktu yang keramat

2006-03-29



Selepas Hujan 2

dan langit yang melengkung
membentangkan busur panjang warna-warni
itukah pelangi? bisikmu
gerimis meleleh memanjang di sebalik dinding
dan kemudian rebah; berkecipak di lantai basah
kenapa tidak pada tanah? tanyamu
sebab tanah tak pernah letih
juga bumi, biarlah menggembur
seperti juga daun yang tak pernah gugur

pada tangkai, daun berbisik tentang gemerisik:
bila akar tertebang. adakah angin dijelang?
hujan tak kenal rintang
bumi, juga matahari.
tak pernah khianati janji

jogja 2006



Biarlah Aning Menggelembung
Melayangkan Dedaun Tanpa Menyisakan
Letusan Panjang

diiringi dementing parang pada batang tak berakar
kau bakar akar-akar pohon asam
dan tumbang sebelum musim hujan berakhir
di selangkang waktu, di mana kau selalu menunggu
hari beringsut dari sepotong kabut,

aku masih menunggu, dinda

di bawah lapisan awan purba
di sela kepulan asap yang diruncing angin
kau menggeliat di rusuk kiriku, bergerak menuju masalalu
di mana kau aku merayakan pertemuan
sebelum pohon-pohon asam ditumbangkan

(biarlah udara dikawin angin, menggelembung, melayangkan dedaun
tanpa menyisakan letusan berulang)

kau aku jadi sepotong batang kayu
menyampiri udara di ujung waktu.

Madura, 2005



Gemuruh Ombakkah…

setiap kali aku memandang ke laut
putih buih berkeluh
angin kabarkan kematian

jauh mataku memandang
berlabuh di laut pasang
riak darah dalam tubuh berkecipak
seiring gemuruh dan dementing jantung
kematian terus dikabarkan
terus melintas

2004

Kamis, 22 Januari 2009

Kebudayaan Kita Makin Tergusur

Matroni A. el-Moezany
http://www.lampungpost.com/

Sebuah persoalan dalam bidang budaya yang masih mendesak pemahaman kita ialah mengapa kebudayaan Indonesia sejak 1980-an berada dalam keadaan kurang mengembirakan, ia makin tergeser, tergusur, dan tersingkir dari pusat dan puncak perhatian dan kesibukan kita sehari-hari. Ini memang bukan persoalan baru dan memang sudah ramai diperbincangkan pada awal 1980-an, tapi setiap ada yang mempertanyakan apa yang kini harus diperhatikan dalam sebuah kebudayaan Indonesia, saya cendrung menunjuk pada tidak lagi mementingkan kebudayaan sebagai problematika terpenting.

Musim temu budaya, daerah sebagai penyangga badaya nasional bermunculan diberbagai kota seakan-akan budaya kita pada masa ini menghadapi kemunduran biarpun seorang pakar budaya masih penting, ia tak lagi penting pada 1970-an seorang pakar budaya pada masa pra-Orde Baru mungkin seperti seorang Iwan Fals, Abdurrahman Wahid atau Laksamana Soedomo.

Pada 1970-an orang sudah mengeluh tentang kebudayaan, tapi pada waktu itu masih ada hiruk-pikuk perdebatan dan persaingan yang tak banyak tersisa atau bersambung pada masa ini.

Sejauh itu masih ada yang perlu dipertanyakan terhadap kesadaran akan wawasan Nusantara yang kadang masih diselimuti chauvinis kedaerahan dan kebudayaan yang pada akhir-akhir ini akan kembali berona sejarah seperti ketika berkecamuknya masa renaisans dan aufklarung di Benua Barat tiga abad yang lalu.

Apabila dengan kian terasanya arus globalisasi peradaban masyarakat industri maju, yang mengandalkan materialisme dan membawa wabah konsumerisme, pengusuran mau tak mau pasti terjadi banyak sendi budaya yang ditinggalkan.

Di antara masalah itu, antara lain pemahaman kita tentang kebudayaan secara umum, khususnya kebudayaan Indonesia atau nasional, kebudayaan-kebudayaan daerah dan asing peranan agama, ilmu pengetahuan budaya, bahkan, sampai pada masalah yang lebih kecil seperti, masalah minat baca dan sebagainya. Drs H.M. Idham Samawi mengatakan apa yang kita rasakan kini adalah sebuah kondisi ketika bangsa dan negara kini berada dalam suatu arus yang sangat besar yang membatasi (marginalisasi).

Kita dapat melihat secara langsung bagaimana petani terpuruk, buah lokal digusur buah impor, kebudayaan kita tersingkir kebudayaan asing, dalam kasus kebudayaan, kita melihat dengan jelas bagaimana anak-anak disihir film-film asing di tengah ketidakmampuan kita melihat film bagi anak-anak kita. Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis, nilai- nilai kebudayaan yang menjunjung tinggi keselarsan (harmoni), cenderung tersingkir. Sebab, nilai- nilai kebudayaan itu di pandang kurang relevan dengan kehidupan masyarakat modern.

Masalah merampingnya kebudayaan Indonesia akhir-akhir ini menjadi perbincangan di kalangan seniman dan budayawan. Fenomena tersebut berlangsung dalam proses kehidupan kesenian sekitar 20 tahun terakhir, tapi tahap yang paling mencolok dan mengharuskan kalangan seniman dan budayawan membicarakan secara luas baru terjadi belakangan ini. hal itu berarti sebenarnya kalangan seniman dan budayawan bukan bereaksi menghadapi realitas dan masalah yang timbul, melainkan mereka sekadar bereaksi menanggapi masalah dan realitas itu.

Pejabat pemerintah yang punya kompetisi dengan kesenian tradisional supaya citra negara terangkat di mata dunia dan percaturan international, masih berdiri dengan perjanjian (konvensi) lama, negara dan pejabat negera hanya memfungsikan kesenian Indonesia untuk kepentingan praktis karena titik tolak pandangan dan sikapnya masih pada batas bahwa kesenian tradisional dan modern adalah instrumen kegiatan ritual.

Hal itu tidak membutuhkan perhatian dalam porsi yang besar, yang sama dengan sektor-sektor kehidupan lain tidakkah jatah untuk kebudayaan hanya 2,7 persen dari rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pada berita terakhir.

Kebudayaan masih dianggap instrumen yang berfungsi praktis, umpamanya untuk tujuan pelancongan (turisme) bagi peningkatan sumber devisa negara, para seniman yang mengembangkan etos kebudayaan masih bergulat dengan banyak pihak kearah perbaikan kesenian Indonesia di masa depan. Raudal Tanjung Banua mengatakan tataran kebudayaan dengan kemungkinan nasionalisme kebudayaan tidak terlalu digali, bahkan cendrung dinibsikan.

Akan tetapi, dari proyek nasionalisme yang mengutamakan arus negara itu, bangsa-bangsa diringkus menjadi sekedar suku bangsa. Disusun sebuah ruang kebudayaan yang lebih lapang telah dihilangkan, demi kemauan politis.

Perlu dipahami kita memperbincangkan tergusurnya kedudukan kebudayaan sebagai suatu pranata sosial. itu tidak membicarakan budaya secara detail, bukan juga nilai budaya masyarakat. Ini perlu ditekankan karena perbincangan tentang tergusurnya peran sosial budaya sering dipahami secara keliru sebagai kritik atau tuduhan terhadap sosial budaya. Seakan-akan gejala ini saya kira merupakan kesalahan budayawan.

Kesalahpahaman seperti itu merupakan akibat dominasi tradisi romantisme yang terlalu menekankan aspek individual budayawan dan nilainya. Mengabaikan kebudayaan sebagai peranata sosial. menyebut nasib pranata kebudayaan dianggap sebagai serangan pribadi terhadap para budayawan.

Akibatnya, budayawan yang berwawasan sempit menyangkal terjadinya gejala pengerdilan dan penggusuran kebudayaan dalam pembangunan. Karena merasa diserang, mereka membela diri dan membela status quo dengan mengatakan kebudayaan sekarang baik-baik saja, kalau ada penilaian yang negatif atas perkembangan budaya, itu dianggap sebagai kegagalan atau ketololan para kritikus budaya yang kurang paham kepada kebudayaan.

Model hubungan inilah, kita menampilkan cara-cara pemahaman yang baru sebagai paradigama post-strukturalisme, dengan melibatkan sebagai disiplin yang lain, yang kemudian melahirkan pemahaman kebudayaan-kebudayaan yang bernuansa islami dan berpegang teguh pada agama itu sendiri. Kondisi masyarakat Indonesia yang dinamis sebagai akibat hubungan antara agama dan kebudayaan.

Penelitian dan studi kultural perlu ditekankan untuk dapat memberikan sumbangan yang positif dalam rangka mengungkapakan latar belakang sosial, khususnya yang ada di Indonesia, sehingga agama dan kebudayaan benar-benar memiliki arti bagi masyarakat luas.

*) Bergiat di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI) Yogyakarta.

Rabu, 21 Januari 2009

ESTETIKA WAYANG CERPEN AHMADUN Y HERFANDA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Ketika berbagai saluran komunikasi terhalang tembok besi kekuasaan, sementara segala aspirasi dan harapan mampat di tengah jalan, kesenian –khasnya sastra— kerap digunakan sebagai alternatif. Di sana, dalam balutan estetika, sastra coba bermain dan mempermainkan saluran yang mampat itu. Tembok besi kekuasaan dan pandangan orang terhadapnya, dapat disulap menjadi lelucon atau kisah-kisah yang terjadi di dunia entah-berantah. Jadi, sastra berpeluang memasuki wilayah apa saja, tanpa harus dibayangi kecemasan menghadapi kegagalan mencapai sasaran.

Sastra tak berpretensi mengubah tatanan sosial secara revolusioner. Ia dihadirkan dengan kesadaran menggoda rasa kemanusiaan, menyentuh secara halus, dan diam-diam menggerayangi hati nurani kita. Sastra coba menguak dan kemudian menyodorkannya kepada kita dengan cara yang khas. Dalam hal ini, sastra mencoba menyajikan dan memaknainya dengan caranya sendiri. Ia mungkin berbentuk kisah tentang kehidupan di dunia entah-berantah atau menyerupai potret sosial.

Dalam pada itu, jangan lupa. Di sana ada sesuatu yang berkaitan dengan nilai estetik. Tanpa itu, ia sangat mungkin akan menjadi sebuah dakwah agama, pamflet propaganda, atau serangkaian nasihat nenek nyinyir. Nilai-nilai estetik itulah yang menjadikan sastra dapat menyelusup jauh lebih dalam sampai ke ujung hati nurani; sampai ke dasar rasa kemanusiaan. Maka, ketika kita berhadapan dengan karya sastra, ada sebuah kenikmatan estetik yang bisa tiba-tiba menyergap kita. Ada sesuatu yang terasa menyenangkan—menikmatkan. Tanpa sadar, sesuatu itu secara diam-diam melepaskan kepedihan, keprihatinan, dan kedongkolan dalam memandang realitas sosial yang ngawur dan brengsek, dan kemudian membentuk sikap untuk juga terlibat dalam perlawanan terhadap kengawuran dan kebrengsekan itu.

Dalam tataran itu, sastra menempatkan fungsinya untuk menyentuh kepekaan kita atas problem kemanusiaan, atau bahkan menggugat apa pun yang tidak sejalan dengan jiwa dan hakikat keberadaan manusia.
***

Antologi cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Jakarta: Bening Publishing, 2004, 233 halaman) karya Ahmadun Yosi Herfanda ini pun tentu saja tidak terlepas dari persoalan itu. Antologi ini memperlihatkan kesadaran pengarangnya dalam menyikapi fenomena sosial yang terjadi di negeri ini. Dan Ahmadun dengan caranya sendiri menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya melalui kemasan estetika wayang. Sebuah cara yang mungkin lahir dari kesadaran atau ketidaksadaran kultur yang membentuknya. Ia menjadi tata nilai yang telah lama mengendap dalam ingatan individual atau ingatan kolektif masyarakatnya.

Dengan cara itu, Ahmadun telah melakukan pilihan yang aman—terkendali, sebagaimana yang juga dilakukan Putu Wijaya atau Danarto, meski dengan gaya dan style tang berbeda. Kritik social dan pesan kemanusiaan yang disampaikannya pada akhirnya tetap tersembunyi berada di balik peristiwa yang digambarkannya, meski ia berhadapan dengan tembok besi kekuasaan Orde Baru atau dengan kebebasan yang banyak dimanfaatkan sastrawan kontemporer kita dewasa ini. Lihatlah, dari 15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, hanya dua yang dihasilkannya pasca-Orde Baru, yaitu cerpen “Perempuan yang Menghunus Pisau” dan “Masjid Terakhir”. Jadi, dalam hal ini, tarikh penulisan dapat kita gunakan sebagai salah satu sarana mencermati potret yang hendak ditampilkannya berikut caranya memasang potret itu. Secara sosiologis ia penting untuk melihat fenomena sosial masyarakat dan semangat zaman. Tarikh menjadi signifikan dalam membangun potret zaman dan fenomena sosial.

Dari sudut itu, Ahmadun menyajikan potret itu dalam dua warna yang secara laten terkesan paradoksal. Ia menampilkan dua sisi karakter manusia yang saling berlawanan, dan keduanya bersemayam dalam satu jiwa. Maka, kita akan berhadapan dengan tokoh-tokoh yang mengeluarkan dan sekaligus juga menyembunyikan sesuatu. Bagaimana dalam satu jiwa muncul dua karakter yang saling menentang, kontradiktif, dan paradoksal. Uniknya, bipolarisasi itu tak hadir dalam konteks saling melengkapi dan komplementer, melainkan saling menyembunyikan. Keberpihakan pada tokoh tertentu, misalnya, sekaligus berarti ketidakberpihakan; sebagai bentuk perlawanan atau penentangan.

Contoh lain dapat pula dikemukakan. Bagaimana misalnya, kesucian berselimut kekotoran atau sebaliknya (“Pertobatan Aryati”). Bagaimana pula nilai-nilai kepahlawanan memendam pengkhianatan (“Ombak Berdansa di Liquisa”), solidaritas menyatu dengan egoisitas (“Perempuan yang Menghunus Pisau”). Selalu ada dua sisi; positif—negatif, kekayaan—kemiskinan, atau kelemahan—keunggulan. Semuanya menyatu dalam satu jiwa. Yang dihadirkan bukanlah tokoh hitam—putih, melainkan hitam dan putih sekaligus.

Bagaimana pula harapan—kecemasan, teror dan pengayoman dapat hadir secara bersamaan, serempak—sekaligus. Seperti sebuah senyum ketika tertimpa derita atau tertawa saat menghadap maut. Hampir semua tokoh yang digambarkan Ahmadun dalam antologi cerpen ini memperlihatkan karakter yang bipolar seperti itu. Niscaya penghadiran dua kutub karakter yang berlawanan yang mendiami satu tokoh itu, tidak berarti inkonsistensi dalam membangun karakter tokoh. Justru lewat cara itulah, ia telah menyerap estetika wayang dan coba mengangkatnya dalam bentuk cerpen.

Bipolarisasi itu tentu saja menuntut kita menyediakan perangkatnya yang sesuai dan tepat. Tanpa itu, sangat mungkin kita akan menuju pemaknaan yang sesat. Oleh karena itu, tidak dapat lain, antologi ini mesti didekati melalui perspektif estetika wayang. Lihatlah tokoh-tokoh wayang yang mencitrakan prototipe karakter tertentu. Tokoh Bima, misalnya, selalu akan tampil dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar, gagah, dan berangasan. Menghadapi musuh-musuhnya, Bima akan bertindak telengas dan cenderung kejam. Tetapi, ia juga bisa menjadi tokoh yang penurut, loyal, setia, jujur, dan lemah manakala ia menghadapi siapa pun yang tindakan dan tutur sapanya halus, penuh dengan tipu muslihat, dan bujuk rayu. Bima bisa menjadi sosok yang menjunjung tinggi solidaritas dan kesetiakawanan yang kadangkala berlebihan, tetapi juga bisa menjadi tokoh yang sangat pragmatis dan tidak taktis.

Demikian juga tokoh Durna, misalnya, yang kerap dicitrakan sebagai sosok pengadu domba, licik, dan culas, pada saat yang sama, bisa pula menjadi tokoh yang arif bijaksana dan berjiwa besar ketika tokoh lain tak mampu melahirkan gagasan-gagasan cemerlang dan tidak ada yang mau berkorban. Lihat juga para tokoh punakawan yang muncul dalam goro-goro. Mereka menghadapi dan menyikapi apa pun dengan cara santai, guyon, banyol, dan penuh kelakar. Seolah-olah hidup ini tidak perlu disikapi dengan cara berkerut kening, kaku, dan penuh perhitungan kalkulasi untung—rugi. Sesungguhnya, di balik itu, ketika negara dipandang berada dalam bahaya, mereka akan tampil dengan berbagai taktiknya yang cerdas, serius, dan penuh perhitungan yang matang. Bentuk fisik para punakawan yang jelek dan lucu itu, sama sekali tidak mencerminkan jiwanya. Dalam hal ini, tubuh tidak identik dengan jiwa atau sebaliknya, mereka yang gagah-ganteng, belum tentu berjiwa gagah dan ksatria.

Begitulah, karakter tokoh-tokoh dalam antologi cerpen ini tidak dapat dengan mudah dipilah-pilah secara tegas sebagai tokoh baik atau buruk, putih atau hitam. Selalu ada dimensi lain yang melatarbelakangi atau yang melatardepaninya. Pola ini jelas menyerupai tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Periksa misalnya para tokoh yang berperang dalam epos Mahabharata. Perang Baratayudha sebagai puncak epos Mahabharata itu menampilkan begitu banyak tokoh yang baik—jahat, benar—salah, bersemayam dalam satu jiwa. Lihatlah tokoh Karna, misalnya. Ia kakak seibu dengan Arjuna. Namun, karena Suyudana, Raja Kurawa, memberi kerajaan Awangga, Karna merasa berutang budi. Salahkah kemudian jika Karna membela Kurawa sebagai bentuk balas budi kepada Suyudana yang telah memberinya kerajaan? Salahkah loyalitas dan kesetiaan Karna yang ingin membalas budi?

Di samping itu, dilihat dari cara penyajian struktur ceritanya, Ahmadun seperti mengambil salah satu bagian dari struktur cerita wayang. Dalam hal ini, sindiran yang diangkat, kritik yang disampaikan, dan tokoh-tokoh yang dimainkannya mengingatkan kita pada apa yang disebut sebagai goro-goro. Salah satu bagian dalam struktur cerita wayang yang sering dimanfaatkan dalang untuk mengangkat berbagai persoalan aktual.

Kadangkala, dialog-dialog dalam goro-goro tak ada kaitannya dengan struktur utama cerita wayang yang bersangkutan. Tetapi justru pada bagian inilah seorang dalang akan menunjukkan kualitas dan kompetensinya. Oleh karena itu, bagian ini sering dimanfaatkan dalang untuk menyampaikan apa saja, mengkritik siapa saja atau ikut masuk dan mencoba terlibat memberi solusi atas berbagai persoalan aktual yang berkembang di masyarakat. Di dalam goro-goro, semua tokoh yang muncul di sana bisa dengan bebas menanggalkan karakter aslinya. Maka, seorang Bima, Arjuna, Yudistira, Cakil, atau Rahwana sekalipun, bisa menjadi bahan ledekan dan bisa pula saling membanyol. Mengingat dalam goro-goro, peranan para punakawan diberi ruang yang begitu bebas, maka mereka bisa saling mengejek, berkelakar, berbantah, atau berbuat apa saja –termasuk mengkritik siapa saja—dengan maksud memancing penonton untuk bersenang-senang dan tertawa. Di belakang tawa itulah sesungguhnya tersimpan pesan ideologis si dalang.

Sebagian besar cerpen dalam antologi ini, cenderung menyerupai bentuk goro-goro dengan tokoh-tokohnya yang menampilkan karakter tokoh dunia pewayangan. Cermati semua cerpen dalam antologi ini. Nyaris tak ada deskripsi awal. Ahmadun kerap memulainya langsung dengan pokok persoalan. Tiba-tiba saja, pembaca dihadapkan pada persoalan inti. Dari situlah kemudian rangkaian peristiwa dikembangkan, konflik-konflik antartokoh dihadirkan, dan tegangan demi tegangan dikelindankan silih berganti. Sebuah teknik yang banyak digunakan dalam cerita-cerita detektif, tetapi Ahmadun cenderung mengambil pola goro-goro yang mungkin, tanpa sadar, telah mengendap lama dalam ingatan individualnya. Oleh karena itu, perbincangannya juga mesti melalui perspektif itu: estetika wayang!

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.

Kekerasan

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Tidak hanya di Monas, pada tanggal 1 Juni juga terjadi kebrutalan di rumahAmat. Apa pasal? Bu Amat mengobrak-abrik rumah dan membuang semua barang-barang siaminya yang dianggapnya sesat.

“Semua kenangan yang menyangkut perempuan lain dibakar, dibuang atau diberikan kepada tetangga,”kata Amat lari dari rumah, mengungsi ke tetangga, karena tak kuat melihat kezaliman itu. “Termasuk gambar bekas pacarku yang sudah jadi teman baik, bahkan sering bersilaturahmi ke rumah. Itu adalah kezaliman, pengaruh dari berbagai aksi berbagai organisasi yang kini seenaknya saja main hakim sendiri, mentang-mentang tidak pernah ditindak tegas!”

Ami yang menyusul Bapaknya berusaha mendinginkan suasana.

“Sebetulnya itu bukan kemauan murni dari Ibu.”

“Lalu siapa? Itu namanya cemburu buta!”

“Ibu hanya mengatakan, coba Ami, bersihkan segala meja, almari dan rak buku dari sampah-sampah tidak penting yang disimpan bapakmu, kalau tidak, rumah akan jadi keranjang sampah, kata Ibu. Lalu Ami menyortir mana yang harus dibakar, dibuang, diberikan tetangga dan mana yang boleh disimpan.”

“Kenapa semua foto dibakar. Itu pasti perintah Ibumu kan?”

“Bukan. Itu inisiatip Ami sendiri. Sebelum Ibu melihatnya sendiri, lebih baik Ami bakar. Bapak mestinya berterimakmasih sebab Ami sudah menyelamatkan. Coba tidak, Ibu akan lihat semua. Satu foto saja sudah bisa bikin Ibu kena serangan jantung. Apalagi beberapa foto.”

“Itu bukan berapa lagi. Ada seratus dua puluh foto!”

“Apalagi 120, Ibu bisa langsung angkat kopor, pulang ke kampung!”

“Tapi apa salahnya menyimpan foto. Kan hanya foto?”

“Bapak boleh berkata begitu. Tapi Ibu? Coba bayangkan sekarang kalau Bapak menemukan foto laki-laki lain di dompet Ibu, apa Bapak tidak curiga?”

“Ya curiga dong kan Bapak suami Ibumu yang sah!”

“Nah makanya!”

“Tapi jangan langsung gebrak main bakar. Bapak akan tanya baik-baik. Kenapa foto itu di simpan. Kalau alasannya masuk akal, kenapa harus marah?”

“Betul?”

“Ya marah juga. Masak istri menyimpan foto lelaki lain. Poliandri itu namanya. Dilarang undang-undang! Tidak bisa!”

“Bagaimana dengan poligami?”

“Poligami tidak dilarang, tapi Bapak juga anti poligami. Ibu kamu tahu itu. Jadi tidak perlu pakai main bakar-bakaran. Praktek kekerasan itu bertentangan dengan hakekat rumah-tangga yang harus saling cinta-mencintai!”

“Nah itu sama dengan Ibu. Di dalam rumah hanya ada satu suami dan satu istri!”

“Cocok! Makanya jangan main kekerasan!”

“Lho Ibu tidak melakukan kekerasan, itu Ami yang melakukannya. Ibu malah tidak tahu!”

Amat termenung.

“Jadi ide melakukan kekerasan itu bukan dari Ibu kamu?”

“Bukan! Itu inisiatip Ami. Jadi kalau Bapak mau marah, marah sama Ami saja! Jangan marah sama Ibu!”

“Kalau kamu membakar, tapi Ibu kamu tidak melarang, artinya dia menyetujui. Dan kalau dia menyetujui, berarti dia memang meniatkan dan merencanakan.”

“Salah!”

“Salahnya di mana?”

“Ibu pasti marah juga kalau tahu Ami sudah membakar, membuang dan memberikan kepada tetangga koleksi Bapak.. padahal Ibu hanya menyuruh membersihkan rumah dari sampah. Begitu! Jadi Bapak lebih baik pulang sekarang. Ibu sudah selesai masak. Mau pulang tidak? Atau mau berantem terus?”

Setelah berpikir panjang, menimbang untung-ruginya, Amat pulang mengikuti Ami. Masakan sudah terhidang. Amat langsung mengganyang. Bu Amat meladeni dengan mulut tertutup. Suasana jadi tegang.

“Kok diam saja,”tanya Amat.

“Habis kalau ngomong nanti takut salah. Lebih baik diam.”

“Jangan diam saja. Kalau ada apa-apa dibicarakan. Jangan main bakar seperti kejadian di Jakarta. Berbeda pendapat itu kan normal. Jangan langsung main kekerasan.”

“Kekerasan apa?”

“Itu foto-foto lama kenapa dibakar itu kan hanya dokumentasi?”

“Foto apa?”

“Itu foto Dik Nelly dan Dik Pertiwi, kok dibakar. Kan Ibu juga berteman baik dengan dia.”

Bu Amat terperanjat. Dia langsung masuk ke kamar Ami.

“Memang betul foto-foto koleksi bapak dibakar?”

Ami menjawab polos.

“Betul.”

“Kenapa?”

“Sebab di dalam rumah tangga hanya boleh ada satu suami dan satu istri!”

“Maksudmu kamu curiga Bapak mau kawin lagi?”

“Jangankan kawin lagi, punya pacar pun Ami tidak setuju!”

Bu Amat menggeleng-geleng.

“Ami kamu salah!”

“Salah bagaimana? Ami kan mau melindungi Ibu!”

“Salah!!! Bukan begitu caranya melindungi dan membela Ibu! Kalau betul mau melindungi Ibu, ada cara yang lebih baik.”

“Bagaimana?”

“Lebih baik Ibu bersaing dengan foto. Karena foto tetap saja foto. Daripada bersaing dengan orangnya. Jadi ayo kembalikan foto-foto koleksi bapakmu itu sekarang juga! Di mana kamu simpan? Belum dibakar kan? Kembalikan, kalau tidak Ibu marah!!!”

Dengan berat hati Ami membuka alamarinya. Lalu menyerahkan 120 buah foto koleksi Amat. Bu Amat menjerit di dalam hati melihat foto-foto perempuan yang sudah membayang-bayangi hidup Amat itu. Lalu membawanya ke meja makan.

“Ini semua koleksi Bapak masih lengkap,”kata Bu Amat sambil meletakkan semua foto itu di depan Amat, Silakan saja disimpan kalau masih sayang.”

Amat terperanjat. Setelah dapat menguasai pikirannya lagi, ia berhenti makan, lalu membawa foto-foto itu ke dapur dan membakarnya. Bau sangit foto yang terbakar memenuhi rumah, tercium oleh Bu Amat. Ia nampak sedih, karena kini ia tidak lagi bersaing dengan foto tetapi kembali berhadapan dengan orangnya yang asli.

BELAJAR MENULIS DARI MARDI LUHUNG

Sutejo
Ponorogo Pos

Ketika beberapa waktu lalu HU Mardi Luhung menjadi pembicara di SMA Immersion Ponorogo, dia lebih banyak bercerita tentang apresiasi puisi dan bagaimana membaca puisi. Dalam perbincangan informal di rumah, di jelang pagi, Mardiluhung mengungkapkan beberapa hal menarik berkaitan dengan proses kreatifnya: (a) bahwa proses kreatif itu sebenarnya tidak bisa diceritakan, (b) bahwa menulis ternyata mengalami fase kritis (krisis), (c) menulis itu harus peka situasi karena itu sering mengamati kejadian sosial, dan (d) menulis itu butuh risearch.

Geger Gember Genjer-Genjer

LUDRUK, KEMERDEKAAN DAN PERLAWANAN

S Yoga*
http://www.surabayapost.co.id/
http://syoga.blogspot.com/

“Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.
Begitulah kidungan Cak Durasim, pendiri Ludruk Organizatie (LO) di zaman perjuangan, yang berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang, hingga masuk bui, disiksa tentara Jepang, dan akhirnya meninggal di penjara. Dari fenomena ini, kita tahu bahwa ludruk, sebenarnya merupakan kesenian perlawanan di masa penjajahan, baik itu di masa kolonial Belanda maupun Jepang. Kontribusi ludruk di masa perjuangan kemerdekaan tak bisa diremehkan. Ludruk efektif menghibur masyarakat yang tertekan, tertindas dan lapar, yang dikebiri hak sosial, ekonomi dan politiknya. Sehingga masyarakat ketika menyaksikan pertunjukan ludruk, sekejab bisa terbebas dari segala tekanan hidup dan merasa merdeka. Dan di dalam peristiwa ludruk, yang biasanya terbagi dalam nyanyian, tari remo, kidungan, lawakan dan lakon utama. Para pemain bisa memasukan kidungan atau dialog sambil menyampaikan kritik sosial, yang disebut pasemon, semonan. Di mana kritik tersebut harusnya tidak membuat marah penguasa yang dikritik.

Paranoid

Namun bagi penguasa yang paranoid, ketakutan tanpa sebab, ludruk dipandang membahayakan kekuasaan sehingga hal itu dianggap kegiatan yang subversif. Perlawanan budaya ludruk juga bisa dilihat dari sejarah terbentuknya. Memang ada dua versi dari mana ludruk berasal, yang satu berpendapat ludruk lahir dari Jombang dan yang kedua ludruk berasal dari Surabaya. Ada yang menyatakan pada tahun 1890, ludruk sudah ada, yang serupa badut yang ngamen, mbarang dari rumah ke rumah, dengan tarian yang kakinya menghentak-hetak (gedruk-gedruk) tanah yang kemudian disebut ludruk. Yang disertai nyanyian, dialog dan lawakan dengan cerita yang sederhana atau kisah-kisah kepahlawanan lokal, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso. Yang biasanya dipentaskan di pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.

Sebagai teater rakyat atau jalanan, baik jenis ludruk besut, lerok dan ludruk, secara nyata membuat pengisahan sendiri, yang umumnya cerita berpusat pada kebenaran istana atau penguasa. Kini rakyat diberi alternatif pengisahan lewat lakon di dalam ludruk. Pengisahan ini pun tidak mengambil kisah agung-besar, ludruk memberikan spirit perlawanan dengan kisah-kisah lokal, bahkan keseharian. Di sinilah ludruk menemukan jati dirinya sebagai teater rakyat dan agen perubahan, baik di masa kolonial maupun revolusi. Tidak seperti wayang, tari bedaya atau kethoprak yang muncul dari kalangan istana atau kaum elite, yang komunikasinya benar-benar mempertahankan tata bahasa Jawa. Ludruk memakai bahasa rakyat jelata yang cenderung kasar, egaliter, tanpa ungah-unguh. Selain dari sejarah, bahasa dan pengisahan, ludruk juga menunjukkan perlawanan budaya dengan kostum, yang umumnya memakai kaos merah putih dan ini merupakan semangat nasionalisme yang mensimbolkan bendera merah putih. Juga dengan karakter perempuan yang dimainkan oleh laki-laki, hal ini bisa diartikan ejekan pada rakyat yang tidak mau berjuang sebagai seorang banci atau perempuan.

Di zaman kemerdekaan ludruk masih memiliki fungsi kritik sosial, perlawanan, namun di era Orde Baru ludruk benar-benar dibungkam kreatifitasnya, dan dikenakan kaca mata kuda yang hanya boleh melihat dan bersuara satu arah, yakni kebijakan pemerintah versi Orde Baru. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya grup ludruk yang bergabung dengan instansi dan militer. Sebelumnya ludruk juga telah dimanfaatkan oleh partai politik pada tahun 1945-1965, di mana pada masa itu ludruk yang paling populer adalah “Ludruk Marhaen”, yang sempat main di istana negara 16 kali, milik Partai Komunis Indonesia. Saat itu kedudukan ludruk sangat vital dalam mempengaruhi rakyat. Sehingga PKI mengambil kebijakan untuk merekrut ludruk lewat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) guna menyuarakan partai, tak heran waktu itu banyak orang yang terpengaruh dan bergabung denga PKI, tanpa tahu subtansi visi dan misi yang sebenarnya. Yang akhirnya memunculkan prahara dan kudeta berdarah pada tahun 1948 di Madiun dan 1965 di Jakarta.

Badut Politik

Waktu itu hampir semua partai politik memiliki grup ludruk sebagai corong partai untuk mempengaruhi dan mencari pengikut, khususnya di Jawa Timur, baik yang berbahasa Jawa maupun Madura. Ludruk menjadi primadona partai guna memenangkan pemilu. Di mana para seniman ludruk pun banyak yang akhirnya menjadi anggota partai. Dan fenomena tersebut dalam tataran politik modern saat ini, seniman atau artis menjadi primadona baru untuk mendulang suara partai atau diajukan untuk menjadi bupati, walikota dan gubernur, bahkan dari kalangan artis ada yang berani mencalonkan diri sebagai presiden. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan ternyata juga berpengaruh penting terhadap perjalanan sebuah bangsa, lewat partai politik atau independen. Namun bila tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki maka hanya akan menjadi badut politik.

Setelah era ludruk ditunggangi partai politik, di zaman Orde Baru nasib ludruk secara politis juga masih sama tragisnya, tidak merdeka dan independen. Ibaratnya keluar dari mulut ular masuk mulut harimau. Maka orientasi ludruk sebagai suara rakyat, aspirasi kaum bawah dengan kritik sosial dan mencoba mempengaruhi kebijakan pemenrintah, lagi-lagi menjadi terbungkam. Karena ludruk dikangkangi militer dan pemerintahan Orde Baru, di mana bermunculan nama-nama ludruk sesuai kesatuan militer; misal Ludruk Wijaya Kusuma yang terbagai hingga 5 unit (grup), di mana grup ludruk tersebut leburan dari Ludruk Marhaen-Surabaya, Anogara-Malang, Uril A-Malang, Tresna Enggal-Surabaya dan Kartika-Kediri. Ketika itu semua ludruk yang ada dibina oleh militer sehingga semua konsep pementasan haruslah sesuai atau mendapat ijin dari militer. Kebebasan berekspresi dan kreatifitas ludruk pun terberangus. Yang ada hanyalah satu suara-arah kebijakan yang sesuai dengan pesanan, sehingga dikenal juga sebagai ludruk pesanan, misal untuk klompecapir. Sebenarnya tidak ada salahnya ludruk menyuarakan pesan kebijakan pemerintah, namun seringkali ketika akan memberikan kritikan hal ini dilarang, yang boleh hanya pujian. Masyarakat pun akhirnya tidak memiliki kepedulian karena bahasa yang digunakan, abstrak, jauh dari kenyataan yang ada, sehingga kaku, tidak seperti aslinya dengan bahasa yang ceplas-ceplos, kasar dan familier.

Ludruk dapat menjadi kitab lupa dan gelak tawa bagi rakyat pada umumnya karena ia menyimpan tradisi dan memori hidup yang tak akan terhapus oleh sejarah apa pun, meski sejarah itu telah direkayasa. Karena ingatan pendukungnya lebih kuat lewat cerita dan humor hitam yang didedahkan. Ia menjadi saksi bagi perjalanan bangsa, ia menjadi ekspresi resistensi bagi rakyat jelata terhadap para penguasa. Karena hakikat ludruk adalah perlawanan yang menyuarakan cita-cita kaum lemah, ia simbol perjuangan mereka yang tertindas dan lahir dari kondisi sosial yang represif. Baik itu secara politis maupun ekonomi, di mana ludruk biasanya mengajarkan kearifan lokal dan ini merupakan perlawanan terhadap kapitalisme. Selain secara tradisi lisan menciptakan identitas lokal para pendukungnya. Secara politik ludruk telah menunjukkan jati dirinya sebagai bentuk subversif dari kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Sehingga bila kini banyak grup ludruk yang kehilangan orientasi perjuangan tersebut, dengan pasemon dan lawakan yang getir, pahit maka ia sedang menggali kuburnya sendiri. Karena secara perlahan rakyat pastilah akan meninggalkannya. Karena itu spirit ludruk sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa yang tiran haruslah terus dihidupkan, tentu saja dengan lawakan yang elegan,dan selalu menyerap aspirasi kaum bawah.

Namun kini nasib ludruk sama tidak menentunya dengan nasib rakyat penerima BLT, yang hidup secara subsistensi. Di mana kehidupan ludruk seakan-akan tergantung kepada belas kasihan para pendukungnya. Kadang pentas kadang nganggur, peran pemerintah untuk menghidupkan ludruk pun tidak sungguh-sungguh. Hal ini karena kebijakan pemerintah yang selalu memandang kebudayaan sebagai objek dan dagangan semata. Bukan sebagai ekspresi dan spirit rakyat yang tertekan, di mana roh kearifan lokal bisa memberikan siraman terhadap beban hidup yang mereka alami. Mungkin kalau Cak Durasim saat ini masih hidup, ia akan berkidung: “Bekupon Omahe Doro, Nasib Ludruk Soyo Sengsoro”.
***

*) Penyair dan Anggota Komite Sastra DK-Jatim

Minggu, 18 Januari 2009

Puisi-Puisi Hudan Nur

http://www.suarakarya-online.com/
SOLO BALAPAN
- kepada ayahanda raditya putra

kita terpisah di stasiun ini
pemberhentian sejenak sebelum kita pastikan
melanjutkan perjalanan
aku tahu kamu pulang ke kebumen
menemui sanak famili, astri dan adik kandungmu yang baru belajar menghitung angka
dan sehampar ladang yang telah
memberimu keyakinan bahwa hidup adalah membalik tanah
serta kebun yang mengajarimu bagaimana bekerja mengolah
dan memanen umbi-umbian
dengan kesemangatan sejenak kuberpikir,
apa saja yang telah aku gali di ladang usiaku
apakah juga membalik tanah sepertimu
aku terpatri memasung diri karena
tak mampu mencangkul tanah tandus penuh bebatuan
ya aku tidak seperti yang kau kira

karena aku dibesarkan di bantaran sungai

martapura yang mengajariku berlayar ke muara-
muara mengenali barito, tabunio, dan jenis
ikan tawar yang dijual pamanku setiap pasar
arba stasiun hidup kita tak samaperjalanan

berikutnya pun tentu tak sepemahaman

jiwaku dengan gaya laut merah
jiwamu dengan gunung merapi
(namun sama-sama membara)

St. Solo Balapan, 2007



PERASAANKU MEMAR

dinda
mari kita lihat lukisan di dinding kamar ini
sepasang burung dara siap terbang ke angkasa raya
kepaknya adalah melodi nasib yang tak pernah selesai
terus berkecipak diantara reranting dahan yang basah oleh rinai hujan
dinda suatu hari kita pasti bercerai
selalu ada saja hijab pemisah
karena aku hidup di malam hari
sedang kau mengaji di pagi hari,
jangan pernah kau salahkan takdir sayang
karena kita saling menjaga
kita saling mencari
maaf dinda aku tidak bisa menyuguhimu air susu
disini hanya ada vodka yang setia menemaniku dan seball kretek atau
bagaimana kalau kita berdansa saja?
irama keluhmu sudah saatnya kau tanggalkan
aku tidak pandai merayu

Tasikmalaya, November 2006



LANDMARK SUATU HARI

dari dago
aku mulai menapak tilas langkah mentari
cerah malu-malu sedang tanda
remaja belum aku temui hari ini
di wajahmu sudah dua kali natal
kau menetap di pinggiran cisitu lama
namun ingatanku tak pernah karam
meski pelayaran hidup berbeda haluan
aku berjanji untuk menghadap barat agar
lembayung senja dapat aku saksikan di beranda sepi kau setia menunggu dewi kelam dengan
teratak masa lalunya kala ini kau gandeng
tangan kananku sedang tangan kiriku kau
biarkan lepas di hela angindi landmark perasaanku lebur bersama bilur kelam
aku tak dapat menjawab tentang bukti itu
setahun lalu jemariku cedera
dan biola pemberianmu sudah aku hancurkan
kutenggelamkan ke muara batu
kau takkan puas bila siang ini
kita hanya membaca satu cerpen
raudal tanjung banua kau tak berubah tualang
coba kau lihat kedua telapak tanganmu
saatnya membaca hari dengan kemudi waktu
bukannya mengumpat dan persalahkan aku

Bandung 2006

Gaza, Dunia di Rembang Petang

Otto Sukatno CR*
http://www.kr.co.id/

DUNIA ini notabene dihuni sekitar tiga miliar manusia. 12 Juta di antara dari mereka-kurang dari setengah persen-diklasifikasi sebagai bangsa Yahudi (Israel). Secara statistik, mereka sebenarnya hampir tidak teramati. Tetapi bangsa Israel justru betul-betul dikenal, di luar proporsi dengan jumlah mereka yang kecil. Tak kurang dari 12 persen dari semua hadiah Nobel di dalam bidang fisika, kimia dan kedokteran telah jatuh ke tangan orang-orang Israel. Kontribusi Israel pada daftar nama-nama besar dunia di bidang agama, sains, sastra, musik, keuangan, dan filsafat amat mencengangkan.

Sederet nama-nama besar dan dimuliakan dunia juga telah dihasilkan bangsa ini. Semisal Karl Marx, yang dengan Das Kapitalnya yang legendaries. Albert Einstein, matematikawan paling kesohor hingga saat ini, yang menghantarkan kita ke zaman atom dan membuka jalan bagi manusia menapakkan kakinya di bulan, adalah berkat teorinya. Sigmund Freud, dengan psikoanalisanya, telah merevolusi pikiran manusia tentang dirinya sendiri, serta tentang hubungan antara pikiran materi. Tak ketinggalan Baruch Spinoza, yang membebaskan filsafat dari mistisisme dan membuka jalan bagi rasionalitas sains modern, adalah bukti luar biasa kehebatan anak-anak Israel.

Yang pasti, bangsa Israel memang sudah menyita perhatian dunia sejak zaman dahulu. Yakni sejak pada suatu hari, 4.000 tahun silam, ketika seorang laki-laki bernama Abraham (Ibrahim) mengalami perjumpaan dengan Tuhan, dan memperkenalkan diri sebagai Yahwe (Jehovah), yang merupakan awal dialog Yahudi dengan Tuhan. Lewat tradisi Ibrahim kita mengenal tradisi (agama) semetik terbesar di dunia (Yahudi, Nasrani dan Islam). Sehingga banyak ajaran Ibrahim sampai sekarang masih tetap lestari. Baik dalam tradisi Yahudi, Nasrani maupun Islam. Hari raya terbesar dalam Islam, (Idul Adha), tak lebih ubahnya napak tilas kisah (tradisi) Ibrahim. Bahkan Masjidil Haram (Ka'bah) dan Masjidil Aqsa-dua nama masjid yang ditulis dalam Alquran--notabene pertama juga dibangun Ibrahim. Ironisnya, prestasi besar itu, dewasa ini sangat paradoks dengan perilakunya. Invasinya yang membabi-buta ke Jalur Gaza dewasa ini, sungguh merupakan ironis sejarah dan kemanusiaan yang tak terlupakan. Ia tak ubahnya Hitler dengan Nazi-nya.

Sehingga dari sudut pandang apapun, agresi biadab Israel ke jalur Gaza, adalah kejahatan sejarah, peradaban dan kemanusiaan yang tak terperikan. Terlebih jika dipandang dari sudut agama dan kemanusiaan. Kejahatan Israel atas penduduk sipil -utamanya perempuan dan anak-anak -- adalah bentuk kejahatan sempurna, lebih dari kejahatan yang pernah dilakukan iblis sekalipun. Sekeji-kejinya iblis, makhluk yang notabene karena kejahatannya distigmakan bakal menjadi penghuni neraka jahanam, dalam catatan sejarah, tak pernah membantai orang sedemikian masif dan sistemik demikian.

Maka manakala mengkaji konsep, setan (iblis) dalam pandangan Islam yang notabene terdiri dari jin dan manusia, perilaku biadab Israel tak ubahnya ikon langsung tak langsung dari iblis yang senyatanya. Yakni iblis yang berasal dari golongan manusia itu. Hanya orang-orang yang sakit jiwanya (skyzofrenia) saja yang mampu mentolerir tindakan biadab yang ada di depan mata itu, yang hingga hari ke-19 belas telah menewaskan nyawa mendekati angka seribu jiwa. Sementara lima ribuan lainnya harus menderita luka-luka dan cacat secara permamen. Sebuah angka fantastis dari tindakan keji bangsa manusia yang hampir menyamai angka kurban bencana alam misalnya Gempa Yogya-Jateng pada 27 Mei 2006. Sehingga orang waras, bahkan yang ateistik sekalipun, akal sehatnya tentu tidak akan mampu mencerna tindakan pembantaian ribuan jiwa manusia yang bersifat permanen dan sistemik tersebut.

Untuk itu, hemat kami menghadapi tindakan keji demikian, kita harus mengubah paradigma tentang bantuan yang hendak kita berikan. Jika selama ini kita terpikir untuk segera menyalurkan bantuan kemanusiaan berupa makanan dan obat-obat serta sarana dan prasarana vital lainnya ke Jalur Gaza. Paradigma dunia mestinya diubah. Yakni hentikan dahulu peperangan. Kalau perlu dengan segala cara. Barulah jika perang berhenti, kita memberikan bantuan kemanusiaan tersebut. Sekaligus melakukan renovasi dan rekonstruksi dan rehabilitasi kemanusiaan serta kebudayaan.

Sebab jika paradigma dunia tidak segera diubah, Israel toh, nyata-nyata telah gelap mata. Karena bangsa Israel, pada dasarnya bangsa yang skyzofrenia, mereka meyakini sebagai bangsa "pilihan Tuhan", Mereka merasa, menjadi pewaris sah dunia. Sehingga bangsa atau orang-orang lain, dianggap tak layak hidup dan menghuni dunia yang telah mereka warisi. Karena watak skyzofrenianya ini, bangsa Israel, seakan bisa berbuat apa saja, yang menurut mereka benar, sehingga mereka akan meremehkan siapa saja. Kecuali mitra bebuyutannya yang selama ini terus menyokongnya. Yakni Amerika. Sehingga resolusi PBB sekalipun tak digubrisnya.

Maka menghadapi watak demikian, satu-satunya cara hanyalah berbuat yang serupa, Yakni sebagaimana seruan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, dengan kekuatan senjata. Hanya saja, jika hal itu terjadi, maka masa depan dunia akan benar-benar di rembang petang. Perang dunia ketiga seperti sudah berada di depan mata. Apalagi jika, niat mereka didasari atas nama motif agama. Dan Wilayah Palestina, yang diyakini menjadi ikon suci dari tiga Agama Semit, sangat memungkinkan sekali untuk itu.

Maka jika perang itu dianggap sebagai perang agama, kejadiannya pasti akan lebih dahsyat dari apa yang kita kira. Sebab sebagaimana diungkap Roger Shinn, Profesor etika sosial, Union Theological New York, "perang atas nama agama cenderung lebih ganas. Jika orang memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka akan mencapai suatu titik dimana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap suatu kejahatan"

Senada dengan Shinn adalah apa yang diungkap oleh Blaise Pascal (1623-62), menyatakan bahwa "manusia tidak pernah melakukan kejahatan dengan begitu utuh dan penuh sukacita seperti bila mereka melakukannya karena keyakinan agama". Sebab "manusia akan bergumul demi agama, menulis demi itu, bertempur demi itu, mati demi itu; berbuat apa saja kecuali hidup demi itu... apabila agama yang sejati mencegah suatu kejahatan, agama-agama palsu membuat dalih untuk ribuan kejahatan" Ungkap Charles Caleb Colton. Padahal menurut sejarawan Inggris Arnold Toynbee, menyatakan bahwa "tujuan yang sebenarnya dari agama lebih luhur adalah untuk menyebarkan nasihat-nasihat rohani dan kebenaran yang menjadi dasarnya kepada sebanyak mungkin jiwa yang dapat dicapainya, agar setiap jiwa tersebut mampu memenuhi tujuan manusia yang sesungguhnya. Tujuan manusia yang sesungguhnya adalah memuliakan Allah dan memiliki Dia selama-lamanya"

Persoalannya, jika Israel terus saja berbuat nekat, maka aras ke arah perang agama itu, buka hal yang mustahil. Meski menurut hemat saya, motif utama invasi Israel, bukanlah motif agama. Yakni bentuk dari kefrustrasian para pemimpin Amerika-sekutu utama Israel-dalam menghadapi krisis ekonominya yang kian akut. Sehingga bentuk kefrustrasian itu dialihkan dengan perang, dengan harapan untuk mendongkrak kembali harga minyak yang kian terpuruk, serta sekaligus produksi persenjataan mereka menjadi laku. Itulah sebabnya, untuk tidak memperkeruh masalah setiap bangsa, juga siapapun-utamanya para pemimpin-- harus sangat arif dan hati-hati menghadapi masalah ini, sambil tetap mencari cara, bagaimana membuat Israel jera dan menghentikan kejahatannya.

*) Penyair dan Pemerhati Sosial, Budaya dan Ketimuran.

Sastra dan Pahlawan

Bandung Mawardi*
http://www.surabayapost.co.id/

Toto Sudarto Bachtiar pada bulan November 1955 menulis sebuah puisi terkenal dengan judul “Pahlawan Tak Dikenal”. Toto menuliskan puisi itu sebagai rekaman dari perenungan dan pengentalan selama 10 tahun ketika ikut dalam perjuangan kemerdekaan 1945. Toto mengisahkan: Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring / Tetapi bukan tidur, sayang / Sebuah lubang peluru bundar di dadanya / Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang. Puisi ini menjadi memori kolektif karena kerap hadir di buku teks pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia atau jadi teks untuk lomba baca puisi. Puisi “Pahlawan Tak Dikenal” merepresentasikan narasi empati terhadap lakon hidup pahlawan.

Djawastin Hasugian pada tahun 1965 menuliskan sebuah puisi yang mengacu pada peristiwa 10 November 1945. Penyair dengan kalem mengenangkan peristiwa pertempuran rakyat Indonesia dengan pasukan Sekutu di Surabaya. Kenangan berulang atas perjuangan dan kematian pahlawan dituliskan oleh penyair: Hari ini kami kembali mengenangmu seperti juga / tahun-tahun yang lalu / Tertengadah kami memandang kemboja yang / semakin tua di atas kuburanmu / Mengheningkan cipta dengan air mata atas / kehadiran dan ketiadaanmu / Ketika bumi rakyat tercinta ini ditindas dan kau / bangkit melepas nyawa. Puisi ini dramatis dan sugestif.

Puisi Toto Sudarto Bachtiar dan Djawastin Hasugian itu jadi representasi kecil perhatian pengarang sastra Indonesia modern terhadap tema pahlawan. Puisi-puisi dengan tema pahlawan memang membuka kemungkinan keterlibatan empati dan simpati pembaca untuk masuk dalam narasi sejarah dan pengalaman tokoh. Konstruksi puisi pun sanggup mengantarkan pembaca pada pengetahuan pahlawan dalam kolaborasi fakta-fiksi.
***

Teks-teks novel Indonesia modern dengan tema pahlawan terhitung dalam jumlah sedikit dan kurang dalam pembicaraan (esai, kritik, atau penelitian sastra). Beberapa novel yang mengisahkan tokoh pahlawan: Surapati (Abdul Muis), Surabaya (Idrus), Jejak Kaki Wolter Monginsidi, (S. Sinansari Ecip), Kuantar ke Gerbang (Ramadhan KH), Cut Nya Dien (Ragil Soewarno Pragolapati), Cermin Kaca Soekarno (Mayon Sutrisno), dan lain-lain. Pengisahan pahlawan dalam bentuk novel memang kurang populer bagi publik pembaca. Publik cenderung mengenali pahlawan melalui medium buku teks pelajaran, buku sejarah, buku biografi, buku memoar, esai, artikel, atau film.

H.B. Jassin sebagai dokumentator dan kritikus penting dalam kesusastraan Indonesia modern memberi perhatian atas kehadiran novel biografi Cermin Kaca Soekarno. Novel Mayon Sutrisno itu dinilai H.B. Jassin cukup berhasil mengisahkan kehidupan Soekarno dalam struktur novel. H.B. Jassin (1984) dengan sugestif mengungkapkan: “Generasi muda kita, generasi penerus, perlu membaca buku ini. Buku ini merupakan pelajaran sejarah dalam bentuk roman.” Anjuran H.B. Jassin kentara memakai tendensi pembelajaran sejarah melalui sastra bakal mengantarkan public pembaca pada keterlibatan interpretasi secara intensif.

Pemilihan bentuk novel untuk mengisahkan kehidupan tokoh pahlawan memiliki aksentuasi pada kekuatan narasi literer. Pengarang mengolah bahan atau sumber dengan struktur dan bahasa dalam pergulatan fakta-fiksi. Unsur-unsur tokoh, peristiwa, latar waktu dan tempat, konflik sebagai konstruksi teks novel mengandung tegangan dalam pengisahan historis dan imajinatif. Novel memiliki ruang gerak bebas untuk menarasikan dan menghidupkan fakta. Narasi itu tentu membuat ketokohan pahlawan menjadi manusiwai dan familiar untuk mendapatkan interpretasi dari publik pembaca.
***

Eksplorasi tema pahlawan pun bisa memakai bentuk puisi dengan struktur dan konvensi berbeda dari novel. Puisi-puisi dengan tematis pahlawan juga tercatat dalam jumlah kecil dibandingkan dengan tematis-tematis lain. Puisi terkenal Chairil Anwar dengan berjudul “Diponegoro” (1943) adalah puisi terkenal dan kerap menjadi acuan dalam pembicaraan sastra dan tema nasionalisme.

Puisi Chairil Anwar itu tidak untuh mengisahkan biografi Diponegoro. Ketokohan dan heroisme Diponegoro diungkapkan Chairil Anwar dengan maksud untuk memberi semangat dalam menjalani revolusi Indonesia. Heroisme Diponegoro diungkapkan Chairil Anwar dalam bait mumpuni: Di depan sekali tuan menanti / Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. / Pedang di kanan, keris di kiri / Berselempang semangat yang tak bisa mati. Ungkapan terkenal Chairil Anwar yang terus dikenang dalam puisi itu adalah: Sekali berarti / Sudah itu mati.

Subagio Sastrowardoyo pun fasih mengisahkan pahlawan Monginsidi. dalam puisi “Monginsidi”. Puisi itu dengan memakai bentuk aku lirik mengajak pembaca merasakan heroisme Monginsidi yang mati pada usia muda. Monginsidi dikisahkan sebagai seorang pemuda yang hidup dengan lakon dramatis sebagai pemimpin gerilya melawan kolonilal. Monginsidi menemui ajal dengan ikhlas. Kisah penangkapan dan kematian Monginsidi terasa herois dalam bait ini: Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena / pengkhianatan / Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu / eksekusi / Aku adalah dia yang berteriak ‘merdeka’ sebelum ditembak / mati.

Saini K.M. pada tahun 1993 menulis sebuah puisi dengan judul “Dewi Sartika”. Puisi ini mengungkapkan ketokohan Dewi Sartika sebagai sosok perempuan revolusioner dalam kontribusinya terhadap konstruksi kemerdekaan bangsa Indonesia. Saini menuturkan dalam pembahasaan metaforis dan bentuk liris. Dewi Sartika dituturkan dengan metafora feminis yang hidup: Kuntum yang berkembang dalam sepi / Di pinggir jalan tempat sejarah lewat / Akankah ia hanya menyebar wangi / Pada angin lalu, pada masa lalu semata? Puisi Saini K.M. terasa tidak mendikte atau menggurui pembaca mengenai nilai-nilai perjuangan sosok pahlawan perempuan tapi membuka narasi-narasi inspiratif.

Perhatian terhadap tematis pahlawan pun ditunjukkan oleh Jose Rizal Manua dalam puisi “Pahlawan itu Adalah Ibuku” (2004). Jose menonjolkan sosok-sosok pahlawan perempuan: Kartini, Dewi Sartika, Cristina Marta Tiahahu, dan Cut Nya Dien. Penyair mengajak pembaca mengenang kembali kisah sejarah tokoh dan relevansi dengan realitas Indonesia mutakhir. Jose menulis: Sejarah punya cerita / tentang Kartini dan Dewi Sartika / tentang Christina Marta Tiahahu / dan Cut Nyak Dien. Sejarah panjang pembentukan bangsa Indonesia dengan kontribusi pahlawan-pahlawan perempuan itu memunculkan pencerahan-pencerahan besar: terhadap kesadaran peran (emansipasi perempuan) dalam pelbagai sisi kehidupan dan kesadaran nasionalisme. Pahlawan-pahlawan perempuan itu inspiratif.

Elaborasi terhadap pahlawan perempuan dikisahkan dengan apik oleh M.H. Skelely Lulofs dalam novel-biografis Degeschiedenis van een Atjehse vorstin (1948). Buku ini terbit dalam terjemahan Indonesia dengan judul Cut Nyak Din: Kisah Ratu Aceh (2007). Lulofs dengan narasi mumpuni mengisahkan Cut Nyak Din sebagai subjek penting dalam perjalanan sejarah Indonesia melalui lakon kolonialisme. Cut NyaK Din adalah sosok pahlawan fenomenal dalam menentukan garis perjuangan-heroisme dan kesadaran atas risiko sakit dan kematian.
***

Soekarno mengatakan: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.” Ungkapan patut jadi acuan untuk menumbuhkan kesadaran sejarah dan apresiasi terhadap kontribusi pahlawan dalam konstruksi Indonesia. Pengenalan dan pengetahuan terhadap pahlawan itu jadi terasa hidup dengan medium sastra. Prosa dan puisi memberi ruang interpretasi inklusif dan pluralistik untuk membaca dan menilai pahlawan dengan acuan fakta historis dan sentuhan fiksi-imajinasi. Begitu.

*) Peneliti Kabut Institut (Solo).

Kamis, 15 Januari 2009

Memburu Satwa(m) ''Segara-Wana''

Judul : Ziarah bagi yang Hidup
Pengarang : Raudal Tanjung Banua
Penerbit : Matahari Yogyakarta, 2004
Tebal : viii + 138 halaman.
Peresensi: I Nyoman Tingkat
http://www.balipost.co.id/

DIPILIHNYA Bali sebagai ruang bedah karyanya, bagi Raudal Tanjung Banua, adalah upaya menghormati tanah kelahiran keduanya. Artinya, Raudal memang memulai dunia kepengarangannya dari ber-gradag-grudug dengan Sanggar Minum Kopi (Bali) dan belajar secara intens pada Umbu Landu Paranggi. Dalam konteks ini, Raudal melakukan napak tilas sejarah bagi dunia kepengarangannya sebagaimana layaknya orang melakukan ziarah untuk sungkem dan hormat pada orang (juga tanah kelahiran) yang telah membesarkannya.

Buku "Ziarah bagi yang Hidup" ini memuat 12 cerpen yang rata-rata telah dimuat sebelumnya di koran maupun majalah bahkan ada di antaranya yang telah masuk antologi. Denyut apresiasilah yang menjadi sasaran Raudal mewartakan karyanya ke dalam berbagai media menuju arah pencapaian demokratisasi bersumber pada gerakan multikultural sebagai konsekuensi logis dari negara yang menganut semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Jika mencermati judul buku ini, tersirat adanya inovasi melalui negasi seperti juga tersirat dalam judul "Obituari bagi yang Tak Pernah Mati". Betapa tidak, ziarah yang selama ini dikenal, diperuntukkan bagi mereka yang akan nyekar ke pemakaman leluhur, pahlawan dan sebagainya, dalam cerpen ini justru digunakan untuk makna mengunjungi rumah Datuk (yang masih hidup), walaupun tidak produktif lagi sebagai seorang pelaut. Pada titik itulah pengarang berhasil melakukan "perselingkuhan" makna atas kata yang memberikan side effect untuk mendobrak budaya konvensional. Dobrakan itu dititipkan pengarang melalui tokoh perempuan, Aida, yang nekat kawin tanpa persetujuan Datuk. Kenekatan Aida justru dilakukan secara sadar, tidak membabi buta. Buktinya, sesaat setelah kawin, Aida berziarah ke rumah Datuk yang justru tidak merestui perkawinannya. "Toh Aida tetap mempunyai keputusan sendiri dan agak keras selayaknya laki-laki dari lautan. Begitulah ketika pernikahan kami mendapat rintangan, Aida menerobos rintangan itu seorang diri. Rintangan itu datang dari Datuknya: Sang Datuk melarang Aida menikah dengan laki-laki Tanah Barabah" (hal.15).

Dari kutipan itu tercermin pula betapa sakitnya hati Datuk karena tradisi yang diwarisi secara turun-temurun mendapat tantangan berat dari cucunya (Aida) yang seharusnya mewarisi. Sakit hati juga dirasakan tokoh Aku yang berbulan madu dengan Aida melalui prosesi napak tilas menziarahi Datuknya dengan maksud mohon restu. Akan tetapi yang terjadi adalah kenangan yang mestinya manis harus ditelan dengan pahit saat berbulan madu di malam pertama. Jika mencari setting yang ditampilkan dalam kumpulan cerpen ini, tampaknya pengarang mengawinkan dua latar tempat yang penuh dengan simbol purusa (laki-laki) melalui latar daratan termasuk gunung-hutan dan pradana (perempuan) melalui latar laut termasuk sungai, seperti terungkap dalam judul "Solitude" (kesunyian). "Para ibu atau kekasih mereka cukup mengetahui kepergian itu kemudian dari bisik ke bisik, dari selembar surat, coretan arang di dapur atau tanpa apa-apa. Tanpa mempersoalkan lagi pergi ke mana. Yang jelas, pasti ke hutan". "Tapi aku tidak masuk hutan. Setelah ikut memutuskan untuk pergi, aku justru memilih lautan. Ada kapal membawa diriku, berlayar, dari pelabuhan lama, tepian tanah kelahiran yang penuh jejak duka" (hal.9).

Pemakaian simbol itu disadari atau tidak merupakan wujud kemitrasejajaran yang hendak ditawarkan pengarang terhadap dikotomi gender yang menjadi wacana hangat belakangan ini. Dari situ pula, pengarang mengajak pembaca/penikmat memburu satwa(m) dari balik segara-wana dalam rajutan cerita. "Barangkali kalau ingin mengenang kebesaran para leluhur, justru jangan di bagian muara ini; datanglah ke bagian agak ke hulu di mana rumah-rumah tiang masih kukuh berdiri dengan segala adat dan kebiasaan lebih baik" (hal.14).

Rajutan segara-wana juga terimpisit pada cerpen berjudul "Pulau Perempuan di Lautan Penuh Layar". Dikomunikasikan dengan meramu kearifan lokal Minang dengan tradisi berbalas pantunnya, cerpen ini mengajak pembaca untuk merenung seperti layaknya menafsirkan sebuah pantun.

Sebagai samudera kata, kumpulan cerpen ini menawarkan nilai keberagaman sumber daya hayati sebagai hasil kontemplasi pengarang mengonvergensikan antara keluasan alam laut dan keindahan alam bumi dalam arti fisik kemudian diangkat dan diberi makna surealistis imajis. Dalam konteks ini, "pulau perempuan" yang dimaksud pengarang adalah pulau imajinasi dan lautan penuh layar adalah simbol bagi manusia mengadu nasib dengan segala kemungkinan dan risiko sehingga perlu rasa ikhlas untuk menaklukkan keganasan arus. Di Bali tradisi ini disebut melas. Boleh jadi, tradisi melasti yang dikenal di Bali kini berawal dari sini. Bukankah dalam melasti, ritual dilakukan dengan melautkan yang di darat dan mendaratkan yang di laut?

Aliran air kebijaksanaan yang diperciki Raudal ke dalam karya-karyanya ini sangat menyentuh nilai kemanusiaan yang ditangkap dari sasmita alam laut dan hutan yang kini justru banyak ditelantarkan orang bahkan diperkosa atas nama pembangunan. Mengangkat keterasingan dan keterpinggiran manusia (Indonesia) yang merupakan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan spekulasi dan kemungkinan sebagaimana dialami para pelaut yang menjadikan samudera sebagai natah sekaligus tanah tempat memohon rezeki demi menghidupkan anak-cucu terkasih di rumah. Berpetualang melawan arus yang mengharuskan keikhlasan (lascarya).

Selebihnya, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini berkisah tentang kemajuan iptek ("Bis Itu seperti Pesawat" dan "Kereta yang Terus Memanjang") yang membawa kejutan budaya pada masyarakat kampung. Lalu komparasi budaya terpotret dalam "Zikir Segenggam Gigi Buaya". Sementara itu cerpen romantis terangkum dalam "Kedua Betisnya Rebah di Atas Becak Itu". Lalu, warna lokal tampil dalam "Watu Ntanda Rah" sebagai bentuk revitalisasi dari dongeng yang mengisahkan anak durhaka pada ibunya yang dalam konteks modern ditautkan dengan kekerasan hidup bak batu dalam mitos Malin Kundang.

Cerpen-cerpen dalam buku ini mengetuk hasrat kemanusiaan yang layak dipedomani sebagai salah satu kompas untuk menunjukkan kemitrasejajaran laki-perempuan dalam balutan setting segara-wana. Cerita yang mengabarkan keterasingan manusia di tengah kemajuan zaman dan iptek dalam kemasan fiktif. Namun, fiksionalitas yang ditawarkan bukan berarti tanpa pijakan di bumi fakta.

Sayangnya cerpen-cerpen yang bermuatan lokal dalam buku ini tidak disertai daftar kata yang menjelaskan secara teknis makna istilah daerah yang digambarkan. Selain itu, rasa percaya diri pengarang yang dituangkan dalam pengantar seakan membukakan jalan bagi apresiator untuk melakukan "penjelajahan". Artinya, pengarang melakukan intervensi terhadap kemungkinan baru bagi ruang penafsiran di pihak pembaca.

Senin, 12 Januari 2009

PORNOGRAPHY

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Jadi begitulah. RUU PORNOGRAPHY lolos di DPR. Banyak orang bersedih.Tetapi yang lain berpesta, seakan-akan segala kebejatan berhasildiberantas. Di rumah, anakku Ami nampak kesakitan. Ia bahkan tak maupergi ke kampus padahal ada tentamen.

Aku terpaksa menghibur.

“Beginilah resikonya hidup dalam alam demokrasi Ami. Yang menangadalah yang lebih banyak, meskipun belum tentu lebih bener. Jaditabahlah hadapi kenyataan.”

Ami mengangguk. Tapi wajahnya tambah berat.

“Sudah Ami, terima saja. Orang yang menang adalah orang yang beranimenerima kenyataan. Kalau kamu bisa menerima kenyataan kalah ini, kamubukan pihak yang kalah. Sedangkan orang yang menang suara, padahalbelum tentu mereka benar, apabila tak belajar dari yang kalah, kenapakamu dan teman-teman kamu begitu menentang RUU itu, mereka adalahorang yang kalah. Karena mereka hanya memikirkan kemenangan, bukanmemikirkan keselamatan negeri dan seluruh rakyatnya yang 220 juta jiwadengan panutan budaya yang berbeda-beda.”

Kepala Ami semakin berat. Bahkan matanya nampak berkaca-kaca. Lalu airmatanya jatuh berderai. Aku jadi cemas.

“Sudah Ami. Kalau begini caranya kamu menerima kekalahan, sebentarlagi bukan air mata kamu saja yang jatuh tetapi juga kepala kamu. Dankalau sampai kepala kamu biarkan jatuh, artinya kamu tidak hidup lagidengan otak tetapi rasa semata-mata. Perasaan itu baik, memang baik.Rasalah yeng menyelaraskan kita sehingga kita bisa membangun harmoni.Tetapi keselarasan itu sendiri perlu laras. Kalau tidak, rasa kamusendiri juga tidak laras.

Kamu memerlukan kepalamu untuk mengarahkan,mengerem, meredam perasaan agar jangan berkelebihan. Karena kehidupanini seperti gado-gado yang penuh dengan berbagai bumbu dengan rasayang berbeda-beda. Kamu harus mencampur dengan cermat dan menakarnyaawas. Kalau tidak hidupmu akan menjadi pedes, asin, pahit ataukemanisan. Manis itu memang enak, tapi kalau berlebihan akan membuatmuak. Sudah cukup! Seratus butir air mata sudah lebih dari cukup untukmeratapi kemenangan RUU Porno ini, jangan ditambah-tambah lagi!”

Tapi Ami justru menangis semakin pilu. Ia tersedu-sedu. Air matanyatidak lagi hanya menetes, tetapi menyembur. Seluruh pipinya banjir.Bukan hanya itu. Ingusnya ikut berleleran.

Aku panik. Aku menarik handuk yang membelit di kepala dan meletakkandi tangan Ami. Dengan handuk itu Ami mengusap air matanya. Tetapisemakin diusap, air mata itu semakin membanjir.

“Waduh, kalau begini caranya menghadapi kekalahan kamu akan semakinkalah dan mereka yang sudah menang akan semakin menang. Jadisebenarnya bukan kebenaran kamu di dalam menentang RUU itu yang kalah,tetapi kamu sendiri. Kamu sendiri sekarang yang membunuh sendirikebenaran yang kamu perjuangkan itu. Karena walau pun sekarangdinyatakan kalah, sesungguhnya kebenaran yang kamu perjuangkan tidaksalah.

Karena tanpa ada RUU Pornography pun sebenarnya kita sudah bisamemberantas pornography, asal saja kita mau bertindak dan aparatpelaksana yang bertugas untuk itu rajin, tegas, desiplin dan tidakangin-anginan atau kucing-kucingan melakukannya, karena Undang UndangHukum Pidana, Undang-Undang Popok Pers, Undang-Undang Penyiaran sudahmemberikan kita hak bahkan kewajiban untuk memberantas kecabulan yangditontonkan arau diperjualbelikan di ruang publik. Jadi Ami, kamusebenarnya tidak kalah, kamu hanya ditunda menang, tahu!”

Handuk kecil itu tak mampu lagi menahan kucuran airdari mata Ami. Iaterpaksa memerasnya seperti mengeringkan cucian. Aku terkejut.

“Aduh Ami, ternyata kamu tidak bisa diajak berunding. Kemenangan itutidak harus kelihatan. Kemenangan yang sebenarnya nampak sebagaikekalahan, sehingga orang yang sebenarnya kalah tidak akan marah,tetapi malah gembira dan merasa bahwa sebenarnya merekalah yang menangpadahal mereka itulah pecundangnya. Bayangkan! Bayangkan!”Ami menutup mukanya dengan handuk. Aku rengutkan handuk itu.

“Kamu ini sedang meratapi kekalahan atau sedang menikmati kekalahan?Ayo lihat kenyataan. Dengerin! Lihat! Bagaimana mau memberantaskecabulan kalau memberikan definisi saja gagap. Undang-undang iniseperti orang memberikan pisau tumpul kepada seorang anak yang disuruhmembersihkan lemak dari daging-dagingnya. Dia tidak akan mengiris, diaakan mencocok-cocok, lalu membanting, akhirnya dia tidak bisa mengiristetapi mencacah dan kemudian menggigit sampai daging itu remuk, karenamemang itulah tujuannya.

Hancur luluh jadi satu! Mono kultur! Kalaudaging itu sudah remuk akan mudah untuk digiling sebab dia memangbukannya mau mengiris daging tapi membuat bakso. Makanya jangandilawan sekarang nanti dia tambah buas. Bisa-bisa kamu yang dibakso.Biarkan saja, karena pisau itu sudah di tangannya. Baru kalau diagagal nanti, kita beritahu pisaunya yang salah. Lagi pula lemak yangdipisahkan itu bukan mau dibuang tetapi di tempatkan pada tempat yangsemestinya dan dibuat supaya berguna. Karena tidak semua kolesterolitu jahat. Mengerti?”

Ami mengangguk.

“Bagus, kalau kamu mulai mengerti sekarang, dengar. Di balik setiapkegagalan selalu ada janji. Dengan kekalahan ini kamu akan belajar,tidak cukup suara keras, tidak cukup mata melotot, tetapi dalamberjuang harus memakai taktik dan strategi. Mengalah juga adalahsebuah taktik dan sebuah strategi. Jadi terimalah kekalahan inisebagai awal kemenangan yang baru.”

Ami memandangku seperti bertanya.

“O caranya? Caranya bagaimana mengubah kekalahan dengan kemenangan?Gampang. Ikutlah rayakan kemenangan mereka ini dengan berteriak lebihkeras. Ganyang kecabulan! Seret wanita-wanita yang bergoyangmempertontonkan tubuhnya lempar ke penjara. Dera mereka yang menjualkecabulan. Masuki rumah penduduk semua, bongkar laci dan almari,bahkan singkap sprei dan kasurnya, jangan-jangan mereka menyimpanpornography.

Tak hanya itu. Selidiki apa isi kepala orang. Tidak hanyayang kelihatan di ruang publik, yang tersimpan dalam rumah pribadibahkan dalam ruang pikiran pun harus diusut. Kalau ada yang cabul,setidak-tidaknya kita anggap cabul, seret, denda milyardan danjebloskan ke penjara. Dan kalau ternyata orangnya adalah pemimpin,apalagi pemuka, hukumannya sepuluh kali lipat!”Ami tiba-tiba berhenti menangis.

“Jadi dengan kata lain, Ami sayang, kita kacaukan kemenangan merekaAmi. Seperti yang mereka usulkan. Sebagai anggota masyarakat kitaboleh ikut campur berpartisipasi memberantas kebaculan. Dan karenabatasan cabul kebetulan kabur, spiel dan flewksibel yang kita sebutkecabulan itu bukan saja ketelanjangan badan, juga ketelanjanganrohani.

Kalau ada orang berbuat semena-mena hanya untuk kepentinganpribadi, golongan dan kaumnya sendiri tanpa mempedulikan kebhinekaanseperti yang dipesankan oleh pita di kaki Burung Garuda Lambang negaraPanca Sila, maka orang itu adalah tokoh pornograpghy yang juga bisadiseret, didenda dan dihukum. Mari kita balikkan arah RUU Pornographyini bukan untuk menentang kebhinekaan tetapi merayakan kebhinekaan.Jadi kita dukung RUU Pornography!”

Tiba-tiba saja aku tertawa puas, seperti menemukan akhir yang indahdari pencarianku yang sudah begitu panjang. Ya Tuhan aku temukan sudutterang di dalam kegelapan ini. Kaum perempuan yangb selama ini sudahjadi korban dan bulan-bulanan mesti m encari sendiri jalan terangnya.Dan aku dapatkan sekarang! Aku habiskan semua semburan ketawaku.

Ajaib, mata Ami pun berhenti meneteskan air. Mukanya mulai berseri.Lalu dia mengangkat tangan mengajakku tos. Dengan gembira akumenyambut hangat kebangkitan anakku tepat pada peringatan 80 tahunSumpah pemuda dan 100 tahun kebangkitan nasional.

Terimakasih Mama, bisik Ami sembari kemudian memeluk dan menciumku.

“Terimakasih, Mama sudah membantu melewatkan sakit perut Ami karenadatang bulan.”

Pustaka: Menyikap Sastra Perlawanan*

http://hudanhidayat.multiply.com/
Judul Buku : Nabi tanpa Wahyu
Penulis : Hudan Hidayat
Penerbit : Pustaka Pujangga, Lamongan
Edisi : I, Januari 2008
Tebal : xii + 218 halaman
Peresensi: Chavchay Syaifullah

BUKU kumpulan esai-esai sastra yang ditulis Hudan Hidayat ini serasa menyimpan alternatif gagasan dari cara membaca dan menanggapi karya-karya sastra mutakhir Indonesia. Hal itu terlihat dari bagaimana Hudan selalu memosisikan keterlibatannya ke dalam teks yang dianalisisnya dan berusaha tidak berjarak.

Selain itu, dalam beberapa tulisannya, Hudan berhasil memerhatikan dirinya sebagai pelaku dari ideologi sastra yang dibelanya. Itulah kekuatan esai-esai Hudan, selain penulisnya adalah pelaku sejarah sastra, argumentasi-argumentasinya terasa 'ideologis'. Sehingga, meski kadang terkesan gagap dan berliku-liku (metaforistik) dalam argumentasinya, Hudan terlihat sebagai orang yang berusaha keras menghadirkan dirinya dalam ideologi estetika yang ia nilai paling cocok untuk tradisi penulisan sastra di negerinya. "Buku ini bercerita tentang kemandirian sastrawan Indonesia menghadapi nilai-nilai yang dilahirkan kekuatan kapitalisme dan imperialisme Barat," ungkap Hudan.

Maka, dalam Kredo Seni di atas Kredo Puisi yang ia tulis di halaman depan bukunya, berbunyi, "Sebagai novelis, saya tidak berdiam diri, tapi menghidupkan nurani. Menghidupkan kesadaran. Meluaskannya bersama kata-kata menangkap kebenaran Tuhan dan dunia. Kebenaran yang menunjukkan dirinya dalam pasang-pasangan. Dalam retakan dan pecahan."

Tulisan-tulisan yang merunut pada 10 tahun masa kepenulisan Hudan (1997-2007) bisa jadi muncul sebagai refleksi dari mandeknya tradisi kritik sastra sehingga sebagai cerpenis dan novelis, ia harus mengajukan kritik (juga otokritik) sastra.

Karenanya, dalam bukunya, Hudan berani muncul lantang memasuki wilayah polemik sastra pornografi dan mempertanyakan secara kritis tafsir agama dalam fakta kehidupan manusia. Hal itu barangkali ia lakukan karena ia merasa sebagai penulis sastra pornografi lewat novelnya Tuan dan Nona Kosong (Melibas, 2006), sekaligus sebagai kritikus yang memberi basis pemikiran tentang kreativitas, kebebasan, seks, agama, dan Tuhan.

*) Sumber:Media Indonesia,19Jan2008

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi