Minggu, 31 Oktober 2010

Sajak Di Bawah Bayang-Bayang Rezim Tiran

Judul Buku : 50% Indonesia Merdeka; kumpulan puisi Heri Latief
Penulis : Heri Latief
Penerbit : Ultimus dan Lembaga Sastra Pembebasan
Terbitan I : Agustus 2008
Tebal Buku : xxii + 86
Peresensi : Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Latar belakang penindasan rezim tiran yang tak kunjung padam di bangsa Indonesia. Kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat, kapitalime tak surut-surut mengeksploitasi sumber daya-sumber daya bumi pertiwi akhirnya membuat rakyat tak berdaya, serta masih banyak lagi problematika yang sedang diderita bangsa Indonesia. Dari persoalan-persoalan tersebut kesadaran Heri Latief terpicu untuk menuangkan suara berontaknya dalam sajak-sajak yang terhimpun dalam buku 50% Merdeka, diterbitkan oleh Ultimus Bandung, Agustus 2008. Suara-suara perih yang dirasakan anak bangsa yang sebagian terwakilkan oleh Heri Latief, nampak jelas sekali dalam sajak-sajak yang ditulisnya.

Hal tersebut mengingatkan saya pada penyair Wiji Thukul yang sampai saat ini masih tidak diketahui keberadaanya. Akibat pergolakan dan perlawan rezim orde baru hingga tumbang yang melahirkan orde reformasi. Wiji Thukul hilang bersama 12 aktivis pro demokrasi lainnya saat itu. Sajak yang masih mengema sampai sekarang yang ditulis oleh wiji Thukul “hanya ada satu kata: Lawan!”. Perlawanan terhadap penindasan tidak akan pernah padam dari orang-orang yang memiliki kesadaran politik kritis. Bahwa ada penindasan yang dilakukan oleh penguasa dengan sewenang-wenang, entah itu penuasa politik, penguasa modal, penguasa wacana, penguasa agama.

Dalam pengantar buku 50 % Merdeka tersebut Eep Saefulloh Fatah mengatakan, bahwa banyak kegagalan orang dalam mengenal Heri Latief karena hanya sekedar menimbang gaya penulisan sajaknya tetapi alpa dalam membaca pesan-pesan tegas yang disampaikannya. Selain itu Eep juga mengutarakan perihal kepenyairan Heri Latief adalah penyair yang memihak hal tersebut didapatkan dari pembacaan atas sikap Heri Latief yang menegaskan pemihakan. Senada dengan Asahan Aidit seorang filolog dalam pengantar setelah Eep mengatakan, puisi-puisi Heri Latief adalah puisi hujatan, dakwaan, gugatan terhadap musuh-musuh rakyat. Yakni yang mebuat rakyat terhimpit, terbodohi, tertindas, akhirnya rakyat tak berdaya. Itulah yang dibela dalam sajak Heri Latief. Mari kita lihat, sebuah ajakan untuk menaikan kesadaran perlawan dalam sajak Heri Latief yang berjudul 50% Merdeka: ….. sedang di bawah banyak urusan penting/korban bencana alam mengigil kedinginan/rakyat perlu kepastian hukum dan keadilan/bukan pameran dukungan terhadap bekas tiran//ayo! mari kita bersama/menganyang keraguan/kita belum merdeka 100% bung!//sirajatega masih berkuasa/maka derita itu dobel bencana (hal.18)

Sangat nampak sekali dengan tegas tanpa mengunakan metafor bahwa sajak di atas mengajak untuk bersikap, karena kemerdekaan belum sepenuhnya didapat atau istilahnya, masih ada penjajahan walaupun di suasana kemerdekaan. Penjajahan itu bukan seperti jaman kolonialisme dahulu, penjahan dilakukan oleh anak bangsa sendiri pada rakyatnya. Penjajah tersebut diwakili oleh penguasa, dapat ditelisik pada ketidak pedulian penguasa pada penderitaan rakyat dengan politiknya tanpa nilai. Padahal sejatinya politik itu adalah mulia untuk mencapai kekuasaan dan kekuasaan untuk mensejahterahkan rakyat kata sosiolog klasik Ibnu Khaldun.

Hari Latif dalam sajak-sajaknya mengajak kita untuk sadar sejarah, bahwa ada kekelaman sejarah di bangsa Indonesia yakni peristiwa G3OS, dapat kita lihat dalam sajak yang berjudul 42 Tahun G30S: …. sejarah kita adalah penindasan/sekalipun dalam ruang mimpi/bermuara pada satu nama/:G30S//adalah kode buat jutaan korban/yang ditindas sampai hari ini/harga nyawa orang indonesia/murah meriah seperti obral besar! (hal.27). Kealpaan pada peristiwa yang menelan jutaan anak bangsa seakan tengelam begitu saja. Seperti kasus-kasus pelanggaran ham yang sampai kini hanya menjadi slogan penguasa dan tak pernah tuntas terjawab. Kasus tanjung priok, penghilangan orang, semanggi, pembunuhan munir, lumpur lapindo, dan lainnya masih memutar-mutar dalam benak luka bangsa Indonesia.

Selain itu, neoliberalisme juga memenjarahkan bangsa ini. Dengan agen-agennya hingga kita seakan mengiyakan satu sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Agen neoliberalismen salah satunya adalah IMF dan Bank Dunia, dalam hal ini juga menjadi persoalan yang di tulis oleh Heri Latif dalam sajaknya yang berjudul Pameran Penindasan: teruslah menetek pada IMF-bank dunia/jangan berzikir atas nama kemiskinan/ jadilah pengemis bermentalitas budak/jagoan ilmu korupsi kampiun dunia tipsani//tak pernah berani mencoba ilmu berdikari/riwayatmu tak seindah zamrud katulistiwa/hancur-lebur dirajah gerombolan maling berdasi (hal.49). Dalam sajak ini mengisyaratkan apa yang pernah dikatakan di ungkap oleh Revrisond Baswir, tentang Mafia Berkeley yakni pejabat atau pemikir yang memihak pada ekonomi neoliberal bukan pada ekonomi kerakyatan. Hingga rakyat menjadi kehilangan keberdayaannya, padahal memberdayakan rakyat untuk mengambil hak-haknya dan berekonomi adalah harus dilakukan oleh pemerintah bukan sebaliknya membela orang asing dan menghisap rakyat kecil.

Itulah suara-suara kritis sajak Heri Latif, tetapi menurut saya ada perbedaan dengan sajak-sajak Wiji Thukul yang kritis. Perbedaannya terletak pada keterlibatan secara langsung dengan rakyat. Saya hanya mengamati pada riwayat biografi Heri Latif dan biografi Whiji Thukul. Jika Wiji Thukul terlibat pada pergolakan 1998, tetapi itu tak nampak pada keterlibatan Hari Latief. Nampaknya Heri Latief ketika menulis sajak, diungkap dari daya bayang dan empati pada rakyat tertindas, sedangkan Wiji Thukul terlibat dan merasakan penindasan itu sendiri hingga dia melawannya dan hilang. Hal tersebut saya telisik dari sajak yang dibuatnya kebanyakn di Belanda tempatnya berada kini. Tetapi bukan soal antara terlibat atau tidak yang menjadi soal adalah pesan atas kesadaran kritis melihat persoalan bangsa ini menjadi lebih penting. Melawan segala penindasan hingga manusia-manusia Indonesia menjadi bebas dan menikmati kemerdekaan 100%.

BAWEAN SENANDUNG DI ATAS AWAN

Judul Buku : Buwun
Pengarang : Mardi Luhung
Jenis Buku : Kumpulan Puisi
Epilog : Beni Setia
Penerbit : PUstaka puJAngga, Februari 2010
Tebal Buku : 66 hlm. 12 x 19 cm
Peresensi : Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Karya-karya besar kerap lahir dari tangan-tangan pengarang yang peka dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tengok saja Gibran, Tagore, Octavio Paz, Albert Camus, setiap kali mereka melakukan suatu perjalanan, dapat dipastikan ada sesuatu yang mengendap dalam pikirannya. Membuncah-ruah menjadi ide bercahaya. Dan bergerak menghasilkan karya.

Peristiwa itu terjadi entah disengaja atau secara alamiah. Yang jelas, sebuah karya kreatif lahir dari fenomena yang telah tersapa. Hal itu ternyata tidak hanya terjadi dalam diri tokoh-tokoh besar kesusastraan dunia, melainkan juga merambah pada pribadi seorang Mardi Luhung. Melalui perjalanannya ke pulau Bawean, lahirlah sebuah karya ekspresif-inspiratif dari tangannya. Karya tersebut diberijudul “Buwun”.

Buwun merupakan sebuah nama klasik dari pulau Bawean, Kecamatan Gresik. Pulau ini juga dapat dikatakan sebagai pulau Hawa. Sebab kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Para pria pulau tersebut banyak yang melancong di luar pulau untuk bekerja.

Hadirnya kumpulan puisi yang berjudul Buwun ini merupakan sebuah isyarah bahwa Merdi mencoba menyuarakan kearifan lokal daerahnya. Yaitu Gresik. Selain itu, Mardi lahan-perlahan seolah meranggeh, memosisikan dirinya pada tangga kemasyhuran. Dalam Buwun diungkapkan cukup banyak realitas yang berkembang di pulau Bawean. Baik dari sisi kultur budaya, sosial kemasyarakatan, dan keadaan daerah. Istilah lokalitas bahasa sangat kentara melingkupi tiap guratan puisinya. Kisahan pulau Bawean yang diungkapkan Mardi penuh imajinasi yang tinggi. Fenomena yang diceritakan tidak sekedar realitas naratif fisual Bawean, namun ada kekuatan terselubung yang menjadikannya multi tafsir. Di samping itu, estetika sajak terbangun dengan eloknya melalui repetisi, asonansi, dan aliterasi bahasa. Inilah amunisi yang diusung Mardi dan mampu menjadi kekuatan dahsyat dalam perang sastra masa kini.

Sajian buku Buwun ini terasa sedikit kurang sedap dinikmati jika itu ditelisik melalui penulisan istilah bahasa lokalnya. Dalam buku ini, istilah-istilah bahasa lokal itu disajikan mengalir begitu saja tanpa adanya penjelasan dalam bentuk bahasa nasional. Entah itu sebagai suatu kesengajaan yang dilakukan pengarang dengan maksug mencapai bias makna atau tidak, yang jelas dalam proses apresiasi terasa mengganggu pemahaman pembaca. Pembaca disibukkan dengan penelisikan artian leksikalnya saja. Sedangkan secara leksikal, artian tersebut belum tercantum makna dan maksudnya. Karya ini terasa seolah-olah hanya diperuntukkan bagi masyarakat lokal Kabupaten Gresik, khususnya Bawean saja. Sebab yang tahu istilah lokalitas bahasa yang dinukilkan hanya mereka yang bernaung dalam satu daerah tersebut. Jika karya ini bermaksud menasionalkan atau menduniakan Bawean, alangkah renyahnya jika diikutsertakan artian istilah-istilah lokalnya. Dan akhirnya, “Meski tak pernah sampai, mereka tetap ingin jadi penyaksi!”. Selamat mengapresiasi dibalik makna tersembunyi.

Studi (Negara) Postkolonial

RISET PENERBITAN BUKU Akan diterbitkan oleh: KalamNusantara@2010
Adi Prasetyo
http://politik.kompasiana.com/

Prolog

Kemerdekaan menggerakan kita dengan janji yang kurang jelas. Negara (Indonesia) membimbing kita pada ujung yang kabur. Tetapi, kemerdekaan dan negara Indonesia telah menjadi candu. Sebuah candu yang menghasilkan revolusi. Padahal, revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna, demikian tulis Goenawan Mohamad [2008].

Mungkin inilah yang menyebabkan dongeng kita tentang tujuan kemerdekaan (bernegara) tak mendekati kenyataan. Padahal, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, tujuan merdeka adalah mengadakan pemerintahan negara guna melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tetapi kenyataannya sebaliknya (kemiskinan, kebodohan, kekacauan dan kekerasan) makin merajalela.

Laporan indeks pembangunan manusia (IPM 2009) menyebut bahwa rangking kita adalah nomor 111 dari 179 negara. Selalu merosot tiap tahun karena kesenjangan melebar, kesehatan menurun, PDB tak berkwalitas dan kartel korup di istana-tangsi tentara dan perpol. Bappenas juga menungkap bahwa tiga agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional [RPJMN 2004-2008] berupa pengentasan kemiskinan, penganguran dan pertumbuhan investasi ”gagal dicapai pemerintah.” Kita baru berhasil menekan tingkat pengangguran per Agustus 2007 sampai 9.11%. Sementara tingkat kemiskinan mencapai mencapai 16.58%. Angka-angka ini menunjukan dengan jelas bahwa problem utama pasca kemerdekaan masih sama dengan pra merdeka.

Mengapa setelah 63 tahun ini masih terjadi? Ada banyak jawaban. Tetapi dari beberapa itu, berdasarkan studi postkolonial, kita dapat merangkumnya menjadi tiga. Pertama, persoalan mental. Setelah sekian tahun kita dijajah secara fisik oleh kolonialis Belanda, yang tersisa adalah mental inlander. Sebuah mental warisan Belanda yang mengembangkan kepatuhan, anti kritis, ikut yang menang, memuja ambtenarisme [pseudo feodalism], menunggu imam mahdi, mempersulit yang mudah, mudah menyerah, bahagia melihat temannya menderita dan sengsara melihat temannya bahagia, membela yang bayar serta birokratis.

Mental ini tumbuh dan berkembang lalu berurat berakar dalam kehidupan kita. Makannya, jiwa wirausaha dan perdagangan kurang berkembang. Yang jadi andalan adalah jiwa pegawai negeri, ambtenar [PNS, pelayan]. Buktinya, berbondong-bondong masyarakat kita melamar jadi PNS tiap tahun. Mereka bahkan rela melakukan KKN demi martabat pegawai yang disandangnya. Setelah menjadi PNS, aparat pegawai kita rela membuat UU yang merugikan bangsa sendiri dengan menyerahkan harta kedaulatannya menjadi milik asing. Produk dan keputusan-keputusan pemerintahan kita pro-asing (pemodal: yang bayar).

Selebihnya—pada wilayah pendidikan—sebagai tempat penempa mental, kita seperti terperangkap pada keinginan menciptakan mesin dan bukan menciptakan manusia bermoral. Sarjana pencari kerja bukan pencipta lapangan pekerjaan. Akibatnya, para sarjana yang kita miliki lebih berorientasi menjadi komprador yang melayani kepentingan-kepentingan pemodal dan majikan asing. Sarjana kita gagal membentuk aliansi strategis dengan mental baja bahwa ’bangsa kami bisa dan mampu.’ Sarjana kita banyak memaki daripada mencari sebab dan memberi solusi. Memang tidak semua, tetapi yang berkuasa dan duduk di pemerintahan hari ini adalah bermayoritas mental demikian.

Atas tradisi di atas itulah, Onghokham [1998] menulis bahwa ’hampir semua kekuasaan kolonial di Indonesia didapat dari kontrak perdagangan yang merugikan, bukan dari invasi dan perang militer yang dahsyat.’ Uang (sogok) dan strategi kuasa atas perdaganganlah yang sering dilakukan oleh kolonial terhadap bangsa ini. Lalu, perilaku kolonial itu dikuatkan oleh elit kita yang bermoral hit-man.

Kedua, tidak terpenuhinya prasyarat kepemimpinan yang ideal. Kepemimpinan di negeri ini jika bukan arena kudeta (militer) maka yang ada adalah pemimpin ritual (keagamaan). Pada pemimpin yang seperti itu, gagasan dan tindakannya tidak mencerminkan kesatuan yang utuh atas visi-misi yang diembannya. Yang menonjol adalah motif-motif kuasa atas kekuasaan, kekayaan dan martabat dilayani.

Kita tidak mendapati pemimpin yang mengharamkan KKN dan anti tahta, harta dan wanita/pria (crank, asketis). Artinya, bagi banyak pemimpin kita, tahta, harta dan wanita/pria adalah tujuan. Makin langgeng tahtanya, makin banyak hartanya, dan makin banyak simpanan wanitanya maka ia merasa makin hebat. Entah hebat buat siapa, selain hebat untuk dirinya. Entah mengapa, pemimpin kita lebih banyak yang berperilaku seperti ini. Entah mengapa pemimpin kita tidak belajar dari keruntuhan kerajaan-kerajaan masa lalu yang pernah hidup di Indonesia. Entah mengapa pemimpin kita suka masuk lubang yang sama dengan para pendahulunya yang mereka kritik sebelum berkuasa. Tentu saja, pemimpin yang seperti ini memiliki arah dan strategi pembangunan yang tidak pas dan memihak kaum miskin. Sebaliknya, arah dan strategi pembangunan mereka hanya ’memuaskan segelintir orang’ dengan mematikan banyak orang. Singkatnya, arah kebijakan kita tak berarah rakyat, strategi kita tanpa strategi yang dahsyat.

Ketiga, negara kita terlalu makmur dan kaya SDA. Dengan luas dan panjang yang sangat besar plus terdiri dari pulau-pulau yang berjuta maka kekayaan SDA kita makin melelapkan penghuninya. Kita memiliki semua SDA yang ada di dunia. Bahwa faktanya sekarang kita tidak memiliki apa-apa, itu soal lain. Tetapi sindrom orang kaya tetap menjadi ’problem utama’ bagi seseorang untuk merdeka. Karena itu negeri ini menjadi miskin di tengah kekayaan yang melimpah. Banyak orang mati di lumbung padi. Banyak orang kecelakaan di jalan beraspal-berlobang di tengah kita sebagai penghasil aspal terbanyak di dunia.

Inilah unholly trinity yang sedang kita jalani. Mental buruk, pemimpin jelek dan kekayaan tak terkelola. Mereka tidak suci tetapi diimani oleh sebagian rakyat kita. Meraka merusak tetapi dipelihara oleh banyak rakyat kita. Mereka menipu rakyat tetapi dipilih saat pemilu dilakukan (kadang berulang). Mereka tak bekerja maksimal tetapi menjadi penguasa. Mereka menjauhkan ucapan dari tindakan tetapi Tuhan menganugerahinya garis tangan yang menentukan.

Karena itu, riwayat kemerdekaan kita tidak pernah lepas dari riwayat kelakuan busuk elitnya. Tetapi ingat bahwa, riwayat kelakuan busuk elitnya tak pernah lepas dari riwayat kelakuan pragmatis rakyat yang memilihnya. Riwayat kelakukan pragmatisme rakyatnya, tak pernah lepas dari riwayat warisan kolonial yang merusak. Riwayat kolonial yang merusak, tak pernah lepas dari riwayat elite kita yang menghamba dan menjadi ’komprador asing.’ Riwayat komprador asing, tak pernah lepas dari riwayat KKN diri dan keluarganya. Meraka menjadi sejarah yang secara geneologis bersumber dari Ken Arok dan Malin Kundang. Pada Ken Arok kita mendapati geneologi kisah menghalalkan segala cara, sedang pada Malin Kundang kita mewarisi sikap amoral.

Singkatnya, kita tak memiliki satu alat pun di tangan untuk mengelola negara (bekas) terjajah menjadi merdeka, mandiri dan modern. Selebihnya, kemerdekaan kita masih dihuni oleh partai politik yang tak terorganisasi dengan baik, diisi dengan birokrasi yang buruk, dijiwai agama pengemis, dilengkapi dengan angkatan bersenjata yang korup dan beraninya melawan warganya sendiri. Dengan kondisi begini, yang subur hanya daya pukau [poetics of power], iklan bualan dan KKN berjamaah.

Jadi, kemerdekaan ini milik siapa? Entah. Jika revolusi ingin seindah dongeng, mestinya menghasilkan kemerdekaan yang diisi oleh jiwa yang punggungnya keras untuk membungkuk, hatinya tangguh untuk melawan (tidak kompromi). Jiwa yang berhidup dalam satunya kata dan perbuatan, serta mengharamkan segalanya kecuali menyejahterakan rakyat dengan seadilnya.

Indonesia: Diskursus Negara Postkolonial

Kita tahu, pada awalnya, terminologi postcolonial mengarah pada indikasi waktu, tempat dan suatu keadaan dari sebuah bangsa yang pernah dijajah. Secara tegas, Oxford English Dictionary [2001] menyatakan bahwa term colony adalah istilah untuk mengidentifikasi negara-negara jajahan Romawi sampai pertengahan abad ke-14. Dalam perkembangan teori-teori kritik, kolonialisme merupakan idiom yang berkonotasi pejoratif. Kolonialisme dipahami sebagai bentuk eksploitasi dan peminggiran oleh kuasa politik dunia Barat terhadap keberadaan identitas kultural (cultural identity) lokal yang heterogen. Yang di maksud cultural identity dalam konteks ini ialah identitas keagamaan, nasionalitas, etnis, ras dan jender.

Selanjutnya, diskursus postkolonial memayungi kemunculan wacana-wacana tanding di kawasan-kawasan yang pernah mengalami kolonialisasi negara-negara Eropa. Perspektif postkolonial menyajikan eksplorasi kritis wacana dalam relasinya dengan isu-isu ras, nasionalitas, subjektivitas, power, subalterns. Pemetaan isu postkolonial ini menggiring wacana kritik postkolonial ke dalam pergulatan identitas kultural lokal yang bersifat politis.

Secara historis-geneologis, ketergantungan rakyat pada negara dapat dilacak pada masa kolonialisme negara-negara kolonialis Eropa terhadap kawasan-kawasan Timur. Kolonialisme berperan besar dalam membentuk mental dan kognisi publik masyarakat kolonial. Sejarah kolonial mencatat bahwa hampir dua pertiga kawasan-kawasan Timur mengalami kolonialisme. Namun pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 negara-negara Timur bangkit melakukan gerakan-gerakan pembebasan. Sayangnya, di awal abad ke-21 negeri-negeri Timur kembali masuk dalam perangkap hegemoni globalisasi dan dominasi kebijakan politik internasional Barat yang menjajah.

Nah, serangkaian penjajajahan ini menghasilkan diskursus postkolonial. Sebuah diskursus yang menghasilkan tengarai problem utama negara postkolonial (pernah dijajah). Pertama, problema kepemimpinan. Dalam konteks Indonesia misalnya, kita mendapati pemimpin yang tidak autentik. Sebab, Presiden Soekarno suka menyelesaikan problem bangsa dengan berpidato yang retoris, lalu Presiden Soeharto dengan senyum yang enigmatis, Presiden Habibi dengan kalimat berapi-api yang taktis, Presiden Abdurahman Wahid dengan guyon dan satiris, Presiden Megawati dengan diam tak berencana maka Presiden SBY hanya dengan pidato dan tebar pesona. Praktis kepemimpinan mereka tanpa team work yang kuat dan tidak berpaku pada UUD-45.[1] Tentu saja, jika masih percaya pada model presiden yang pernah kita punya, niscaya problem bangsa ini tak akan berakhir secepatnya. Karena itu, mari selamatkan bangsa ini dari pesona-pesona presiden di masa lalu dan sekarang yang jelas tak menghasilkan capaian cita-cita bangsa sebagaimana amanat Pancasila dan UUD-45.[2]

Dalam sebuah wawancara serius, Indonesianis terkemuka Benedict ROG Anderson [15/8/07] mengungkapkan bahwa, “yang menghancurkan demokrasi [liberal] bukanlah masyarakat luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara [ABRI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.” Tentara dan Bung Karno tidak melihat demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka. Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan menakut-nakuti kekuasaan mereka.

Makna hipotesa Ben Anderson ada dua. Pertama, tentara dan Bung Karno merupakan aktor utama kehancuran demokrasi. Kedua, tentara dan Bung Karno melihat ”kekuasaan” sebagai sumber utama kehidupan yang tak boleh dibagi apalagi dilepaskan. Bagi keduanya lebih baik menghancurkan demokrasi daripada menghancurkan diri sendiri. Diri di atas negara, diri di atas demokrasi. Negara dan kekuasaan untuk dirinya, bukan dirinya untuk negara.

Bagi keduanya, demokrasi dan kekuasaan bukan sebagi dua hal yang berhubungan. Sebaliknya berhadapan secara diametral. Cara penghadapan ini dapat dipahami karena tentara dan Bung Karno mengidap kepribadian yang disebut inferiority complex. Ini adalah sejenis kepribadian yang tumbuh karena mereka tidak memiliki kekuatan di dalam diri mereka sendiri dikarenakan tekanan dan problem masa lalu. Ketika mereka tidak memiliki kekuatan yang ada dalam dirinya, mereka akan mengontrol segala sesuatu di luar diri mereka. Karena itu, demokrasi yang sesungguhnya bermakna ”teori politik” untuk membagi kekuasaan agar tidak berpusat pada seseorang dianggap sebagai ancaman yang menakutkan sehingga harus dikontrol bahkan dibuang. Oleh tentara diganti dengan ”kudeta merangkak” yang dipimpin Bung Harto, sementara oleh Bung Karno didekrit dengan kembali ke demokrasi terpimpin [Soekarno].

Kedua, munculnya budaya dan pengetahuan mimikri,[3] kebudayaan hibrida dan politik limbo yang melupakan cita-cita besar sebagai hasil galian dari kearifan lokal (keadilan dan kesejahteraan). Padahal, cita-cita ke arah keadilan dan kesejahteraan dapat dimulai dengan pengetahuan tentang cengkraman warisan kolonial yang terus membelenggu [colonial aftermath]. Dengan pendekatan-pendekatan studi postkolonial, kita diharapkan mulai membangkitkan nasionalisme baru, kebangkitan kembali bangsa Indonesia serta penumbuhan harkat dan martabat bangsa. Sambil menyadari bahwa langkah ini adalah langkah tak lazim karena kesadaran kolonial memang tidak dimiliki banyak orang bahkan sering ditindas oleh negaranya sendiri.[4]

Ketiga, membiaknya komprador, pengkhianat dan external patron-client. Sartono Kartodirjo [1997:74] menulis bahwa, ”musuh yang paling ditakuti dan sangat keras pada Belanda saat penjajahan adalah mereka yang [justru] dididik oleh Belanda.” Ini yang membedakannya dengan hasil didikan USA yang sering menjadi ekonom-politisi hit-man. Jika lulusan Belanda masa perjuangan menghasilkan ”anak durhaka” karena perlawanannya pada orang tua angkatnya, sebaliknya lulusan USA lebih memilih bekerjasama bahkan berucap, Amerika adalah tanah air saya yang kedua.

Keempat, mencari solusi bukan mencari sebab. Akar-akar persoalan di negara-negara postkolonial berhasil diidentifikasi dan ditemukan solusinya tetapi tidak dengan menemukan penyebabnya. Hal ini karena mereka menumbuhkan keinginan instan, darwinian dan “dendam.”

Keempat ciri utama problema postkolonial ini menghasilkan: pemerintahan tanpa pembelaan pada rakyat miskin [birokratis], kekayaan tanpa kerja keras [korupsi], perdagangan tanpa moralitas [kolusi], kekuasaan tanpa nurani [nepotisme], pendidikan tanpa karakter [instan], tekhnologi tanpa humanitas [dehumanisasi], peribadatan tanpa pengorbanan [ritualisme], dan agama tanpa subtansi [iklan dan pidato].

Di atas segalanya, diskursus postkolonial kemudian merekomendasikan apa yang disebut dengan pendefinisian kembali boundary (batas) and [common] enemy (musuh bersama). Artinya, jika bangsa Indonesia ingin lepas dari negeri postkolonial maka kita harus melenyapkan Indonesia lama (enemy) dengan membangun Indonesia baru yang lebih bernas dan cerdas serta “berbeda” (boundary) agar cita-cita kita ke arah kemanusiaan dan kesejahteraan yang adil dan beradab segera terwujud. Anda semua berani?[]

Rumusan Masalah

Dari pengantar di atas, kajian Postkolonial di Indonesia ini akan ditinjau dari beberapa bidang seperti aspek kepemimpinan, psikologi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, agama, hukum dan kajian sastra. Bidang-bidang ini dipilih untuk menyingkap tabir Postkolonial telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan warga negara bekas jajahan (Postkolonial). Pokok masalah dalam kajian ini mengacu pada tesis-tesis sebagai berikut:

1. Apa penyebab lekatnya nilai-nilai yang ditinggalkan oleh penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya?
2. Bagaimana proses doktrinasi (hegemoni) nilai itu berlangsung?
3. Dengan cara apa nilai-nilai Postkolonial itu dilanggengkan?
4. Bagaimana strategi pembebasan/pemerdekaan dari pengaruh hegemoni Postkolonial (isme)?

Tema-Tema Pembahasan

Guna melahirkan kajian yang mendalam tentang Postkolonialisme, akan dibahas dengan gambaran tema dan penulis sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Negara Postkolonial
Yudhie Haryono

1. Psikologi Bangsa Postkolonial
Evie Hafiyah

1. Telaah Konflik di Negara Postkolonial
Bambang W. Soeharto

1. Praktik Ekonomi Negara Postkolonial
Sumantri Suwarno

1. Demokrasi dan Praktik Politik Negara Postkolonial
Prasetyo

1. Reformasi Pendidikan Negara Postkolonial
Edhi Subkhan

1. Pembangunan Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara Postkolonial
Andi Muawiayah Ramly

1. Agama dan Kolonialisme
Syaiful Arif

1. Manajemen Pemerintahan Postkolonial
Bahrullah Akbar

1. Sastra dan Dekonstruksi terhadap Postkolonialisme
Azmi faiqoh

1. Pembangunan Hukum Negara Postkolonial
Eggy Sudjana

Manfaat
1. Bagi para mahasiswa dan akademisi buku hasil riset ini berguna sebagai buku induk untuk mendalami kajian postkolonialisme. Selain itu, riset yang bersifat dekonstruktif dan konstruktif ini sangat berguna untuk menginjeksi kesadaran kolektif (sejarah) kaum muda dalam perannya sebagai penerus kepemimpinan Indonesia.
2. Bagi pemerintah, buku ini berguna sebagai kaca benggala dan panduan untuk menyusun kerangka kebijakan negara yang lebih mengutamakan kepentingan warga negara daripada kepentingan asing (neokolonialisme).
3. Bagi para jurnalis, buku ini berguna sebagai data/referensi dalam menyajikan berita tentang penulisan sejarah dan masa depan bangsa.
4. Bagi masyarakat luas, buku ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran diri, kesadaran sejarah dan kesadaran terhadap cita-cita dan masa depan rakyat secara luas.

Waktu Penulisan
Riset ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2010.

Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah riset kepustakaan dan wawancara narasumber.

Pembiayaan
Pembiayaan riset ini dilakukan secara swadaya, baik oleh lembaga maupun oleh para penulis.

Penutup
Demikian draf ini kami susun sebagai panduan penulisan buku. Besar harapan kami, riset ini mendapat dukungan dari awal hingga akhir. Sebab, riset ini merupakan bagian dari ikhtiar untuk memajukan negara Indonesia tercinta. Salam hormat.

[1]Laporan, “Langkah Kuda SBY-Kalla,” Majalah Gatra, No. 50/thnX/30/10/2004

[2]Lihat, “Seribu Sangsi Untuk SBY,” Tempo, Edisi 1-7 November 2007, hal. 10

[3]Menurut Homi K. Bhabha (1949), ilmuwan dan penggangas studi postkolonial India, konsep mimikri diambil dari perilaku binatang yang bermakna kesukaan melindungi dengan merubah diri atau meniru “lainnya.”Mimikri merupakan salah satu bentuk perilaku atau rupa yang pertama kali tumbuh pada sejumlah hewan, khususnya serangga, di mana spesies tersebut menyerupai spesies lain dalam hal perilaku maupun rupa. Biasanya mimikri adalah usaha menyerupai suatu spesies sebagai cara menghindari bahaya, misalnya bila berhadapan dengan predator. Salah satu contohnya adalah lalat bunga, yang banyak dari spesiesnya menyerupai tawon. Istilah ini jangan dikelirukan dengan kamuflase, di mana seseorang bertindak terhadap bahaya dari spesies hewan lain yang mencari mangsa di lingkungan sekitarnya. Pada masyarakat postkolonial, sikap mimikri ditujukan dengan tingginya perasaan iri terhadap penjajah, meniru dan menjiplak dan melanggengkan warisan mereka. Dengan mimikri ini, mereka berharap dapat sederajat dengan mereka, semaju mereka dan seperadaban (civilian) dengan pergaulan mereka.

[4]Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia, Routledge, London, 2006

*) Seorang pemuda desa. Nekad kuliah di Jakarta dan mengadu nasib untuk memperbaiki bangsa melalui tulisan dan gerakan.

Kegundahan Sastra Saut Situmorang

Saut Situmorang
Zamakhsyari Abrar - wartaone
http://sautsitumorang.multiply.com/

Jakarta - Saut Situmorang, nama penyair ini, dalam beberapa tahun belakangan mencuat namanya dalam panggung sastra negeri ini. Lewat kritik-kritiknya yang tajam dan keras, ia menyerang Goenawan Mohamad dan kawan-kawan atas apa yang disebutnya sebagai politik sastra Teater Utan Kayu.

Bersama dengan penyair Wowok Hesti Prabowo, sastrawan yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, pada 29 Juni 1966, ini lalu menerbitkan jurnal Boemipoetra, sebuah jurnal yang terbit dwibulanan, wadah tempat mereka untuk menulis dan mengekspresikan tulisan untuk “menyerang” politik sastra Goenawan cs.

Terkait banyaknya reaksi yang kaget ketika membaca Boemipoetra, Saut menilainya hal itu wajar-wajar saja. Menurut pria berambut gimbal ini, selama pemerintahan Orde Baru, seniman kita memang tidak terbiasa berpolitik dalam kesenian.

Apa dan bagaimana Boemipoetra? Bagaimana tanggapan Saut terhadap pernyataan Goenawan yang beberapa waktu sebelumnya menyebut Boemipoetra tak lebih dari coret-coretan di toilet? Berikut petikan perbincangan WartaOne.com dengan Saut di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (9/7).

WartaOne (WO): Salah satu pemicu berdirinya Boemipoetra adalah karena sakit hati penyair Wowok Hesti Prabowo yang gagal masuk dalam pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 2006?

Saut Situmorang (SS): Seandainya pun itu benar, tak apa-apa toh. Karena kita tahu Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk, itu kan Dewan Kesenian Goenawan Mohammad. Mulai dari ketuanya yang namanya Marco K itu (Marco Kusumawijaya), sampai ke dalam bidang-bidang dalam Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya sastra, di situ ada Ayu Utami, Nukila Amal, dan di situ juga ada yang kusebut antek-antek Goenawan Mohamad atau TUK, Zen Hae. Dan (kelompok Goenawan) itu juga ada di teater dan film.

Jadi Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk itu, semua orang bisa melihat bahwa jelas sekali itu Dewan Kesenian Jakarta versi Teater Utan Kayu. Kita tahu permainan Goenawan Mohamad di Akademi Jakarta mempengaruhi anggota-anggota lain supaya mereka itu terpilih. Dan bukan hanya Wowok saja itu yang ketendang keluar dari pemilihan itu, ada juga Ahmadun Y. Herfanda, dan juga Radhar Panca Dahana.

Jadi kalau misalnya itu dibuat semacam ejekan bahwa Wowok akhirnya memulai jurnal Boemipoetra karena sakit hati itu, ya ndak apa-apa. Itu wajar saja, sebab itu sebuah perlawanan terhadap manipulasi yang terjadi pada pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada periode tersebut. Sebuah perlawanan yang konkret karena melahirkan jurnal Boemipoetra, yang kau tahu efeknya ya, sekarang Boemipoetra sudah terbit sekitar dua tahunlah.

WO: Boemipoetra mencoba menandingi wacana kebudayaan Goenawan Mohamad cs. Goenawan cs menurut saya menguasai wacana kebudayaan Indonesia, misalnya sastra, teater dan agama. Boemipoetra apa yang ditawarkan untuk menandingi mereka? Saya kok melihat Boemipoetra tidak menawarkan apa-apa?

SS: Aku sangat tidak setuju dengan pendapat itu bahwa kami tidak menawarkan apa-apa. Sekarang kita bicarakan apa yang kau bilang dominasi wacana kebudayaan Goenawan. Itu buktinya mana? Kalau Goenawan menguasai wacana teater, maksudnya apa? Kalau hanya sekadar mengerti teater, semua orang mengerti teater, mengerti sastra, semua orang mengerti sastra. Tapi kalau kau bilang menguasai wacana, maksudnya apa pernah dia menulis kritik sastra dan teater? Tidak pernah. Banyak orang seperti kau mengenal Goenawan Mohamad karena ia itu menjadi mitos dari catatan pinggirnya di Tempo. Mayoritas hanya mengenalnya dari catatan pinggirnya tadi. Sebagian besar mereka juga adalam pembaca Tempo, majalah kelas menengah ke atas. Bahasa catatan pinggir itu bahasa kelas menengah. Kalau kau benar-benar mau membahas catatan pinggir, itu enggak ada yang dibicarakan oleh Goenawan. Dia itu cuma bermain-main dalam retorika yang berbudi indah. Silahkan kau baca, tidak ada yang dibicarakan. Ia mengelak membicarakan isu yang merupakan judul dari setiap catatan pinggirnya. Ia bermain-main dalam retorika bahasa yang kosong.

Jadi kalau kau bilang Goenawan Mohamad itu menguasai macam-macam itu, begini aja, silahkan saja Goenawan Mohamad itu diskusi dengan Saut Situmorang dari Boemipoetra, topik apa aja, untuk membuktikan (pernyataan) itu. Karena justru mitos besar yang kosong inilah salah satu tujuan (berdirinya) Boemipoetra. Jadi pembaca itu disadarkan. Sebab kalau kalian baca tulisan, apalagi tulisan seperti Goenawan Mohamad, kalian tidak bisa membaca seperti membaca berita di koran. Karena kita berbicara soal politik retorika. Kebanyakan pembaca kita bacaannya paling-paling majalah Tempo, atau Kompas. Itu tidak cukup. Kalau Anda mau bergerak di dunia baca-membaca, apalagi seperti Goenawan yang dengan sadar mempermainkan retorika, enggak cukup. Bacaan harus lebih canggih lagi man.

WO: Wacana agama, misalnya, kelompok Teater Utan Kayu memiliki Ulil Abshar-Abdalla cs dengan JIL-nya?

SS: Kau salah. Kalau kau melihat komposisi redaksi Boemipoetra, itu macam-macam. Wowok itu orang buruh, saya Marxist, Kusprihyanto Namma itu Islam. Anda boleh ngomong macam-macam tentang Islam dengan Kusprihyanto. JIL itu apa? JIL itu labelnya aja yang Islam. Kalau kau mengerti apa yang disebut dengan Islam liberal, kau akan kaget bahwa itu adalah sebuah proyek besar disebut orientalisme, terutama oleh Amerika Serikat untuk mengacaukan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Bernard Lewis dan lain-lain, orang yang mengaku Islam tapi menghina Islam. Jadi kalau berbicara JIL, Anda tak bisa melihat apa yang mereka omongkan. Anda harus tahu mereka berasal dari mana. Nah bacalah (buku) Edwar W. Said (Orientalisme), Anda akan tahu apa itu Islam liberal.

WO: Bukankah gejala kelompok seperti ini bukan gejala baru dalam sastra Indonesia. Di luar juga seperti itu?

SS: Ya, makanya. Itulah harus ada counter. Jadi kenapa ada Boemipoetra, seolah-olah dianggap anomali, aneh. Karena orang kita itu selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, selama itu berkuasa Horison-Manikebu. Orang Indonesia itu sudah terlalu biasa untuk tidak berpolitik dalam kesenian. Jadi kalau melihat munculnya fenomena Boemipoetra yang menentang Goenawan Mohamad dengan Teater Utan Kayunya dalam perspektif sastra secara luas, bukan hanya karya ya, baik politik karya, politik kanonisasi sastra, informasi tentang sastra di dalam maupun luar negeri, orang pada kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya (dalam sejarah sastra Indonesia). Banyak sekali polemik-polemik STA (Sutan Takdir Alisyahbana) dengan lawan-lawannya termasuk yang terakhir itu perdebatan sastra kontekstual, itu hanya membicarakan karya. Belum membicarakan sebuah isu. Sosiologi sastra, politik sastra, bukan semacam itu.

Nah ini sesuatu hal yang baru yang dibawa oleh jurnal Boemipoetra. Kalau Anda ingin tahu tentang perspektif yang lebih luas tentang perlawanan Boemipoetra terhadap Goenawan Mohamad dan TUKnya, saya baru menerbitkan kumpulan esei saya judulnya Politik Sastra.

Dalam buku itu, jelas sekali yang kami tawarkan, sesuatu yang selama ini dikoar-koarkan oleh GM yaitu pluralisme. Baik pluralisme dalam berpikir, pluralisme dalam berkarya. Mereka kan tidak. Lihat saja seleksi pengarang. Yang mereka undang, yang sama gaya menulisnya dengan mereka. Pernahkah mereka mengundang dalam acara bienale sastra itu pengarang Islam seperti Helvy Tiana Rosa? Atau pengarang yang mewakili suara buruh. Banyak sekali kan. Tidak hanya Wowok. Pernah gak? Kan enggak. Tapi yang diundang hanya pengarang-pengarang yang mengangkat cerita seks, sesuatu yang abstrak yang tidak ada dalam persoalan kehidupan sehari-hari. Berarti mereka itu menyeragamkan topik, menyeragamkan style of writing. Di sisi lain mereka berkoar-koar soal pluralisme dan macam-macam. Mereka tidak plural sama sekali. Mereka antipluralisme. Seperti Jaringan Islam Liberal. Kenapa rupanya kalau ada FPI (Front Pembela Islam), dan kelompok fundamentalis? Anda kan plural, Anda kan liberal, liberal itu kan plural. Siapa aja silahkan, atheis juga silahkan. Tapi kan tidak.

WO: Jadi yang diomongkan tak sesuai dengan perbuatan?

SS: Terbukti kan? Anda yang berseberangan ide, ideologi, style dengan mereka, dikucilkan. Buktinya Boemipoetra tidak setuju dengan mereka. Harus terima dong, kan mereka plural. Kalau mereka hanya menerima orang yang setuju dengan mereka, itu bukan plural. Itu seragam. Itu fasis namanya.

WO: Yang menonjol dari jurnal Boemipoetra adalah bencinya itu?

SS: Ya, kita harus benci waktu kita melawan sesuatu, bukan sayang, karena kalau sayang itu kan munafik. Kita benci dengan segala sesuatu yang mereka presentasikan. Seperti yang saya bilang tadi. Di Islam itu ada JIL, di sastra itu ada TUK, di dunia kesenian mereka itu ada Salihara. Ya, kita benci itu karena (mereka) tidak konsisten. Itulah politik kesenian.

Jadi pretensi orang selama ini bahaslah karya. Coba kita lihat. Selama ada sastra Indonesia, tidak ada kritik sastra. Coba sekarang bahas karya, GM tidak mampu. Apalagi Sitok (Srengenge), Nirwan Dewanto, tidak mampu apa-apa itu. Jadi mereka itu berpolitik sastra. Semuanya itu berpolitik sastra.

WO: Saya pernah mewawancarai Sapardi Djoko Damono terkait tidak adanya kritik sastra seperti yang dikeluhkan oleh Bang Saut. Menurut Sapardi, hal itu tidak benar. Banyak kritik sastra diproduksi dalam bentuk tesis dan disertasi.

SS: Itu tugas kuliah, bukan kritik sastra. Hahaha… Kalau benar kritik sastra, mereka kritikus dong yang menulisnya. Tapi gak kan? Itu tugas supaya dapat gelar sarjana. Beda. Kritik sastra itu sebuah profesi, seperti kau wartawan, tukang becak dan tukang bajaj. Kalau profesi itu ada karir, mulai dari bawah. Kritik sastra itu karir. Dan Sapardi juga bukan kritikus sastra. Dia gak ngerti apa-apa. Sapardi gak bisa bahas karya, baca aja semua kumpulan tulisan dia. Gak ada. (Tulisan) dia itu seperti opini Kompas aja. Opini itu lain, itu bukan kritik. Kritik itu kau menganalisis sesuatu, kau punya sebuah hipotesis, lalu kau buktikan. Kau bahas. Tidak bisa sekadar, oh temanya begini, tokohnya begini, dan mereka berantem. Itu namanya menceritakan kembali. Mengkritik bukan menceritakan kembali, tapi menganalisis cerita yang kau ceritakan kembali.

WO: Jadi problemnya sumber daya manusia?

SS: Sumber daya manusia kita sangat parah. terutama di dunia seni. tidak ada kritikus seni, baik teater, sastra. Tidak ada itu. tapi memang ini berangkat dari pendidikan yang anjlok itu. Kau lihat misalnya. Berani tidak mahasiswa mendebat dosennya di kelas? Pasti habis dia. Ini persoalannya di sini, kita memang diadakan untuk tidak kritis, kalau sistem pendidikan seperti ini di mana debat antara mahasiswa dan dosen, murid dan gurunya tidak diperbolehkan sama sekali, bagaimana akan ada kritik seni atau kritik kebudayaan? Itu awalnya, pendidikan kita diciptakan oleh Soeharto seperti itu untuk menurut. Siswa kerjanya sekolah, sks, lulus, mudah-mudahan dapat kerjaan, kemudian kawin mati.

WO: Saya sepakat dengan hal itu.

SS: Ya, gak akan mungkin ada satu elemen dari kebudayaan yang anjlok aja. Ini semua, struktural. Jadi kalau misal ada kerusakan ekonomi, di dunia politik partai, gak ada di situ aja. Itu gak akan terjadi kalau gak didukung oleh unsur-unsur lain, dalam berpikir, dalam cara orang beragama, bersekolah. Itu mendukung sistem ini.

WO: GM menganggap Boemipoetra cuma coret-coretan di toilet? Tanggapan Anda?

SS: Sama aja. Kami mengggap semua tulisannya juga cuma coret-coretan toilet di terminal bis umum. Gak apa-apa. Tapi persoalannya ketika dia ngomong begitu, apa pernah dia buktikan? Apa pernah dia kasih alasan? Kan gak pernah kan.

WO: Anda pernah menyamakan jurnal Boemipoetra dengan manifesto kaum Dada dan Surealisme Prancis? Apa itu tidak berlebihan?

SS: Lho, sekarang Anda sudah pernah baca manifesto kaum Dada dan Surealisme tersebut? Belum. Kalau belum, sulit saya menjelaskannya. Coba Anda baca manifesto mereka, seperti apa bahasa mereka? Itu majalah kecil juga, mereka juga menyebutnya jurnal. Nanti kalau saya jelaskan, Anda anggap pembelaan lagi.

WO: Jadi konkretnya seperti apa agenda kebudayaan jurnal Boemipoetra?

SS: Pertama pluralisme. Selama ini Utan Kayu mengklaim dirinya pluralis. Nah, kami itu mengkritik itu. Mereka itu sebenarnya antipluralis. Kedua, kita antiideologi Goenawan cs bahwa seks adalah satu-satunya standar estetika kesenian Indonesia. Orang kan bisa menulis tentang Islam, makanan, kan gak apa-apa dong. Mengapa harus seks yang dianggap paling hot? Semua oke, persoalannya bagaimana kau menuliskannya. Dan ketiga, kita antifunding asing. Kalau mereka sudah masuk, kacau dunia kesenian. Contohnya ya Teater Utan Kayu itu. (mak/mak)

Diambil dari situs: http://www.wartaone.com/articles/13125/1/Kegundahan-Sastra-Saut-Situmorang/Halaman1.html

Blasteran di Mata Pribumi: dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya HAMKA

Wahyudi Akmaliah Muhammad
http://sosbud.kompasiana.com/

I
Sungguh tidak mengenakkan menjadi bangsa yang setengah (baca: blasteran). Di negeri asal ia tak dikenal, di negeri tempat di mana ia tinggal tak diterima. Lebih menyedihkan, perihal dan lakunya yang sekiranya cukup berperan dalam kemajuan negeri, tidak pernah tercatat dalam lintasan sejarah. Begitulah kira-kira gambaran realitas yang terjadi terhadap orang-orang yang terlahir sebagai blasteran, sebuah percampuran darah melalui orangtua yang berbeda bangsa. Sebuah sejarah yang masih menyisakan pertanyaan, satu kisah yang kerap memerlukan eksplorasi lebih mendalam. Sehingga stereotip yang selama ini muncul, tidak hanya bisa diminimalisir, melainkan “dipadamkan”. (Joostr Cote dan Loes Westerbeck: 2004)

Narasi reflektif inilah yang sekiranya terangkum dalam Recalling Indis, sebuah buku yang membuka ruang kembali penulisan sejarah orang-orang blasteran yang selama ini terpinggirkan, yang tidak pernah termaktub dalam sejarah dominan, yang selama ini berkembang dalam ingatan masyarakat suatu bangsa.

Adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA (selanjutnya disingkat dengan TKV), yang serupa dengan sejarah narasi di atas mengenai terpinggirnya orang blasteran. TKV adalah sebuah karya roman yang apik dan menarik dengan bungkusan sastra yang indah, meski bernada satir, mengenai perjuangan seorang muda rantau yang bernama Zainuddin. Orang muda yang kembali ke kampung halaman di mana ayahnya lahir dan dibesarkan di tanah Minangkabau, dan melakukan upaya identifikasi diri untuk menjadi bagian dari Orang Minang. Meski pelbagai usaha telah ia lakukan sebagai upaya peneguhan identitas dirinya sebagai orang Minang, tetapi tetaplah ia menjadi liyan (the other) di mata orang-orang Minang. Sebaik apapun budi pekerti yang dimilikinya, ia tetaplah “anak pisang”, sebuah metapor untuk orang jauh dan bukan asli Minang.

Tulisan ini ingin membaca kembali karya HAMKA, dengan pembacaan yang tak sekedar menguak narasi percintaan antara Zainuddin dengan Hayati, yang selama ini kerap dibicarakan. Melainkan, menelusuri lebih jauh relasi yang terbangun antara tokoh; dalam hal ini adalah antara pribumi dan blasteran, dengan menggunakan pendekatan poskolonial sebagai dasar analisa pembacaan.

II
Posisi Karya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Adalah Henk Maier, yang mengatakan, bahwa hampir seluruh novel yang dterbitkan oleh Balai Pustaka antara tahun 1920-1941 berlatar belakang Minangkabau. Tidak hanya itu, hampir semuanya pula bertemakan konflik antara adat dan modernitas yang direpresentasikan ke dalam persoalan pernikahan (Henk Maier:1999). Ihwal ini pula yang terjadi dalam TKV, yang memiliki kecenderungan semangat yang serupa dengan novel-novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, di mana konflik adat menjadi narasi besar dalam novel TKV.

Hanya saja, yang menjadi pertanyaan besar saya, mengapa novel TKV dan hampir seluruh karya-karya HAMKA tidak diterbitkan dan ataupun mendapatkan tempat dalam Balai Pustaka? Jika alasannya lebih disebabkan karena rendahnya nilai sastra, baik dari segi bahasa maupun isi, yang terkandung dalam karya HAMKA, sehingga karya-karyanya terkesan seperti roman-roman picisan yang berkembang saat itu. Sebagaimana sering diasumsikan oleh pengamat sastra ketika itu. Menurut hemat saya, kurang memadai dan argumentatif jika alasannya karena persoalan di atas. Jika kita menelusuri lebih jauh kualitas dari karya-karya HAMKA, baik dari segi isi, bahasa, dan eksplorasi alur yang dibangunnya. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan bahkan mungkin kualitasnya lebih bagus.

Jika demikian lalu apa yang mendasari karya-karya HAMKA kurang mendapatkan tempat di Balai Pustaka, yang saat itu menjadi lembaga otoritas tunggal untuk menentukan baik-buruknya suatu karya sastra?. Jika ditelisik lebih jauh, perihal tersebut lebih disebabkan oleh alasan politis sebagai upaya marjinalisasi karya-karya HAMKA. Perihal ini dilakukan sebagai bentuk kekhawatiran pihak kolonial Belanda akan benih-benih perlawanan yang terkandung dalam sastra-sastra pribumi yang ada saat itu, termasuk karya-karya HAMKA. Sehingga penyeleksian melalui Balai Pustaka dengan menentukan baik tidaknya suatu karya sastra untuk diterbitkan, menjadi dalih yang tepat untuk melanggengkan hegemoni dan dominasi kolonial Belanda.

HAMKA dalam menuliskan karya-karyanya, kerapkali menggunakan modernitas Islam sebagai media kritik terhadap adat yang kaku dan saklek, khususnya Minangkabau. Perihal ini di satu sisi, secara tidak langsung, HAMKA sebagai penulis telah memberikan kontribusi dukungannya terhadap Belanda, agar masyarakat dan kebudayaan yang dimilikinya (dalam hal ini adalah adat), untuk lebih menerima dan berinteraksi terhadap sesuatu yang datang dari luar. Yang datang dari luar inilah yang memberikan ruang kepada Belanda, untuk memanfaatkan, dengan memasukkan kebijakan kolonialnya yang kerap sewenang-wenang. Sedangkan posisi Balai Pustaka ketika itu menjadi salah satu lembaga di bawah pemerintah kolonial Belanda yang berfungsi sebagai media kontrol untuk menyebarkan pendidikan budaya melalui buku-buku, yang sesuai dengan kebijakan kolonial pada masyarakat Hindia-Belanda. Namun perlu diakui, di sisi lain TKV mengkritik modernitas yang dibawa oleh kolonial Belanda, yang merusak keluhuran adat Minangkabau. Hipotesa inilah yang sekiranya membuat HAMKA dan karya-karyanya sedikit sekali yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Kali awal munculnya TKV pada tahun 1938, di majalah Pedoman Masyarakat, yang dipimpin sendiri oleh HAMKA. Usia HAMKA pada saat itu masih terbilang muda, 31 tahun. Hingga pada tahun 1939 diterbitkan menjadi sebuah buku oleh M. Syarkawi. Karena banyaknya respon yang diberikan oleh masyarakat mengenai karya TKV ini, akhirnya tahun 1949 diterbitkan ulang.

Kemunculan novel ini pada mulanya mendapatkan penentangan dan kritik keras dari para Ulama ketika itu. Penentangan dan kritik ini disebabkan karena ketidaklaziman dan ketidakbiasaan seorang Ulama, dalam hal ini adalah HAMKA, menulis sebuah roman percintaan. Menulis roman, menurut para Ulama yang menentang HAMKA pada masa itu, hanyalah untuk orang yang lebih mengutamakan perihal ke-dunia-an semata, sedangkan seorang Ulama hanyalah menulis persoalan-persoalan yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Namun seiring dengan perkembangan jaman, kritik dan penentangan tersebut lambat laun lapuk dengan sendirinya. Sebagaimana diungkap oleh HAMKA.

Sesungguhnya bagi seseorang golongan agama, mengarang sebuah buku roman adalah menyalahi kebiasaan yang umum dan lazim pada saat itu. Dari kalangan agamawan pada mulanya saya mendapatkan penentangan yang keras. Tetapi setelah 10 tahun berlalu, dengan sendirinya heninglah serangan dan tentangan itu, dan kian lama kian mengertilah orang apa perlunya kesenian, dan keindahan dalam hidup manusia.(hal.5)

Pada tahun 1950-an TKV mulai diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan mengalami cetak ulang yang ketujuh kalinya. Perihal ini memunculkan pertanyaan dalam benak saya, mengapa pada tahun 1950-an baru diterbitkan oleh Balai Pustaka?. Kegelisahan pertanyaan ini yang saya akan urai dalam sub bahasan selanjutnya.

III
Stereotip Wacana Blasteran di Mata Pribumi

Persoalan “keaslian” identitas kerapkali, tanpa disadari atau tidak, memunculkan permasalahan yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Karena dibalik upaya esensialisasi sesuatu yang dianggap “asli”, di dalam dirinya, menaruh benih-benih kekerasan kepada sesuatu yang dianggap tidak asli. Padahal apa yang dianggap ”asli” sendiri merupakan hibriditas dari pelbagai unsur lain, yang kemudian mengental dan mengeras sekian lama, berjalan dengan seiringnya jaman. Salah satu bentuk narasi mengenai keaslian adalah pengunggulan apa yang disebut dengan “diri” (identitas) dan bukan diri. Di sinilah logika demarkasi muncul. Nah! dibalik logika demarkasi diri (self) dan (the other) liyan, adalah ambisi untuk melakukan pengabaian yang dianggap liyan, sesuatu yang bukan dirinya. Pengabaian ini yang merupakan langkah awal tindakan untuk menyemai asumsi penyingkiran, penindasan, permajinalan, dan bahkan upaya untuk melenyapkan.

Jik esensialisasi diri dilakukan dengan meminggirkan liyan, lalu bagaimanakah posisi orang yang diliyankan?. Apakah ia benar-benar tunduk dengan kepasrahannya ataukah ada celah yang membuat ia bisa melawan?. Di sini saya akan mengurai relasi yang terbangun antar tokoh dalam novel TKV ini, dan ingin menunjukkan adanya upaya perlawanan dalam bentuk negosiasi, yang berusaha mengaburkan batas-batas keaslian antar Padang dan bukan Padang melalui tokohnya Zainuddin yang selama ini dianggap liyan.

Novel TKV dibuka dengan deskripsi sebuah latar kondisi suasana Makassar yang beranjak senja dan tenggelam. Sebuah suasana yang secara simbolis mengandung dua makna, antara kerinduan dan kesedihan. Kerinduan seorang anak muda, Zainuddin, kepada negeri asal ayahnya dilahirkan, kesedihan karena ayahnya telah pergi untuk selama-lamanya saat ia mulai beranjak dewasa di tanah rantau, Makassar.

Dalam narasi bab tiga, dikisahkan, Zainuddin memutuskan diri untuk pergi ke Padang, Minangkabau. Sebuah tempat ayahnya pernah dilahirkan dan menetap. Kepergian Zainuddin, selain ingin bertemu dengan keluarga ayahnya, ia juga ingin menuntut ilmu agama dan umum, yang memang, Sumatera pada saat itu dunia lembaga pendidikannya terbilang maju. Namun, betapa kagetnya Zainuddin setelah ia sampai di tanah kelahiran ayahnya. Alih-alih mendapatkan sambutan sebagai anak dari ayah tercinta, yang ia dapatkan malah ejekkan dan makian. Meski direndahkan seperti itu, bukan membuat Zainuddin berputus asa dan balik ke kampung ibunya, Makassar. Ia melakukan pelbagai strategi dan upaya agar dapat menarik simpati orang-orang kampung dan keluarga ayahnya, dengan harapan Zainuddin dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat Minangkabau. Namun usaha yang dilakukan menjadi sia-sia, Zainuddin tetap dianggap sebagai anak pisang, orang pendatang.

Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi, dari sebulan kesebulan, kegembiraan itu hilang. Sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berbeda dengan yang dihadapinya. Dia tidak dapat beroleh hati yang sebagai hati Mak Base: ia tidak mendapatkan perlakuan seperti Mak Base, seorang yang merawat dirinya saat ia di Makassar, tidak mendapatkan kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tidak suka kepadanya, suka juga, tetapi berlainan kulit dan isinya. Jiwanya sendiri mulai merasa, meskipun dia anak orang Minangkabau tulen, dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang bugis, orang Makassar. (hal. 26-27).

Stereotip orang asing yang ditujukan kepada Zainuddin terus berlanjut dalam narasi novel ini, meskipun ia adalah orang yang terdidik, lemah lembut, dan memiliki perangai yang baik. Namun semua itu tidak dapat merubah posisi dirinya sebagai anak pisang, anak orang jauh, yang tidak memiliki kejelasan dan kemurnian asal-usul menurut anggapan masyakarat Minangkabau. Hingga pada suatu saat, Zainuddin berkenalan dengan seorang perempuan yang berasal dari desa Batipuh, sebuah desa di mana Zainuddin tinggal. Perkenalan inilah memunculkan benih-benih cintah antara keduanya. Perkenalan ini juga merupakan awal pembuka dan poin penting untuk mengetahui alur dan narasi munculnya polemik.

Sayangnya, jalinan cinta mereka, lambat laun tercium oleh seluruh masyarakat kampung desa Batipuh. Perihal inilah yang menyulut amarah para pemuda kampung. Karena, menurut mereka, apa yang dilakukan oleh Zainuddin dan Hayati, seperti menjalin cinta dengan surat-menyurat, saling memandang dengan duduk berdua di sawah, adalah menghina adat dan menyalahi kebiasaan kampung. Namun, jika ditelisik lebih jauh, kemarahan pemuda kampung Batipuh ini lebih disebabkan pada sosok Zainuddin sebagai orang yang dianggap dan dikontruksikan asing oleh mereka.

Dari narasi di atas begitu terlihat, kontruksi diri (self) yang dibangun oleh orang-orang Padang dengan adatnya, dalam hal ini adalah masyarakat desa Batipuh, Minangkabau, sebagai etnis yang memiliki adat lembaga yang terhormat dan memiliki kebiasaan yang lebih bernilai jika dibandingkan dengan Zainuddin, sebagai seorang pendatang. Perihal sikap demikian, selain upaya menjaga identitas ke-Padang-an, adalah upaya bentuk kekhawatiran kepada sosok Zainuddin, yang dapat mengancam adat dan tradisi mereka.

Pengagungan kontruksi identitas pada satu sisi adalah merupakan sikap kewajaran, namun pada sisi yang lain bisa terjerumus dalam upaya pe-rendah-an terhadap liyan (yang lain). Dengan bahasa yang vulgar, jika saya boleh membahasakan, narasi di atas berkaitan dengan memandang Zainuddin, adalah “Kami orang Minangkabau adalah orang yang memiliki kebudayaan dan adat yang tinggi, dan tidak bisa dibandingkan kalian, kalian yang tidak memiliki adat dan kebudayaan yang tinggi seperti kami”.

Namun apakah benar semua orang Minangkabau memiliki budaya dan adat yang tinggi, sedangkan orang bukan Minangkabau tidak memiliki budaya dan adat yang tinggi?. Zainuddin orang yang selama ini dianggap asing (other) memandang balik dengan sebuah pertanyaan yang meragukan argumentasi adat dan kebudayaan yang tinggi tersebut, dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak perempuan, dengan maksud baik, maksud hendak kawin, dibusukkan, dipandang hina, tetapi seseorang dengan gelar bangsawannya, dengan titel datuk dan penghulunnya mengawini anak gadis orang berapun ia suka. Kawin di sana, cerai di sini, tinggalkan anak di kampung anu dan cicirkan di kampung ini, tidak tercela, tidak dihinakan. (hal.63)
Seorang anak muda yang datang ke kampung, yang lahir pada perkawinan yang sah, dan ibunya bukan pula keturunan sembarang orang, malah Melayu pilihan dari Bugis, dipandang orang lain. Tetapi hati seorang ayah, yang sedianya turun kepada anaknya, dirampas, dibagi dengan nama adat dan kemenakannya. Kadang-kadang pula pemberian ayah kepada anaknya semasa dia hidup, diperkarakan, dan di dakwah ke muka hakim oleh pihak kemenakan, tidak tercela, bahkan terpandang baik. (hal.64)

Dua paragraf yang saya kutip di atas bukanlah bentuk perlawanan sebagai upaya pembalikkan posisi antara dianggap beradab, berbudaya tinggi, tertanyata tidak beradab dan ataupun berbudaya tinggi, begitu pula sebaliknya. Melainkan sebagai sebuah kesaksian, dan ataupun melemahkan, bahwasanya orang yang dianggap beradab dan memiliki adat yang tinggi, bisa jadi ia adalah orang yang kurang dan bahkan tidak memiliki adat dan keberadaban, sebagaimana diasumsikan selama ini. Namun sebaliknya, orang yang selama ini dianggap asing dan tidak memiliki ke-adab-an, ternyata memiliki keluhuran laku yang baik. Dengan demikian, kesaksian yang diberikan oleh Zainuddin di sini adalah sebagai upaya penetrasi di antara beradab dan tidak beradab, yang berbudaya tinggi dengan tidak berbudaya tinggi. Sebuah usaha untuk meredam pandangan totalitas dan upaya pendamaian keduanya. Ini tercermin dengan kalimat yang diungkapkan oleh Zainuddin selanjutnya.

“Ke dalam masyarakat apakah saya telah terdorong dan kaki saya telah terjermus”, kata Zainuddin dalam hatinya. Timbul kebencian yang sangat di dalam hatinya, tetapi kebencian itu sirnalah sebentar itu juga, bila diingatnya bahwasanya ayahnyta asal dari sana, dan ia pun asal dari sana, meski orang lain tidak mengakui. Lebih lagi, bukankah Hayati dilahirkan dalam kalangan itu?. (hal.64)

Perihal ini kemudian dikuatkan oleh HAMKA dalam alur perjalanan narasi novel ini, dengan tokoh Azis suami Hayati, seorang yang selama ini dianggap memiliki keturunan yang jelas sebagai orang asli Minangkabau dan memiliki pekerjaan yang mapan. Ternyata, Azis hanyalah seorang penjudi, pemabuk, dan orang yang sedang terjerat hutang piutang akibat permainan judi yang dilakukannya. Narasi ini adalah upaya membangun dan menaikkan citra tentang liyan, ke dalam posisi setara dengan orang yang dianggap “asli” Minangkabau. Di sinilah HAMKA sebagai seorang penulis, memiliki kecenderungan untuk melakukan pengaburan antara yang “asli” dan tidak “asli” Minangkabau dengan tokohnya bernama Zainuddin. Dengan harapan agar masyarakat Minangkabau, Padang, lebih terbuka dan mau menerima dengan berinteraksi dengan etnis yang berbeda.

Dampak kolonial juga mendapatkan ruang dalam novel ini. Pengaruh yang muncul akibat kolonialisasi Belanda yang terjadi di Sumatera Barat, khususnya di Padang, adalah dengan makin mengentalnya budaya kapital (materialistik) dalam relasi antar individu, dan mulai bergesernya tradisi berpakaian adat Minangkabau yang mulai cenderung kebarat-baratan, sebagaimana tercermin dalam ungkapan Zainuddin dalam suratnya saat melihat pakaian yang dikenakan oleh Hayati saat mereka bertemu di pacuan kuda, kota Padang.

Hayati!…….apa yang saya lihat kemarin? Mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu? Mana baju kurungmu?, bukankah adinda orang dusun! Saya bukan mencela bentuk pakaian orang kini, yang saya cela adalah cara yang berlebih-lebihan, dibungkus dengan perbuatan “terlalu” dengan nama “mode”. Kemarin adinda memakai baju yang sejarang-jarangnya, hampir separuh dada adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan pakaian itu yang dibawa ke tengah ramai. (hal.88)

Pengaruh modernisasi kolonial ini yang akhirnya membuat Hayati menjadi bimbang dan kemudian berpaling cintanya dari Zainuddin untuk memilih pemuda yang lebih kaya, tampan, dan jelas keturunannya sebagai asli Minangkabau yang bermartabat. Tentu saja, setelah Hayati dipengaruhi oleh Khadijah, adik kandung Azis, saat Hayati berkunjung dan menginap beberapa hari di Kota Padang.
Engkau puji-puji kebaikan Zainuddin, saya memuji pula kebaikannya. Tetapi orang yang demikian di zaman yang sekarang ini tidak dapat dipakai. Kehidupan zaman sekarang berkehendak pada wang dan harta yang cukup. Jika berniaga, perniagaannya maju, jika makan gaji, gajinya cukup. Cinta biar bagaimanapun sucinya, semua bergantung pada wang!. Tutur Khadijah. (hal.94)

IV
Hibriditas Zainuddin dan Imajinasi Tentang Bangsa

Hibriditas adalah sebuah teori yang biasa digunakan dalam pendekatan poskolonial untuk menarasikan sebuah percampuran yang terjadi akibat kolonialisasi antara penjajah dan yang terjajah, yang tidak sekedar sebagai fenomena sejarah melainkan sebuah pertemuan. Sehingga bias permusuhan antara keduanya bisa diminimalisir. Hibriditas inilah yang meruntuhkan dalih mengenai sesuatu yang sering disebut asli (kemurnian). Salah satu bentuk contoh hibriditas adalah dalam bentuk ikatan pernikahan antara Belanda (penjajah) dan pribumi (terjajah), yang akhirnya melahirkan seorang anak indo. Anak inilah yang merupakan bentuk hibriditas, ia berdiri di ruang antara (in between/neither or). Hibriditas bukan hanya karena dipengaruhi oleh ikatan darah pernikahan sehingga terkesan lebih bersifat fisik, melainkan pula hibridtas pikiran, yang hasilnya berupa kebudayaan. Hibriditas ini awal kali dikenalkan oleh Homi Bhaba, yang pada proses selanjutnya, dijadikan alat dan strategi membaca mengenai identitas diri oleh mazhab Cultural Studies, baik perupa karya sastra dan ataupun persoalan kontemporer lainnya.

Hibriditas inilah yang dimainkan oleh HAMKA dalam tokohnya yang bernama Zainuddin, yang merupakan blasteran antara ayah Minangkabau, dan ibu Makassar. Hibriditas seorang Zainuddin dalam TKV yang akhirnya memunculkan sikap ambivalensi komunitas orang Makassar dan Sumatera Barat yang ada diperantauan, tepatnya di tanah Jawa. Bentuk sikap ambivalensi tersebut adalah mengenai rasa kepemilikan diri secara emosional mengenai sosok Zainuddin bagi mereka, yang saat itu sudah menjadi sastrawan ternama. Bagi komunitas Makassar, Zainuddin adalah putera Makassar kebanggaan mereka, karena Zainuddin pernah tinggal di Makassar sekian lama, dan ibunyapun berasal dari etnis Bugis. Begitu pula dengan komunitas Padang, yang menganggap Zainuddin adalah abang mereka, karena ayahnya berasal dari tanah Minangkabau, dan Zainuddin pernah menghabiskan masa mudanya di Minangkabau. Keadaan ini menjadi terbalik, sebelum Zainuddin menjadi tokoh penyair dan sastrawan terkenal, saat ia menjadi orang biasa tidak diterima sebagai orang Makassar maupun orang Minangkabau.

Dengan demikian, hibriditas yang dituliskan oleh HAMKA melalui tokoh yang bernama Zainuddin adalah upaya meruntuhkan dan ataupun membuyarkan esensialisasi keaslian sebuah etnis. Jika ditarik lebih jauh, untuk apa dan siapa HAMKA melakukan pengaburan tersebut?. Dalam novel ini sebenarnya secara tersirat HAMKA sudah menuliskan tujuan pengaburan keaslian sebuah identitas etnis, yang disuarakan melalui tokoh Zainuddin.

Cita-citanya dengan buku-buku yang dikarangnya ialah menanamkan bibit persatuan rakyat dari segenap kepulauan tanah airnya, mempertinggi kecerdasan kaum perempuan, menghapuskan adat-adat yang telah lapuk, menegakan kemajuan yang setara dengan bangsanya (hal. 56)
Dia (Zainuddin) mati dalam menulis akhir satu karangan. Di atas meja terletak tulisan yang penghabisan itu. “……………..dan akan tercapai juga kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang perasaan perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan bahagia”. (hal.222)

Dua paragraf di atas menjadi titik terang, apa sebenarnya yang diinginkan oleh HAMKA melalui tokoh yang direpresentasikan melalui tokoh Zainuddin, yaitu imajinasi tentang bangsa. Bangsa yang bersatu, yang tidak tersekat-sekat oleh oleh pelbagai adat yang dianggap menghalangi upaya proses memersatukan tersebut. Ihwal ini relevan dengan kondisi jaman saat TKV ini ditulis. Karya ini ditulis pada tahun 1938, suatu tahun sebelum merdeka, disekitar pendudukan Belanda saat gencar-gencarnya melakukan agresi, dan saat masa-masa menuju peralihan penjajahan Jepang. Pada saat itu kesadaran tentang nasional masih berangan-angan menyiapkan kelahiran sebuah bangsa, seperti yang telah muncul dalam pergerakan partai politik dan agitasinya untuk memerjuangkan kemerdekaan sejak dua dekade sebelumnya (A. Sudiarja: 2001). Ihwal demikian juga tercermin dengan diterbitkan ulang karya TKV ini oleh Balai Pustaka pada tahun 1950-an, sebagai upaya reproduksi wacana tentang kesatuan bangsa. Balai Pustaka pada saat itu telah diambil oleh Pemerintah Nasional.

Yang mendasari HAMKA mengenai imajinasinya tentang kesatuan bangsa, masyarakat Hindia Belanda saat itu adalah kesadaran yang sama atas penindasan dan penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Imajinasi ini, menurut Ben Anderson, dipengaruhi dan difasilitasi oleh media cetak yang saat itu masih menjadi alat perjuangan, di mana Ben Anderson menyebutnya sebagai the imajined comunity, komunitas yang dibayangkan. Jika lebih ditegaskan, imajinasi kesatuan sebuah bangsa seperti apa yang diinginkan dan terbenak oleh HAMKA?. Sebagaimana yang telah saya kutip dalam paragraf di atas sebelumnya, sebuah bangsa yang diidamkan oleh HAMKA, sekiranya adalah bukan komunitas-komunitas kedaerahan yang muncul, seperti Joung Sumatera, Joung Celebest, Jong Ambon, Jong Java, dan ataupun yang lainnya, kemudian disatukan (bersatu). Tetapi melampaui itu semua. Dengan kata lain, bukan hidup terpisah dalam ruang yang sama (living a part together), layaknya kebun binatang atau Taman Mini Indonesia Indah seperti yang dipraktekkan oleh Kolonial Belanda, yang kemudian direproduksi oleh rezim Orde Baru. Namun kesatuan (imajinasi) sebuah bangsa di sini adalah pembayangan tentang hibriditas, sebuah percampuran dan interaksi pelbagai aspek, baik berupa keragaman etnis, keturunan, pemikiran, komunikasi, budaya, dan ataupun yang lainnya. Sehingga tercipta sebuah kebersamaan dalam perbedaan (togetherness-in-differenc)

e). Interaksi inilah yang membuat sesuatu perbedaan menjadi wajar dan cair demi suatu cita-cita bersama.

Membedah Perlawanan Wong Sikep

Ahmad Rafiq
http://www.korantempo.com/

Kelompok Tonil Kloearga Sedjahtera menggelar kisah perlawanan masyarakat Samin.

Siapa yang ngotot menolak gelontoran investasi pabrik Semen Gresik Rp 4,5 triliun di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah? Jawabnya adalah Sedulur Sikep. Sedulur Sikep merupakan kelompok masyarakat Samin dengan stereotipe yang melekat pada mereka sejak zaman penjajahan Belanda: polos dan lugu, tapi semaunya serta cenderung konyol. Mereka membuat investor PT Semen Gresik kabur karena tak kerasan akibat berlarut-larut menghadapi perlawanan penduduk Sukolilo yang menentang dibangunnya pabrik semen dan penambangan kapur di tanah mereka.

Watak masyarakat Samin di Sukolilo melawan penjajah Belanda tetap tak berubah ketika kini menghadapi kekuatan ekonomi yang dikhawatirkan merusak lingkungan hidup mereka. Perlawanan itu diwujudkan dalam perbantahan berupa permainan kata yang terlihat bodoh, pasif, tidak keras, tapi membuat kolonial kerepotan menghadapinya.

Kini kelompok Tonil Kloearga Sedjahtera memotret watak perlawanan masyarakat Samin itu lewat pentas drama bertajuk Sikep di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta kemarin malam. Panggung dibiarkan kosong dan hanya dipenuhi cahaya lampu yang menerangi enam orang aktor yang duduk saling berhadapan. Di dekat mereka ada gagang cangkul dengan secarik kain putih.

Pentas berdurasi satu jam lebih ini menceritakan perlawanan masyarakat Samin terhadap keputusan pemerintah Hindia-Belanda yang mereka rasa memberatkan masyarakat. Kala itu penjajah menarik pajak yang sangat tinggi, melarang masyarakat mengambil kayu di hutan, dan membatasi penggunaan air.

Perlawanan masyarakat Samin dilakukan dengan menggunakan “senjata” bersikap dungu dan memainkan argumen yang tidak masuk akal. Mereka juga menarik diri dari masyarakat umum. Bentuk perlawanan ini yang semula hanya muncul di Pati dan Blora, kemudian menular hingga ke Jawa Timur.

Dengan hanya diperankan enam aktor, para pemain berganti-ganti peran. Suatu ketika memerankan penduduk Samin, saat lain berperan sebagai mandor hutan, pamong desa, atau bahkan pejabat pemerintah kolonial. “Seorang pemain dapat memerankan empat karakter,” kata sutradara sekaligus penulis naskah, Sosiawan Leak. Peran multikarakter itu menuntut kemampuan perwatakan.

Penyusunan naskah Sikep membutuhkan waktu untuk mengobservasi kehidupan masyarakat Samin, dan lewat kajian literatur. “Kita dapatkan melalui interaksi bersama mereka,” kata Leak, alumnus FISIP Universitas Sebelas Maret.

Sastrawan Peru Diganjar Nobel Sastra

Tri Wahono
http://oase.kompas.com/

Seorang sastrawan asal Peru, Mario Vargas Llosa (74), terpilih sebagai peraih Nobel Sastra 2010 yang diumumkan Kamis (7/10/2010). Selama ini ia dikenal sebagai penulis berbahasa Spanyol yang terkemuka dan beberapa kali dijagokan sebagai penerima Nobel Sastra sebelumnya.

Vargas Llosa telah menulis lebih dari 30 novel, naskah drama, dan esai. Komite Nobel dari The Swedish Academy di Swedia menilai tulisan-tulisannya menampilkan bentuk pemberontakan, perlawanan, dan perjuangan individu yang sangat tajam dan kuat. Sekretaris tetap akademi tersebut Peter Englund bahkan menyebutnya sebagai pencerita berbakat “hadiah Tuhan” yang tulisannya langsung menyentuh kepada pembacanya.

“Buku-bukunya seringkali punya komposisi yang kompleks, punya sudut pandang yang beragam, beragam argumentasi, dan lintas zaman,” ujar Englund. ” Ia juga menyajikan cara baru untuk menghasilkan seni narasinya sendiri,” tambahnya. Sejumlah bukunya pernah mendapat penghargaan sastra di berbagai negara dan telah diterjemahkan ke 31 bahasa.

Vargas Llosa merupakan orang Amerika Latin pertama sejak tahun 1982 yang mendapatkan penghargaan bergengsi Nobel Sastra dan bakal mendapatkan berhadiah 10 juta kronor atau sekitar Rp 14 miliar. Nobel Sastra tahun 1982 diterima penulis Kolombia Gabriel Garcia Marquez. Penganugerahan Nobel Sastra kepadanya tergolong istimewa karena selama enam tahun terakhir komite Nobel memilih sastrawan Eropa.

Ia tumbuh di era penulis generasi baru Amerika Latin dan memulia debut karyanya pada tahun 1963 berupa novel berjudul “The Time of the Hero” (La Ciudad de los Perros) yang menceritakan pengalamannya di pelatihan militer Leoncio Prado. Buku tersebut memenangkan penghargaan Spanich Critics Award dan dilarang beredar oleh militer Peru. Seribu eksemplar buku tersebut dibakar dan Vargas dicap komunis. Ia pun pernah aktif di politik. Vargas pernah maju sebagai calon presiden Peru namun kalah dengan Alberto Fujimori pada tahun 1990.

Ia pernah menjadi dosen di berbagai universitas di AS, Eropa, dan Amerika Latin. Dan, saat ini, Vargas mengajar di Princeton University, New Jersey, AS.

Malang Benar Nasib Orang Samin

Nur Syam
http://sosbud.kompasiana.com/

Saminisme sebagai sikap agamis memang tidak banyak memberikan peluang kemungkinan pertumbuhan dalam arti kelembagaannya, yaitu ajaran, pengikut dan organisasi. Seperti agama alam lainnya atau semacam agama kesuburan, maka kemungkinan untuk mengembangkan sistem ajaran dan sistem organisasi yang terkait serta pemeliharaan kesetiaan umat tidak dapat dijalankan secara berkelanjutan. Samin merupakan sebutan yang diberikan oleh mereka sendiri untuk menandai adat-istiadat dan tindakan yang mereka nyatakan sebagai berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tradisi, seperti upacara perkawinan, yang mereka sebut sebagai adang akeh.

Pada masa lalu, masyarakat Samin dapat diidentifikasi sebagai masyarakat yang ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elite penguasa dan kemudian membentuk persekutuan untuk melawan secara damai dengan menggunakan tradisi rakyat jelata. Tradisi rakyat jelata yang berbeda dengan tradisi besar kebudayaan Jawa tersebut, di dalam tulisan ini dinyatakn sebagai tradisi kecil. Penggunaan bahasa Jawa Ngoko, pemaknaan konsep-konsep agama yang berbeda dengan penafsiran pada umumnya dan juga penolakannya terhadap pejabat agama yang tidak diperlukannya merupakan suatu bentuk protes yang menandai kehadiran tradisi kecil tersebut.

Seirama dengan perkembangan zaman, tradisi kecil Saminisme tersebut secara lambat tetapi pasti bergerak ke tradisi besar, yang sekarang disebut dengan Tradisi Islam Jawa, yaitu Islam yang dalam tataran pemahaman, sikap dan tindakan penganutnya berbeda dengan Islam di tempat lain, atau dengan kata lain, Islam yang bernuansa lokal.

Komunitas Samin

Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda, yakni sekitar tahun 1890. Pada masa tersebut, masyarakat merasakan tekanan-tekanan dari pihak penjajah sebagai suatu siksaan kehidupan. Kemudian, mereka mencari cara untuk membebaskan diri dari tekanan tersebut. Ajaran Samin memberikan angin baru bagi masyarakat untuk keluar dari siksaan dan tekanan penjajah. Pada mulanya, komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) orang yang merasa senasib-seperjuangan serta sama rata dan sama rasa. Kemudian, perkumpulan ini berkembang luas, di mana pengikutnya tersebar di sekitar Blora, Pati, Kudus, Rembang dan perbatasan wilayah barat Bojonegoro.

Daerah kelompok (komunitas) Samin sangat lokal, sehingga daerah satu dengan lainnya tampak ada perbedaan dalam pemahaman aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Di desanya, orang Samin merupakan sekelompok orang yang tidak suka bergaul dengan yang lainnya kecuali dengan orang Samin sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomuniaksi, tata cara kehidupan sendiri dan bahkan tradisi sendiri. Jika ingin berkomunikasi dengan orang luar, mereka memanfaatkan jasa kepala desa sebagai perantara. Dalam rangka pelestarian ajaran Samin sebagai pedoman tingkah laku, maka dilakukanlah pewarisan nilai-nilai (inkulturasi) pada ank-anak kecil, bahkan kepada orang dewasa.

Namun demikian, tradisi tersebut semakin luntur disebabkan oleh faktor internal yang berupa ketiadaan sarana pelestarian seperti ketiadaan teks-teks ajaran Samin, semakin melemahnya proses pengorganisasian kelompok dan ketiadaan tokoh kharismatik yang dapat menjaga wibawa Saminisme, disamping penetrasi faktor luar seperti semakin intensifnya penyiaran dakwah, bahkan melalui orang Samin sendiri. Strategi Departemen Agama Kabupaten Bojonegoro, misalnya, dengan membiayai kelanjutan pendidikan anak Samin yang cerdas (Mohamad Miran) di pesantreen Pabelan, Jawa Tengah, ternyata cukup jitu. Dari situ kemudian berdirilah musholla Al-Huda yang menjadi sentra kegiatan keislaman.

Kehadiran Islam yang demikian itu, tentu saja menggusarkan hati orang-orang tua yang masih setia dengan ajaran Samin. Memang, masih terdapat generasi tua yang sangat menghormati ajaran Samin yang dipelopori oleh Hardjokardi, seorang penerus keturunan Samin Surosentiko. Anehnya, meskipun mereka menolak terhadap kehadiran ajaran Islam, akan tetapi mereka tetap terlibat dalam proses pembangunan musholla dan bahkan membiarkan anak-anak mereka untuk belajar agama Islam.

Dalam bidang pergaulan, mereka juga telah berubah. Dalam kesehariannya, mereka telah menggunakan bahasa pergaulan yang berbeda dengan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) yang menandai bahasa rakyat jelata. Mereka juga sudah melakukan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang dahulunya dianggap tidak penting. Demikian pula penolakannya terhadap pembayaran pajak kepada negara juga sudah berubah. Jadi, penolakan terhadap pemuka agama dan negara telah mengalami perubahan-perubahan penting.

Gerakan Samin: Perlawanan Terhadap Pemuka Agama dan Negara

Gerakan Samin sebenarnya ialah gerakan perlawanan terhadap pemerintah dan agama. Benda dan Castle dalam bukunya The Samin Movement yang dikutip oleh James C. Scott, menyatakan bahwa Gerakan Samin yang muncul di daerah Rembang merupakan sekte yang menolak Islam, negara dan hirarki sosial itu sendiri. Mereka tidak mau mengundang pejabat-pejabat agama Islam untuk meresmikan perkawinan atau upacara-upacara penguburan di kalangan mereka yang sering disertai dengan pungutan-pungutan, mereka tidak mau membayar pajak (meskipun mereka mendapat hadiah) dan mereka membuang segala tata cara dan sopan santun yang berdasarkan perbedaan status. Sebagai gantinya, mereka menggunakan bahasa Jawa kasar (ngoko) dan memanggil satu sama lainnya dengan sebutan sedulur. Dalam pertentangannya dengan negara kolonial yang mau mengatur segala-galanya, orang Samin mengambil unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan rakyat jelata untuk membentuk suatu agama yang terpadu dengan peraturan-peraturan sosialnya, yang secara sadar menolak nilai-nilai elite dan hak-hak mereka atas masyarakat petani. Dengan demikian, yang menjadi daya tarik sekte, seperti halnya Samin, ialah sikap yang berupa ketidakadilan agraris, negara dan pemerintah yang secara resmi memungut uang.

Menyusul penolakan Gerakan Samin terhadap hal-hal di atas dan diikuti dengan penolakannya terhadap keyakinan-keyakinan agama, mereka juga menciptakan suatu tradisi keyakinan yang sangat berbeda dengan keyakinan agama lainnya. Bahkan kemudian, mereka menafsirkan ajaran Islam dalam konteks kebahasaan mereka sendiri. Yang terjadi kemudian ialah penghujatan terhadap ajaran Islam. Mereka menolak kebenaran Allah, sebagai Tuhan orang Islam yang dianggapnya sebagai rekayasa manusia atau timbul dari pemikiran manusia. Mereka kemudian mengganti konsep Allah tersebut dengan simbol orang tua mereka sendiri (Mak-Yung). James C. Scott, menyimpulkan bahwa tidak mengherankan jika di kemudian hari pusat kaum Samin dengan mudah dipengaruhi oleh partai komunis, mengingat praktek-prektek keyakinannya begitu banyak persamaannya dengan partai itu.

Dalam hal bertingkah laku, mereka menekankan pada dua konsep: kejujuran dan kebenaran. Untuk melakukan keduanya, mereka memiliki ajaran yang disebut Pandom Urip, yaitu ojo nganti srei, dengki, dahwen, open, kemeren, panasten, rio sapodo-podo, mbedak, nyolong playu, kutil jumput, nemok wae emoh, (sikap sombong, iri hati, bertengkar, membuat marah terhadap orang lain, menginginkan hak milik orang lain, bersifat cemburu, bermain judi dan mengambil barang orang lain yang tercecer di jalan).

Kontrol sosial diberlakukan bagi komunitas ini untuk menjaga ketertiban sosial. Untuk itu, diberlakukan pengawasan yang berupa hukuman batin, yakni orang yang melakukan penyelewengan terhadap kaidah sosialnya akan diperolok-olok oleh penganut Samin lainnya dan kemudian dipanggil oleh sesepuh Samin. Jadi, peran sesepuh Samin sangat besar dalam pengawasan tingkah laku sosial komunitasnya. Oleh karena itu, jika kharisma sesepuh Samin merosot, maka peran kontrol sosialnya pun akan berkurang dan memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran.

D. Pergeseran dari Tradisi Kecil ke Tradisi Besar

Teori tradisi kecil dan tradisi besar diformulasikan oleh Robert Redfield dalam tulisannya Peasant Society and Culture. Kemudian, Scott menekankan bahwa tujuan tipologi itu ialah untuk membedakan kepercayaan dan praktek-praktek strata rakyat pada peradaban agraris dari kaum elitenya. Tradisi kecil merupakan pola khas kepercayaan dan perilaku yang dihargai oleh kaum petani dari masyarakat agraris, sedangkan tradisi besar ialah pola yang sesuai dengan kaum elite dari masyarakat tersebut.

Jika di dalam tulisannya, Redfield lebih memfokuskan kajiannya pada agama, upacara dan mitos, di mana ketiganya dapat membedakan mana yang dianggap sebagai bertradisi kecil dan mana yang bertadisi besar, maka di dalam tulisan ini yang dianggap sebagai bertradisi kecil ialah komunitas Samin dengan segala kehidupan agrarisnya, dan yang betradisi besar adalah Islam dan komunitas Jawa yang berada di luar lingkungannya. Konsekuensinya, perubahan yang terlihat pun juga menyangkut agama dan upacara ritualnya disamping pola kehidupan lainnya seperti interaksi dengan dunia luar dan perilaku sosial lainnya. Dengan demikian, terdapat perluasan konsep tradisi kecil dan besar yang tidak hanya beraksentuasi pada agama, ritual dan mitos, akan tetapi lebih luas, mencakup tampilan perilaku sosial lainnya.

Memang, di dunia tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan. Perubahan meruapakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Perubahan dapat terjadi, baik karena faktor luar maupun faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Seirama dengan perubahan yang terus terjadi, masyarakat Samin ternyata juga tak dapat bertahan untuk mengisolasi diri sedemikian kuat, terutama dalam menghadapi penetrasi ajaran Islam yang terus dikumandangkan. Secara penetratif, ajaran Islam telah membawa perubahan dalam sistem nilai, pola tingkah laku dan aturan-aturan di kalangan komunitas Samin.

Perubahan tradisi pada suatu komunitas dapat dilihat dari perspektrif perubahan kebudayaan. Secara teoritis, perubahan kebudayaan mencakup lima hal pokok, yakni: Pertama, perubahan sistem nilai yang prosesnya mulai dari penerimaan nilai baru dengan proses integrasi ke disintegrasi untuk selanjutnya menuju reintegrasi; Kedua, perubahan sistem makna dan sistem pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu kerangka makna (kerangka pengetahuan), penolakan dan penerimaan makna baru dengan proses orientasi ke disorientasi untuk selanjutnya menuju reorientasi sistem kognitifnya; Ketiga, perubahan sistem tingkah laku yang berproses dari penerimaan tingkah laku, penolakan dan penerimaan tingkah laku baru; Keempat, perubahan sistem interaksi, di mana akan muncul gerak sosialisasi melalui disosialisasi menuju resosialisasi; Kelima, perubahan sistem kelembagaan/pemantapan interaksi, yakni pergeseran dari tahapan organisasi ke disorganisasi untuk selanjutnya menuju reorganisasi.

Pandangan hidup orang Samin tentunya tidak dapat dilepaskan dari tradisi besar kebudayaan Jawa yang melingkupinya, yaitu tiga konsep dasar dalam pola hidup rukun, harmoni dan selamet. Komunitas Samin mengutamakan kerukunan dalam kehidupan berkelompok dengan sesamanya. Dalam penerapan keselarasan hidup, mereka mementingkan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos serta keselarasan antara manusia dan manusia. Selamet artinya bahwa mereka bertujuan hidup untuk mencari keselamatan. Ajaran Pandom Urip adalah contoh bagaimana keinginan orang Samin untuk menjaga kerukunan, harmoni dan selamet tersebut. Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan di dalam struktur sosial di mana mereka hidup. Ditinjau dari sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah kehidupan mereka. Penerimaan nilai Saminisme di kalangan mereka dahulu disebabkan adanya represi kelompok lain yang dominan. Dalam proses selanjutnya, tokoh Samin yang representatif juga tidak dijumpai lagi, sehingga komunitas Samin sudah tidak lagi sesolid masa lalu. Akibatnya, peran kontrol sosial Saminisme juga menjadi melemah. Jadi, unsur-unsur dasar Saminisme telah tenggelam di dalam kompleksitas budaya sekitarnya. Generasi berikutnya lambat laun menganggap tradisi Samin yang dijiwai Saminisme tidak lagi dapat dipergunakan untuk menjawab tantangan nilai-nilai baru yang lebih relevan dan rasional. Nilai-nilai Saminisme telah kehilangan elan vitalnya.

Ditinjau dari kerangka makna, kerangka pengetahuan tentang Saminisme telah semakin berkurang. Ketiadaan media yang berupa teks-teks ajaran Samin yang dapat menjadi perantara generasi masa lalu dan sekarang menjadi faktor semakin kaburnya ajaran Samin bagi penganutnya. Akibatnya, ajaran Samin tak lagi menjadi kerangka referensi makna. Melalui proses disorientasi tersebut, lahirlah pengetahuan baru yang bersumber dari ajaran Islam yang disebarkan oleh kalangan mereka sendiri, sehingga menyebabkan tumbuhnya pola bagi pengetahuan baru atau reorientasi makna.

Ditinjau dari tingkah laku, perubahan tradisi tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa mereka terutama generasi muda telah berlaku berbeda dengan generasi tuanya. Saminisme sudah tidak lagi menjadi pola bagi tindakan (pattern from behavior). Hal ini terjadi akibat adanya interaksi dengan dunia luar yang menggunakan kerangka dan pedoman tindakan yang lebih relevan. Kehadiran pendidikan formal dan nonformal maupun media massa di kalangan mereka dengan menawarkan pola baru kehidupan menjadikan mereka semakin terbuka dalam menerima berbagai hal. Dilihat dari perspektif kelembagaan, tampaknya gerakan Samin telah kehilangan orientasi tujuannya. Jika pada masa lalu gerakan ini bersifat kerakyatan, yakni memperjuangkan ketidakadilan, maka sekarang telah kehilangan relevansi perjuangan dalam menghadapi tuntutan perubahan.

Implikasi

Berdasarkan atas uraian di atas, kiranya, kajian tentang kontribusi faktor-faktor eksternal terhadap perubahan tradisi nyamin masih relevan untuk dilakukan. Demikian pula halnya dengan kajian tentang faktor internal yang memang berfungsi dominan bagi perubahan tradisi. Masih ada banyak hal yang belum diungkap. Wallahu A’lam.

Mario Vargas Llosa Karya Seni Realitas Dunia

Surya Lesmana
http://www.suarapembaruan.com/

Dia adalah novelis asal Peru, yang juga dramawan, esais, dan kritikus sastra penerima penghargaan Nobel untuk Sastra pada 2010 ini. Dia adalah Mario Vargas Llosa, salah satu dari sejumlah penulis di dunia Hispanik. Ia mendapatkan hadiah Nobel untuk karyanya mengenai kartografi dari struktur kekuasaan dalam melawan tekanan, perlawanan, pemberontakan, serta kekalahan individu.

Novel-novel karyanya kebanyakan dibuat di Peru. Teknik penulisan Vargas Llosa banyak dipengaruhi gaya avant-garde, di mana ia menciptakan sebuah karya seni mengenai realitas dunia. Sikapnya tegas dalam menuliskan novel meski fiksi, dan isinya juga bukanlah propaganda ideologi. Ia mengikuti tradisi dari para penulis di Amerika Latin pada masanya, sebagai pengkritik sosial dengan tema tulisan mengenai korupsi politik, machismo (kejantanan), perlakuan rasial, dan kekerasan.

Vargas Llosa lahir di Arequipa (Peru) pada 1936. Pada usia setahun, ia sudah pindah ke Bolivia setelah perpisahan kedua orangtuanya. Namun, di usia delapan tahun, kedua orangtuanya kembali rujuk, dan ia menetap di ibu kota Peru, Lima. Ketika masih menimba ilmu pada 1950, Vargas Llosa bekerja sebagai jurnalis untuk La Industria, di mana jabatannya adalah asisten redaktur jurnal sastra. Ia juga bekerja sebagai jurnalis untuk Radio Panamericana dan La Cronica. Di sana, ia mulai menulis karya-karyanya yang dimuat dalaam cerita bersambung. “Tulisan saya memang dipengaruhi William Faulkner (penulis AS peraih Nobel Sastra 1949). Namun, saya lebih meniru Ernest Hemingway (peraih Nobel Sastra pada 1954),” ungkapnya.

Pada 1955, Vargas Llosa menikah dengan Julia Urquidi. Mereka hidup bersama selama sembilan tahun sebelum akhirnya bercerai pada 1964. Semasa pernikahan itulah, ia meraih gelar kesarjanaan di Universitas San Marcos pada jurusan Kesusastraan dan hukum. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Madrid, Spanyol, tempat ia meraih gelar PhD. Disertasi Doktoral Vargas Llosa mengenai Garcia Marquez, seorang novelis, jurnalis, dan aktivis politik Kolombia
Marquez dikenal dengan karya besarnya Relato de un náufrago sebuah kisah nyata tentang kapal karam dengan menuliskan kehadiran barang-barang gelap di sebuah kapal Angkatan Laut Kolombia, yang membuat kapal itu kelebihan muatan dan karam. Karya ini menjadi kontroversi publik Kolombia, karena cerita itu membantah laporan resmi pemerintah mengenai kejadian sekitar kecelakaan itu, yang mempersalahkan badai dan mengagungkan pelaut yang selamat.

Akibatnya, García Márquez menjadi tokoh yang tak disukai pemerintah pimpinan Jenderal Gustavo Rojas Pinilla. Bersama dengan Marquez, Carlos Fuentes, dan Julio Cortazar, Vargas Llosa termasuk penulis terkenal yang mampu merevitalisasi novel Amerika Latin.

Obsesi Bawah Sadar

Di usia muda, Vargas Llosa menimba ilmu di Akademi Militer Leoncio Prado. Di akademi militer tersebut, Vargas Llosa terinspirasi untuk membuat novel La Ciudad Y Los Perros (The Time of Hero) pada 1962. Buku ini mendapatkan pengakuan internasional, karena dianggap dibuat melalui proses penulisan obsesi bawah sadar yang diubah menjadi tema oleh sang novelis.

Karyanya yang lain adalah La Tia Julia Y El Escribidor (Bibi Julia dan Naskah) pada 1977 yang ditulisnya dengan gaya humor yang liar, mengenai seorang novelis bernama Marito Varguitas yang ingin ditembak sang ayah, karena pada usia 18 tahun hendak menikahi seorang wanita yang lebih tua Julia yang digambarkan cantik dan seksi.

Kemudian, ada Guerra La Del Fin del Mundo (Perang Akhir Dunia) pada 1981 cerita tentang pemberontakan melawan Pemerintah Brasil di akhir abad 19.

Selain tulisan fiksi, Vargas Llosa juga membuat tulisan mengenai reportasenya sebagai seorang jurnalis yang dimuat di The New York Times, Le Monde, The Times Literary, El País, dan surat kabar berpengaruh lainnya. Salah satu artikelnya mengenai perang di Irak dikumpulkan menjadi sebuah buku Diario de irak (2003). Kemudian, bersama putranya, Morgana, Vargas Llosa pergi ke Israel dan Palestina pada tahun 2005, dan mencatat apa yang terjadi di sana ke dalam sebuah buku Guerra Paz O Santa (2006). “Israel telah menjadi sebuah negara kuat dan arogan, dan itu disebabkan peran dan kebijakan dari sekutunya,” ungkap Vargas Llosa.

Pada 1975 dan 2006, Vargas Llosa membuat buku kritik sastra mengenai novel hebat karya Gustave Flaubert Madame Bovary. Dalam bukunya, Travesuras De La Nina Mala (2006) Vargas Llosa menggambarkan karakter Emma Bovary seorang istri dokter yang terlibat dalam perselingkuhan.

Vargas llosa juga pernah menjadi juri untuk Festival Film Internasional Canes 1976, yang memenangi film karya Martin Scorsese, Taxi Driver. Kepedulian pada politik di negaranya membuat Vargas Llosa mencalonkan diri menjadi kandidat Presiden Peru pada 1990 dari Partai Fredemo yang beraliran demokratik. Ini jelas merupakan perubahan sikap karena sebelumnya ia dikenal mendukung Revolusi Kuba, namun berubah menjadi liberal yang kekanan-kananan. Banyak kritik mengarah pada perubahan pandangannya tersebut, namun Vargas Llosa menjawab “Politik itu adalah salah satu ‘setan’ yang paling gigih yang memprovokasi kreativitas saya,” ujarnya [Berbagai sumber]

Mario Vargas Llosa
Tempat/Tanggal Lahir:
Arequipa, Peru, 28 Maret 1936
Pendidikan:
- Universitas Nasional San Marcos
- University of Madrid, Spanyol
Penghargaan:
Nobel untuk Sastra 2010

JALAN MULUT ORANG SAMIN

http://majalah.tempointeraktif.com/

KABUT melayang-layang rendah menyelimuti dusun. Tipis, putih, bagaikan tabir transparan. Rumah, kebun, dan pepohonan hanya tampak samar-samar. Lelapnya malam, kini menggeliat bangun. Tercium bau pagi, sudah. Bunyi jangkrik, yang semalaman menggelitik telinga, mulai menyurut, entah ke mana. Sebagai gantinya, kokok ayam bersahut-sahutan. Tekukur dan gagak, adu keras suara di pucuk-pucuk kelapa. Lalu terdengar lenguh lembu, dan bunyi kelinting manakala lembu-lembu itu digiring ke sawah.

Muncul pula iring-iringan wanita menggendong bakul, tanpa suara. Hanya suara gesekan kain mereka menjadi musik pagi mengiringi langkah menuju pasar. Seorang bocah jongkok njedodot di muka pintu, mengusir kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Dan asap pun mengepul-ngepul di atap-atap rumah, muncul dari sela-sela genting, pertanda para wanita mulai sibuk menlerang air menanak nasi.

Tak berbeda dengan suasana pagi di desa-desa Jawa umumnya, demikianlah dusun ini. Ya, bentuk rumahnya, ya, kebunnya, bahkan juga setiap langkah gerak penduduk dan bahasa mereka. Baru kemudian, ketika seorang muda kira-kira belum 30 tahun memperkenalkan diri, terasa bahwa desa ini menyimpan kekhasannya sendiri. “Tepangaken, kulo jeneng lanang pengaran Sampan. ”

Sampan, itulah namanya. Orang Jawa umumnya pasti akan langsung menyebut nama bila memperkenalkan diri, tanpa usah menyebut “jeneng lanang” (artinya, nama laki-laki) dan “pengaran” (sebutan). Tapi demikianlah lazimnya warga Jepang (awas, ini bukan Jepang yang beribu kota Tokyo), Desa Margomulyo, Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, ini memperkenalkan diri.
* * *

Jepang di Kabupaten Bojonegoro memang berbeda dengan pedukuhan lain. Bukan karena tanahnya yang kering keputih-putihan. Bukan pula karena penduduknya yang - relatif - miskin. Bukan pula karena dusun ini terletak di tengah hutan jati. Namun, di dusun terpencil - 4 km dari ruas jalan Ngawi-Cepu, di ujung barat Provinsi Jawa Timur yang dihuni 120 keluarga itulah hidup keluarga-keluarga yang oleh orang luar disebut orang Samin. Dan itu bukan sekadar sebutan.

“Orang Samin” punya konotasi khusus bagi orang di luar lingkungan ini. Mereka dianggap berlagak bodoh, malas, dan berpikiran sempit. Sejumlah lelucon bak kisah Si Kabayan dari Tanah Sunda, atau Nasruddin Hoja dari Timur Tengah, seputar orang-orang Samin pun tumbuh berkembang. Tersebutlah misalnya, seorang pergi ke pasar, dan ditanya temannya: “Dari mana?” “Dari belakang.” “Mau ke mana?” “Mau ke depan,” jawabnya pula.

Atau, seorang bapak menyuruh anaknya pergi ke sawah, katanya, “Tunggui padimu.” Si anak tanpa banyak cakap langsung pergi ke sawah dan duduk di dangau. Puluhan burung pipit, yang menyerbu malai padi yang mulai bernas, dibiarkannya saja. Melihat itu, seorang yang lewat lalu menegur, “Mengapa burung yang makan padimu itu tak kauusir?” Dengan tenang, tanpa rasa salah, anak tadi menjawab, “Saya hanya disuruh untuk menunggu padi, bukan mengusir burung.”

Cerita-cerita lucu macam itu sudah pasti lebih berkembang di lingkungan dunia olok-olok, daripada dalam kenyataan sehari-hari. Walaupun sesekali orang Samin bisa juga berlagak bodoh, atau bersilat lidah dengan logika khas mereka, untuk mempertahankan sikap yang mereka yakini benarnya - terutama di masa-masa silam.

Puluhan ilmuwan dan penulis yang telah melakukan studi tentang masyarakat Samin umumnya membantah keras anggapan bahwa masyarakat Samin bodoh, malas, polos, dan lucu. Para peneliti malah menghubungkan sikap orang Samin dengan nilai kepahlawanan, yakni dalam upaya menentang penjajahan Belanda.

Kendati begitu, anggapan umum terhadap orang-orang Samin belum banyak berubah. Bahkan sikap atau tingkah laku konyol orang-orang yang bukan Samin sering disebut sebagai nyamin, seperti orang Samin. Meski masyarakat Samin sudah semakin berubah dari nilai dan warna asli warisan yang mereka terima hampir seabad lampau, di sela-sela hutan jati.
* * *

Bukan untuk dijadikan bahan tertawaan, bila sekelompok masyarakat mengambil sikap tertentu, dan yang kemudian, kebetulan, kelompok itu disebut orang Samin. Kiai Samin Surosentiko - sang pembuat sejarah dan pemulanya - sendiri pun pasti tidak membayangkan demikian.

Sewaktu dulu ia dengan tidak bosan-bosannya mengajarkan keyakinan hidupnya kepada para kerabat dan handai tolan yang sudi mendengarkannya - di rumahnya di Plosokediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah Surosentiko tidak main-main. Dan orang - tak cuma anggota masyarakat Samin - tetap mengingat siapa dia.

Arsip Belanda menyebut Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859. Menurut Hardjo Kardi - pemuka masyarakat Samin di Dusun Jepang - nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar, anak Raden Surowijoyo. Gelar Raden di depan nama memastikan Samin adalah keturunan ningrat. “Tapi kami belum tahu asal-usulnya lebih lanjut,” kata Hardjo, dalam bahasa Jawa halus.

Ada yang menyebut, Raden Kohar keturunan Pangeran Kusumaningayu, konon, salah seorang bupati Sumoroto dulu. Persoalan mengapa keluarga bangsawan itu lantas memencilkan diri dari lingkungan lazimnya, dan bergabung di tengah kemiskinan masyarakat umum di seputar hutan jati, hingga kini belum bisa diungkapkan.

Pada usia 30 tahun, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajaran saminismenya. Konon, ia melakukan itu setelah berulang kali bertapa di berbagai gua dan menemukan kitab Kalimosodo. Nama “Kalimosodo” memang dikeramatkan oleh banyak orang Jawa, dan dalam kisah pewayangan itulah nama ajian milik Pandawa. Sementara itu, ada yang menafsirkan dari sudut Islam, “Kalimosodo” berasal dari kata kalimat syahadat.

Dari Randublatung, ajaran Samin berkembang ke berbagai daerah. Di desa-desa Bapangan, Mendenrejo–Medan, Klopoduwur–Banjarrejo, Tanduran Kedung Tuban, Jejeruk-Blora dan banyak desa lain penganut saminisme tumbuh berkembang.

Ketertarikan orang-orang untuk mendengarkan fatwa Samin Surosentiko, semula tak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah kolonial. Gerakan tersebut memang tampak tak berbeda dengan berkembangnya ajaran kebatinan lainnya. Tapi, pada 1905 keadaan berubah. “Para pengikut Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum desanya, menolak memberikan sumbangan kepada lumbung desa,” tulis P. Widiyanto, yang pernah melakukan riset, dan menuliskannya di majalah Prisma, Agustus 1983.

Status pajak, bagi orang Samin, lalu berubah bentuk dari kewajiban menjadi sukarela. Sedang Samin Surosentiko malah berhenti membayar pajak sama sekali. Konflik orang Samin dengan Belanda mulai pecah. Samin Surosentiko ditangkap, pada 1907. Ia dituduh hendak memberontak,. “Mbah Surosentiko diselong,” kata Hardjo Kardi. Maksudnya, dibuang keluar Jawa (selongberasal dari kata Sailan, salah satu tempat pembuangan di masa Hindia Belanda).

Tujuh tahun kemudian, Samin Surosentiko meninggal di Sawahlunto. Upaya mengucilkan Surosentiko, ternyata, tak menyebabkan saminisme susut. Justru, sebaliknya, saminisme malah berkobar, di Kabupaten Pati, Rembang, Bojonegoro, Ngawi, dan terutama di Kabupaten Blora. Ini menjadikan masyarakat penganutnya kian eksklusif. Mereka membangkang terhadap aturan Belanda - suatu perlawanan tanpa senjata.

Ketidakmauan membayar pajak dan mengibarkan bendera, ditambah kebanggaan menonjolkan ciri kesaminan (berbaju hitam dengan kumis melintang), menyebar di berbagai kalangan orang Samin. Ketidakpatuhan pada aparat desa di masa lalu itu, oleh Hardjo Kardi, disebut sebagai upaya melawan Belanda. “Tapi kita ‘kan kalah kekuatan. Mereka memang geram kepada Belanda, kepada petugas kehutanan yang digaji Belanda untuk menguasai hutan-hutan jati, juga kepada londo ireng (Belanda Hitam). Yang tersebut belakangan itu adalah orang-orang pribumi yang menjadi aparat desa, jadi kaki tangan Belanda.

Menurut cerita orang-orang tua, kerja londo ireng hanya merampas harta penduduk: padi, sapi, kayu, bahkan rumah. Mengapa mereka tak mengadakan perlawanan? Orang Samin berpikir realistis: tidak mungkin. Sikap terbaik saat itu adalah diam. Namun, beberapa nama tidak bisa diam untuk tidak menyebarkan ajaran Samin yang memusuhi penguasa waktu itu. Nama-nama seperti Wongsorejo, Engkrek, Surokidin, atau Karsijah beserta para pengikut lainnya, adalah nama-nama langganan yang dicurigai Belanda. Beberapa di antaranya lantas di-selong pula.

Yang kemudian tak jelas adalah mengapa masyarakat Samin yang semula digambarkan banyak penulis berkesan heroik, gagah, dan membanggakan tersebut lantas berkonotasi lucu, mbodoni (bodoh atau berlagak bodoh), dan malas. Keeksklusifannya - mereka relatif terpencil dan terisolasi dari masyarakat lainnya - mungkin yang menyebabkannya.

Bentuk perlawanan tanpa senjata yang dilakukan orang Samin terkadang memang menggelikan, tapi tak jarang mengundang kekaguman dan rasa hormat. Misalnya ini: Alkisah, seorang Samin - petani, tentu - didatangi petugas desa untuk memungut pajak. Si Samin, sesuai dengan keyakinannya, merasa tidak perlu membayar pajak pada desa yang merupakan perpanjangan tangan Belanda.

Maka, ia pun bertanya, “Pajak apa yang harus saya bayar?” Pemungut pajak menjawab, “Pajak untuk sewa tanah yang kaugarap itu.” Tanpa banyak berkata lagi, petani tadi segera menggali tanah, lalu memasukkan uang ke lubang, dan menutupinya dengan tanah lagi. Ketika ditanya mengapa mengubur uang, ia menjawab bahwa dirinya baru membayar sewa tanah yang dipakainya. “Tanah ‘kan milik bumi, jadi saya harus membayar sewa tanah ini pada bumi,” ujarnya tenang.

Dengan cara itu - tanpa mengadakan perlawanan secara fisik dan pernyataan menentang - petani tersebut bisa memperlihatkan sikapnya bahwa ia memang tak mau membayar pajak. Cara lain yang lebih nyamin untuk menolak pajak ditunjukkan oleh Mbah Leles - yang umurnya “kalau tujuh puluh tahun saja, ya, lebih” - di Desa Jejeruk, Blora. “Wong, kok, dijaluki pajeg. Kowe rak nduwe jejeg, aku nduwe jejeg, lan kabeh wong yo nduwe jejeg dewe-dewe. Yo, ora oleh yen jejegku mbok jaluk. (Orang kok dimintai pajak. Kamu ‘kan punya tegak, aku punya tegak dan semua orang punya tegak. Ya, tidak boleh kalau tegakku kamu minta).

Retorika yang menyandarkan pada kesamaan bunyi kata, pajeg yang berarti pajak dengan kata jejegyang berarti tegak, mestinya disengaja, untuk memutarbalikkan logika, mencari alasan yang kedengarannya logis. Menghadapi kata-kata yang maknanya tak jelas benar, si pemungut pajak biasanya lalu pergi, daripada berdebat dengan bingung.
* * *

Keterpencilan, sikap hidup yang eksklusif, dan gesekan terus-menerus dengan pemerintah kolonial menjadikan saminisme - bila boleh dikatakan demikian - kian menggumpal dan mengeras. Mereka, masa itu, makin berbeda dengan masyarakat sekitarnya. Menjodohkan anak di masa lalu tak perlu dibawa ke hadapan naib atau dicatatkan pada pemerintah. Bila laki-laki dan perempuan telah sama-sama suka, mereka boleh mengadakan hubungan seks. Setelah itu, si lelaki baru mengatakan kepada orangtuanya bahwa ia siap kawin.

Cara mengawinkannya cukup hanya mengantarkan mempelai ke rumah tokoh panutan orang Samin setempat, atau ke kepala desa. Pihak laki-laki membawa pisang setangkep (dua sisir), pinang sirih, dan kelapa. Bila kepala desa marah lantaran melihat pengantin perempuan telah hamil, mereka tidak ambil peduli dengan kemarahan itu. Apa pun tanggapan lurah, atau tokoh masyarakat setempat, bila “upacara menghadap” ini sudah dijalankan, perkawinan dianggap sah. Dan itu berarti mereka bisa mengadakan pesta adang akeh (menanak nasi banyak-banyak), mengumpulkan sanak saudara.

Kebersamaan orang Samin pun bisa mengherankan masyarakat sekitarnya, karena sikap tersebut ditafsirkan begitu jauh. Di Desa Klopoduwur, misalnya, Bandelan Amaruddin - koresponden TEMPO di Kudus - memperoleh cerita lama tentang tradisi pinjam istri. Sebelum tahun 1950-an, adalah biasa seorang Samin “meminjam” istri sesama Samin.

Adat tak tertulis membolehkan orang lain mendatangi seorang istri, bila suaminya lagi pergi. Selama lelaki yang datang itu menancapkan sepotong anak bambu di depan rumah tempat kencannya, suami wanita tersebut akan membiarkan saja istrinya “dipinjam”. Hingga tahun 1960-an ciri-ciri kesaminan masih terasa kental. Susanto Pudjomartono (sekarang wartawan TEMPO) pada tahun-tahun itu pernah mengadakan survei di kalangan orang Samin di daerah Pati.

Ia menuturkan, kadar kebersamaan orang Samin masih tinggi. “Mereka bisa dikatakan tak mengenal pemilikan pribadi,” tuturnya. Bila salah seorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar padahal ia tak punya apa pun, tanpa ragu ia bisa pergi ke rumah tetangganya dan berkata, “Sedulur, aku melu nganggo klambimu (Saudara, aku ikut memakai bajumu)”, atau bahkan “Aku melu nganggo dluwang itunganmu (aku ikut memakai uangmu)”. Bila tetangganya memang mempunyai barang yang hendak dipakainya itu, tanpa keberatan sama sekali akan meluluskannya. Kalau, suatu waktu, ganti dia yang memerlukannya, ia tidak akan menagih kepada si pemakai yang dulu. Melainkan, dia akan melunganggo milik Samin yang lain.

Tak ada soal utang-piutang di sini: siapa berutang kepada siapa, siapa harus membayar utang kepada siapa. Sikap khas ini - masih cerita Susanto - sering dipakai untuk memlonco para hakim atau jaksa yang baru bertugas di daerah Pati. Bila orang Samin disidangkan di pengadilan - apalagi kalau bukan perkara pencurian kayu jati - hakim yang belum berpengalaman akan kerepotan menghadapi orang Samin. Ketika hakim bertanya, “sopo jenengmu? (siapa namamu?)”, mereka pasti menjawab, “lanang” - (laki-laki)”. Mereka baru akan mengatakan namanya bila ditanya “Sopo pengaranmu? - (sebutanmu)”.

Begitu vonis dijatuhkan, mereka pun akan protes keras bila dinyatakan bersalah mencuri kayu jati, dan dihukum tujuh hari, misalnya. Sebab, menurut mereka, hutan jati milik bersama, dan karenanya kayunya boleh dinikmati siapa pun yang memerlukan. Mengambil kayu jati yang dikuasai Perhutani bukan mencuri. Tetapi mereka akan dengan rela tinggal di penjara sepanjang waktu yang dinyatakan vonis, bila disebut bahwa dirinya di penjara itu diundang bergotong royong.

Di masa lalu, bahasa orang Samin pun khas. Tulisan disebut rengkong - merupakan akronim dari ireng bengkong (hitam bengkok). Menulis diistilahkan nggambar rengkong. Sedangkan nulis itu sendiri dalam bahasa Samin bisa berarti bersanggama. Untuk menyebut uang, mereka memakai istilah itung-itungan,. “Saya sudah tidak tahu lagi bahasa khas leluhur. Waktu Kakek masih hidup pun, sulit memahami ucapannya,” kata Setu, 45 tahun, sopir Colt asal Mendenrejo.
* * *

Sebutan Samin oleh orang luar besar kemungkinan diambil dari nama Samin Surosentiko (atau Surontiko), perumus ajaran itu. Mereka sendiri tak pernah menyebut diri dan kelompoknya sebagai orang Samin. “Yang membedakan ‘kan Anda sendiri,” kata Hardjo Kardi, setengah ketus, ketika seorang wartawan tanpa basa-basi bertanya ada berapa orang Samin di desanya.

Untuk menyatakan dirinya, mereka lebih senang menyebut sebagai orang sikep sebagian ahli mengartikan kata itu sebagai orang-orang yang bersikap, menurut yang lain sikep berarti sanggama. Toh, umumnya mereka tak menolak disebut sebagai orang Samin - memang, bagaimana mencegah orangorang menyebut mereka demikian? Dan entah karena sulit menolak itu, lalu muncul semacam pengrasionalisasian: “Samin ‘kan berarti sami-sami”, lalu adayang menambahkan, “sami-sami amin”. Rasa sami-sami, sama-sama atau kebersamaan, memang merupakan ajaran terpokok yang dianut orang Samin.

“Kabeh wong iku sedulur,” - (semua orang adalah saudara) - ujar Hardjo Kardi. Karena konsep bersaudara itulah lantas keterbukaan, tradisi saling pinjam dan saling memakai barang - yang di masa lalu, seperti sudah diceritakan, termasuk pinjam istri - berkembang. Rasa bersama ini pula mendorong kebiasaan gotong royong dan saling bantu yang jauh lebih kuat dibandingkan masyarakat desa sekitarnya. Malah, untuk pembicaraan antara mereka - dan di masa lalu juga terhadap orang luar - hanya dipergunakan bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa kasar, tanpa mau menggunakan kromo inggil, bahasa jawa halus, yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi.

Misalnya antara anak muda dan orang tua, atau buruh dan majikannya. Mungkin karena hal itu pula, Samin Surosentiko tidak mau menggunakan gelar kebangsawanannya: Raden Kohar. Ia membuang gelarnya, bahkan mengganti namanya dengan nama yang lazim di masyarakat tersebut. Dan cara memanggil orang lain juga mencerminkan kebersamaan itu. Untuk orang yang usianya kira-kira sebaya, mereka lebih suka memanggil dengan sedulur (berarti saudara), daripada menyebut nama yang bersangkutan.

Rasa sederajat, rasa bersaudara, dan nilai-nilai saminisme lain agaknya, memang lebih berakar pada nilai yang diyakini Samin Surosentiko seorang, daripada hasil pemikiran bersama sejumlah masyarakat. Sejak malam Kamis Legi, 7 Februari 1889 - yang tercatat dan dituliskan kembali oleh R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo pada majalah Optimis Agustus 1983 Samin Surontiko aktif berceramah di berbagai lapangan desa.

Pada 1901, misalnya, pada malam Senin Pahing 11 Juli, ia berdiri di tengah massa di lapangan penggembalaan Desa Kasiman diterangi nyala ratusan obor. Ia berbicara tentang ketenangan diri: perlunya mengendalikan diri, perlunya menjenguk batin, hingga perlunya ketenangan menghadapi setiap cobaan yang diterima makhluk dari Khaliknya.

Ki Samin pula yang menyebarkan nilai-nilai Jawa pada masyarakat pedesaan Blora. Yakni, pada nilai yang mengagungkan Pandawa dan malah menganggap mereka keturunan tokoh-tokoh wayang yang aslinya dari India itu. Ki Samin sangat mengagumi Puntadewa, si sulung Pandawa, yang dikenal paling jujur dalam dunia pewayangan, sebagai idolanya.

Ia pun membanggakan kebesaran Majapahit, dan pada nilai yang mendekati konsep wihdatul wujud - yang orang Jawa menyebutkannya dengan manunggalingkawulo-gusti (menyatunya di ri makhluk dengan Tuhan). Ini bisa dibilang sinkretisme antara ajaran Islam, Hindu, Budha, dan animisme. Itulah nilai yang diwariskan pada orang Samin sekarang.

Menurut Suryanto Sastroatmodjo, penulis itu, sebenarnya Ki Samin meninggalkan beberapa ajaran tertulis, meski dalam jumlah sangat sedikit. Namun, sebagian besar masyarakat Samin meyakini tak ada ajaran tertulis yang ditinggalkan Embah Surontiko. Hardjo Kardi, yang kini merasa sebagai satu-satunya pewaris utama nilai-nilai kesaminan, pun tidak tahu itu. Padahal, ia adalah anak Surokamidin, sesepuh masyarakat Samin di Dusun Jepang.

Konon, Surokamidin-lah pewaris dan satu-satunya orang yang paling lengkap menerima ajaran dari Surokidin, lantaran ia bertahun-tahun ikut keluarga Surokidin. Sedangkan Surokidin adalah murid, dan sekaligus menantu, Surosentiko. Kini, yang masih bisa digali dari Hardjo Kardi adalah nilai nilai universal, yang juga merupakan ajaran semua agama. Misalnya saja, agar setiap manusia selalu lung-tinulung, tolong-menolong, kapan pun, di mana pun, tanpa diminta, tanpa membedakan status sosial ataupun usia.

Dalam masyarakat juga harus tertanam rasa gilir-gumanti. Yakni, bila kali ini kita dibantu orang lain, maka ketika orang lain perlu, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan pun kita wajib ganti membantu. Sesungguhnya, saminisme - di luar keanehan dan kelucuannya - tak beda dengan nilai-nilai Jawa pada umumnya. “Ojo drengki, srei, dahwen, kemeren, riyo marang sapodo-podo dan kudu roso tunggal.” Hendaklah tanpa hati dengki - begitu artinya jangan pula iri. Namun, harus membangun kebersamaan antar manusia.

Selain ini, Hardjo Kardi - yang selalu tegak bila duduk dan menatap lawan bicaranya - masih lancarmemberiberbagai fatwa lain. “Kalau kita baik, akan banyak kawan, dan kalau kita nakal, akan banyak musuh.” Yang sangat prinsip dari ajaran saminisme adalah menjaga bicara. “Rembuge sing ngati-ati (berhati-hatilah bila bicara).” Ketidakhati-hatian menjaga ucapan disebutnya bisa membawa ke permusuhan. Hendaklah berkata terus terang, apa adanya dan jujur. Jangan hendaknya bicara dipakai untuk menyakiti hati orang. Ketidakmampuan menjaga ucapan bisa menyebabkan seseorang dianggap tidak mampu menjalankan ‘lelakone embah’.

Penempatan posisi bicara, atau lisan, yang tinggi dalam hidup orang Samin, menjadikan satu warna tersendiri. Mereka lalu tidak membutuhkan basa-basi. Sedangkan untuk menilai keinginan orang lain, tak seperti orang-orang Jawa pada umumnya, orang Samin lebih mendasarkan pada ucapan formal. Bukan pada apa-apa yang tersirat. Karena itulah maka seorang kawan bilang bila Mushashi si jawara Jepang itu memilih “jalan pedang” sebagai falsafah hidupnya, maka orang-orang Samin memilih “jalan mulut”.

Kebersamaan di masyarakat Samin tumbuh sangat kuat. Tidak boleh seseorang mengambil untung dari kerugian orang lain. Pantang mereka memperdaya diri sendiri dengan cara menindas orang lain. Mencuri, sudah pasti, tak akan pernah dilakukannya. Menemukan barang orang yang tak diketahui pemiliknya, mereka juga tidak akan menghakinya.

Mbah Djojo, yang selalu mengenakan ikat kepala, selalu ingat salah satu petuah Mbah Surokamidin almarhum. “Yen kulak barang seripis, dolen saksuku. Kalau membeli barang seharga serupiah, juallah setengah rupiah.” Untuk bisa menjalani ajaran samin - yang sebenarnya juga merupakan nilai universal itu - kata Hardjo Kardi, tak mudah.

Setiap orang baru bisa menjaga dirinya sendiri dari berbagai ketidakbenaran, bila mampu mengendalikan delapan unsur bersaudara yang ada dalam dirinya. Yakni empat unsur yang dilambangkan dengan warna. Merah mewakili nafsu putih lambang sifat dasar kuning adalah unsur pengatur kelakuan serta hitam yang mewakili sifat senang. Ditambah empat lainnya yang merupakan indria. Yakni paningal, panggondo, pangroso dan pangrungon, - penglihatan, penciuman, perasa, dan pendengaran.

Secara menyeluruh nilai-nilai Samin dinyatakan sebagai ajaran agama. Yakni Agomo Adam, yang memiliki berbagai macam arti yang simpang siur dan sulit dipahami degan logika yang lazim. Terkadang Agomo Adam diartikan sebagai sesuatu yang permulaan, kadang sebagai sikap lisan. Istilah Nabi Adam dan Wali Adam oleh orang-orang Samin dipisahkan pula, untuk menyebut perbedaan jenis kelamin.

Lalu tentang surga dan neraka? Mereka - yang masih mendekap erat paham kesaminan - akan cenderung menggeleng, tersenyum lalu berkata perlahan, “Kalau kau mengatakan surga itu ada,… ya benar surga itu ada. Di lisanmu itu. Kalau kau mengatakan tidak, ya tidak ada.” Karenanya, orang seperti Hardjo Kardi akan tegas berkata bahwa hidup akan berakhir pada saat mati. “Sudah bebas,” katanya, yakin.

Keharusan agar manusia berbuat baik di dunia ini, baginya, ya hanya untuk kebaikan manusia pada saat hidup. Bukan untuk akhirat. Namun, paham hidup akan berakhir pada saat mati ini pun tak disetujui oleh beberapa orang Samin lainnya. Mbah Leles, warga Desa Jejeruk, Blora, yang selalu riang dan memiara kumis panjang terpelintir, ternyata, meyakini adanya inkarnasi. Kalau hidup seseorang baik, maka nyawanya kelak akan berada pada jasad manusia yang lebih baik. Kalau buruk, bukan tidak mungkin akan menjadi babi atau anjing.
* * *

Tapi waktu berjalan, detik berlalu. Samin sudah berubah, dan akan terus berubah. Sudah tak ada lagi yang dengan gagahnya berpidato di tengah lapang pada malam hari macam Ki Surosentiko. Tak ada pula yang dengan ikhlas dan bangga menembus dingin malam berbekal obor, terdorong mendengarkan petuah-petuah kesaminan. Sudah tak ada lagi tokoh yang bisa mengajarkan saminisme. Bila ada, ajarannya pun tak lagi komplet. Bisa dibilang, masyarakat Samin sudah kepaten obor, - putus hubungan dengan nenek moyangnya - kecuali di Dusun Jepang dengan Hardjo Kardi-nya.

Dan semua ini tak mereka sesali. “Zaman sudah berubah, Belanda sudah pergi,” kata Hardjo Kardi. Masa sekarang adalah jalan yang oleh orang-orang Samin dulu memang diharapkan datangnya. Zaman yang dulu mereka sebut tinggi jowo tunggu rakyat. Masa negara berpemerintahan sendiri, zaman merdeka . Suatu masa pembangkangan membayar pajak dan ketidaksediaan mengibarkan bendera, menurut Hardjo Kardi, harus diakhiri. Beberapa pergeseran terjadi, bukan hanya menyangkut ada atau tiada reinkarnasi setelah mati.

Cara pengajaran nilai kesaminan pun berubah. Surosentiko dengan aktif mengumpulkan massa agar dia bisa berbicara, tapi Surokamidin hanya memberi petuah kepada orang yang datang kepadanya. Dan Hardjo Kardi baru berbicara tentang ajaran samin bila ditanya hal itu. Mengapa tak khusus mengumpulkan orang untuk bisa diceramahi? “Itu ‘kan sama saja membikin gerombolan,” ujar Hardjo Kardi.

Dulu orang-orang Samin berupaya agar nilai kesaminan bisa didengar sebanyak mungkin orang, tapi kini setelah merdeka - saminisme hanya untuk diketahui dan dijalankan oleh mereka yang mau dan suka saja. Pemahaman akan perlunya tirakat dan kesaktian pun telah berubah. Ki Surasentiko gemar bertapa berhari-hari, sedangkan orang-orang Samin di Dusun Jepang akan memilih untuk berkata, “Kami ini orang tani. Bila berpuasa, tentu kami tak kuat mencangkul.” Bila orang-orang Samin dulu banyak yang mengagungkan kedigdayaan, kesaktian, kini mereka pun merasa tak perlu.

Pak Bangrek di Klopoduwur, misalnya. Di masa belum merdeka, dia ditokohkan karena kesaktiannya, di antaranya ia bisa terbang. “Saya pernah diajak terbang di atas daerah Jepon dengan mata tertutup,” kata Reso, yang mengaku berumur 90 tahun. Bagi orang Samin di Dusun Jepang - terutama bagi Hardjo Kardi - kehebatan macam itu tidak perlu lagi.

Kesaktian, kedigdayaan, ketidakmempanan kulit oleh senjata dinilai hanya akan membuat diri sendiri cenderung takabur dan pamer pada orang lain. Pendapat ini tentu tidak disepakati oleh orang-orang Samin di daerah Blora, yang umumnya masih tertarik pada ilmu kanuragan, dan masih biasa menjalankan puasa mutih atau puasa Seloso Kliwon.

Terlepas dari perbedaan pendapat antara orang Samin itu, warna-warna setempat memang belum hilang. Setelah merdeka pun gesekan orang Samin dan dunia luarnya masih terjadi. Hingga tahun 1950-an masih banyak orang Samin yang menolak membayar pajak. Hal ini memaksa para aparat desa berpikir keras mengatasinya tanpa konflik.

Di Desa Baturejo, Sukolilo, Kabupaten Pati, misalnya. Menurut penelitian Masato Fukushima dari Departemen Antropologi Universitas Tokyo, pada tahun 1983-1985, di desa itu Lurah Patmolujeng berhasil menanamkan rasa jowo podo jowo sedulur untuk merangkul orang Samin setempat. Sedang untuk menarik pajak, mereka menggunakan istilah njaluk sokongan (minta sumbangan), yang ternyata bisa diterima oleh orang Samin.

Di Desa Jejeruk — Blora, cara yang sama juga ditempuh Lurah Salam. “Kalau kita mengatakan menagih pajak, mereka akan menolak. Tapi kalau kita mengatakan njaluk sokongan, mereka akan memberi,” tutur Salam. Walau, pemberian itu biasanya sedikit, dan orang Samin tersebut umumnya mengiringi pemberian itu dengan ucapan, “Karena kamu minta, ya saya beri, tapi jumlahnya ya seikhlas saya.”

Tentu, besar “sokongan” itu masih di bawah nilai pajak yang harus mereka bayar. Karena itu, Pak Salam dua-tiga hari berikutnya akan datang lagi njaluk sokongan lagi. Demikian berulang-ulang hingga jumlahnya terpenuhi. Di Dusun Jepang, Hardjo Kardi juga pernah menggunakan retorika gaya Samin untuk mempertahankan diri.

Dulu, ia dituduh mencuri kayu jati yang kemudian dipakainya untuk membangun rumah. Ketika petugas hendak menyita rumah itu, Hardjo Kardi mengatakan: boleh saja, asal petugas itu juga mau memberikan rumah itu kepada Hardjo Kardi. Sewaktu petugas mengatakan bahwa rumah itu harus dirobohkan, dan hal tersebut adalah tugas negara, dia pun menjawab, “Kalau memang ada tugas negara untuk merobohkan rumah, saya dan orang-orang sedesa akan membantunya. Tapi syaratnya, semua rumah harus roboh, termasuk rumah Presiden.” Maka, pulanglah petugas itu dengan sia-sia.

Surokamidin di tahun 1964 malah pernah melangkah lebih jauh. Ketika lima orang warga desanya ditahan polisi lantaran - lagi-lagi - soal kayu jati, ia dengan bersarung, berjas hitam, mengenakan ikat kepala dan membiarkan kumisnya memanjang terpilin datang ke kantor polisi. Dimintanya lima orang tadi - yang disebutnya tidak bersalah - untuk dibebaskan. Polisi menolak. Merasa diabaikan, Surokamidin lalu berangkat ke Jakarta menghadap Presiden Soekarno, sekadar untuk bertanya: salah atau benar lima orang tadi.

Bung Karno menerima Surokamidin selama seminggu dan, konon, menjawab dengan kata “benar”. Legalah Surokamidin, dan ia pun lalu pulang dengan membawa puluhan gambar Bung Karno (juga gambar banteng) yang kemudian disebarkannya di rumah-rumah penduduk Jepang. Sayangnya, ciri saminisme masih juga punya konotasi dengan keterbelakangan, dengan kemiskinan.

Penelitian Masato juga mengungkapkan itu. Misalnya yang menyangkut pandangan mereka tentang sekolah. Banyak di antara saudara kita Samin itu yang menolak menyekolahkan anaknya. Dan ini bukan karena mereka punya pandangan sendiri terhadap sekolah. Tapi, “Sekolahe wong sikep kuwi gebyah macul thok. ” Sekolah buat orang Samin itu, ya, hanya mencangkul.

Masih menurut Masato, orang-orang Samin yang dianggap telah berpikiran maju oleh masyarakat luar Samin oleh kerabatnya sendiri sering dituding sebagai penipu pintar. Alasannya, mereka berbicara sudah tidak sesuai dengan cara orang Samin, dan mau diperintah oleh aparat pemerintahan.

Beberapa ciri saminisme yang menurut penilaian umum positif juga masih terasa hidup di daerah perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah. Semangat gotong royong, kejujuran, dan keterusterangan, misalnya. Hingga kini untuk mengerjakan sawah, mereka masih memakai sistem sambatan. Hari ini mereka bergotong royong bekerja di sawah si Suro, besok di sawah Merto, dan berikutnya giliran sawah Kirjo. Si pemilik sawah tak perlu mengupah mereka. Cukup dengan menyediakan makan - tradisi yang makin sulit ditemui di pedesaan lain.

Di kalangan anak-anak Samin yang bersekolah, sikap polos dan berterus terang juga terwarisi. Bila ada kegiatan di rumah atau di sawah, mereka akan meninggalkan sekolah, seperti juga terjadi di banyak desa lainnya. Bedanya, anak-anak keluarga Samin tidak membolos atau minta izin. Mereka akan berterus terang kepada guru bahwa hari itu bukan giliran sekolah, tapi giliran ke sawah.

Adapun ihwal perubahan dalam masyarakat Samin, bisa diceritakan oleh Sugito, purnawirawan peltu di Purwosari, Kudus. Di sekitar tahun 1948, tutur Sugito, yang bukan warga Samin ini, satu peleton pasukan kebanyakan bekas anggota Laskar Hisbullah - diterjunkan di berbagai daerah orang Samin. “Untuk mengenal peradaban dan agama mereka,” tutur Sugito.

Peleton yang diberi nama PPP (Pasukan Pembina Pimpinan Samin) itu mendapat kuliah tentang budaya orang Samin di Purwokerto, selama tiga bulan. Lalu PPP diterjunkan untuk tinggal selama setahun di rumah-rumah tokoh Samin. Hasilnya memang terasa. Tradisi pinjam istri lantas hilang. Klopoduwur, yang semula dianggap sebagai pusat kesaminan dan tampak terbelakang, makin tak berbeda dengan desa-desa sekitarnya.

Kalau ditanya di mana ada orang Samin, kini mereka akan menggeleng. Sedang bila ditanyakan di mana tempat bekas orang Samin, mereka pasti hanya menunjuk Dukuh Karangpace yang relatif miskin dan berada di sebalik hutan jati. Karena upaya itu pula, Agama Adam makin menipis pengikutnya. Kini, hampir seluruhnya - terutama setelah tahun 1965 - mereka meyakini Islam atau Budha sebagai agamanya.

Anak-anak mengaji di masjid, sudah bukan pemandangan yang asing. Di Jepang, pedukuhan yang kini paling kental nilai saminismenya, sebuah langgar telah berdiri. Dan seorang warga desa setempat melanjutkan studinya di Pesantren Pabelan. Dialah warga setempat yang berpendidikan tertinggi. Semangat bersekolah - walaupun di sana-sini masih terhambat oleh sikap mereka yang tua telah berkembang pula.

Di Dusun Jepang, pada 1970 sebuah SD didirikan, kendati hingga kini belum ada satu pun lulusannya yang melanjutkan ke sekolah menengah. Dari Desa Klopoduwur, setidaknya sudah dilahirkan 11 sarjana muda dan 48 lulusan SMA. Sebagian di antaranya dari keluarga Samin. Rumah-rumah makin jarang yang beratapkan ilalang atau ijuk. Sepeda dan sepeda motor, juga satu-dua mobil Colt atau truk, bukan cuma lewat desa Samin - tapi beberapa di antaranya sudah milik keluarga setempat.

Dan anak-cucu Surontiko ini pun ternyata mempan pula oleh acara radio dan televisi yang mulai banyak pada 1980-an. Mereka berubah: bila malam tiba, di pedukuhan Jepang umpamanya, anak-anak dan orang tua akan berkumpul di depan pesawat TV di serambi rumah Hardjo. Kebiasaan dan tradisi pun bergeser. Memanjangkan kumis dan memilinnya, serta bersarung, tidak lagi merupakan sikap yang harus dipertahankan.

Sewaktu muda, Hardjo Kardi pernah mencoba mendobrak tradisi tersebut. Bila ia hendak pergi ke kota, dari rumah ia bersarung. Setiba di hutan yang membatasi desanya dengan jalan raya, ia lalu mengganti sarung itu dengan celana. Nanti, bila pulang ia akan bersarung lagi. Suatu perbuatan yang pasti tak akan dilakukan oleh orang Samin generasi sebelumnya.

Tapi setelah ayahnya, Surokamidin, meninggal tahun lalu, ia justru mengenakan sarung bila menghadiri acara resmi atau harus pergi ke luar desa. Mengapa? “Saya bersarung karena harus bergaul dengan orang-orang tani dan desa. Agar mereka tidak merasa asing dengan kehadiran saya,” katanya jelas. Kebiasaan untuk berlagak bodoh, melucu ala Samin, kian jarang terdengar. Bahkan di kalangan warga Samin sendiri sudah banyak yang mengkritik kebiasaan yang disebut nyamin sangkak, yang mereka anggap memperburuk citra Samin.

“Hal seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran embah,” kata orang-orang di Jepang sekarang. Pola kerja sama antara mereka sudah kemasukan “hitung dagang”. Apalagi bila menyangkut soal uang, yang di masa lalu boleh dipakai siapa pun yang memerlukan tanpa ada kewajiban membayar kembali.

Di Menden misalnya. Mbah Mono, 95 tahun, berinisiatif mengaliri tanah-tanah kering di desanya dijadikan sawah . Ia beli pompa air untuk mengangkat air dari Bengawan Solo. Dan mereka yang kebagian air harus menyerahkan seperempat hasil sawahnya kepada si Embah, sebagai pengganti biaya operasi pompa. Tak apa memang, lantaran ini adalah kesepakatan.

Dulu, sulit dibayangkan hal “balas jasa” seperti ini. Di Jepang terjadi pula hal serupa. Hardjo Kardi membeli mesin diesel, dengan harapan rumah-rumah di Dusun Jepang berlistrik. Setelah terbeli, ia memasang jaringan kabel dari rumah ke rumah, dan memberi satu bohlam di setiap rumah warganya. Tidak gratis, tentu saja ia memungut Rp 1.000 dari setiap keluarga setiap bulan. “Untuk iuran membeli solar,” ujarnya. Namun, tak lama kemudian, usaha itu dihentikannya. “Tak ada yang mau membayar, saya tekor.” Nah, Anda mendengar sendiri, bukan, di sana kini pun ada tekor?

Entah karena sisa-sisa ajaran kebersamaan masih belum lenyap benar, koperasi dalam masyarakat Samin tumbuh dengan baik. “Koperasi itu baik, karena untungnya juga milik bersama.” Adanya perubahan juga memudahkan para aparat pemerintah. H. Noerhadi Karyodihardjo, Kepala Desa Klopoduwur, menyebut bahwa kepatuhan orang-orang “bekas Samin” (istilah yang dipakainya) pada pemerintah sangat baik. “Bahkan lebih baik daripada kepatuhan masyarakat umum.”

Emmy, petugas KB di Kecamatan Ngraho yang sudah sejak 1977 membina masyarakat Samin, juga berpendapat begitu. Walaupun sebelumnya ia sempat merasakan keruwetan-keruwetan lantaran sikap nyamin. Umpamanya, beberapa hari setelah ia membagikan pil KB dan menjelaskan cara penggunaannya, ia datang lagi ke rumah-rumah orang Samin.

Ditanyakannya kepada mereka apakah pil KB yang dibagikannya dulu sudah diminum secara teratur. Tanpa menjawab, yang ditanya ganti bertanya, “Sebentar, Bu, apakah sudah sah dan ikhlas waktu Ibu memberi pil, dulu?” Dijawab Emmy “ikhlas”. Mereka lalu berkata, “Kalau memberinya sudah ikhlas, ya sudah, tidak usah ditanya-tanyakan lagi pil itu.”

Lalu beberapa tahun kemudian, mereka tergolong mematuhi KB denan polos. Soal kepatuhan yang polos pun terasa dalam pemilu yang baru lewat. Para pemilih di Dukuh Jepang semuanya memilih Golkar - beberapa kertas suara kosong, diduga lantaran yang harus bersuara tak mengerti caranya - tanpa menyisakan suara buat PPP atau PDI .

Mengapa Golkar? “Sekarang zamannya Golkar, jadi baiknya kita memilih Golkar. Kalau dulu kata Bapak-bapak, yang baik gambar banteng. Dulu kita memilih banteng,” jawab beberapa di antara mereka. Tentang keadaan Indonesia saat ini, orang-orang Samin yang telah tua mempunyai pendapat tersendiri. Wejangan embah dulu, kata mereka, menyebut bahwa suatu saat kelak akan tiba zaman adil makmur. Pada masa ini, “Makmurnya sudah datang, tinggal adilya yang belum.”

Kelak, masa adil akan ditandai dengan kerataan di berbagai bidang. “Orang yang baik akan menerima nikmatnya, orang yang jahat pun akan menerima nikmat pula. Namun, bentuk nikmatnya berbeda.” Orang-orang Samin semakin banyak yang malu menyebut kesaminannya. Ciri kesaminan semakin pudar.

Seperti juga pada banyak pergeseran tata nilai dan budaya masyarakat lainnya, mengaburnya wajah Samin boleh jadi telah mengundang silang pendapat. Akan selalu ada orang yang tidak rela bila nilai dan budaya suatu masyarakat tertentu pudar, dan menganggap pengaruh luar adalah racun yang ganas. Tetapi selalu hadir pula orang yang tidak tega melihat sekelompok masyarakat dibiarkan menjadi museum hidup, dikaji dan ditonton bagaikan di akuarium.

Apa pun silang pendapat masyarakat luar, orang Samin telah membiarkan diri mengalami proses wajar. Berubah. Mereka - seperti banyak kelompok eksklusif umumnya - dalam proses berbaur dan bermuara pada budaya yang lebih besar. Dalam hal ini Jawa. Sebelum kemudian, bersama-sama bergabung membentuk budaya Indonesia.

Ketika anak-anak yang lahir pada periode 1980-an menjadi dewasa, pupuslah sudah jerih payah Ki Samin Surosentiko di malam-malam gelap di lapangan-lapangan Bapangan, Kasiman, dan beberapa desa lainnya. Kecuali, mungkin, sumbangannya dalam menentang penjajahan yang tercatat sebagai sejarah.

Dan mudah-mudahan, nilai-nilai universal yang ikut ditegakkannya, seperti keterusterangan, kejujuran, solidaritas, dan kemerdekaan diri, tak menjadi luntur dengan berlalunya waktu. Hanya saja, kalau kita bertanya kepada anak-anak di abad depan tentang masyarakat Samin, barangkali mereka akan berkata begini, “O …. itu orang-orang yang lebih lucu dibandingkan cerita Asterix atau Lucky Luke.”

23 Mei 1987

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi