Sabtu, 28 Maret 2009

Tragika Sebuah Pergumulan Identitas

Judul: Putri Cina
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta
Cetakan: Pertama, September 2007
Tebal: 304 Halaman
Peresensi: Nur Faizah
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

SEBUAH karya sastra seperti adikarya seni lain selalu membuat kita lupa pada dunia, untuk kemudian menemukannya kembali dengan cahaya yang baru.

Tiap kali kita membaca lagi, sastra bergerak menghamparkan diri dengan sejumlah kilau manikam baru, yang sempat tersembunyi dalam lipatan-lipatannya. Di dalam sastra, baik yang berpijak pada sejarah atau semata imajinasi fiktif, mencakup kompleksitas ideologi, dunia nilai, norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia dan kebudayaannya.

Di dalam sastra, seperti terlihat dalam novel ini, manusia disorot sebagai makhluk sosial dan sekaligus budaya Tak mengherankan sastra disebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia guna menjawab tantangan hidup dalam suatu masa, dalam suatu konteks sejarah.

Membaca lembar demi lembar novel ini, kita senantiasa akan menghela napas, mengambang, hampir di tiap bagian yang hadir dalam novel ini. Bagai untaian batu mulia seni rupa yang memukau, novel ini membentangkan tumpukan lapis panorama yang kompleks, dan kisah kasih lanskap bersudut problem rasial manusia kekinian, khususnya penindasan perempuan Tionghoa. Pembaca tak diajak untuk melenyapkan diri menyatu dengan cerita, tetapi justru menarik cerita menyatu dalam diri.

Pengorbanan

Karena itu, cerita dalam novel ini, tak lebih sebagai sekadar alur besar, yang menjadi sampiran bagi bercabang-cabang kisah lain, yang jauh lebih penting. Misalnya, bahwa kisah mengenai perempuan sudah tentu disertai pembicaraan mengenai penderitaan dan pengorbanan. Apalagi kalau subjek kisah itu adalah perempuan Tionghoa, yang sudah diketahui sejak berabad-abad lamanya telah banyak dikorbankan dan dikambinghitamkan.

Setidaknya, ada dua Putri China dalam novel ini. Pertama yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju agama baru. Putri lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo.

Hampir setengah bagian terakhir novel ini mengeksplorasi kisah Giok Tien, termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami, yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Pedang Kemulan Baru. Sesungguhnya, kisah mereka tidak berhenti sampai di situ. Ketika Giok Tien dan Gurdo Paksi mati di depan kuburan Giok Hong dan Giok Hwa, berubahlah mereka berdua menjadi sepasang kupu-kupu, yang terbang dengan riang ke angkasa, menuju ke utara. Tak kelihatan lagi, mana yang Tionghoa mana yang Jawa. Kupu-kupu itu bukan kupu-kupu Tionghoa atau kupu-kupu Jawa. Kupu-kupu itu adalah kupu-kupu cinta yang mempersatukan mereka berdua.

''Cinta memang tak mengenal perpisahan. Kemiskinan dan kekayaan tak pernah bisa memisahkan Sam Pek dan Eng Tay. Cinta Giok Tien dan Gurdo Paksi pun tak pernah bisa dipisahkan, kendati mereka adalah China dan Jawa. Karena itu sampai mati pun mereka tetap berdua, terbang menjadi sepasang kupu-kupu,'' kata Putri China mengagumi daya ilahi cinta (halaman 169).

Pengkhianatan

Dalam novel ini mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Peran Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Seperti kesia-siaan. Akan tetapi, adakah kesia-siaan ketika kita menyaksikan kupu-kupu cinta tak lagi memisahkan Jawa dan China, kupu-kupu kuning yang mati di utara, memanggil hujan yang menyegarkan dan menyuburkan tanah; kupu-kupu Putri China yang mengubah bunga-bunga kematian menjadi kehidupan dan menaburkan permata berupa buah-buah doa ke seluruh dunia?

Secara umum, novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya, tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang berbeda-beda. Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa juga terjadi waktu itu dan sejarah kontemporer mencatat pengambinghitaman etnis Tionghoa sejak tahun 1740.

Sindhunata menyitir sebuah sajak dari T'ao Ch'ien yang ditulis pada abad keempat Masehi; Manusia ini tak punya akar/ Dia diterbangkan ke mana-mana/ seperti debu yang berhambur-an di jalanan/ Ke segala arah, bertumbukan dengan angin/ ia jatuh terguling-guling/ Memang hidup kita ini sangatlah pendek/ Kita datang ke dunia ini sebagai saudara/ Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah, yang ternyata hanya memisahkan kita?

Sajak yang sangat tua ini selalu diingat oleh Putri China. Ia tahu, sajak itu pasti tidak dibuat untuk dia. Namun ternyata, sajak itu menjadi ramalan yang membentangkan nasibnya (halaman 10).

Tragik

Sindhunata berhasil menerjuni tragika itu dalam pelbagai lika-likunya.
Novel yang pernah dicetak terbatas oleh penerbit Gramedia bekerja sama dengan Bentara Budaya dengan judul Babad Putri China (2006) ini adalah sebuah sastra tragedi yang indah dan kaya akan permenungan hidup. Dengan cara bertuturnya yang khas, novel ini akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam yang memungkinkan mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya. Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati.

Politik yang Menyerah

Radhar Panca Dahana
http://www.gatra.com/

Ekonom peraih Nobel asal Amerika Serikat, Joseph Stiglitz, sekali memberi masukan dengan mengambil contoh India, Cina, dan Argentina sebagai negara-negara dengan karakteristik yang sama dengan Indonesia, yang ternyata jauh lebih berhasil dalam mengatasi krisis dan kini mencapai stabilitas serta mencatat pertumbuhan ekonomi yang fenomenal. Dengan cara, antara lain, Argentina misalnya, mendesak penghapusan utang, mengenyahkan bantuan IMF dan advis-advisnya, menahan liberalisasi bank dan perusahaan negara, serta mengendalikan pasar bebas, terutama dalam komoditas yang menjadi hajat hidup rakyat.

Sebagai respons, penanggung jawab utama ekonomi negeri ini, Boediono, berkilah dengan menyatakan bahwa kesalahan tidak dapat begitu saja ditimpakan pada utang luar negeri atau penyerahan perdagangan serta kurs pada rezim pasar bebas. Di bagian lain, otoritas ekonomi dan keuangan juga menegaskan kuatnya fundamental ekonomi untuk menghadapi guncangan kurs atau saham di bursa di pasar global.

Sang Nobelis, sekali lagi, mengoreksi semua pernyataan teknokrat di atas, terutama soal ketergantungan ekonomi kita pada fluktuasi nilai yang terjadi di luar. Lebih tepat dapat dikatakan, ekonomi kita sesungguhnya sudah menyerah(kan diri) pada kekuatan pasar dan (yang dimainkan oleh) para pemodal global, lengkap dengan sistem, cara berpikir, serta target-target profit mereka.

Hal itu tampak pada saat beberapa otoritas ekonomi dan moneter tidak dapat berkata lain selain "kita berharap gejolak dunia tidak berlangsung lama", menanggapi nilai perdagangan, bursa, dan kurs rupiah yang terjungkal cukup dalam, beberapa waktu lalu. Posisi ekonomi yang "berharap" itu sesungguhnya memperlihatkan ketidakberdayaan kita, sebagai realitas faktual yang tersembunyi di balik jargon "fundamental ekonomi yang kuat" (jargon yang persis sama disuarakan Mar'ie Muhammad, Menkeu di masa Soeharto, beberapa saat sebelum kita tenggelam dalam krisis berkepanjangan).

Semua itu menunjukkan, ekonomi Indonesia secara sistemik dan mekanistik masih belum bergerak jauh dari apa yang terjadi di masa Orde Baru. Dalam bahasa dan bentuk yang lain, substansinya tetap sama: penyerahan diri pada sistem dan mekanisme luar, yang tidak dapat kita sentuh, kontrol, atau kuasai.

Politik yang (sudah) menyerah (lebih dulu) itu kini juga terjadi di sub-sektor lainnya, menjadi pola para elite pengambil kekuasaan hingga di puncaknya. Berbagai kasus menggambarkan hal tersebut. Yang paling keras belakangan, misalnya, kisah para TKI yang mendapat perlakuan sewenang-wenang, pelecehan, hingga pembunuhan di negara rantau. Kisah yang bagi sebagian warga negeri ini terasa bagai luka yang menembus daging, tulang, dan hati mereka. Mengusik harga diri dan martabat mereka sebagai sebuah bangsa.

Namun lihatlah bagaimana pejabat kita yang berwenang mengatasi peristiwa tersebut: menyerahkan segalanya begitu saja pada otoritas hukum di negara bersangkutan. Tak tampak sebuah --katakanlah-- diplomatic pressure yang kuat dan penuh wibawa untuk, misalnya, negara yang bersangkutan meminta maaf secara terbuka dan melakukan aksi hukum (menjatuhkan hukuman maksimal) atau aksi sosial (perlindungan dan santunan) yang maksimal.

Dari kasus terakhir, pemukulan terhadap seorang wasit di ajang karate internasional, tampak benar lemahnya wibawa pemerintah dalam politik diplomasi. Ketika peristiwa yang sungguh memalukan itu mendapat reaksi yang minimum dari otoritas negeri setempat. Satu situasi yang tak pernah/mungkin terjadi pada pemerintahan-pemerintahan kita sebelumnya.

Bahkan dalam kasus perjanjian ekstradisi serta latihan militer, yang berkaitan dengan negara-mini Singapura, politik kita tampak gugup dan lemah. Terlihat pada kesibukan retoris yang terjadi di kalangan kabinet dan parlemen, sementara pihak lawan bergeming adem dengan posisinya yang kuat. Kita seperti terdesak untuk menyerahkan hasil akhirnya pada sabda lawan --yang selalu lebih sukses, selalu memegang kartu truf di momen-momen krusialnya.

Maka, beberapa bentuk hubungan, baik yang bilateral maupun multilateral, politik yang "menyerah" ini selalu menempatkan Indonesia terbawa arus utama yang diciptakan kekuatan-kekuatan besar dunia. Tidak hanya dalam forum-forum besar seperti PBB, APEC, dan AFTA, melainkan juga dalam konteks-konteks bilateral. Misalnya, dalam perjanjian dagang terakhir dengan Jepang, EPA, posisi Indonesia kembali minor ketika menyerah pada tuntutan sang counterpart yang meminta garansi perbaikan iklim usaha sebagai bekal kesuksesan perjanjian tersebut.

Masih cukup banyak contoh yang dapat disebut, sekadar untuk memperlihatkan bukti ketidakberdayaan kita. Bukti yang menengarai ketiadaan visi yang kuat dan solid (komprehensif) pada elite puncak. Sehingga tak lahir misi --untuk dilaksanakan eksekutif di bawahnya-- yang strategis, tangguh, berwibawa, dan mengundang respek atau rasa bangga rakyat sebagai konstituen pendukungnya.

Di mana masalahnya kemudian: pada kualitas kepemimpinan, mekanisme pemilihan, atau kondisi psikososial kita? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab sang pemimpin itu sendiri. Tapi juga Anda. Kita semua.

*) Pekerja seni dan pemerhati budaya.

Jumat, 20 Maret 2009

POLITIK KEBUDAYAAN

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Seniman sejati berkarya lantaran desakan hati nurani. Reputasi, kebesaran, dan popularitasnya, pertama-tama sangat ditentukan oleh kualitas karyanya. Maka sesiapa pun dia, dengan ideologi apa pun, dan dengan latar belakang kebudayaan mana pun, tetap akan sampai pada prestasi yang reputasional, jika ia berhasil membangun kualitas karyanya menjadi monumen! Tanpa kualitas, ia hanya akan menjadi pelengkap, medioker, dan namanya tercatat dalam sebuah senarai dengan urutan angka dan daftar karya, tanpa torehan stabilo, tanpa peristiwa. Kualitas karya itulah yang utama. Ketika terjadi pembonsaian atas mahakaryanya, usaha itu akan terpental sendiri. Sebuah mahakarya di dalamnya mendekam perisai tolak bala. Sebuah mahakarya tidak memerlukan suntikan imunisasi, karena ia lahir dengan kesanggupan mempertahankan diri dari serangan pihak mana pun. Di dalam dirinya tersedia program antivirus yang memungkinkannya kebal dan mempunyai kemampuan melakukan counter attack.

Sebaliknya, segala karya karbitan, tanpa didukung oleh kualitas seni sejati, tetaplah akan tinggal sebagai sensasi sesaat yang akan redup dengan sendirinya ditelan waktu. Ia mungkin saja heboh seketika, tetapi tiba-tiba ia bisa mendadak tenggelam lalu menghilang dalam kesenyapan panjang. Jadi, politik kebudayaan yang coba melakukan pengkarbitan, selalu akan berhadapan dengan kegagalan, ketika kualitas karyanya tak cukup mempunyai kemampuan mempertahankan diri. Pengkarbitan adalah politik kebudayaan murahan, ketika kualitas diabaikan. Pengkarbitan dan pembonsaian tidak diperlukan bagi sebuah mahakarya, bagi karya-karya adiluhung!

Sebuah mahakarya akan melambungkan reputasinya, menggelembungkan nama senimannya, dan menggelindingkan popularitasnya memasuki ruang publik, mencatatkan namanya dengan tinta emas sejarah kesenian perjalanan kebudayaan sebuah bangsa. Dan itu, pertama-tama dan terutama lantaran ia mempunyai kekuasaan dalam memancarkan kualitas.

Meski begitu, jangan lupa. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai kepentingan. Ketika kepentingan itu menyangkut semangat mengangkat martabat kebudayaan manusia –yang dalam bahasa Chairil Anwar—sebagai harga manusia, harga Penghidupan ini…, maka semangat pembonsaian dan pengkarbitan itu, tampil dengan seolah-olah hendak membawa baju peradaban. Ia akan melakukan berbagai cara untuk melakukan pemanipulasian. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kebudayaan kita sejak zaman kolonial Belanda sampai kini. Lihat saja, bagaimana Belanda membongsai Melayu dan mengkarbit tokoh-tokoh romantisisme (De Tachtiger Beweging –Angkatan 80) Belanda. Melayu, meski dengan berbagai cara dibonsai dan dipinggirkan, akhirnya tokh tetap tampil sebagai pemenang dalam tarik-menarik bahasa Melayu dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran di sekolah. Pengkarbitan tokoh-tokoh romantisisme seolah-olah aliran itu datang dan dikembangkan sastrawan Belanda, akhirnya ketahuan juga, bahwa awal semaraknya romantisisme di Belanda, justru ketika aliran itu sudah mulai pudar di Inggris, Italia, Prancis, dan Jerman. Ternyata lagi, sejarah sastra Eropa tidak mencatat satu pun sastrawan atau mahakarya yang dihasilkan Belanda.

Begitulah politik kebudayaan melalui pembonsaian dan pengkarbitan selalu akan berakhir dengan kegagalan. Maka, sejauh politik kebudayaan dijalankan para pelaku budaya dalam rangka mengusung harga manusia, harga penghidupan, sejauh itu pula kita meski ikut bergerak menyokong dan menyumbang apa pun bagi usaha mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan. Sebaliknya, ketika terjadi pembonsaian di satu pihak, dan pengkarbitan di pihak lain, kita harus melakukan perlawanan. Meskipun dalam karya-karya adiluhung tersedia perisai tolak bala, usaha penggaungannya tetap harus dilaksanakan. Maka peran individu, komunitas atau institusi, mesti tampil ke depan menyampaikan suara lain.
***

Geliat sastra lahir dari pribadi kreatif. Ia mungkin saja menjadi sekadar gerak-riak. Sangat boleh jadi pula menjelma gelombang ombak yang memukau. Segalanya bergantung pada kegelisahan kreatif seorang individu sastrawan. Kreativitas bagi sastrawan sesungguhnya merupakan ruh yang memungkinkannya melakukan tindak mencipta, berkarya, dan membuat perubahan. “Kreativitas harus menjadi tanda perubahan mentalitas yang sangat berarti dalam diri makhluk manusia,” begitulah Nietzsche menekankan pentingnya kreativitas bagi manusia. Itulah sebabnya, Nietzsche beranggapan, bahwa “Para pencipta adalah kaum yang lebih tinggi.” Mengingat kesusastraan –dan kesenian umumnya—tidak dapat terlepas dari soal kreativitas ini, jadilah ia serta-merta menyatu dengan proses kreatif penciptaan. Tanpa itu, ia akan menjadi tukang, pembebek, atau masuk dalam barisan para epigon; kelompok penjiplak yang malas memanfaatkan otaknya.

Penciptaan karya sastra adalah urusan individu. Kemandirian seorang sastrawan adalah modal utama. Dengan begitu, independensi mutlak menjadi dasar sosok pribadinya. Hanya dengan itu, ia dapat menggenggam gelombang yang kapan saja dapat dipancarkan ke segala arah atau cukup untuk dirinya sendiri. Maka, celakalah seorang sastrawan yang begitu amat bergantung pada pihak lain. Ketergantungan akan membawa seorang sastrawan pada musibah besar keterkungkungan kreatif. Ia terbelenggu oleh ketakbebasan. Itulah penjara pikiran yang sangat berbahaya bagi kebebasan berkreasi. Bukankah kebebasan merupakan fitrah manusia yang akan menjadikannya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam bahasa eksistensialisme, “Realitas manusia adalah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas!”

Komunitas sastra adalah sekelompok manusia –yang mestinya—independen. Mereka adalah sekumpulan pribadi yang sering kali dipersatukan oleh kegelisahan yang sama mengenai persoalan kesusastraan persekitarannya. Tidak jarang pula mereka mempunyai pandangan dan harapan tertentu dalam menyikapi masa depan kesusastraan bangsanya. Mereka berkumpul dan berinteraksi dengan kesadaran adanya kesamaan kegelisahan, harapan, dan pandangan. Mereka niscaya sangat menyadari pentingnya mengusung kebebasan berkreasi. Jika di dalamnya ada simpang-siur gagasan, perbalahan pendapat, pertentangan ideologi atau perselingkuhan kreatif, tentu saja semuanya sah. Itulah salah satu konsekuensi diberlakukannya kebebasan berpendapat dan kebebasan berkreasi. Oleh karena itu, biarkanlah perbedaan itu tetap mekar. Suburkan pula perbalahan dalam kerangka olah pikir. Silakan perbedaan itu menjadi bebuahan karya yang kaya gagasan, memancarkan dan menyemarakkan pergulatan pemikiran, melimpahkan model yang beraneka ragam dan menjelmakan rangkaian peristiwa kemanusiaan yang bermartabat, luhur dan berbudaya.
***

Dalam sejarahnya, telah banyak berbagai komunitas yang melahirkan tokoh. Atau sebaliknya, tidak sedikit pula ketokohan seseorang justru yang membesarkan komunitasnya. Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar adalah dua tokoh yang membesarkan Pujangga Baru dan Angkatan 45. Lahirnya sejumlah tokoh itu tidak pula berarti bahwa individu tokoh yang bersangkutan sangat bergantung pada keberadaan komunitas. Komunitas sekadar wadah. Ia tidak melahirkan kreativitas, karena kreativitas datangnya dari individu-individu itu. Bahwa dari sebuah komunitas muncul seorang tokoh, duduk perkaranya sangat mungkin lantaran dalam komunitas itu, bermukim pribadi lain yang berkualitas. Boleh jadi juga di sana berkecamuk perbalahan pemikiran. Atau, mungkin pula dalam komunitas itu telah tercipta kondisi yang memungkinkan setiap pribadi bebas berpendapat, bebas menyampaikan gagasan, dan bebas bertengkar argumen.

Kenanglah sebuah komunitas di Riau yang bernama Rusydiah Kelab (1895); sebuah kelompok diskusi yang syarat keanggotaannya ditentukan oleh minimal telah menghasilkan sebuah karya. Tanpa karya, seseorang tak berhak menjadi anggota Rusydiah Kelab. Oleh karena itu, karya-karya anggotanya itulah yang mempertemukan komunitas ini dalam sebuah diskusi, dalam lalu lintas pemikiran. Penyair Gurindam Dua Belas—Raja Ali Haji, Perintis Novel Modern dan jurnalis Melayu—Syed Syeikh Al-Hadi, dan Pujangga Sunda yang awal—Hasan Mustapa, tercatat pernah menjadi anggota komunitas ini.

Kolompok perkawanan Kwee Tek Hoay, konon, telah berhasil membangun tradisi berdiskusi di kalangan para penulis peranakan Tionghoa. Dari sana tumbuh semangat untuk terus berkarya dan menciptakan karya yang lebih baik lagi. Bahkan, menurut Kwee Tek Hoay, jauh sebelumnya, di Bogor pernah pula terbentuk komunitas para nyonya Tionghoa yang biasa mendendangkan pantun dalam sebuah pesta keluarga Tionghoa.

Dalam kesusastraan Sunda, pembentukan komunitas model itu, juga bukanlah hal yang baru. Pada tahun tahun 1930-an ketika majalah Parahiangan begitu berpengaruh, lewat prakarsa M.A. Salmun, dibentuklah komunitas sastrawan Sunda yang benama “Angkatan Parahiangan.” Pada awal tahun 1958, Rukasah S.W., juga melakukan hal yang sama dengan membentuk komunitas peneliti sastra Sunda, bernama Badan Pangulik Budaya Kiwari dengan Achdiat Karta Mihardja sebagai Ketuanya. Tercatat sejumlah anggotanya, antara lain, Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Dodong Jiwapraja, Ramadhan KH, Toto S. Bachtiar, Utuy Tatang Sontani.
***

Begitulah, sebuah komunitas terbentuk seringkali dipicu oleh adanya kesadaran yang sama dalam memandang problem yang melatarbelakanginya dan harapan yang melatardepaninya. Terbentuknya komunitas itu, boleh jadi juga didasari oleh hasrat besar memancarkan kreativitas, dan bukan sekadar membentuk kumpulan orang yang segagasan, sekegelisahan dan sepengharapan. Di sana ada sesuatu yang hendak disumbangkan, ada keinginan untuk memberi kontribusi bagi kemajuan, ada desakan kuat untuk melakukan perubahan. Jadi, ada peristiwa kultural di belakangnya dan di depannya, terbentang harapan-harapan perubahan. Itulah hakikat dan peran sebuah komunitas.

Cermatilah langkah yang digerakkan Gelanggang Seniman Merdeka, 19 November 1946. Semangat untuk menguak (: menolak) Takdir (: Pujangga Baru) dan menawarkan perubahan, dimanifestasikan melalui “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Mereka berhasil mengusung sebuah nama. Atas nama itu pula mereka melakukan gerakan. Jadilah ia sebuah angkatan yang bernama “Angkatan 45”. Dalam konteks kultural, kembali, nama itu bukan sekadar label. Ia menjadi identitas, kepribadian, dan sekaligus gerakan kultural.

Di negara tetangga kita, Malaysia, sekelompok sastrawan yang waktu itu bermukim di Singapura, juga memproklamasikan komunitas yang bernama Sastrawan Asas 50. Komunitas inilah yang lalu melempangkan jalan bagi begitu banyak perubahan. Bahkan, lebih dari itu, slogan yang diusungnya, “Sastra untuk Masyarakat” telah menggiring sastra menjadi alat perjuangan. Sastrawan sungguh telah memainkan peran sosialnya secara signifikan. Sastrawan dan pers, bahu-membahu membangun sebuah kebudayaan bangsa.

Di berbagai negara manapun, kelahiran dan peranan sebuah komunitas, sering kali menjadi pioner dan sekaligus sebagai agen perubahan. Tak sedikit pula yang pengaruhnya justru mengubah paradigma, pola berpikir, dan membuka berbagai kemungkinan yang lebih luas bagi kemajuan kebudayaan dan kemanusiaan. Periksa saja tindak yang dilakukan kelompok Opojaz dan Golongan Linguistik Moskow yang menyebut diri kaum Formalis Rusia tahun 1914. Lewat peranan kedua komunitas inilah konsep tentang sastra berikut metode kritiknya, yang tadinya sangat subjektif, dirombak—dibangun menjadi lebih objektif. Ketika pada tahun 1926, sebuah komunitas di Praha lewat tokoh pentingnya, Roman Jakobson, meneruskan dan merumuskan kembali gagasan kaum Formalis Rusia itu, sastra berikut perangkat analisisnya secara meyakinkan menjelma menjadi sebuah paradigma baru. Sastra pun menjadi sebuah artefak penuh makna dan kritik sastra mempunyai harga ilmiah. Pengaruhnya pun merambah disiplin ilmu lain dan bergentayangan ke belahan benua lain. Itulah peran penting sebuah komunitas!

Dalam dunia kesusastraan Jepang yang mempunyai sejarah panjang tentang peran komunitas sastra, eksperimentasi, pembelotan pada tradisi, dan gerakan pembaharuan, justru datang dari sastrawan yang punya atau yang tergabung dalam komunitas-komunitas. Di sana, komunitas memainkan peran sebagai bengkel penggodokan. Proses belajar dan pematangan terjadi dalam komunitas-komunitas, meski tentu saja karier kesastrawanannya sangat ditentukan oleh kreativitas sastrawan yang bersangkutan. Sebut saja, misalnya, Mori Ogai, Tayama Katai, Natsume Shoseki, Mishima Yukio atau Yasunari Kawabata. Mereka sengaja bergabung atau membentuk komunitas dengan kesadaran membangun sebuah genre, aliran, atau berbagai aktivitas olah pikir untuk mematangkan profesi dan sekaligus memantapkan peranan kesastrawanannya. Untuk mencapai tujuan itulah, mereka lalu menerbitkan jurnal, majalah, atau buku-buku antologi karya anggota komunitas itu.
***

Bagaimanakah dengan keberadaan dan peran komunitas-komunitas sastra –dan dewan kesenian— yang berada di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek)?

Penelitian yang dilakukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) tahun 1998 tentang keberadaan komunitas-komunitas sastra di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, menunjukkan betapa kesusastraan Indonesia sungguh tidak terpencil dari masyarakatnya, sebagaimana pernah begitu gencar didengungkan banyak pengamat sastra. Di keempat wilayah itu, telah terbentuk poros-poros sastra –dan budaya—yang niscaya telah ikut menyemarakkan konstelasi kesusastraan di Jakarta dan sekitarnya. Secara keseluruhan, menurut penelitian itu, tercatat di Jakarta ada 20 komunitas, Bogor lima komunitas, Tangerang 18 komunitas, dan Bekasi tiga komunitas. Bahwa ke-46 komunitas sastra itu sampai tahun 1998, masih menjalankan aktivitasnya, tentu saja itu merupakan kekayaan yang dapat melahirkan sastrawan penting Indonesia di masa depan.

Jika di keempat wilayah itu, tercatat ada 46 komunitas (sampai tahun 1998), maka dapat kita bayangkan, berapa banyak komunitas yang ada di Indonesia. Poros-poros gerakan kesusastraan Indonesia di Lampung, Pekanbaru, Medan, Aceh, Jambi, Palembang, Tanjung Pinang, Batam, Padang, dan entah kota mana lagi di Sumatera, kemudian di Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan pasti masih dapat kita deretkan lebih panjang lagi, merupakan wilayah pemasok sastrawan yang kiprahnya secara nasional, tidak dapat diragukan lagi. Persoalannya tinggal, bagaimana setiap komunitas itu dapat bersinergi dan membentangkan jaringan komunikasi antar-komunitas itu.

Semakin banyak komunitas sastra bermunculan, semakin baik bagi kehidupan kesusastraan itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan setiap komunitas mesti dimaknai sebagai aset penting. Dari komunitas itulah lahir sejumlah sastrawan dengan kualitas yang bermacam-macam dan kegelisahan yang juga bermacam-macam. Maka, biarkanlah komunitas-komunitas itu lahir dan bertumbuh membawa semangatnya sendiri. Biarkan pula perbedaan itu tetap mekar sebagai kekayaan. Jika saja segenap komunitas itu membentangkan jaringan antarkomunitas, dan masing-masing bersinergi mengusung kreativitas yang berkualitas, karya-karya agung yang menumental sangat mungkin akan lahir, justru dari komunitas-komunitas itu. Sebaliknya, jika ada komunitas yang tak lagi berkarya dan ia sekadar mengusung papan nama, maka patutlah kita berdoa sambil berharap: “Kembalilah ke jalan yang benar!”

Bagaimana pula hubungan komunitas itu dengan dewan kesenian? Salah satu hal penting yang mestinya menjadi ciri utama sebuah komunitas adalah sifatnya yang independen. Kemandirian adalah hal yang penting dan mutlak menyatu dengan gerak langkah komunitas yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada atau tidak ada hubungan dengan dewan kesenian, tidaklah menjadi soal benar. Tetapi perkaranya bukan terletak di situ. Ketika keberadaan dewan kesenian hanya berfungsi sebagai papan nama; secara institusional legal lantaran ada legitimasi dari pemerintah daerah, tetapi secara operasional, melempem, loyo, bahkan mati suri, maka mestinya dewan kesenian dapat memanfaatkan peranan komunitas dalam hal menjalankan segala aktivitas yang menjadi tanggung jawab dewan kesenian.

Lalu apakah dengan demikian komunitas sastra dapat menggantikan peran dewan kesenian. Tentu saja tidak. Sebab, dewan kesenian dan komunitas sastra adalah dua lembaga yang berbeda. Keduanya dapat menjalankan fungsinya sendiri tanpa harus saling bergantung. Komunitas adalah sebuah lembaga yang kelahirannya, keberadaannya, dan segala kegiatannya diusahakan sendiri oleh para pengelolanya. Sedangkan Dewan kesenian adalah institusi yang diberi tempat, difasilitasi, dan didanai oleh pemerintah daerah. Ia memainkan peranan sebagai mitra pemerintah daerah untuk melakukan pemantauan, pembinaan, dan penggerak kehidupan berkesenian. Di situlah sesungguhnya dewan kesenian –yang didanai uang rakyat—dapat memainkan peranan penting mendorong dan memfasilitasi berbagai kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas. Bersinergi dan saling membantu, dan masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri seperti minyak dengan air.
***

Apa yang terjadi dengan komunitas-komunitas sastra (di Jabodetabek) dewasa ini? Inilah perkara yang mungkin menjadi kegelisahan seorang Asrizal Nur, sosok pekerja seni yang tampak hendak mengabdi pada puak yang telah melahirkan dan membesarkannya; pada ibu budayanya yang dalam istilah Sutardji Calzoum Bachri sebagai Mak Budaya. Kegelisahannya bermuara dari terkonsentrasinya berbagai kegiatan kesusastraan (: kesenian) yang asyik-masyuk dengan dirinya sendiri, dengan komunitasnya sendiri. Seolah-olah, terpampang plang besar yang bertuliskan: Verboden bagi individu atau komunitas lain. Tak ada pintu masuk bagi seniman yang bukan berasal dari komunitasnya. Asrizal Nur tampaknya memahami benar posisinya. Maka, meski ia sebenarnya telah sejak lama berkiprah di ibukota, ia tetap galau lantaran kerap ditempatkan di garis pinggir. Tak masuk hitungan semata-mata karena ia punya obsesi sendiri.

Pendirian Yayasan Panggung Melayu (YPM) adalah salah satu bentuk ekspresi untuk membangun sebuah komunitas lain dengan orientasi dan ideologi yang juga lain. Di satu pihak, baik dewan kesenian, maupun komunitas lain, tidak pernah memberi tempat dan kesempatan baginya untuk berkiprah menyalurkan kreativitasnya, dan di pihak yang lain, kesenian Melayu dan secara keseluruhan dunia Melayu yang menjadi Mak Budayanya, kerap tidak dipandang sebelah mata. Selama ini, segala yang berkaitan dengan kesenian yang berbau Melayu selalu diposisikan tidak berada dalam sebuah mainstream. Kesenian Melayu adalah orkes dangdut: tidak lebih dari itu! Itulah yang terjadi dalam pencitraan kesenian Melayu selama hampir dua dasawarsa. Kesenian Melayu direduksi, dibonsai, dan dimarjinalisasi sedemikian rupa, sehingga senantiasa dipandang tidak bermarwah, rendah dan murahan. Kesenian Melayu seperti tidak punya martabat!

Asrizal Nur, melalui Yayasan Panggung Melayu, coba menghancurkan pencitraan itu. Ia tidak melakukan perlawanan, melainkan sekadar hendak menempatkan kesenian Melayu –dan dalam lingkup yang lebih luas, kebudayaan Melayu— secara proporsional. Itulah yang kemudian dilakukannya melalui serangkaian kegiatan dengan orientasi memberi pemahaman yang benar tentang kesenian Melayu, tentang dunia Melayu. Maka yang dilakukannya adalah tindakan kongkret: berbuat! Ia tidak berteori, tidak pula memberi ceramah. Juga tidak nyinyir mengusung gagasan tentang marwah Melayu. Sekali lagi: yang dilakukannya adalah berbuat! Itulah dasar pikirannya yang lalu menggelindingkan sejumlah perhelatan.

Meski begitu, disadari pula, bahwa perhelatan apa pun, dengan semangat sekadar ada kegiatan, cuma say hello, pentas ecek-ecek, tetaplah tidak akan dipandang sebelah mata. Bahkan malah akan menjerumuskan citra yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu, dapat dipahami jika sejumlah perhelatan yang diselenggarakan YPM, tampak megah dan spektakuler. Lihat saja, sekadar menyebut beberapa perhelatan, Pertunjukan Puisi Asrizal Nur (26 September 2005), Jalan Bersama: Pembacaan Puisi Gubernur—Wakil Gubernur—Walikota—Bupati (4 November 2006), Gelar Sajak Tunggal Suryatati (14 April 2007), Pekan Presiden Penyair (15—19 Juli 2007), Semarak Negeri Zapin (15—18 Februari 2008) dan Festival Pantun Serumpun (25—29 April 2008). Semuanya dikemas secara memukau dan diselenggarakan dengan semangat membangun marwah. Maka, yang memancar kemudian adalah serangkaian pentas kesenian yang spektakuler. Bukankah pementasan yang seperti itu hanya mungkin dapat dilaksanakan jika penyelenggaranya mempunyai kesadaran berkebudayaan—berkesenian dengan militansi yang luar biasa, dengan semangat mengangkat martabat, dan dengan harapan mencapai citra kemarwahan.

Apakah pernyataan itu berlebihan? Bandingkanlah sejumlah perhelatan itu dengan semua kegiatan yang diselenggarakan dewan kesenian dan komunitas-komunitas di Jabodetabek? Asrizal Nur bersama YPM-nya telah menunjukkan kualitas sebagai pekerja seni—budaya; sebagai seniman sejati yang menyadari pentas seni sebagai sebuah panggung kreativitas yang di sana kualitas kesenimanan diukur kewibawaannya. Ia sangat menyadari bahwa kegiatan berkesenian adalah sebuah totalitas. Maka, hidup sebagai seniman adalah keseluruhan pengabdian pada kesenian, pada kebudayaan, pada kemanusiaan. Itulah politik kebudayaan. Kongkret, berbuat! Itulah teladan bagi pekerja seni-budaya, bagaimana politik kebudayaan dijalankan secara bermartabat. Dari sanalah memancar marwah peradaban manusia!

Pertanyaannya kini, bagaimana dampaknya jika politik kebudayaan dijalankan seperti itu? Kebudayaan Melayu dengan berbagai cabang keseniannya, ternyata bukan model kesenian murahan. Masyarakat di Nusantara ini, kini, kerap akan selalu gagal menyembunyikan decak kagum pada Sutardji Calzoum Bachri –yang menurut saya lebih besar dari Chairil Anwar—, Tenas Effendy –yang tak ragu digelari sebagai Bapak Pantun, Sang Ensiklopedia Melayu—, Bulang Cahaya, Rida K Liamsi sebagai novel politik yang bermartabat, Tanjung Pinang sebagai Kota Gurindam—Negeri Pantun, Bengkalis sebagai Negeri Zapin. Belum lagi nama-nama lain yang sejak lama berkiprah –sekadar menyebut beberapa: Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza. Kemudian lagi, Tien Marni, Al-Azhar, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Marhalim Zaini, Tusiran Suseno, Sudarno Mahyudin, Harry B Koriun, dan sederet panjang nama-nama yang kelak akan ikut menyemarakkan peta sastra dan kebudayaan Indonesia.

Dunia Melayu kini makin tegas menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah puak budaya yang telah menyumbang Indonesia, bukan hanya bahasanya, melainkan juga kebudayaannya dan totalitas kiprah kesenimannya yang memukau dan inspiring! Tentu saja tulisan ini baru sepercik lelatu dari kobaran api semangat sumbangan yang diberikan Melayu pada Indonesia.

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Suara Lokal dalam Sastra Indonesia

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

SEJARAH kesusastraan abad ke-20 sangat dipengaruhi interaksinya dengan kolonialisme. Pada dasawarsa pertama Orde Lama, sastra Indonesia diwarnai sikap yang mendua: Sikap antara keharusan mengembangkan nilai-nilai lokal dan kekhawatiran terhadap identitas di baliknya. Ini berbeda dengan kenyataan yang terjadi di India dan Afrika, di mana sastra lokal pada 1950–1960-an menjadi strategi perlawanan terhadap kanon sastra Eropa.

Dasawarsa pertama Orde Baru, karya-karya sastra yang terbit mulai banyak menyuarakan sastra daerah meskipun tema pokok yang dibahas belum menunjukkan pergeseran. Novel-novel yang terbit pada paro pertama hingga pertengahan 1970-an, menampilkan serentetan gejala lokal melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, sekadar menyebut beberapa contoh. Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern dan belum mampu melahirkan sastra lokal sebagai strategi kultural dalam mengimbangi sastra pusat. Kecuali novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar (1981), dan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, untuk menyebut beberapa contoh, masih berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.

Novel Bumi Manusia (1980) secara simpatik Pram menampilkan watak Minke yang lebih menyukai bahasa Melayu ketimbang bahasa Jawa dan Belanda meskipun ia menguasai kedua bahasa itu. Pramoedya menekankan pentingnya penggunaan bahasa Melayu sebagai salah satu faktor penyatuan bangsanya dalam tetralogi ini. Dia mengutarakan pandangan ini melalui watak-watak yang muncul dalam karya ini, khususnya watak Minke. Pada awal ceritanya, Minke dilukiskan menulis makalah untuk sebuah surat kabar dalam bahasa Belanda daripada bahasa Jawa dan bahasa Melayu karena dia menerima pendidikan di HBS (Hogere Burger School).

Namun, watak Minke menunjukkan dengan keras ia ingin menulis dengan bahasa Melayu, bukan Jawa apalagi Belanda. Bahasa dalam Bumi Manusia menjelma sebagai sebuah perlawanan atau siasat kolonialisme dan kekuasaan kaum feodal. Ini terlihat dengan jelas lewat dialog tokohnya, “Sekali Tuan mulai menulis Melayu, Tuan akan cepat dapat menemukan kunci. Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan pada negeri dan bangsa sendiri…. Siapa yang mengajak bangsa-bangsa pribumi bicara kalau bukan pengarang-pengarangnya sendiri seperti Tuan?” (hlm. 104).

Watak utama Minke digambarkan Pram sebagai seorang pelopor yang amat menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam surat kabar dan organisasi-organisasi baru. Bahasa Melayu sudah lama berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, baik yang mengenal aksara maupun masih niraksara. Dengan demikian, bahasa Melayu dapat mengambil peranan penting di kepulauan Nusantara. Apabila Minke bertemu Ketua Cawangan Palembang Syarikat Dagang Islamiah dalam perjalanan yang diadakan untuk melihat perkembangan organisasi itu dari dekat, ia menjelaskan perlunya menggunakan bahasa Melayu seperti terungkap dalam novel Jejak Langkah (1985).

Munculnya perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan 1980-an tak bisa dilepaskan dengan novel tetralogi. Sejak munculnya karya tetralogi dan disambut perdebatan sastra kontekstual, terjadi perubahan cukup radikal dalam menyuarakan identitas lokal dalam sastra Indonesia. Pendukung sastra kontekstual mempersoalkan universalisme dalam sastra Indonesia lantaran terlalu memusatkan perhatian pada kehidupan kota. Munculnya sastra kontekstual sekaligus berusaha menjawab konsep politik negara integralistik Orde Baru. Pendukung sastra kontekstual mengusulkan sastra seharusnya lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan atau anasir-anasir lain di luar wacana pusat.

Namun, komitmen sosial yang ditawarkan sastrawan pendukung sastra kontekstual, tidaklah seekstrem yang terjadi di Afrika. Mereka tidak melarang penggunaan istilah universal dalam diskusi-diskusi tentang sastra, seperti fenomena yang pernah dikemukakan Chinua Achebe dalam Colonialist Critism di Afrika. Penggagas sastra kontekstual di Indonesia hanya menawarkan estetika alternatif sebagai pengimbang estetika mainstream sastra universal. Mereka menjawab universalisme tidak dengan esensialisme yang radikal, apalagi mencoba membatasi gagasan universalisme dengan cara sempit yang membahayakan.

Beberapa tahun kemudian, terutama pada awal 1990-an, suara lokal dalam sastra Indonesia tampil kembali seiring munculnya perdebatan posmo yang mempersoalkan apakah sejarah sastra nasional Indonesia sebatas satu narasi besar atau apakah sebenarnya ada banyak narasi kecil dengan keragaman yang juga harus dicatat dan diapresiasi kalangan sastrawan. Namun, alih-alih menawarkan estetika alternatif bagi sastra lokal atau sastra daerah, posmo justru mengundang bahaya yang mengancam.

Bahaya yang mengancam untuk, seperti pernah ditegaskan teoritikus poskolonial, Bill Ashcerift, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin dalam buku Menelanjangi Kuasa Bahasa (2003), mengajak kita menyerap kembali kebudayaan lokal ke dalam internasionalis dan universalis yang baru. Karena itu, ketiga teoretikus pascakolonial itu membedakan apa yang disebut postmodernisme dengan poskolonialisme, baik dari segi misinya, sumber inspirasinya, maupun watak keduanya.

Dorongan mengumpulkan kembali warisan-warisan sastra daerah dalam karya-karya sastra Indonesia pada 1990-an terus berlanjut lewat dekolonisasi kebudayaan dan kehendak kembali pada bahasa-bahasa dan mode-mode lokal prakolonial. Ini ditunjukkan beberapa karya yang muncul di era reformasi. Pergeseran warna lokal dalam bentuk bahasa, suara, konsep, ujaran, menjadi hal yang sangat penting yang menandakan era ini. Suara lokal tampil lebih radikal, berani, dan terang-terangan menggugat wacana pusat (dalam arti politik maupun budaya).

Dalam periode ini bermunculan komunitas-komunitas sastra daerah atau sastra kepulauan dengan semangat yang terlalu jauh dan nyaris berlebihan menolak universalisme melalui esensialisme ekstrem. Dalam cerita pendek yang muncul pada periode ini, suara lokal dapat ditelusuri dalam cerpen “Gerundelan Wong Tegal” (1999) karya Nurhidayat Poso, “Tambo” (2000) karya Gus tf. Belum lagi strategi yang digunakan lewat esai-esai yang secara sengaja mengampanyekan pentingnya kembali ke nilai-nilai lokal.

Beberapa novel juga tak ketinggalan mengusung semangat kelokalan, seperti Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini, yang menggugat habis-habisan tradisi Bali seraya menampik pandangan “asing” yang mengeksploitasi tradisi lokal. Novel Gelombang Sunyi (2001) karya Taufik Ikram Jamil tak ketinggalan menyemarakkan suara lokal, ekspresi identitas Melayu, dan menggugat sastra nasional yang memusat. Karya Taufik Ikram Jamil ini mengingatkan saya pada maklumat sastra poskolonial yang pernah dikemukakan penyair dan novelis Ghana, Kofi Awoonor, “Sastrawan harus kembali ke sumber-sumber lokal mereka untuk mendapatkan inspirasi.”

Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini menampilkan warna lokal lewat tokoh bernama Luh Kambren yang merasa muak terhadap tingkah-polah orang-orang asing sebagai ancaman terhadap perempuan Bali. Kambren merasa orang asing telah mengobjektivikasikan tubuhnya sebagai lambang keindahan Bali (hlm. 86). Sikap Kambren terhadap pusat sarat dengan kekecewaan. Kalaupun ada sikap cinta Tanah Air yang ditampilkan lewat karakter tokoh-tokohnya, itu lebih mengacu pada tanah Bali, sebagaimana dalam salah satu pernyataan Kambren yang dengan seni tarinya mengharapkan apa yang diperbuatnya bagi tanah air Bali-nya dihargai.

Novel Gelombang Sunyi menyuarakan sikap kecewa terhadap pusat dan dengan tegas mengemukakan penilaian yang positif terhadap sastra lokal (Melayu). Tak bisa dibantah suara kemarahan dan rasa frustrasi dengan pemerintah pusat dan perusahaan swasta nasional, yang telah menghancurkan kohesi dan tatanan sosial masyarakat Melayu (Riau) dan kekerasan aparat sangat nyata dalam novel ini. Dalam Tarian Bumi dan Gelombang Sunyi, suara lokal menjadi semacam strategi kultural, untuk tidak menyebut sebagai tandingan, terhadap sastra nasional. Kedua novel ini sudah keluar dari kecenderungan novel 1970-an yang hanya menampilkan gejala lokal berupa keluarga, kepercayaan, upacara, dan kebiasaan rohani sebuah komunitas. Suara lokal diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang merupakan ciptaan bebas manusia menurut kurun waktu dan tempat yang juga berubah-ubah.

Tujuan penggunaan bahasa lokal, suara, konsep, istilah, diksi, dan bentuk-bentuk lokal lainnya, untuk mengembangkan kembali motif-motif dan bentuk-bentuk yang sudah ada ke dalam suatu keseluruhan yang artistik dan estetik, sehingga si pengarang pada akhirnya dikembalikan kepada perasaan komunitas, kepada resolusi; usaha pengembalian ketenangan dan keheningan.

Perincian tentang suara lokal atau warna lokal dalam karya-karya di atas mampu mengelak dari pemaparan secara entografis. Masalah identitas “aku” (nyak), “kami” (sikam), dan identitas “mereka” (tiyan) justru mampu memberikan cara pandang yang arif menyikapi masalah keragaman. Karya-karya itu tidak mengajak pembaca memuja semangat primordialisme–seperti sering dikhawatirkan selama ini–melainkan menawarkan sisi kreatif yang lentur mengolah khazanah sastra yang bertebaran di belahan bumi Nusantara.

Sampai di sini, novel Bumi Manusia, Jejak Langkah, Tarian Bumi, dan Gelombang Sunyi yang dikemukakan di atas sama sekali bukan suara etnosentrisme atau sektarianisme, melainkan ke-Melayu-an dan ke-Bali-an lewat bahasa, suara, budaya, konsep, ujaran, dan sejarah. Ini menunjukkan semacam konsep identitas yang lebih lincah, fleksibel, lentur, lebih gampang disesuaikan dengan keadaan zaman yang berubah. ***

*) Peminat kajian budaya.

Novel Terakhir Saddam Hussein

TARIAN SETAN
Penulis: Saddam Hussein
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta, Desember 2006, xx + 266 halaman
Peresensi: Erwin Y. Salim
http://www.gatra.com/

Judul buku ini mengingatkan kita pada Ayat-ayat Setan alias The Satanic Verses karya Salman Rushdie yang pernah menggegerkan. Apalagi, pengarangnya adalah tokoh yang cukup kontroversial: Saddam Hussein, pemimpin Irak yang digulingkan Amerikan Serikat dan sekutunya.

Tapi karya Saddam ini berbeda 180 derajat dibandingkan dengan karya Salman. Dalam cerita berjudul asli Akhreej Minha Ya Mal’un ini, yang kurang lebih berarti Enyahlah Kalian, Terkutuk!, Saddam bertutur tentang perjuangan melawan si angkara murka. Cerita berlatar dunia Arab ini tampaknya sebuah metafora perlawanan terhadap Amerika.

Ada sosok Hasqil si tamak, licik, dan haus kekuasaan yang bersekongkol dengan kepala suku adikuasa Romawi. Ada penaklukan suku-suku dan pemerasan rakyat yang menghasilkan menara kembar, tempat menimbun harta hasil memeras rakyat. Ada tokoh Salim, simbol pemersatu suku-suku melawan persekongkolan adikuasa.

Membaca novel ini, kita tidak perlu berharap mendapatkan sebuah karya sastra bermutu. Alurnya datar, tak ada kisah. Penuh khotbah dan memprovokasi pembacanya. Kendati demikian, patut diacungi jempol, orang sesibuk Saddam, apalagi di saat-saat menjelang invasi Amerika ke Irak, masih punya waktu untuk menulis.

Novel ini diselesaikannya pada 18 Maret 2003, dua hari sebelum invasi Amerika. Pada 2004, sebenarnya Saddam pernah menulis cerita bersambung di Al-Sharq Al-Aswat, koran berbahasa Arab yang terbit di London. Al-Sharq memuat karya itu tanpa mencantumkan nama pengarangnya.

Ceritanya, naskah itu ditemukan di gedung Kementerian Kebudayaan beberapa waktu setelah Baghdad jatuh ke tangan Amerika dan sekutunya. Dokter pribadi Saddam-lah, Alla Bashir, yang menyerahkannya ke meja redaksi koran tersebut. Bukan cuma di London. Naskah cerita Saddam ini pun secara diam-diam terbit di Beirut, Lebanon, dan beberapa negara Arab lainnya.

Tapi bukan dalam bentuk cerita bersambung, melainkan berwujud buku. Novel dengan potret wajah Saddam di sampul depannya itu dijual dengan harga US$ 5. Laris manis. Ironisnya, upaya anak Saddam Hussein, Raghad, menerbitkan dan mengedarkan karya sang ayah di Amman, Yordania, pada 2005 terganjal.

Departemen Penerangan dan Publikasi Yordania melarang dan memberangus peredaran novel setebal 186 halaman itu. “Kami khawatir penerbitan buku ini dapat menghambat hubungan yang sedang kami jalin dengan Irak,” ujar Ahmad al-Qadah, yang mengepalai departemen itu, seperti dikutip The New York Times.

Meski dilarang, novel Saddam beredar di pasar gelap dan terjual habis. Saddam meraih popularitas cukup tinggi di Yordania. Ia tampil meyakinkan di pengadilan Irak. “Penggemarnya di sini masih banyak dan namanya tetap populer,” kata Sulaiman al-Hurani, pemilik Kios Buku Hurani di Amman.

Toko buku Sulaiman kebanjiran pembeli beberapa jam setelah Pemerintah Yordania melarangnya. Stok novel Saddam itu yang ada di kiosnya, sekitar 50 eksemplar, terjual habis dalam sekejap. “Popularitasnya meningkat karena upaya-upaya perlawanan masih berlangsung hingga hari ini,” kata Sulaiman.

Banyak yang tak percaya Saddam sendiri yang menulis novel ini. Namun hal itu dibantah banyak kritikus sastra Irak, termasuk Ali Abdul Amir yang telah membaca seluruh karya Saddam. “Novel ini sepenuhnya sama dengan gaya penulisan tiga karya sebelumnya yang dibikin Saddam,” ujar Ali kepada Associated Press.

Tarian Setan adalah novel terakhir dari empat karya Saddam. Tiga novel sebelumnya terbit di Irak. Pada 2001, terbit novel pertamanya berjudul Zabibah wa al-Mulk. Setelah itu, Saddam menerbitkan Al-Qal’ah al-Hashinah dan Rijal wa Madinah.

Sayang, judul novel terakhir Saddam ini berubah setelah diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Padahal, judul aslinya lebih mencerminkan gaya Saddam: Enyahlah Kalian, Terkutuk!.

Puisi Itu Pukulan Bersarung Tinju Beludru

Dorothea Rosa Herliany, Triyanto Triwikromo
http://layar.suaramerdeka.com/

JAWA Tengah wajib bangga memiliki penyair Dorothea Rosa Herliany. Sebab, selain buku puisinya, Santa Rosa, memenangi Khatulistiwa Literary Award 2005-2006, jauh sebelumnya kumpulan puisinya yang lain, Kill the Radio, masuk sebagai lima besar penghargaan paling bergengsi dalam dunia kesusastraan di Indonesia itu pada 2001. Setelah itu, pada 2003 Pusat Bahasa juga memilih dia sebagai pengarang terbaik 2003. Bahkan akhir 2004 Dorothea menerima “anugerah seni” dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Apa makna penghargaan-penghargaan itu bagi perempuan yang pada 1995 pernah mendapatkan Anugerah Seni dari PWI Jawa Tengah ini? Berikut petikan perbincangan dengan dia di Magelang belum lama ini.

Apa makna Khatulistiwa Literary Award bagi dunia gagasan Anda?

Ini adalah semacam pengakuan dari banyak orang terhadap puisi-puisi saya. Ini berarti puisi-puisi saya dinikmati dan dipahami oleh banyak orang. Tentu sangat menggembirakan karena selama ini puisi dianggap terpencil, jauh, dan berada di awang-awang. Ya, dengan penghargaan ini, saya telah bisa membuktikan betapa puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sangat dekat dan peduli pada masyarakat dan kehidupan. Puisi, jika saja mereka tahu, sesungguhnya hal yang pasti membicarakan sesuatu yang ada di masyarakat.

Apa sesungguhnya gagasan-gagasan saya? Barangkali memang sesuatu yang sangat abstrak. Ya, saya memang selalu tergugah atau gelisah oleh hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan. Karena itu, yang saya tulis adalah kesedihan saya melihat betapa dari waktu ke waktu masyarakat lebih tidak memedulikan dunia ruh, dunia yang lebih dalam pada kehidupan. Manusia hanya mengejar sesuatu yang fisikal, permukaan, kulit, atau gemebyar di luar. Kita tidak lagi ngopeni sesuatu yang lebih berada “di dalam”. Perjuangan manusia untuk menjadi manusia yang lebih baik kemudian tidak dipedulikan lagi. Hal-hal yang bersifat keduniawian memang diperlukan, tetapi jika ia sudah menjadi tujuan, manusia akan hidup dalam dunia yang sangat menyedihkan. Jadi, sekali lagi penghargaan ini kian membuktikan gagasan-gagasan saya tentang hidup yang lebih baik dibaca orang.

Tentu tidak. Kemenangan saya ini juga kemenangan “dunia tafsir”. Setiap kali menulis puisi saya senantiasa menafsirkan nilai-nilai dalam masyarakat dengan cara baru. Saya selalu bertanya, “Apakah nilai ini sudah benar?” Saya juga bertanya, “Apakah sesuatu yang sudah dianggap benar itu tidak bisa diberi penafsiran baru?” Ya, menjadi penafsir segala sesuatu saya kira merupakan tugas utama penyair. Saya tidak ingin sesuatu itu diposisikan sebagai hal yang mutlak. Saya tidak ingin segala hal menjadi dogma atau nilai yang dimutlakkan. Hidup harus ditafsir ulang secara terus-menerus.

Anda ternyata juga melawan tafsir tunggal terhadap berbagai hal yang dijejalkan oleh negara atau agama? Dalam bentuk apa perlawanan Anda?

Aduh! Ini masalah yang sangat sensitif. Saya misalnya pernah menggugat mitos-mitos dalam dunia perkawinan. Dalam dunia perkawinan, selalu ada kewajiban “menikah itu untuk setia”. Dalam kenyataan, komitmen semacam itu, hanya berada di permukaan, tidak berada di hati. Karena itu, ketika saya menulis: ketika menikahimu tak kusebut keinginan untuk setia, banyak orang kaget. Mereka shock. Saya kira puisi memang harus seperti itu. Tugas puisi harus memberi kejutan. Kejutan yang lembut. Puisi itu harus menonjok. Puisi itu harus seperti tinju dengan sarung yang lembut. Jadi, dalam berpuisi dan mengkritik nilai-nilai yang sudah mapan atau dimutlakkan, saya memang memukul dengan lembut. Puisi itu pukulan bersarung tinju beludru.

Ada juga contoh lain. Saya pernah menulis puisi bertajuk “Elegi Sinta”. Dalam puisi itu saya membuat tafsiran kembali terhadap cerita Rama-Sinta. dalam versi lama Rama digambarkan sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Masyarakat Jawa, kita tahu, sangat memihak kepada Rama. Sebaliknya Sinta digambarkan sosok lemah yang membutuhkan perlindungan Rama saat hendak “diperkosa” oleh Rahwana. Ia, pendek kata, berada di bawah tekanan Rama, karena sebelum membakar Sinta, lelaki itu bilang, “Kalau kamu setia akan begini, kalau tidak setia akan begitu”. Ini membuat posisi Sinta menjadi sosok yang terpinggirkan. Dalam puisi saya, saya menghadirkan Sinta sebagai sosok yang kuat menempatkan Rama sebagai sosok peragu. Saya lebih menempatkan Sinta sebagai tokoh yang keras hati dan mampu berjuang.

Di negara kita, hal-hal semacam itu masih dipandang dengan sebelah mata. Negara memang sedikit peduli. Akan tetapi dalam keseharian negara belum secara ikhlas menerima perempuan sebagai sosok yang berpikiran lebih hebat dan berposisi lebih kuat. Ketika Megawati mau jadi presiden masih saja terjadi pro-kontra. Ini menunjukkan negara masih memihak laki-laki. Dengan berkata semacam ini, saya tidak ingin dianggap membela perempuan. Yang, saya lakukan saya membela manusia yang kebetulan berjenis kelamin perempuan.

Saya juga tak sepakat pada cara-cara mutlak-mutlakan memperjuangkan keyakinan tetapi dengan menghancurkan kemanusiaan dan manusia lain. Saya tak habis mengerti kok ada orang-orang yang merasa lebih benar daripada Tuhan. Lebih parah lagi mereka menyatakan tindakan-tindakan yang dilakukan itu dipersembahkan kepada Tuhan. Kemutlakan semacam ini harus ditentang. Saya punya harapan puisi atau sastralah yang bisa menyentuh dan mengingatkan betapa kemanusiaan kita memang terkikis.

Oke…tapi para pengamat kerap menyebut Anda sebagai perempuan yang menggunakan diksi laki-laki untuk mengungkapkan gagasan. Apakah ini tak bertentangan dengan keinginan Anda sebagai manusia yang ingin memperbaiki kualitas kemanusiaan siapa pun tanpa mempersoalkan jenis kelamin?

Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan mengambil metafor dari dunia pertanian. Jika hendak bertani, tentu kita butuh cangkul. Cangkul apa pun. Sebagaimana petani, saat menulis puisi saya membutuhkan berbagai diksi. Diksi apa pun. Tak peduli diksi laki-laki atau perempuan. Diksi yang bergunalah yang saya pakai. Kalau diksi-diksi yang menonjok dianggap sebagai diksi laki-laki, itu kesalahan tafsir laki-laki terhadap puisi-puisi saya. Yang saya inginkan sebenarnya sederhana saja. Saya ingin tujuan saya tercapai.

Nah, kalau begitu, Anda sebenarnya lebih ingin disebut sebagai feminis atau humanis sih?

Humanis! Saya kadang-kadang keberatan jika disebut sebagai feminis. Meskipun demikian, orang selalu bilang, “Kamu menulis tentang perempuan. Itu berarti kamu feminis!”. Terus saja saya menolak anggapan itu. Yang saya perjuangkan bukan persoalan keperempuanan, tetapi lebih kepada kemanusiaan. Laki-laki juga perlu ditolong jika dia lemah. Jadi saya ini lebih baik disebut sebagai pejuang humanisme, bukan feminisme.

Jika bisa distrukturkan, apa saja sih dunia gagasan Anda?

Saya berharap manusia menemukan kembali sisi baik kemanusiaannya. Ini suatu keinginan yang sedehana, tetapi hasilnya masih sayup-sayup.

Anda melihat kemanusiaan kita kian terkikis Lalu dengan cara apa Anda mewartakan kepada publik bahwa situasi kemanusiaan kita berada dalam situasi yang membahayakan?

Barangkali satu-satunya cara penyair untuk bisa “mengingatkan” mereka adalah dengan menulis. Dengan tulisan itu orang digiring memiliki ruang dan waktu untuk berpikir. Dengan tulisan-tulisan itulah, saya mencoba membuat puisi sebagai sesuatu yang menyentuh. Tentu dengan berbuat semacam itu, saya dan penyair lain tidak harus dianggap sebagai satu-satunya sosok yang mengansumsikan diri sebagai pengingat zaman.

O, cukupkah Anda mengubah dunia dengan puisi?

Tentu saja tidak. Dalam kehidupan kita itu banyak hal yang harus dipecahkan dengan hal-hal lain di luar puisi. Dunia indah itu tidak bisa dicapai hanya dengan puisi. Karena itu, saya juga melakukan berbagai tindakan lain. Saya bergerak menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial lain. Termasuk melakukan hal-hal kecil yang saya lakukan di rumah. Perjuangan saya bukan berupa tindakan-tindakan besar. Tindakan-tindakan besar baru terlihat justru ketika kita juga melakukan tindakan-tindakan kecil.

Anda mendidik anak Anda juga dengan cara melakukan tindakan-tindakan kecil yang bermakna?

Tentu. Saya selalu memberi pengertian: sekolah bukan satu-satunya tiket kita untuk menjadi manusia yang baik. Tujuan kita tidak untuk menjadi manusia sukses, tetapi manusia yang baik. Untuk menjadi manusia sukses harus belajar matian-matian menjadi ranking satu di sekolah. Ukuran keberhasilan manusia itu tidak harus menjadi dokter, insinyur, arsitektur, tentara, atau yang lain-lain.

Anda juga bergerak di dunia bacaan. Anda menjadi penerbit dan melakukan gerakan sosial yang mengajari publik untuk hidup dalam budaya baca. Inikah yang juga Anda sebut sebagai tindakan kecil yang penuh makna?

Ya. Membaca dan menulis itu sangat dekat dengan dunia pikir dan rasa. Jika orang tak hidup dalam dunia pikir dan rasa, mereka harus didekati dengan dunia baca dan tulis. Karena kita masih juga hidup dalam budaya lisan, maka perjuangan membawa orang ke dunia baca-tulis-rasa-pikir, masih harus dilakukan secara intens. Itulah yang saya lakukan agar kita semua berada dalam peradaban yang kian maju.

Kini kecenderungan buku Anda muncul dalam dua bahasa. Mengapa Anda tak menulis langsung dalam bahasa Inggris?

Saya punya kepekaan terhadap nuansa bahasa. Saya tahu dengan menulis dalam bahasa Indonesia akan lebih in dan tepat mengutarakan gagasan-gagasan saya. Ada sesuatu yang tertinggal kalau saya langsung menulis dalam bahasa Inggris. Tujuan saya menerbitkan puisi dalam dua bahasa lebih dipicu oleh pertimbangan pasar. Selain itu, saya ingin gagasan-gagasan universal tentang kemanusiaan saya lebih terdistribusi ke masyarakat yang lebih luas tanpa dibatasi oleh bahasa.

Apa sih perjuangan terberat Anda saat mendistribusikan gagasan?

Yang paling berat adalah saat berproses mewujudkan gagasan. Saya selalu berpikir bagaimana agar gagasan-gagasan saya itu mudah diterima tetapi tidak wantah dan dalam balutan keindahan. Ya, buat apa kita menulis jika gagasan-gagasan itu tak sampai di hati orang?

Mengangkat Kembali Sastra Marjinal

JUDUL: Sastra-Pra Antologi Indonesia Tempo Doeloe
PENULIS: F Wiggers, G Francis, Tio Ie Soei, FDJ Pengemanann, H Kommer
PENYUSUN: Pramoedya Ananta Toer
PENERBIT: Lentera Dipantara, Februari 2003
TEBAL: 411 ha.
PERESENSI:Alia Swastika
http://www2.kompas.com/

MENCERMATI buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan sebagai pedoman dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah, tampak bagaimana pengaruh politik dalam perkembangan sastra kita. Selama 32 tahun, murid-murid sekolah ini belajar tentang sastra Indonesia dalam versi yang sudah diakui oleh penguasa (baca: pemerintah Orde Baru), yakni sastra yang termasuk dalam kategori sastra tinggi (yang dengan sendirinya memakai bahasa tinggi), dan ditulis oleh pengarang-pengarang yang haluan politiknya sejalan dengan penguasa.

KARENA itu, yang paling diingat dari sejarah sastra pada akhirnya hanyalah nama-nama, karya-karya, atau juga ingatan yang sepenggal tentang Balai Pustaka. Dalam buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, sejarah (sastra) menja- di tidak kontekstual dan nir-makna.

Politik sastra telah meminggirkan pengarang-pengarang, menimbun karya-karya mereka dalam gudang arsip dan menguning dimakan zaman, serta meneguhkan dominasi satu genre atas genre yang lain. Dengan begitu, lenyaplah “sastrawan marjinal” ini dalam lipatan sejarah. Mereka hanya disimpan oleh orang-orang yang menganggap semua catatan dan karya selalu berarti, dan menjadi rekaman kritis terhadap kondisi sosial politik pada suatu zaman.

Buku “Tempo Doeloe” yang disusun oleh Pramoedya ini bisa menjadi usaha untuk mengurai kembali-secara tidak langsung-politik sastra di masa lalu. Pramoedya memunculkan kembali nama-nama penulis yang sekarang ini terlupakan dan tak tercatat dalam sejarah sastra.

Ada beberapa penulis yang menyumbangkan karyanya dalam buku ini. Mereka adalah F Wiggers, yang menulis kisah “Soerapati Hakim Pengadilan (Bagian keenam dari: Dari Boedak Sampe Djadi Radja”), Tio Ie Soei dengan karyanya “Pieter Elberveld” (Satoe Kedjadian jang Betoel di Betawi), FDJ Pengemanann yang menulis dua cerita, yaitu “Tjerita Rossina” dan “Tjerita Si Tjonat”, G Francis dengan kisahnya yang terkenal “Tjerita Njai Dasima”, serta H Kommer dengan “Tjerita Kong Hong Nio” dan “Tjerita Nji Paina”. Semuanya berkarya di awal abad ke-20.

MENURUT Pramoedya, terhapusnya nama-nama ini-juga karya- karya mereka, kecuali Nyai Dasima yang masih populer hingga sekarang-disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama, karena pada waktu itu buku belumlah menjadi komoditas, sehingga tidak ada proses cetak ulang terhadap karya-karya yang telah dipublikasikan.

Kedua, karena pada waktu itu kebudayaan Islam sedang mengalami masa keemasan (sebagai pengaruh dari kemenangan pasukan Turki di bawah pimpinan Kemal Pasya), maka ada kecenderungan cerita-cerita yang berbau Eropa agak dilupakan orang, dan berganti dengan cerita- cerita yang penuh nuansa Islami. Dalam hal ini, Pramoedya mengajukan contoh pergeseran cerita dalam komedi Stambul.

Kemudian, faktor ketiga adalah karena penggunaan bahasa Melayu-baik Melayu Pasar maupun Melayu Tinggi-dalam karya-karya ini. Karya dengan bahasa Melayu, terutama Melayu Pasar, oleh pemerintah tak dimasukkan dalam kategori sastra Indonesia.

Pada saat itu yang mempunyai otoritas menentukan mutu karya sastra adalah Balai Pustaka, sebuah badan milik pemerintah, yang tugasnya memproduksi buku bacaan untuk pemeliharaan bahasa Melayu yang diajarkan di sekolah.

Pramoedya mengajak kita melihat wacana yang menjadi inspirasi penulisan sastra di masa lalu, khususnya pada awal abad ke-20. Ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan: tulisan-tulisan dan kisah-kisah apakah yang dibaca oleh kalangan intelektual dan masyarakat menengah pada waktu itu-karena pastilah yang bisa membaca hanya kalangan menengah-dan bagaimana karya sastra yang dihasilkan pada waktu itu memberikan gambaran yang kontekstual tentang apa yang terjadi pada suatu masa?

Delapan cerita yang ada dalam buku ini menunjukkan bahwa kolonialisme termasuk wacana penting yang mewarnai tema-tema karya sastra, meskipun kemudian hal ini tidak lantas menunjukkan keterkaitan yang langsung antara para penulis dan sikap mereka terhadap kolonialisme. Cerita “Soerapati Hakim Pengadilan”, misalnya, menunjukkan simpati mendalam dari F Wiggers terhadap tokoh Untung Soerapati yang dengan gigih terus-menerus mengobarkan perlawanan menentang penjajah Belanda.

Kepahlawanan Soerapati menjadi semakin menonjol dalam cerita ini bukan saja karena pertentangannya dengan penjajah. Melainkan juga karena ia dengan terang-terangan bersikap konfrontatif terhadap para bangsawan yang bersekongkol dengan penjajah dan merugikan rakyat jelata.

Sementara kisah-kisah yang lain menangkap sisi yang berbeda dari kolonialisme. Beberapa di antaranya mengangkat kisah percintaan antara tuan-tuan Belanda dengan perempuan pribumi. Ini adalah isu yang cukup populer pada masa itu, karena biasanya kisah nyai menjadi sumber gosip dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Kehidupan nyai yang diperbudak oleh tuan Belanda merepresentasikan kisah perempuan yang terampas kebebasannya-meskipun mereka mendapatkan pemenuhan materi yang cukup. Dan kisah nyai ini menjadi inspirasi bagi beberapa kisah yang ditulis sendiri oleh Pramoedya, misalnya dalam “Tetralogi Bumi Manusia” dan “Gadis Pantai”.

BUKU ini sengaja diterbitkan dengan bahasa dan ejaan aslinya. Menurut sang penerbit, pilihan untuk tetap mempertahankan ejaan dari masa sebelum ada Ejaan yang Disempurnakan (EYD) ini adalah usaha untuk melihat lebih dalam bagaimana sesungguhnya kekuatan bahasa Melayu Pasar itu dalam anomali bahasa kontemporer.

Kehadiran bahasa Indonesia sendiri adalah representasi sebuah penjelajahan bahasa dalam sejarah pembentukan bangsa. Tentang hal ini, Hilmar Farid (1994) memberikan gambaran tentang bagaimana sejarah bahasa Indonesia memiliki kaitan yang erat dengan pembentukan bangsa, termasuk di dalamnya kaitan bahasa dengan politik kelas dari masa ke masa.

Meskipun pada awal abad ke-20 bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah digunakan hampir di semua surat kabar yang terbit di Hindia Belanda pada waktu itu, tetapi pada akhirnya pemerintah kolonial mengangkat bahasa Melayu Tinggi yang disusun oleh CA van Ophuijsen sebagai “bahasa yang resmi”. Dan bahasa inilah yang akhirnya berkembang terus-menurut Hilmar, nyaris tanpa hambatan-menjadi bahasa yang sekarang ini kita kenal sebagai “Bahasa Indonesia”.

Mungkin, karena kita sendiri telah terbiasa dengan ejaan yang disempurnakan, maka akan ada sedikit kesulitan untuk bisa membaca dengan cepat kisah-kisah yang termuat dalam buku ini. Namun pilihan tetap mempertahankan ejaan lama, harus diakui, adalah usaha yang cukup unik dalam usaha mendemokratisasikan bahasa agar kita keluar sejenak dari hegemoni bahasa yang terus-menerus didesakkan negara.

*) Anggota KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.

Sastrawan yang Kontroversi

Arief Junianto
http://www.surabayapost.co.id/

Tanggal 1-7 Februari 2008 di Blora, berlangsung peringatan 1000 hari meninggalnya Pramoedya Ananta Toer. Periode 60-an Pram dikenal pengikut Lekra. Inilah yang menyebabkan terjadi kontroversi antara kepengarangannya dan ideologi politik yang dianutnya.

6 Februari 2009 tepat 84 tahun yang lalu, Pramoedya Ananta Toer, yang dikenal sebagai pengarang beraliran realisme dilahirkan di Blora, Jawa Tengah. Pramoedya, di era 50-an, mulai muncul pertama kali dengan karyanya yang berjudul Keluarga Gerilya. Dari karyanya ini, Pram, mulai menempati posisi penting sebagai pengarang Indonesia. Karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka menjadi fenomenal karena karyanya ini merupakan karya terbitan Balai Pustaka yang menyisipkan dialog Bahasa Jawa.

Balai Pustaka yang merupakan penerbitan yang didominasi oleh karya-karya yang menggunakan bahasa Indonesia tingkat tinggi, namun karya Pram yang menyisipkan Bahasa Jawa pun ternyata masih dapat diterima. “Inilah yang membuat nama Pram menempati posisi penting dalam kepengarangan Indonesia”, ujar, Maman S. Mahayana, seorang kritikus sastra Indonesia.

Pada awal kepengarangannya, Pramoedya terlahir sebagai pengarang nasionalis. Karya-karyanya berisikan letupan-letupan yang membakar semangat nasionalisme pembacanya. Dengan getolnya Pram membela kebebasan berekspresi seniman-seniman Indonesia. Baginya seorang seniman, sastrawan harus benar-benar terbebas dari apapun yang membelenggu kreativitas mereka untuk berkarya.

Hingga masuk periode 60-an, Pram kemudian menggabungkan diri dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Dalam Lekra, praktis Pram hanya menelorkan sebuah karya fiksi saja. Itu pun hanya sebuah cerita pendek. Cerita pendek yang olehnya diberi judul Paman Martil itu ditulis memang merupakan untuk kado ulang tahun PKI. Oleh Maman, cerpen ini diakuinya merupakan karya terburuk sepanjang sejarah karya Pram. “Memang, sepanjang dia tergabung dalam Lekra, praktis proses kreatifnya dalam menulis fiksi terhenti total,” kata Maman.

Selama aktif di Lekra, lanjutnya, Pramoedya memang lebih banyak menulis esai-esai yang bersifat propagandis. Semangat ideologisnya yang menggebu-gebu, membuat kreativitasnya untuk menulis karya sastra seolah mandeg.

Politik Adalah Panglima, merupakan jargon yang cukup dikenal. Jargon ini merupakan simbol dari seniman Lekra yang mengedepankan ideologi dalam sebuah karya sastra. Dari sinilah kemudian muncul semacam perlawanan dari sesama seiniman yang menganggap seni khususnya sastra harus terbebas dari ideologi yang bersifat politis, apapun itu bentuknya.

Seniman yang melakukan perlawanan terhadap Lekra adalah seniman yang menamakan diri mereka sebagai Manifesto Kebudayaan. Menurut kelompok ini, seni ataupun sastra sebagai bagian dari kebudayaan, adalah wujud perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Mereka tidak menganggap sebuah kebudayaan berada di atas sektor kebudayaan lain. Inilah yang oleh mereka sebut sebagai Humanisme Universal.

Kendati demikian, hubungan baik terus dijalin baik oleh Pram sendiri, sebagai seniman Lekra, maupun oleh seniman-seniman lain, baik itu Goenawan Mohammad maupun dari Mochtar Lubis sendiri, yang dengan gencarnya menolak dominasi Lekra.

Mengenai ini, Maman menjelaskan bahwa Mochtar Lubis bahkan masih sempat mengunjungi Pram di Pulau Buru. “Meski, memiliki pendapat yang berseberangan, seniman-seniman itu masih berhubungan baik. Mochtar Lubis, misalnya, dia bahkan memberi mesin ketik pada Pram waktu di Buru,” terangnya.

Pasca Pulau Buru, Pram semakin melejit. Tetralogi mahakaryanya membuktikan bahwa Pram memang pengarang berkualitas. Ini masih ditambah dengan beberapa penghargaan diterimanya. Di antara sekian banyak penghargaan, ada satu penghargaan yang menarik. Magsasay. Penghargaan yang diberikan oleh yayasan Ramon Magsasay Filipina kepada Pramoedya atas prestasinya dalam mengangkat harkat dan martabat manusia.

Menariknya, kurang lebih 26 tokoh sastrawan melayangkan surat protes, yang mempertanyakan kelayakan Pram menerima penghargaan tersebut. Oleh Maman, hal ini dijelaskan bahwa sebenarnya alasan seniman tersebut melayangkan protes bukan karena mereka meragukan kualitas Pram. “Mereka mempertanyakan mengenai Pram yang dulunya pernah membakar buku-buku karya seniman lain, kenapa kok bisa dapet penghargaan?,” terangnya.

Terlepas dari berbagai kontroversi itu, Pramoedya tetap merupakan pengarang yang berkualitas. Dirinya bisa membuktikan bahwa realisme tidak hanya mengedepankan karya-karya sastra propagandis, karya–karya komunis yang dianggap kiri, namun juga mengedepankan estetika sastra yang membuat karya-karya memiliki kekuatan tersendiri.

Selain itu, kekuatan karya Pram juga menonjol pada fakta-fakta sejarah yang diungkapkannya melalui karyanya. Mengenai hal ini Maman menambahkan bahwa bagi Pram, sejarah merupaka faktor penting bagi proses kreatif dari seorang pengarang. “Bagi Pram, Sejarah itu penting. Sangat penting bahkan”, tambahnya.

Rabu, 11 Maret 2009

Lebih Mendalam dan Humanis

Lan Fang
http://www2.kompas.com/

bayangku membusuk setelah dingin
kureguk
dan malam yang semakin mabuk
mencambuk tubuhku
dengan segala ngilu. Wajahku tergores
sebaris kelembutan. Aku tenggelam
seperti sebongkah kesaksian yang
mengiris ingatan
di lorong-lorong pelabuhan. Dan ombak
yang kian jantan datang
dengan kesepian tak tertahan
seribu mambang telah berlayar
membawa bunga-bunga api, seperti
petualang jelatang
menyadap tubuhku yang paling mawar

Cuplikan puisi Pelayaran Bunga karya A Muttaqin itu menjadi cover buku dokumentasi sastra Festival Cak Durasim 2007 yang dihelat dari tanggal 10-17 November 2007 di Taman Budaya Provinsi Jawa Timur. Festival ini merupakan acara tahunan yang pada tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ke-8.

Menurut Pribadi Agus Santoso, Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, festival ini merupakan salah satu agenda berkesenian di Jawa Timur dan merupakan sebuah ruang dialog yang diharapkan bisa mengakomodasi kreativitas para seniman. Dari sini diharapkan para seniman bisa saling mengenal, berkolaborasi, dan membangun jaringan. Bukan saja dalam lingkup Jawa Timur, antarprovinsi di Indonesia, tetapi juga dengan luar negeri. Oleh karena itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, materi yang disajikan meliputi seni pertunjukan tari, teater, kesenian daerah, wayang, dan sastra.

Sejak enam tahun yang lalu, sebagaimana layaknya sebuah festival yang seharusnya ada pertunjukan yang bisa ditonton, maka kali ini pun sastra juga mempertunjukkan pembacaan puisi dan cerpen. Bedanya pada dua tahun terakhir ini, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur juga menambahkan acara diskusi sastra ke dalam agenda penyelenggaraan selain menerbitkan buku antologi cerpen dan puisi.

Pelayaran Bunga, dokumentasi sastra Festival Cak Durasim 2007 yang diterbitkan, kali ini diwakili oleh 10 sastrawan Jawa Timur "terkini" yang dipilih oleh tim seleksi. Buku ini didiskusikan oleh Maman S Mahayana, Djoko Saryono, dengan key note speaker Budi Darma. Sementara dari kalangan penulisnya diwakili oleh tujuh penyair, yaitu A Muttaqin, Didik Wahyudi, Javed Paul Syatha, M Faizi Kaelan, M Fauzi, Puput Amiranti N, dan R Timur Budi Raja; dan tiga prosais, yaitu Imam Muhtarom, Lan Fang—saya sendiri—dan Mashuri.

Pasti sulit untuk mendefinisikan maksud "terkini" itu. Namun, panitia penyelenggara menyepakati istilah "terkini" itu bukan sekadar dari sisi usia mereka yang rata-rata masih muda. Akan tetapi, juga dari pencapaian estetika dan konsistensi berkarya. Diharapkan kesepuluh sastrawan ini bisa dianggap sebagai bagian dari representasi perjalanan sastra di Jawa Timur.

Jauh berbeda

Djoko Saryono, seorang pengamat sastra yang juga dosen pascasarjana Universitas Negeri Malang, mengatakan bahwa karya ke-10 sastrawan itu jauh berbeda bila dibandingkan dengan generasi 1980-an dan 1990-an. Baik dari gaya penyampaian bahasa, estetika, maupun makna. Djoko Saryono mengistilahkan bahwa karya mereka bertiwikrama. Mengungkapkan hal-hal yang sepele dan kecil di dalam bingkai fenomena alam semesta. Diungkai dengan kata-kata liris dan puitis. Yang kemudian membesar dan mendalam dalam pesona dimensi humanis dan spiritual. Jauh dari nada geram dan kalimat yang meledak-ledak, yang kerap dipakai pada puisi-puisi dan cerpen-cerpen sastrawan dari generasi sebelumnya yang banyak berbicara tentang hal-hal besar seperti tema-tema politis dan sosial.

Ia mengambil puisi A Muttaqin Namaku Malam, Puput Amiranti Di Telik, Laut Kembali Berbuih, dan cerpen Sonata, sebagai contoh. Menurut dia, para penulis tersebut banyak mengambil keindahan alam untuk menyampaikan kabar hati. Pilihan kata-kata yang dipakai sangat teduh dan menyentuh. Kalaupun melukiskan lara dan kecewa, tetapi disampaikan dalam bahasa estetika yang jauh dari tekanan bahasa yang ingar-bingar. Bahkan cenderung nyaris tenang, penuh kontemplasi dan menyublim.

Maman S Mahayana menarik sejarah ke dalam perbincangan kritik sastra. Menurutdia, seyogianya kritik sastra tidak sekadar hanya menjembatani teks-teks yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Tetapi juga memberikan apresiasi, panduan, keterangan tambahan, dan pengungkapan kekayaan teks yang belum tergali. Seperti yang dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana dalam mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah Pandji Poestaka pada awal 1932.

Menurut Maman, ketersesatan dalam pemahaman atas kritik sastra Indonesia itu setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor utama, yaitu kelalaian membaca sejarah, salah memahami dan menerapkan pendekatan struktural, salah memahami hakikat dan tujuan karya sastra, adanya kecenderungan eksklusif dan arogansi dari kaum akademis, juga adanya kesalahpahaman dalam memahami kategori kritik sastra.

Sebagai key note speaker, Budi Darma merangkum keseluruhan diskusi dengan jernih, bening, cerdas, dan menyihir semua peserta diskusi. Ia mengutip pendapat Sapardi Djoko Damono bahwa seorang penyair (prosais) yang baik adalah juga seorang esais yang baik. Bahwa karya sastra hampir bisa dikatakan selalu berbicara tentang "diri sendiri". Maka karya sastra tidak sekadar hanya berpuitis-ria, tetapi juga harus bertutur dengan sistematis dan kedalaman makna seperti selayaknya sebuah esai. Begitu juga sebaliknya. Sebuah paparan makna yang disampaikan secara sistematis juga harus memiliki keindahan puitis untuk memikat pembacanya.

Pelayaran Bunga ternyata bisa dikatakan cukup mendapat respons positif dari masyarakat Surabaya. Pada malam harinya, di halaman Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, dibangun sebuah panggung kecil dikelilingi obor dengan sebuah layar lebar di sisi panggung, ke sepuluh sastrawan yang terangkum dalam Pelayaran Bunga tampil membacakan karya-karyanya. Masyarakat yang mengapresiasi cukup banyak walaupun jauh dari kesan hiruk-pikuk.

Karena pada saat yang sama, Surabaya juga mempunyai perhelatan akbar di Tugu Pahlawan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, yakni konser akbar Simfoni untuk Bangsa. Di acara ini tampil sederet artis dan musisi kondang Tanah Air. Mereka adalah Ungu Band, Ari Lasso, Iwa K, Drive Band, Ian Antono, Achmad Albar, Piyu, Butet Kertaredjasa, dan Kua Etnika. Puluhan ribu warga Surabaya tumplek blek di Tugu Pahlawan dan jalan-jalan sekitarnya.

Dua event yang bertabrakan itu tidak terlalu dikhawatirkan dengan serius oleh Pribadi Agus Santoso selaku Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Timur. "Konsumen yang gegap gempita itu berbeda dengan penikmat kata-kata. Masing-masing mempunyai segmen dan diapresiasi sendiri-sendiri di masyarakat," ujarnya. Lagi pula, biasanya Festival Cak Durasim memang diselenggarakan di kisaran bulan Oktober pada setiap tahunnya. Hanya pada tahun ini bergeser ke bulan November karena pada bukan Oktober bersamaan dengan bulan puasa dan hari Lebaran.

Ini senada dengan pernyataan pamungkas Budi Darma di akhir acara diskusi temu sastra pada siang harinya. "Membaca karya sastra bisa disamakan seperti mendengar sebuah komposisi lagu. Lagu yang baik akan meninggalkan gema di hati pendengarnya. Demikian juga dengan karya sastra yang baik akan meninggalkan kesan di hati pembacanya," ujarnya.

Pelayaran Bunga diharapkan bisa lebih banyak berbicara tentang wajah sastra terkini Jawa Timur. Tidak sekadar berlayar terombang-ambing di atas samudra kata-kata belaka. Namun, bisa terus melahirkan karya-karya yang layak diperhitungkan. Karena bukankah semua bunga lahir dari kegelapan bumi yang merindu matahari?

*) Penulis Tinggal di Surabaya.

Budi Darma dan Kota

Imam Muhtarom
http://cetak.kompas.com/

Seringkali yang terabaikan dalam membaca karya-karya Budi Darma adalah kaitan antara tokoh-tokoh yang terkenal dengan karakternya yang aneh dengan latar kota baik dalam arti latar fisik maupun latar sosial. Tokoh-tokoh macam Joshua Karabish, Ny Elberhart, Fanton Drummond, Olenka, Rafilus, dan Ny Talis, hanya dilihat sebatas bagaimana tokoh-tokoh tersebut tampak secara psikologis. Sekalipun cara ini memang dimungkinkan secara tekstual, namun untuk melihat bagaimana tokoh-tokoh dalam karya Budi Darma mewujud tidak bisa dilepaskan dari proses sosial yang memungkinkan tokoh-tokoh memiliki perwatakan yang aneh, pahit, kurang ajar, jauh dari norma sosial yang ideal.

Kebanyakan cara pandang terhadap prosa Budi Darma memang tidak lepas dari teks prosa itu sendiri yang semenjak awal cerita telah menetapkan jenis perwatakan tertentu yang dimiliki masing-masing tokohnya. Cerita berkembang dengan asumsi-asumsi perwatakan yang telah terbayang begitu kalimat dalam paragraf pertama terbaca. Selanjutnya, cerita berkembang dari pijakan awal yang seakan sudah baku tersebut dan semakin menguat dengan pergulatan tokoh dalam berhadapan dengan tokoh lain maupun dengan masalah yang dihadapi. Tokoh utama terhanyut dengan model pikiran dan tipe psikologis tokoh lain dan karena itu pada saat yang sama merefleksikan tipe psikologis tokoh utama sendiri. Ini kenapa nyaris semua karya prosa Budi Darma diangggap tidak atau jauh memberi kemungkinan secara tekstual kepada pembacanya untuk memahami tokoh dalam kaitannya dengan latar kota yang melingkupinya.

Misal tokoh Joshua Karabish dalam cerpen ”Joshua Karabish” dalam kumpulan cerpen Orang- Orang Bloomington (1980). Sosok tokoh Joshua Karabish ini tidak hadir dalam cerita langsung baik orang pertama atau orang kedua. Ia hadir dalam penceritaan tokoh saya. Tentu ini menimbulkan masalah representasi bagaimana tokoh Joshua Karabish hadir di dalam teks dan hadir dalam pikiran pembaca. Tokoh Joshua Karabish tidak memiliki suara sama sekali untuk langsung memberitahukan siapa dirinya secara tekstual kepada pembaca, tetapi melalui tokoh saya. Sekalipun kemudian tokoh ibu, kakak Joshua, pemilik apartemen mengemukakan pendapatnya mengenai tokoh Joshua, pendapat mereka selalu diartikulasikan oleh tokoh saya. Pembaca cerpen ini bukan hanya harus memiliki daya interpretasi yang kuat untuk memahami bagaimana sebenarnya tokoh Joshua Karabish sebenarnya, tetapi terutama harus memahami tokoh saya sendiri. Lapisan-lapisan ini menjadikan kenyataan sesungguhnya dalam teks menjadi kabur atau malah pembaca bisa berprasangka bahwa kenyataan sesungguhnya yang diharapkan tidak ada jika pembaca berprinsip kenyataan ada dalam dirinya (being itself). Kenyataan dalam cerpen ”Joshua Karabish” adalah masalah sudut pandang dan persepsi siapa yang melihat dan siapa yang mengartikulasikan. Nasib buruk yang menimpa Joshua Karabish atau nasib baik yang menimpa Ny Talis dalam novel Ny Talis (1986) bukan disuarakan oleh siapa pun, kecuali orang yang mengartikulasikannya, yaitu tokoh saya.

Lalu, bagaimana melihat latar kota dalam prosa Budi Darma dengan tokoh-tokoh utama yang memiliki jenis aneh, pahit, kurang ajar, jauh dari norma sosial yang ideal? Dari cara bercerita cerpen ”Joshua Karabish” ini sesungguhnya seorang pembaca dapat mengetahui tipe sosial yang menjadi latar cerpen ini. Cara bercerita dengan menggunakan pengakuan tokoh saya ini tidak harus dipahami masalah representasi bahwa realitas tidak ada yang objektif namun subjektif. Pengakuan tokoh ”saya” justru tepat untuk memasuki wilayah tipe sosial dari kota yang memang kehidupan sosialnya selalu mengandaikan keberjarakan antarpenghuninya. Keberjarakan ini sebagai konsekuensi hubungan manusia kota tidak ditentukan oleh nilai-nilai tradisional yang secara melekat diterimanya, melainkan hubungan ini ditentukan oleh berbagai determinasi ekonomi-sosial-politik yang melingkupinya. Tokoh Joshua Karabish adalah sosok khas yang berada dalam lingkungan kota. Mula- mula ia tamat di sebuah kampus dengan gelar diploma kemudian bekerja menjadi penyapu kamar di sebuah rumah sakit. Setelah keuangan kakaknya membaik, ia mendapat bantuan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indiana, Bloomington, dengan harapan ketika ia lulus ia dapat memilih pekerjaan yang lebih disukainya. Di Bloomington inilah kemudian Joshua Karabish bertemu dengan tokoh saya. Pertemuan ini pun bukan terjadi begitu saja tanpa alasan sosial tertentu. Tokoh saya mengisahkan pertemuannya dengan Joshua Karabish lewat acara pembacaan sajak. Joshua Karabish menuturkan bagaimana ia tertarik dengan tokoh saya di acara itu ketika tokoh saya mengatakan bahwa ia bukanlah penyair hebat dan karena itu ia hanya bisa membaca sajak karya Yeats.

Simpati Joshua Karabish tercurah kepada tokoh saya dan justru bukan kepada teman-teman seapartemen Joshua sendiri yang menyukai musik cadas, bermain bola dalam apartemen, dan berteriak-teriak setiap kali mengikuti pertandingan olahraga melalui televisi, cukup menjelaskan bagaimana pilihan sosial tokoh Joshua. Demikian juga sebaliknya simpati tokoh saya terhadap Joshua. Keterbatasan ekonomi di satu sisi telah memberi sejenis dorongan sosial tertentu untuk memilih siapa saja yang tepat untuk menjadi anggota kelompok sosialnya. Jika dilihat dari sudut kelompok sosial ini, maka terang kenapa tokoh saya bersahabat dengan tokoh Joshua dan bukan dengan yang lain. Bahwa timbul balas dendam pada diri tokoh saya dengan mengklaim bahwa sajak karya Joshua Karabish sebagai karyanya dalam lomba penulisan sajak, ini menjelaskan bagaimana konflik dalam kelompok sosialnya bukan antarkelompok sosial. Alih-alih dilihat sejenis individu yang independen, yang terwujud justru ambivalensi yang terus-menerus merundung manusia kota. Manusia yang menginginkan privasi yang sempurna, tetapi sebagai makhluk sosial mau tak mau tokoh saya membutuhkan tokoh Joshua. Pun saat tokoh saya tidak sampai hati mengusirnya ketika tokoh Joshua menginap di apartemennya, mempersilakan tokoh Joshua bersamanya menyewa satu kamar, sampai tokoh saya mengetahui Joshua mengidap penyakit aneh, dapat dilihat sebagai ambivalensi pada tokoh saya antara kebutuhannya akan privasi di satu sisi dengan kebutuhannya akan sosialisasi.

Kegagalan dalam berkomunikasi yang dengan jelas diakui Budi Darma sebagai tema yang terus-menerus mengobsesi dirinya sepanjang masa kepengarangannya (1980) dapat kita baca bukan saja dalam cerpen ”Joshua Karabish”, tetapi hampir seluruh karyanya hingga saat ini. Tema kegagalan dalam berkomunikasi ini tak lain dari masalah sosial khususnya masyarakat kota. Masyarakat kota dengan strukturnya yang ketat dari kaitan ekonomi-sosial-politik memosisikan individu sebagai objek-objek yang dependen. Objek-objek yang berusaha keluar dari kungkungan materialisasi struktur, tetapi selalu gagal menjadi subjek yang mandiri dan bebas. Alih-alih mengendalikan infrastruktur, individu-individu di dalam kota tidak lebih pelengkap dari infrastruktur. Dalam keterengah-engahan menghadapi struktur yang mematerialisasi inilah salah satunya berakibat munculnya kegagalan dalam berkomunikasi masyarakat kota.

Kegagalan komunikasi berikut implikasinya berupa tipe psikologis tertentu dari manusia kota bukan masalah yang tepat jika dilihat sekadar masalah psikologi perseorangan, melainkan masalah struktur di mana seseorang berada. Terlebih struktur tersebut adalah kota, maka pemahaman yang telah menjadi baku mengenai unit analisis individu dalam psikologi arus utama mestilah dipertanyakan ulang. Dalam psikologi arus utama, perilaku menyimpang dari norma sosial masyarakatnya didefinisikan sebagai sebuah kekeliruan dalam diri si individu itu sendiri dan untuk mengubahnya diperlukan terapi dari si individu tersebut belaka. Sementara itu, tidak dipertanyakan bagaimana norma sosial yang dijadikan acuan untuk menilai perilaku individu tersebut menyimpang atau tidak mengalami tahap objektivikasi dan selanjutnya internalisasi dalam kesadaran individu-individu penghuni komunitas sosial tertentu.

Dalam pandangan psikologi kritis individu tidak relevan lagi dijadikan variabel bebas sebab ia berada dalam ranah sosial-ekonomi-politik yang sarat politis dan sifatnya memaksa individu-individu di dalamnya. Individu berada dalam determinasi struktur yang melingkunginya. Memang individu dapat dipandang sebagai agen yang mampu membuat tawar-menawar terhadap struktur yang determinis, tetapi seringkali masih bersifat spekulasi teoritis. Karena itu, dalam membaca karya-karya Budi Darma berkenaan dengan ”perilaku menyimpang” tokoh saya dalam cerpen ”Orez”, tokoh tiga perempuan tua dalam cerpen ”Lelaki Tua Tanpa Nama”, tokoh Olenka dalam novel Olenka (1983), kemudian tokoh Rafilus dalam novel Rafilus (1988), bukan masalah tokoh itu seorang diri tetapi masalah kompleksitas struktur di mana tokoh-tokoh tersebut berada, yaitu kota.

*) Penulis cerita pendek dan anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Surabaya.

Minggu, 08 Maret 2009

Darmanto Jatman: Manusia Sudah Disapih Gusti Allah...

Ganug Nugroho Adi, Darmanto Jatman
http://www.suaramerdeka.com/

PADA 1990-an penyair Darmanto Jatman menulis sajak yang menggagas Indonesia sebagai sebuah perusahaan, Patriotisme Kromo. Hampir 10 tahun kemudian, sajak itu memperoleh SEA Write Award (Penghargaan Sastra Asia Tenggara).

Seperti sajak-sajaknya yang lain, "demokratisasi bahasa" begitu kental dalam Patriotisme Kromo. Ya, demokratisasi. Barangkali itu sebagai kata ganti untuk menyebut keberanian Darmanto dalam memasukkan keberagaman kata, bahasa, juga nama-nama dari Jawa, Indonesia, Inggris, Cina, dan juga Belanda dalam puisinya.

Alhasil, lewat sajak-sajaknya, "penyair bangsat" ini seakan menciptakan dunia baru dengan para "warga negara" yang datang dari berbagai budaya, status sosial, dan intelektual. Dari juragan sampai batur, dari direktur sampai tukang potong rumput. Dan dalam dunia ciptaannya, "penyair kribo" itu membuat para penghuni bisa menciptakan harmonisasi, saling melengkapi, utuh, dan akur.

"Bagaimanapun, demokratisasi itu tidak bisa dihalangi," katanya suatu malam di rumahnya Jl Menoreh Raya.

Kini, tepatnya 16 Agustus lalu, Darmanto 60 tahun. Dan lewat sebuah sajaknya, ia jujur, "bahwa sekarang aku merasa tua". Ia memandang pohon-pohon berdaun, dan bertanya-tanya, "Kramaleya jadi admiral, kenapa bukan Blakasuta?"

Know they limitation, suffered thou not! katanya.

Lalu, penulis sajak Golf untuk Rakyat itu pun bercerita banyak tentang sastra, budaya, dan penghargaan itu. Juga tentang rencananya yang akan menggelar orasi budaya Ora Ngeli, Keli dan peluncuran buku kumpulan puisinya, 23 Agustus mendatang. Berikut ini perbincangannya dengan Suara Merdeka dalam beberapa kali pertemuan.

Soal Patriotis Kromo yang memperoleh SEA Write Award, itu bagaimana ceritanya?

Itu kan sebenarnya puisi Bilung. Karena yang kita hadapi Kurawa, maka saya memakai Bilung sebagai corong. Tokoh Bilung itu senangnya ya nglulu, nyolu. Berbeda dari Semar yang nasihat-nasihatnya bijak dan mengarahkan. Tapi Semar hanya untuk Pandawa.

Artinya, Anda tidak serius ketika menggagas Indonesia sebaiknya menjadi sebuah perusahaan lewat sajak itu?

Sangat serius. Negeri ini kan sebenarnya mengalami proses kulturan yang sangat kuat. Mulai masyarakat plural menuju agraris dan kemudian masyarakat industri. Nah, sebagai sebuah negara, Indonesia ini kan sebenarnya memiliki akses yang banyak dijual. Ada Rendra, Habibie...

Bagaimana dengan etika-etika politik, apakah tidak bertentangan dengan konsep negara sebagai perusahaan?

Perubahan kultural, dari masyarakat plural sampai akhirnya masyarakat industri, sudah begitu cepat. Bilung yang sekarang sudah berbeda jauh dari Bilung yang dulu. Gampangnya, globalisasi kapitalisme sudah tak bisa lagi dihentikan.

Lihatlah, kini bisnis sudah memasuki semua lini kehidupan. Bahkan di ruang yang paling sempit pun, seperti tingkat kampung, dusun, RT, dan RW. Contoh konkret, sekarang remaja Gunungpati -daerah yang beberapa tahun lalu masih terpencil dan sulit dijangkau- sudah mengenal celana jins, anak-anak ber-play station, nyetel VCD Batman, baca komik Dragon Ball. Sekarang bahkan sudah ada universitas di sana.

Dari aspek seni-budaya, Ki Narto Sabdho menciptakan gending Modernisasi Desa yang ngepop, atau lakon carangan Srikandi Ngedan. Itu entertainment, salah satu ciri perubahan masyarakat agraris menuju masyarakat urban.

Zastrouw Ngatawi (bekas asisten Gus Dur) malah pernah cerita pada saya, kini pesantren-pesantren juga mulai berbisnis. Para santrinya menjadikan pondok pesantren sebagai home industry, membuat kitab suci, tasbih, dan peci untuk dijual. Para ustadz ramai-ramai memasang tarif untuk khotbah.

Pengamat politik, anggota Dewan, pejabat pemerintah juga setali tiga uang. Bupati anu, misalnya, harus dibayar sekian juta untuk meresmikan sebuah pabrik atau peletakan batu pertama sebuah proyek.

Di perkotaan, globalisasi makin gila-gilaan. Bukan lagi sebatas perkara kafe dan bioskop, tapi sudah sampai pada teve, koran, dan internet. Pintu bagi arus informasi, baik sosial, budaya, makin lengkap, dan itu tak bia dihentikan.

Jadi?

Ya, kenapa semua pemasukan itu tidak dikelola saja. Keuntungannya dibagi untuk rakyat, bukan masuk kantong pribadi.

Baiklah. Sekarang demokratisasi yang tidak bisa dihalangi itu bagaimana?

Demokratisasi kan sebenarnya memiliki sub-sub. Pertama sekularisasi. Ini sungguh tak bisa dielakkan. Manusia itu sudah dewasa, sudah disapih Gusti Allah.

Sudah bukan zamannya orang muslim dan Nasrani udrek-udrekan. Ucapan assalamu'alikum, amitabba, atau salam sejahtera sebenarnya bisa diucapkan oleh dan untuk siapa saja. Itu kan hanya persoalan tubuh, bukan hati. Tapi toh masih ada orang-orang yang mencoba membatasi.

Sub kedua?

Reformasi. Ini jangan diartikan sebatas suksesi kepemimpinan seperti yang terjadi pada Mei 1998. Itu hanya contoh kecil, cuma salah satu bentuk fisik. Reformasi tidak otomatis terjadi dengan pergantian kekuasaan. Sebaliknya, esensi yang penting. Antara Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Reformasi yang seperti sekarang tidak akan ada bedanya jika esensi dari masing-masing orde itu sama.

Bisa berikan contoh?

Dalam lingkungan yang sempit, keluarga, misalnya. Karena saya dari keluarga ningrat Jawa, paham patriarki sangat berlaku di rumah ini. Dulu anak, istri semuanya harus patuh dan segaris dengan saya. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Suatu kali, seorang ayah harus ngalah dan manut pada istri atau anak.

Contoh kecil, Abi (Abigael Wohing Ati, putri Darmanto-Red) akan memakai mobil untuk les. Padahal saya, ayahnya, juga akan memakai mobil itu. Namun karena dari sisi kepentingan si Abi lebih memerlukan, ya akhirnya saya ngalah. Paham patriarki luluh.

Dalam tataran yang lebih luas, bernegara, misalnya?

Selama ini, dalam tiga orde, negara itu kan selalu ingin menang sendiri. Tidak mau kalah dengan wong cilik. Konsep negara yang ngemong dan melayani tidak muncul sama sekali. Jadi, kalau sekarang disebut sebagai era reformasi, bagian mana sebenarnya yang sudah direformasi?

Kembali ke soal demokratisasi, konon proses demokrasi itu juga akan menimbulkan banyak problem...

Memang, demokratisasi bukan berarti tanpa masalah. Terutama mereka yang memegang paham-paham lama, orang-orang konservatif.

Ada jalan keluar?

Ada baiknya setiap kali menghadpi perubahan kita bersikap rila lamun kelangan nora gegetun (rela kehilangan tapi tidak menyesal). Kita mesti bersikap seperti itu terhadap budaya dan wacana agung. Tradisi itu pasti akan digerus perubahan zaman. So, kalau tradisi itu memang harus ilang ya tidak apa-apa. Relakan saja.

Tapi bukankah kita juga perlu nguri-uri tradisi?

Nguri-uri itu kan tidak selamanya menelan mentah-mentah. Kita ambil ajarannya, bukan fisiknya. Seperti sewiji, greget, sengguh ora mingkuh... itu falsafah Jawa yang hebat. Kalau itu dipadukan dengan ajaran raja-raja Jawa, serat wulangreh, wedhatama atau centhini akan lebih hebat. Itu sebenarnya yang perlu diuri-uri, bukan malah ramai-ramai mendirikan joglo, gapura... itu kan hanya simbol, fisik.

Apakah itu yang Anda maksud dengan "ora ngeli, keli"?

Kalimat itu kan sebenarnya kan memiliki banyak tafsir, tergantung bagaimana cengkok orang ketika membacanya. Tapi, maksudnya kira-kira di zaman yang arusnya deras ini, kita mengalir saja. Seperti tokoh Bilung, tidak menentang, tapi menggelicir.

Seperti orang bermain selancar?

Ha..ha.. boleh juga.

Sekarang tentang puisi Anda yang memperoleh SEA Write Award itu. Respons Anda bagaimana?

Bagi saya, yang penting sebenarnya bukan SEA Write Award-nya, tapi justru peran Pusat Bahasa, lembaga yang merekomendasikan puisi saya ke penghargaan itu. Untuk saya, itu yang penting.

Kenapa?

Saya pernah diundang ke berbagai diskusi dan kongres bahasa, termasuk Pusat Bahasa, untuk berbicara tentang penggunaan bahasa yang campur-baur. Di banyak tempat, banyak yang menolak diksi yang saya gunakan itu. Alasannya, pilihan kata yang saya gunakan bisa merusak tata bahasa. Ee.. tiba-tiba kok saya malah dapat penghargaan.

Hebatnya, Sapardi Djoko Damono (penyair dan guru besar Fakultas Sastra UI-Red) yang menjadi ketua dewan juri di Pusat Bahasa malah bilang penggunaan bahasa yang macam-macam dalam puisi saya itu bisa dipertanggungjawabkan, karena memang tidak ada cara atau ekspresi lain.

Untuk SEA Write Award, itu bukan surprise. Penghargaan itu kan mirip arisan. Yang lain sudah pada dapat, giliran saya pasti akan datang. Itu saja.

Anda pernah bilang, masyarakat kini malas "mengurus puisi". Tapi sekarang puisi Anda dapat penghargaan...

Ya, saya pernah mengatakan itu. Tapi itu zaman PKI dulu. Sekarang pemerintah dan masyarakat mulai berubah, meski masih ada satu-dua pelarangan penyair baca puisi.

Satu syair puisi Anda berbunyi, "bahwa sekarang saya merasa tua". Apakah Anda tetap memiliki kegelisahan di usia yang sekarang?

Ya. Tapi kegelisahan itu berbeda dari masa-masa dulu. Sekarang saya lebih banyak memikirkan orang-orang sekitar: anak, istri, cucu... Tentang masa depan mereka nanti, atau mereka nanti akan jadi seperti apa... pokoknya hal-hal semacam itu. Bukan lagi kegelisahan untuk diri sendiri.

Saya ingin mandhita saja di Pakem (Yogyakarta) untuk merenung. Itu keinginan saya setelah pensiun nanti.

Kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi, Tak Sempurna, tapi Menawan

Benny Benke
http://www.suaramerdeka.com/

Indonesia tanah air kita/ Bahagia menjadi nestapa/ Indonesia kini tiba-tiba/ Selalu dihina-hina bangsa.// Disana banyak orang lupa/ Dibuai kepentingan/ dunia/ Tempat bertarung merebut kuasa/ Sampai entah kapan akhirnya.

JAKARTA - Petilan sajak ''Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu'' disyairkan dengan nanar oleh KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) diiringi musik minus one yang laras. Ketika petilan sajak yang memarodikan syair tembang "Indonesia Pusaka" itu purna, Idris Sardi dengan penghayatan penuh menggesek biola, membungkus akhir sajak dengan titi nada lagu "Indonesia Pusaka".

Ketika sajak keenam dalam Pergelaran Satu Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang yang menyandingkan Gus Mus dan Idris Sardi usai, 350-an penonton di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (22/3) malam, memberikan aplaus meriah.

Gus Dur dan sang istri Shinta Nuriyah serta Yenni Wahid dan Inayah Wulandari tampak terlihat paling bersemangat memberikan aplaus. Hadir pula Quraish Shihab, Salahudin Wahid (Gus Sholah), Rizal Ramli, Achmad Bagja, Sutardji Calzoum Bachri, dan Piyu Padi.

Meski sebenarnya tak ada yang istimewa benar dengan cara pembawaan dan penghayatan Gus Mus saat melantunkan sajak-sajaknya, spontanitas "penyair balsem" itu ketika berdialog dengan Ratih Sanggarwati di atas panggung menjadi hiburan tersendiri.

''Gus, saya belum mempersilakan Anda naik ke pangggung,'' tegur Ratih Sang kepada Gus Mus yang nyelonong ke panggung.

''Saya ingin mendengar Mas Idris main,'' jawab Gus Mus. Jawaban spontan Gus Mus itu disambut gelak tawa hadirin.

Idris Sardi yang hendak mendapat giliran memainkan biola secara solo pun tersenyum. Namun karena kesalahan teknis, permainan biola Idris Sardi batal. ''Kesalahan teknis. Nanti saja mainnya,'' ujar Idris.

''Baik, kalau begitu giliran saya saja, tak pernah salah teknis,'' ujar Gus Mus cepat.

Ya, kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi tentu berbeda dari kerja sama antara "Presiden Penyair" Sutardji Calzoum Bachri dan musikus blues. Sutardji mampu menyatukan puisi dengan musik. Bahkan bahasa tubuh Sutardji pun sudah blues. Begitu pula keapikan cara WS Rendra mendeklamasikan sajak diiringi musik barok Kantata Takwa.

Dalam kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi, sajak dan biola cenderung berjalan dalam aras masing-masing, tak menyatu. Kemahiran sang maestro Idris Sardi memerikan nada-nada menyayat, nglangut, dan perih memang tak terbantah. Namun untuk menyatu dengan syair-syair Gus Mus masih perlu proses dialog lebih intens.

Gus Mus, dibantu Ratih Sang dan Fatin yang membacakan Sajak Atas Nama, Dalam Kereta, Hanien, Pencuri, Cintamu, Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu, Gelap Berlapis-Lapis, Kaum Beragama Negeri Ini, Ada Apa Dengan Kalian, Aku Tidak Bisa Lagi Menyanyi, Nasehat Kematian, dan tujuh sajak lain nyaris menggunakan intonasi, birama, dan penghayatan setipe serta datar.

Kemampuan sebagai deklamator sebagaimana Rendra dan Sutardji menghantarkan sajak sehingga dramatis, berisi, dan bernyawa sehingga menghipnotis penikmat tak muncul dalam kolaborasi Gus Mus dan Idris Sardi. Namun bukan Gus Mus jika tak menawan hati.

Kejujuran dalam sajak-sajaknya serta spontanitasnya menjadi nilai tersendiri yang menghibur hati. Sajak Gus Mus, meminjam istilah Mohammad Sobari, yang memberikan orasi budaya pada awal perhelatan, menjadi cermin masyarakat, cermin zaman. Kata-kata dan syair Gus Mus, meski terdengar lemah dan lembut, tetap memengaruhi dan menginspirasi para pendengar.

''Terima kasih atas sedekah waktu Saudara-saudara mendatangi pertunjukan kami. Maafkan jika pertunjukan kami tidak sebagus dan sehebat yang diiklankan,'' ujar Gus Mus ketika pertunjukan usai. Penonton tertawa dan menyambut dengan bahagia.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi