Minggu, 28 November 2010

Ben Okri Dan Penyair Tulen

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=340


Penyair dipertentangkan dengan dunia, karena ia tak dapat menerima segala yang tampak sebagaimana apa adanya (Ben Okri).

Penyair hadir dari kegelisahan menggila atas beban lingkungannya; ladang di mana dirinya menemukan benturan hebat, di hadapannya rumusan hidup tiada yang becus, wewarna sengkarut. Namun tatkala melihat langit biru peroleh rongga pernafasannya lega, awan beterbangan sewujud pergerakan sosial, peradaban bertumpuk-tumpuk. Dan saat angin menghampiri didapati abad silam-semilam memberi kabar, lantas turun balik peroleh kekacauan yang sedikit jinak.

Maka diteruskan kembara memasuki gelombang hayati mengendarai ombak perasaan sesama, bertemu tebing curam mata-mata di tengah laluan pun jurang terjal pandangan sinis antar manusia. Ia melangkah seolah tak berjejak juga tiada bayangan, dalam keadaan itulah mengenal kata-kata.

Ia bayang-bayang berlarian dari awan tubuhnya, menggembol kesedihan teramat sangat akan nasib bermakhluk yang hilang di rimba belantara kebisingan. Kala kepedihan memuncak bertambah air mata tumpah membeningkan pandangan. Kerutan dahi bekerja berkumpulnya awan-gemawan menghitam hujan deras turun, bumi bathinnya disegarkan menyerupai keajaiban. Sisi tertentu sama kusut rambunya terkenai rintikan hujan semerah besi karatan.

Di sini penyair tengah mengimbangi ruang-waktu memadukan jarak nilai tatapan, direntangkan kemungkinan sejauh-jauhnya sewaktu anak panah cahaya matahari sampai ke telatah kelahiran. Ia setubuhi pelbagai kodrat benda menyelisik lembut melewati cela-cela fikiran, meramu perihal berpeluk utuh mengaduk relung kemanusiaan, menghampiri bibir molek analisa melumat tandas sebelum mengeja cumbui kata-kata.

Malam-siang bukan jadi soal baginya sebab menghidupi alam antara, sejenis terselubungi tabir hawa singkupnya senja mekaran fajar; bumi langit berbahasa. Tetumbuhan tebarkan petuah, bunga-bunga menginspirasi harapan manusia. Kelak gilirannya dianggap setengah gila sampai derajat tak waras oleh kerap memenggal jalan-jalan dianggap penting kebanyakan orang, yaitu aturan pemerataan yang membunuh. Maka kadang ia seolah terlihat menelikungi realitas demi peroleh jawaban purna, semisal menggeser tempat duduk.

Karena perenungannya begitu khas, mereka terpesona tetapi penuh kebencian, lantaran yang hadir mendongkolkan faham sudah berlaku. Namun mereka membutuhkan dukungan sebab segala permasalahan jatuh di linggiran penciumannya. Yang tentu kalimahnya tak berasal anganan tampak pun tidak dari lecutan mimpi berakar kepercayaan sempit menunggu pulung. Keyakinannya telah tanak membumi hingga gayuhannya menjelma gelegar suara bathin bersama. Atau spiritualitasnya bermeditasi sosial mengikuti pusaran hayati terjaga, makanya kita sulit memahami darinya kata-kata.

Ia bukan terbangun atas definisi para ahli kritik, kritikus sastra sekadar meraba berusaha mendekati seolah-olah mengenyam penghidupan penyair dan kerap terbentur persilangan teori dipegangnya. Sedang jika penyair menghasilkan kritik ialah yang selama ini dialami, kritik diri jalan dilewati membetot ingatan pada geliat kreatif, andai mengutip kata-kata penyair lain sekadar senggol menyapa.

Renungan di masa kanak merupakan sketsa mahal tatkala menuju remaja sampai jenjang dewasa, detikan hari-hari tertancap mawas terjaga kehati-hatian. Umpama pembawa gelas berair penuh diharapkan tak tumpah, atau menyunggi tampa di mana keseimbangan nomor pertama antara nalar-perasaan dalam tungku perapian malam. Juga membaca tidak silap berkedip kantuk menghilang, kekantuknya menyerupai ruh kekasih meninggal dunia yang mendatangi dengan pengertian. Maka kesadarannya memperlus wilayah menganyam panjang jejaring untuk tangkapan tidak luput sedari sergapan makna kata-kata.

Lelangkahnya pemburu hujan lebat batu-batu runcing pada wajah spekulan politik mengancam ambruknya nilai saham kemanusiaan. Seperti takdirnya titisan kembang segar diperbaharui kelopak-kelopak, andai gugur menjelma emas pertukaran kasih. Lihatlah dirinya memukul ketebalan bayu keadaan atas perubahan tak tampak, tapi tekanan udara dari jantungnya dipompa kesungguhan menetralisir wacana berseliweran. Maka semakin mantab memilah peristiwa dijadikan cermin pandangan terang yang membalikkan pantulan panorama.

Ia bukan makluk seperti peramal atau pesulap, tapi atas rasa nggigil menyaksikan pembantaian diejawantah dalam kehalusan. Tiupan syairnya menandaskan hati membuai hormon dibangkitkan tubuh kata-kata tak sekali saji. Kala melenyapkan rasa dingin berbaju basah kehujanan pulas tidur di lantai tanpa alas, kecuali matanya masih tajam mengamati genangan air kericuan di selokan sampah kebendaan. Ia membersihkan hingga para pendengarnya tercukupi perbendaharaan niscaya dalam kehidupan berbeda, yang seyogyanya dimaknai ulang puitika.

Suatu kali melihat penyair berbisik sesama penyair dengan jarak terdekat padahal bersuara keras. Ini ketulian pendengaran kita oleh telah disibukkan suara sumbang benturan benda, atau kegiatan sehari-hari mementingkan masa depan sendiri saling jegal mengejar mimpi. Sudah jauh kita tinggalkan bahasa hati hingga apa saja dikatakannya tidak faham, lantas menganggap ia hanya mengucapkan kata-kata kosong.

Penyair tulen berjalan seolah lenyap memasuki gelap malam dan kita sulit menyimak jejak-jejaknya karena ditumbuhi kesombongan, menganggap hidup penyair tak lebih berguna dari gelandangan. Kala itu ia masuk menafsirkan watak-watak manusia yang seolah bermain catur sendiri menata kata-kata. Kita semakin pekat hanya menikmati keindahan ucapannya sampai merasakan terkurung, lantas melepaskan hati pada kebiasaan membuta.

Dunia penyair berada dalam naungan jaman-jaman jauh dilupakan manusia pun kerap mengunjungi masa belum terfikirkan. Melintasi sekat-sekat waktu keluar-masuk reingkarnasi dengan karcis rangkap, atau di sisi tertentu menggunakan paspor perenungan dalam, sedang visanya ajek menguliti realitas kehidupan.

Ia insan paling ganjil seperti keunikan tradisi yang mengerami bentukan puisi tidak terganti wujud lain. Penampakan alam raya teman sejati, dirinya peroleh dialog yang tak terdengar kita akan masa-masa. Dan para informan paling obyektifnya ialah orang-orang yang kita anggap gila, padahal mereka menggembol kegilaan dunia, tapi karena tidak pernah menempati keluasaan kesadaran, maka tak sanggup mengutarakan. Olehnya penyair mengambil saripati kegelisahannya dalam percakapan membisu; ini betapa saling menyenangkan dan ia mendapatkan lebih.

KI HAJAR DEWANTARA DAN PEKERJAAN RUMAH PENDIDIKAN KITA

Janual Aidi
http://janualaidi01.blogspot.com/

…..seperti yang terlihat dari sejarah dan realitas sekarang,
ternyata Indonesia terus mengalami pembodohan secara sistematis.

Prolog

Seingat dan sepemahaman penulis, bahwa dahulu ketika masih duduk berseragam “merah putih” terpampang jelas di kelas gambar para pahlawan-pahlawan bangsa yang berjuang demi merebut kemerdekaan dan meraih kebebasan. Salah satu gambar pahlawan tersebut adalah gambar Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hajar Dewantara bukanlah semata pahlawan yang berjuang dengan senjata tombak, namun ia adalah sosok pahlawan yang memiliki senjata perlawanan baru yakni “senjata pendidikan”. Awal dari manifestasi perjuangan dengan senjata baru tersebut ialah dengan berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa). Bukti kontinyuitas dari senjata baru beliau itu, kini sekolah-sekolah sudah masuk ke pelosok-pelosok negeri Indonesia. Menyadari ini, hendaknya semua warga Indonesia wajib berterima kasih pada beliau. Namun akhir-akhir ini sangat disayangkan penulis tidak pernah lagi melihat gambar Ki Hajar Dewantara di kelas-kelas (terlebih ketika sudah duduk di bangku kuliah). Padahal, Ki Hajar Dewantara adalah permata pendidikan Nusantara. Beliau merupakan ‘aset mahal’ Indonesia yang tak ternilai.

Prolog di atas hanyalah kutipan, sebenarnya penulis ingin mengatakan “jangan lupakan dan jangan tinggalkan Ki Hajar Dewantara”. Sebab menurut penulis, saat ini bangsa kita sudah terlalu congkak melupakan sejarah. Bangsa kita seolah tak pernah memiliki sejarah dan para tokoh perjuangan . Pendidikan Indonesia seakan merasa tak memiliki dan mengakui Ki Hajar Dewantara sebagai anak bangsa yang sekaligus menurut penulis sebagai”prime mover” (penggerak utama) dalam dunia pendidikan. Realitas ini menimbulkan sebuah pertanyaan batin, apakah ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang? Kalau benar seperti ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang, lalu apa bedanya manusia-manusia Indonesia sekarang dengan para penjajah kolonial dahulu yang tak suka dan menjatuhkan hukuman internering (hukum buang) pada Ki Hajar? Penulis khawatir, jangan-jangan, manusia-manusia Indonesia sekarang yang sengaja melupakan dan tak mengindahkan konsep-konsep Ki Hajar Dewantara adalah “kolonial baru” yang menjajah Indonesia dengan konsep kapitalisme pendidikan. Kapitalisme pendidikan yang selalu menyisihkan hak-hak rakyat kecil. Membuat konsep baru bahwa pendidikan hanya untuk “mereka” yang ber-uang dan orang miskin dilarang sekolah. Ini merupakan “PR pendidikan” bangsa kita saat ini, apakah “mereka” yang menjajah dengan gaya kapitalisme pendidikan adalah “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara. Jikalau nantinya “mereka” terbukti sebagai “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara, maka sepatutnya kita semua harus cepat-cepat mengusir mereka dari bumi Indonesia. Mereka tidak “welcome” di Indonesia. Ini adalah PR pertama bagi bangsa kita. Semoga bisa dikerjakan dengan tuntas.

Baiklah, penulis pada kesempatan ini ingin mencoba mengkritisi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia sekarang, kemudian akan penulis coba komparasikan dengan konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang penulis rasa masih relevan untuk di implementasikan dalam perilaku pendidikan saat ini.

Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Nama asli Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Soerwardi Soeryaningrat. Beliau dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis Legi tanggal 2 Mei 1889 sebagai putra keempat dari pangeran Soeryaningrat, putra tertua dari Sri Pakualam III. Konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (1922) memiliki arti yaitu pendidikan di lembaga pendidikan, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di keluarga. Konsep ini mengisyaratkan bahwa pendidikan dapat diraih di mana dan kapan saja serta menjadi tanggung jawab bersama. Konsep ini memberitahukan bahwa masyarakat dan keluarga memiliki tanggung jawab yang seimbang terhadap keberhasilan para penuntut ilmu. Artinya, bukan hanya sekolah yang dijadikan dan di amanatkan sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab besar (penuh) terhadap berhasil atau tidaknya individu dalam proses pendidikannya. Inilah inti makna dari Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sayang seribu-sayang, kini di Indonesia terlihat bahwa Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara hanya dijadikan sebagai pusaka belaka. Atau menurut nalar penulis, kini di Indonesia hanya menerapkan “Tunggal Pusat Pendidikan” yaitu pendidikan dilembaga (sekolah atau universitas). Sekolah di anggap sebagai satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan. Inilah konstruksi pemahaman dunia keluarga dan masyarakat yang terbangun pada masa sekarang. Konstruksi ini berakibat pada tiadanya perhatian dan tanggung jawab dari keluarga dan masyarakat atas suksesnya pendidikan peserta didik. Keluarga dan masyarakat seolah “EGP” (Emang Gue Pikirin) dengan tanggung jawab pendidikan mereka, dan ketika anak mereka gagal dalam pendidikan, yang disalahkan adalah sekolah. Kita harus kembali pada konsep “Tri Pusat Pendidikan” Ki Hajar Dewantara bukan melupakan dan meninggalkannya lantas memegang konsep baru yaitu “Tunggal Pusat Pendidikan” yang entah dicetuskan oleh tokoh siapa.

Sesuai dengan hakekat kandungan Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan kritisasi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia saat sekarang, maka dalam tiga ranah yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat telah dan banyak terjadi perilaku pembodohan siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “keluarga” terlihat dalam hal: pertama, keluarga kurang perhatian pada anak seperti misalnya ketika rumah tangga mengalami “broken home”. Kita juga sering mendengar anak orang kaya disebut sebagai ‘anak pembantu’ dikarenakan anak mereka jarang diperhatikan oleh orang tua aslinya. Kedua, bentuk perilaku pembodohan lainnya adalah membiarkan anak menonton acara TV yang tidak mendidik serta tidak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Misalnya membiarkan anak menonton sinetron atau film “Cinta Fitri, Pernikahan Dini, Ayat-Ayat Cinta, Suster Ngesot, Hantu di Sekolah” dan sebagainya. Ketiga, ketika terjadi pemaksaan hak pada anak. Misalnya “sang anak” memiliki bakat menjadi guru kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi polisi. Keempat, tindakan orang tua yang “menyuap” pihak sekolah (guru) agar anaknya lulus dan naik kelas. Kelima, tindakan orangtua yang menyuruh anak mencari nafkah, sementara anak masih membutuhkan pendidikan. Pada kasus seperti ini tidak sedikit anak menjadi tulang punggung keluarga. Beban ekonomi selalu menjadi alasan utama bagi orang tua untuk bertindak keliru terhadap pendidikan anaknya. Keenam, orang tua yang keras dalam mendidik anak. Konon, tindakan yang dirasa paling tepat oleh para orangtua ketika si anak mendapat nilai nol di lembar jawaban ujiannya adalah dengan memberi “hukuman”. Film kartun Doraemon merupakan satu gambaran tindakan umum para orang tua ketika menghadapi sang anak yang kesulitan dalam pendidikan. Tokoh si Nobita dalam film Doraemon akan selalu ketakutan bila pulang sekolah dengan membawa hasil ujian yang sangat buruk. Semua bentuk perilaku pembodohan dalam keluarga di atas merupakan PR-PR pendidikan yang semestinya kita sikapi dengan bijak dan arif.

Bentuk perilaku pembodohan siswa dalam “sekolah” tak kalah sadis. Penulis menemukan beberapa contoh, seperti memanipulasi nilai, gaya mengajar guru yang membodohkan siswa (otoriter, tak memberi ruang kritis terhadap siswa, siswa dianggap seperti celengen), atau perilaku guru (sekolah) yang membocorkan serta menjual soal dan kunci jawaban. Pada kondisi ini siswa pun akhirnya menjadi sosok 5D (datang, duduk, dengar, dengkur, dan duit). Maka, tak berlebihan jikalau seorang tokoh yang bernama Thomas Armstrong pernah berkata bahwa “masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan karena salah ajar (dysteachic community)”. Belum lagi dengan praktik pendidikan kita yang sering mengalami perubahan kurikulum secara “erratic” . Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Penulis teringat dengan buku yang berjudul “Sekolah Itu Candu” (2007) karangan Roem Topatimasang yang membahas sekaligus mengkritik sekolah. Buku tersebut bertanya apakah sekolah itu hanya tentang ijazah? Tentang gelar? Tentang jalan mencari pekerjaan yang lebih baik? Apakah sekolah adalah satu-satunya cara untuk mencerdaskan seseorang? Dengan sedikit malu penulis mengatakan “PR pendidikan kita bertambah lagi”. Penullis melihat lembaga pendidikan kita tidak memberikan kesadaran tentang ini.

Bentuk-bentuk pembodohan di masyarakat lebih terlihat nyata. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat, entah itu masyarakat miskin atau kaya, tua atau muda, pintar atau tidak pintar, siswa, guru, politikus, atau yang lainnya. Dari sini diharapkan akan tercipta masyarakat yang partisipatif. Namun sayangnya, yang terlihat adalah tidak adanya masyarakat partisipatif dalam memperhatikan atau mengontrol ataupun mengapresiasi pendidikan yang dilakoni siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “masyarakat” terlihat dalam dua hal: pertama, perilaku para petinggi negara yang terlihat hanya bisa memberi contoh korupsi pada generasi muda saat ini. Kedua, orang-orang kaya tak lagi memberikan bantuan pendidikan bagi murid-murid yang ada di pelosok-pelosok desa. Tak ada lagi sumbangan seragam, sumbangan buku, pensil, tas dan yang lainnya.

Dengan terkuaknya bentuk-bentuk perilaku pembodohan siswa dalam tiga ranah yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi pembodohan siswa secara sistematis. Realitas ini memberitahukan kepada kita semua bahwa bangsa ini memiliki setumpuk PR pendidikan yang berat. Penulis melihat, salah satu faktor penyebabnya adalah karena kita telah melupakan dan meninggalkan pemikiran cemerlang Ki Hajar Dewantara dalam Tri Pusat Pendidikan. Saatnya kita kembali.

Diskriminasi Sekolah Swasta dan daerah terpencil

Pendeskriminasian sekolah-sekolah swasta ataupun sekolah-sekolah yang ada dipedesaan oleh penguasa merupakan PR lain yang lebih tragis. Dapat dikatakan bahwa pendeskriminasian ini terjadi secara merata di bumi Indonesia. Novel dan film “Laskar Pelangi” merupakan bukti yang jelas adanya pendeskriminasian tersebut. Di daerah propinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, pada satu sisi dapat kita lihat dengan mata telanjang, sekolah-sekolah yang berlabel “negeri” mulai dari Sekolah Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum atau sederajat berdiri megah disana-sini dengan bangunan yang seolah-olah berbusung dada. Belum lagi dengan sarana dan prasarana yang serba “mentereng”. Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Daerah sepertinya meng’anakemas’kan sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi di sisi lain, seperti yang dimuat oleh media cetak Lombok Post (Minggu, 24 Mei 2009) dalam berita “Laskar Pelangi ala Lombok”, terpampang sebuah fakta dan kisah yang memprihatinkan dunia pendidikan SDN 12 Pemongkong Kecamatan Jerowaru (daerah paling selatan Lombok Timur), SDN 6 Sukaraja ( Jerowaru, Lombok Timur), SDN 3 Batulayar (Kabupaten Lombok Barat), SDN 4 Lembah Sari (Lombok Barat) dan SDN 4 Mareje yang berada di balik bukit Sekotong Timur (Lombok Barat). Sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil tersebut rata-rata memiliki ruang kelas yang atapnya sudah rusak, bangku sekolah yang tak layak pakai, tembok retak yang menunggu waktu akan roboh, atap yang bocor, lantai yang tak memakai semen alias berlantai tanah dan jumlah guru yang terbatas. Hasil penelitian kecil didesa Selaparang Kabupaten Lombok Timur oleh kawan-kawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong pada tahun 2007 lalu, menunjukkan bahwa didesa yang tergolong bersejarah tersebut hanya terdapat “satu” Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah saja. Inilah potret pendidikan di “Pulau Seribu Masjid”. “Pulau Seribu Masjid”, bagian dari “Indonesia Seribu Pulau”. Kita tak bisa mengelak dan berbohong akan kenyataan dunia pendidikan yang dialami anak bangsa sekarang, padahal jika mau jujur, dahulu Ki Hajar Dewantara lebih senang bergelut dengan anak-anak awam dan sering tidur bersama di masjid. Ini menandakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan tak memandang “si kaya” ataupun “si miskin”. “Si desa” ataupun “si kota” dan “si priyayi” ataupun “si non-priyayi”. Sekarang ini dunia pendidikan kita terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidikan anak-anak orang kaya yang sekolah di negeri, sementara anak-anak mereka yang miskin tidak bisa sekolah karena tidak mampu menanggung biaya sekolah.

Coba kita bandingkan kualitas pendidikan dahulu dengan sekarang, atau semangat para penuntut ilmu dahulu dengan sekarang. Para penuntut ilmu dahulu tidak memiliki fasilitas penunjang seperti yang dimiliki oleh para penuntut ilmu sekarang. Tidak ada internet, komputer, laptop, gedung yang mewah ataupun seragam sekolah yang indah. Yang ada hanyalah gedung sekolah sederhana, jalan setapak yang berlubang dan kadang kala becek, lidi sebagai alat bantu hitung, keseharian mereka yang di isi oleh saling meminjam buku, dan interaksi hangat serta salam dan hormat mereka dengan keluarga, guru dan masyarakat. Suatu alur kisah para “truth seekers” (pencari kebenaran) yang sulit ditemukan pada zaman sekarang.

Namun apa yang penulis tuturkan di atas sangat jauh berbeda dengan kondisi yang terlihat sekarang. Kini yang tampak adalah “si murid” tidak lagi menenteng buku dan pensil, melainkan menenteng laptop yang lebih banyak berisi lagu-lagu ataupun blue film (BF). Atau, para pelajar sekarang lebih sering terlihat memencet hand phone (HP) dari pada memegang dan membaca buku. Tidak ada lagi hormat pada guru, dan yang ada yaitu kabar “si murid” membacok “si guru”. Kegiatan diskusi kelompok pun tergantikan oleh ‘kumpul kebo dan perkelahian antar pelajar”. Kualitas pendidikan Indonesia sekarang hanya bisa menelurkan “manusia-manusia korup yang tak berkualitas”. Inilah yang tampak dan melanda pendidikan Indonesia saat ini. Dan inilah akibatnya ketika pendidikan dibangun hanya pada satu sisi sekolah saja, tetapi tidak mengindahkan pendidikan keluarga dan masyarakat.

Maka, tugas kita semua adalah “kembali pada konsep yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara”. Mengimbangkan peran sekolah, sekolah dan masyarakat. Terakhir, penulis hanya bisa mengatakan bahwa tugas akhir kita semua yaitu mengubah paradigma masyarakat dari “gila gelar” ke arah “gila kualitas”, dari “simbol” ke “aksi” sehingga kualitas pendidikan kita tidak hanya diukur oleh ijazah atau lamanya belajar di kelas, tetapi oleh kontribusi pemikiran dan keterampilannya dalam menata hidup dan kehidupan. Semoga setumpuk PR pendidikan kita dapat tertuntaskan dengan baik.

”Tertawa” yang Melawan Lupa

Buku Urip Mung Mampir Ngguyu
Muhammadun AS
http://suaramerdeka.com/

FOKLOR menjadi salah satu bilik peradaban yang berkembang luas di kalangan masyarakat Jogja. Salah satu faktornya adalah kenyataan bahwa folklor selain sebagai lelucon ternyata juga dapat berfungsi sebagai kritik sosial maupun melepaskan gerakan perlawanan melalui permainan kata. Hubungan antara folklor sebagai subkultur dengan Jawa sebagai kultur dapat dianalogikan dengan hubungan antara sistem sosial masyarakat dan subsistemnya yang beraneka ragam. Karena hubungannya yang demikian, maka untuk memahami hakikat folklor dan lelucon Jogja, tidaklah mungkin melepaskannya dari sosiologisme humor masyarakat Jawa.

Perlu diketahui, Folklor merupakan sebagian kebudayaan (subkultur) suatu yang kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

Untuk membedah folklor dalam sosiologisme masyarakat Jogja, ini memberikan daya jelajah ihwal melihat folklor sebagai salah satu bilik kritik sosial yang berkembang luas dari Kota Gudeg ini. Mengapa perlu kita mempelajari folklor Jogja? Sebab utama adalah folklor mengungkapkan kepada kita, secara sadar atau tidak sadar, bagaimana masyarakat berpikir sekaligus mengabadikan apa-apa yang dirasa penting (dalam suatu masa) oleh folk (masyarakat) pendukungnya. Atau dengan kata lain, folklor Jogja merupakan penanda dan petanda untuk menjelaskan dan memahami kondisi psikologis dan social-politik dari masyarakat penggunanya. Folklor Jogja sekaligus merupakan cermin bagi masyarakat Jogja untuk melihat dirinya sendiri (halaman 36).

Sebelum memahami mendalam ihwal Folklor Jogja, penulis membedah di balik kata Folklor itu sendiri. Meminjam analisis Jan Harold Brauvand, Folklor dapat digolongkan menjadi tiga. Pertama, folklor lisan, bentuknya murni lisan, antara lain bahasa rakyat (seperti logat, julukan, pangkat tradisional); pangkat tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pameo; pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, syair, dongeng; dan nyanyian rakyat. Kedua, folklor sebagian lisan, adalah yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dengan bukan lisan, antara lain: kepercayaan rakyat, teater rakyat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. Ketiga, folklor bukan lisan, antara lain berupa bentuk rumah, pakaian, gerak, bunyi isyarat, dan lain-lain (halaman 33).

Berbagai istilah dan cerita lucu dalam buku ini sebagian diantaranya dikategorikan sebagai golongan folklor lisan dan folklor sebagian lisan, khususnya yang berkenaan dengan bahasa rakyat. Yang dapat dikategorikan sebagai bahasa rakyat adalah logat (dialek) Jogja-ngarai (daratan rendah); Jogja NgGunung (Anggun= Anak gunung); dialek Jawa Banyumasan, Cirebonan, Jawa Timuran, yang semuanya mewarnai khazanah bahasa harian rakyat Jogja. Bentuk lain dari bahasa rakyat adalah slang atau prokem, yang asli (mula pertamanya) adalah bahasa yang hanya diketahui kalangan/kolektif khusus. Maksud diciptakannya bahasa slang, prokem adalah untuk menyamarkan arti bahasanya bagi orang luar. Cara ini sering pula disebut sebagai bahasa rahasia (cant).

Fakta bahwa folklor, plesetan, humor, guyonan, pasemon yang berisi kritik keras dan tajam, sebagaimana muncul dalam adegan “Gara-gara” atau “Limbuk-Cangik” di pewayangan, menunjukkan kenyataan bahwa manusia Jawa memiliki mekanisme unik dalam merespons ketidakadilan sistem social dan ekonomi yang silih berganti diproduksi berbagai penguasa yang ada. Semuanya itu kemudian menjadi bentuk oposisi simbolik yang bersifat kultural dalam masyarakat Jawa. Humor bisa jadi adalah manifestasi dari kenyataan pahit atas ketidakadilan yang dalam banyak kasus justru bisa sangat kronis keadaannya. Bahkan plesetan dan humor Jawa secara halus merupakan “konsolidasi” perlawanan secara simbolik (halaman 58).

Selain folklor, Jogja hadir lewat folklornya yang kritis juga disebabkan hadirnya beragam mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Para mahasiswa menjadi genesis sendiri dalam gerakan sosial di Jogja. Mereka bukan warga Jogja, tetapi secara substansial, mereka selalu memperjuangkan hak-hak masyarakatJogja. Mereka telah menjadi metamorfosis yang telah menyatu dalam denyut nadi Jogja. Mereka menuangkan plesetan folklor melalui media graffiti di tembok jembatan hingga kamar kecil, kaos oblong politik karikatur, dan lainya. Simbol perlawanan lewat plesetan dan folklor yang disuarakan mahasiswa bukan sekadar untuk mengkritik kebijakan lokal Jogja, bahkan sampai tingkat nasional sekalipun tak luput dati
kritik mereka.

Herbert Marcuse mengatakan bahwa fungsi aktual seni bagi kehidupan masyarakat bukan dilihat dari derajat popularitas, tetapi dilihat dari visi penegakan demokrasi egaliter (halaman 61). Ben Anderson melihat bahwa sejak lama massa rakyat kecil “tanpa otot” politik sebenarnya telah memiliki berbagai siasat melawan penguasa, tanpa kekerasan. Massa pengguna plesetan dan humor mampu melempar cemoohan politik dan melakukan “politik picisan” untuk mengaji ulang politik modern beridentitas adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa. (halaman 63).

Folklor yang berisikan tawa, humor, plesesan, dan guyonan lainnya ternyata bukan sekedar ngguyu (tawa), melainkan sebuah simbol melawan lupa atas segala kelalaian kita menegakkan keadilan dan kebenaran.

=========================
Judul: Urip Mung Mampir Ngguyu: Telaah Sosiologis Folklor Jogja
Penulis: Sidik Jatmiko
Penerbit: Kanisius, Yogyakarya
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: 231 halaman

Soeharto dan Fenomena Politik Kebudayaan

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Sastrawan Sobron Aidit bertemu dengan Ramadhan KH – keduanya telah mendiang – dalam peluncuran buku karya Sobron. Keduanya terlihat sempat berpelukan, segala catatan sejarah kebudayaan termasuk sastra seakan telah pupus dengan keakraban keduanya.

Sekalipun sastrawan Martin Aleida yang semasa mudanya sempat ikut sebagai salah satu sastrawan anggota Lekra, mengatakan di kemudian hari bahwa islah bisa terjadi, tapi penegakan HAM tetap harus dilakukan. Banyak juga keluhan atas ketidakadilan termasuk soal eksistensi berkarya pada masa lalu, yang dibocorkan pada masa pra-reformasi.

“Karya saya tak pernah diikutkan dalam angkatan sastrawan 1966,” papar Sitor Situmorang, budayawan yang juga aktivis LKN – lembaga kebudayaan yang berafiliasi pada PNI.

Yang dituju adalah Taufik Ismail, sang editor. Namun, buku Prahara Budaya adalah kesaksian sekaligus pembelaan Taufik yang juga menjelaskan berbagai konflik politik seputar pra dan pasca 1965 yang rumit sekaligus keras. Keduanya kemudian dikenal sebagai pribadi yang teguh dalam perbedaan.

Ramadhan KH pun pernah menulis tentang Royan Revolusi dan Ladang Perminus yang mengkritik Soekarno dan Soeharto sekali pun belakangan dia larut dalam sikap pro terhadap Soeharto dan membuat biografi terhadap diri “The Smiling General”.

Konflik kebudayaan semakin meruncing di tengah pemihakan Soeharto terhadap satu pemikiran dan menggilas pemikiran yang lain. Perbedaan antara Persagi dan Mooy Indie – yang satu bicara kerakyatan dan yang satu melihat Indonesia sebagai negeri molek dan mengingkari penderitaan – telah ada sejak lama, begitu pun dengan perbedaan Manifestasi Kebudayaan dan Lekra. Namun, perbedaan itu masih sebatas polemik yang seimbang dengan kubu yang hampir sama besar.

Itu terjadi ketika Soeharto belum memimpin negara ini. Belakangan, dengan politiknya yang tak menerima Lekra dan LKN dan menjadikan Manifestasi Kebudayaan yang digiringnya untuk menjadi ke arah yang semakin politis. Setelah Lekra sempat di atas angin, gantian Manifes bisa menskak mat Lekra dan LKN. Di satu sisi sejarah pasca-1966 kemudian “menghilangkan” nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani atau Sobron Aidit.

Di sisi lain, setelah kemenangan politik tahun 1966, Manifestasi Kebudayaan memang tak selalu ada urusan dengan politik pemerintahan Soeharto. Namun, tidak bisa dicegah, bertahun-tahun kemudian, sastrawan Manifestasi Kebudayaan diharapkan agar tak semakin kritis terhadap masyarakat – sekali pun ada juga yang belakangan di tengah penyelewengan sang Presiden setelah memerintah puluhan tahun akhirnya menjadi oposan, seperti sastrawan Goenawan Mohammad, pemimpin redaksi Tempo yang majalahnya diberedel bersama Detik dan Editor. Atau Mochtar Lubis, pemred Indonesia Raya yang tetap oposisi pada dua periode pemerintahan kepresidenan di Indonesia: Soekarno dan Soeharto (pada tahun 1972)!

Seni Berbicara

Dari dunia seni lukis, generasi pra-1960 an, tercatat Itji Tarmizi, Amrus Natalsya, dikenang sebagai para pelukis yang ikut merunduk dan baru berpameran lagi setelah Soeharto lengser – setelah nama lain seperti Basuki Resobowo atau Henk Ngantung, pelukis Lekra lainnya yang keburu wafat sebelum menghirup hawa segar reformasi.

Mereka semua adalah generasi yang sebelum dan sesudah pemerintahan Soeharto telah berkarya dan telah berproses di zaman itu. Seperti pendapat penyair Adri Darmaji Woko yang pada tahun 1980-an membuat Kelompok Poci yang mengatakan bahwa sebelum “prahara budaya” itu, sastrawan Sobron Aidit dan Ajip Rosidi pada tahun 1950-an adalah kawan erat bahkan pernah membuat antologi bersama dengan tajuk “Yang Ketemu di Jalan”. Berpisah jalan “di persimpangan” karena perbedaan berkembang menjadi rentetan kontak fisik.

Perbedaan ideologi yang meruncing pada masa itu terjadi pada semua lapisan dan profesi, selain letusan konflik politik terhadap masyarakat yang dianggap terkait unsur PKI, stigma komunis pun ditabuhkan pada setiap lawan politik, tanpa pandang bulu. Banyak dari mereka yang dituding PKI, tak mengerti apa itu definisi dan konsep dari partai.

Agak berbeda setelahnya, perlawanan tetap bermunculan dari para seniman muda dan baru tumbuh – ideologi tak begitu mengemuka pada masa 1980 hingga pra 1998. Namun, pemerintahan Orba masih tetap meniupkan fitnah ideologis, makar dan menuding setiap perlawanan termasuk dari kalangan budayawan sebagai “organisasi tanpa bentuk”.

Berbagai latar prinsip dari para aktivis itu kemudian mengarah pada satu tujuan mengkritik Soeharto, memuliakan demokrasi. Muncullah isu mulai dari anti-imperialisme yang meletus di Malari tahun 1974, atau Tanjung Priok 1980, Penembak Misterius 1990, dan reaksi terhadap pelanggaran HAM di tiap wilayah di Indonesia.

Pada sejarah itu juga, muncullah nama-nama seniman yang dikenal kritis terhadap pemerintahan Orde Baru antara lain Rendra, Syumanjaya dan N Riantiarno. Pada masa itu juga, seirama pergerakan seni Wiji Thukul, muncul “seniman yang turun ke jalan” baik dari generasi tua hingga muda mulai dari M Brewok AS di Surabaya, Sosiawan Leak dari Solo, Ratna Sarumpaet dari Jakarta, Butet Kertaredjasa dari Yogyakarta yang mendapatkan simpati dari sebagian besar rakyat, sekali pun rasa simpati masih diungkapkan dengan rasa takut dan cemas.

Pencekalan, penangkapan terhadap seniman dan karyanya terjadi di mana-mana termasuk pelarangan dan pembubaran pementasan. Pelukis Semsar Siahaan malah mendapatkan pemukulan atas karya seni muralnya – sebelum dia ke Kanada dan wafat beberapa tahun lalu saat dia sudah kembali di Indonesia.
Perlawanan dan gerakan oposisi para seniman pada generasi 1990-an, memang tanpa beban ideologis seperti generasi sebelum mereka. Dari generasi itu, muncullah nama-nama Wiji Thukul, Gojek JS, dan banyak lagi.

Ketika itu, banyak media massa yang “tiarap” pascapemberedelan, sebut saja Sinar Harapan (1986), Tempo, Detik dan Editor (1990). Beberapa seniman yakin sastra adalah alternatif untuk berkelit di masa sulit. Seniman baik lukisan, mural, instalasi dan karikatur mampu memberi bahasa simbolik, dua makna antara fakta dan metafora, sehingga bisa menghindar dari hantaman pemerintah Orde Baru.

Ketika jurnalisme dibungkam, sastra yang bicara, demikian prosais yang juga jurnalis melahirkan Saksi Mata berkisah tentang insiden Santa Cruz di Timtim dengan karya yang imajinatif dan estetik. Seno memang sempat dimutasi dari jabatannya di media massa karena esai dan feature juga laporan khususnya tentang Timtim. Juga banyak karya para penulis muda di antologi buku, jurnal, atau majalah alternatif seperti majalah kampus, sebut saja nama Linda Kristanti, Eka Kurniawan yang tergabung dalam antologi Tak Ada Pilihan Lain terbitan Sumbu bekerja sama dengan Taring Padi, Yogyakarta. Bila pada generasi 1980-an, senimannya kemudian bisa mencair dan kembali pada pembongkaran konsep, eksperimen dan pencarian estetik, maka pada seniman 1960-an punya fenomena yang agak berbeda.

Tegangan sisa ideologi – atau dendam fisik masa lalu generasi 1960-an (dari kedua kubu) juga penegakan keadilan HAM yang terbengkalai, persoalan itu tampaknya tak mudah selesai. Hingga sekarang, di tengah keakraban salah seorang dari mereka, pada kedua kubu itu tetap saja masih ada personal senimannya yang enggan bertemu dan berbincang.

Debat Ekskul dan Seni Kontemporer

Danarto
http://www.infoanda.com/Republika

Alhamdulillah, akhirnya kita punya film yang bisa dijadikan bahan perdebatan yang asyik, Ekskul, karya Natayo Fio Nuala. Berkali-kali saya memutar ulang adegan perakitan pestol oleh Joshua (dimainkan oleh Ramon Y Tungka) dari vcd yang saya pinjam dari rental. Tak ada dialog, tak pula kedumelan, cukup dengan bahasa gambar.

Adegan itulah satu di antara sejumlah bagian dalam film itu yang ditelusuri oleh para juri Festival Film Indonesia 2006 yang memilih Ekskul sebagai film terbaik, dan para sineas yang menentang keputusan juri itu.

Setelah perakitan pestol selesai, tampak Joshua menatap sebutir peluru yang lalu memasukkannya ke magasin pestol. Bagi para juri, itulah peluru baru hasil rakitan Joshua. Sedang para sineas meyakini, itulah satu-satunya peluru yang menyertai pestol ketika Joshua membelinya dari pedagang senjata.

Yang jadi masalah bagi para sineas, memiliki satu peluru, namun Joshua meletuskan pestolnya dua kali. Ini janggal. Sedang bagi juri, terjadi dua kali letusan karena Joshua memang punya dua butir peluru. Sementara itu, bagi saya sebagai penggemar film, tak masalah Joshua punya satu atau dua peluru, seperti saya juga tidak menuntut Peter Jackson, sutradara film King Kong, untuk melukiskan adegan pemboyongan binatang raksasa itu dari Kepulauan Indonesia ke New York.

Dalam pernyataan sikap, Masyarakat Film Indonesia (MFI) memprotes film Ekskul yang memenangi piala Citra FFI 2006 sebagai film terbaik. Film itu dianggap melakukan pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik film. Namun, pelanggaran musik film yang mana dan dari film apa, tak disebut dalam pernyataan sikap itu. Desas-desus yang saya dengar, kabarnya Ekskul mencomot, tanpa izin, ilustrasi musik dari film Taegukgi (Korea Selatan), Gladiator, dan Munich.

Jika demikian persoalannya, sebenarnya kelalaian penyantuman sumber musik film oleh pihak produser film Ekskul, Indika Entertainment, tidak mengurangi kebagusan film Ekskul yang telah dipilih oleh para juri. (Walau Gunther Grass pernah menjadi anggota Nazi, kemenangannya atas Hadiah Nobel Sastra tidak dicabut). Kabar terakhir, pihak Universal Music pemilik musik Gladiator sudah menggugat pihak Indika dan membawanya ke pengadilan.

Jika sudah begini, saya mengimbau kepada pihak Indika Entertainment untuk menggugat film Once Upon a Time in America karya Sergio Leone (1983) yang tidak mencantumkan sumber ilustrasi gamelan wayang kulit (hamper lima menit) dan nama Rahayu Supanggah (dari Solo), komponis papan atas kita yang membantu sebuah adegan dalam film itu. Padahal nama petugas pengadaan properti saja ditulis dalam credit-titles film itu.

Juga film Satyricon karya Federico Fellini yang tidak mencantumkan sumber ilustrasi suara ‘cak’ dari Tari Kecak Bali. Yang mengerikan adalah tertipunya para penari Jawa ketika syuting menari di Candi Prambanan dengan bintang Barat, yang janjinya untuk film pariwisata, tidak tahunya setelah beredar di sini, menjadi film soft-core, Emmanuelle.

Rendra sendiri pernah marah menanggapi protes Bob Geldof terhadap pembajakan musik We are the World di Indonesia. Menurut Rendra, Barat itu jagonya membajakan. Sebenarnya tidak itu saja, Barat adalah perampok kekayaan kita.

Undang-undang menyatakan bahwa pemakaian kekayaan warisan kebudayaan dunia itu tidak memerlukan izin. Semisal Beatles yang mencomot lagu kebangsaan Prancis. Namun demikian, Mira Lesmana pernah menerima surat peringatan untuk mengurus perizinan atas penggunaan sepotong lagu Padamu Negeri yang dinyanyikan para mahasiswa dalam film Gie padahal sebenarnya pemakaian lagu pusaka itu tidak memerlukan izin.

Begitu bebasnya penggunaan kekayaan warisan kebudayaan dunia namun tidak dengan sendirinya bebas pula untuk tidak mencantumkan sumbernya. Nayato, tanpa disadarinya telah melakukan perlawanan terhadap struktur hirarki kemapanan yang hegemonik atas kreativitas, orijinalitas, dan hak cipta. Tidakan Nayato (yang boleh jadi merasa kecil, tidak berarti, dan pasti tidak dikenal di Barat) telah membangunkan kita dari tidur lelap atas hak cipta kekayaan intelektualitas kita. Mengapa kita begitu menghormati Barat, sedang Barat menganggap kita tai kucing.

Juri menyatakan bahwa Nayato tentu tak bodoh untuk lalai terhadap jumlah peluru yang dimiliki Joshua. Agaknya Nayato dengan nakal melemparkan teka-teki peluru itu supaya kita meributkannya. Ketika kita berdebat, ia terkikik-kikik di belakang punggung kita. Ini gaya khas seniman kontemporer. Penyutradaraan Nayato atas Ekskul, brilian. Seluruh pemain yang berusia belasan tahun itu bermain memikat. Aktingnya meyakinkan. Tokoh Joshua dengan keluarga, sekolah, dan teman-temannya satu kelas, menyatu benar. Tata lampu yang sempat diributkan karena dianggap tidak jelas penggambaran siang-malamnya, sudah tidak relevan lagi mengingat ekspresi kreativ Ekskul begitu solid.

Kameranya energetik. Editingnya mulus. Lensa kamera yang selalu bergetar itu, menggambarkan ketegangan yang terjaga iramanya dengan orang-orang yang lalu-lalang yang rentan terhadap konflik, ciamik banget. Ekskul bercerita tentang remaja yang menderita oleh tindakan kekerasan di rumah maupun di sekolah. Akhirnya remaja itu membalas dendam dengan melakukan tindak kekerasan pula, menyandera teman-temannya, siswa maupun siswi.

Dalam khazanah seni kontemporer, sikap Nayato yang tak menyantumkan sumber ilustrasi musik filmnya itu merupakan suatu sikap “reforimpuls” yang menghadapi karya (orang lain) sebagai harta karun yang bebas diperebutkan. Sikap itu berarti pula bahwa seniman yang telah menggulirkan karyanya ke masyarakat, dianggap sudah tidak penting lagi, alias sudah mati.

Noorca Massardi dan Yudhistira Massardi, sastrawan kembar, pernah membuat puisi-puisi humor berdasar puisi-puisi papan atas dari para penyair jawara. Bahkan para penyair yang puisinya dibuat lelucon itu, tertawa-tawa, merasa mendapat hiburan. Saya pernah menggabungkan puisi Chairil Anwar dengan puisi Sapardi Djoko Damono, yang saya aku-kan sebagai karya saya karena saya sudah berhasil melakukan editing.

Saya pernah membuat story-board yang tokohnya menjelajahi dari film terkenal ke film ternama lainnya. Tokoh itu, ambil misal Zaenal Abidin Domba, muncul dari dalam air setelah Martin Sheen muncul dari dalam air dalam film Apocalipse Now. Lalu Si Domba menghambur ke pasangan Marlon Brando dan Romy Schneider dalam Last Tango in Paris untuk membebaskan Feby Febiola yang terperangkap di dalam tubuh Schneider. Begitu selanjutnya, adegan demi adegan penuh kejutan. Story-board ini saya beri judul Lintas Tanpa Batas.

Seni kontemporar yang meliputi seluruh bidang seni, memang sangat liberal. Bisa sekali antara bidang yang satu ke bidang yang lain terkait sehidup semati. Antara seni rupa dengan teater. Antara film dengan tari. Antara musik dengan sastra. Di Barat pernah seorang seniman menghancurkan piano, ada pula seorang professor memamerkan mayat-mayat dalam suatu instalasi seni rupa.

Debus Banten sebenarnya merupakan pameran instalasi seni rupa dengan teater. Di Jakarta pada 1973, seorang pelukis memamerkan kanvas-kanvas kosong. Pelukis itu pula pernah dalam pementasan teaternya, menyuguhkan empat adegan sekaligus, supaya penonton bisa memilih adegan mana yang disukainya.

Sardono mementaskan pertunjukan teater tari yang panggung para pemainnya adalah kubangan lumpur. Lukisan Monalisa berkumis karya Marcel Duchamp termasuk karya yang penting. Seorang pelukis Peru, Herman Braun -Vega, menyontek ke dalam lukisannya (1984), karya Vermeer, Goya, dan Picasso, yang ia beri judul Fame, after Vermeer, with Goya and Picasso. Karya ini termasuk yang menandai dengan tajam karya abad 20.

Secara penampilan dan tindakan, seni kontemporer seolah mengajak mati rame-rame. Tapi hakekatnya tidak. Justru mengajak hidup rame-rame. Jika ada aktor yang bergelut dalam lumpur, jika pemain debus mengiris lidahnya sampai berdarah-darah, jika pelukis menganggap kanvas kosong adalah lukisan, jika seorang profesor memamerkan mayat-mayat, itu tandanya seniman menghayati benar penderitaan dunia. Para seniman ingin hidup abadi.

*) Sastrawan dan pengamat budaya

Kebenaran di Balik Kabut

Mahdi Idris *
http://blog.harian-aceh.com/

DI daerah perang, kebenaran selalu tersembunyi di balik kabut. Tak ada yang dapat terungkap secara jelas mengenai berbagai hal yang terjadi di sana. Masing-masing pihak membenarkan diri sendiri, seolah merekalah yang terbaik di antara lawannya. Bahkan di antara para korban yang tak bersalah, selama peperangan itu terjadi.

Begitu pula halnya yang digambarkan oleh Ayi Jufridar dalam novel ini, seorang jurnalis dan penulis Aceh (Lhokseumawe) yang telah sukses dengan novelnya yang pertama, “Alon Buluek (Gelombang Laut Yang Dahsyat),” mendapat juara III pada sayembara menulis novel remaja kerjasama penerbit Grasindo dan Radio Naderland Seksi Indonesia pada 2005 lalu.

Dengan gaya berceritanya yang memikat, ia mampu mengungkapkan kondisi perang dan sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya konflik bersenjata tersebut. Walaupun ia tidak sekali-kali menyebutkan bahwa setting novelnya ini di Aceh, namun, begitu pembaca memerhatikan dengan saksama, akhirnya mengetahui di mana rentetan peristiwa itu terjadi.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Tasrif, yang terlibat dalam gerakan gerilyawan karena sebuah bom rakitan yang meledak di depan rumah dan menewaskan dua anggota polisi dari brigadier mobile. Karena kematian dua rekan mereka, polisi dan tentara melampiaskan kemarahannya kepada masyarakat sekitar. Rumah-rumah penduduk dibakar, dan mereka melepaskan tembakan membabi-buta. Ummi Tasrif, kakak, dan abangnya tewas tertembak.

Terlibatnya Tasrif dalam gerakan anti pemerintah ini, mengundang kegembiraan luarbiasa bagi anggota gerakan lainnya, terutama sang “Pemimpin” yang bernama asli Zulfikar Rasyid, sebagai Juru bicara militer gerilyawan, sekaligus yang mengkordinir, di mana, kelompok Tasrif berada.

Tugas utama yang diemban Tasrif adalah merekrut anggota baru yang berasal dari korban operasi militer. Namun kerjanya yang perdana itu pun menemui kegagalan. Hari, seorang pemuda, yang ayahnya diculik pada masa operasi militer, belum siap menjadi anggota gerilyawan dengan alasan dialah tulang punggung keluarga. Begitu pula dengan Vivi, seorang gadis yang ayahnya juga diculik, kata sebuah media oleh orang berseragam loreng, juga menolaknya dengan halus. Kemudian Tasrif tahu bahwa gadis itu menikah dengan seorang tentara pemerintah.

Karena Tasrif belum dikenal tentara, lagi pula ia memiliki KTP yang tercantum pekerjaannya sebagai siswa, ia bebas pergi ke mana saja. Bahkan ia mendapat tugas baru dari komandannya; Zulfikar Rasyid, yang kemudian disebut dengan “Pemimpin”, untuk membeli senjata di ibu kota propinsi di luar Aceh. Ia tak menyangka bahwa semua itu berjalan mulus. Beberapa pucuk senjata buatan dalam negeri itu dimasukkan dalam peti mayat dan diangkut dengan mobil Ambulance.

Kegalauan-kegalauan semakin menerjang batinnya. Ia mulai memikirkan akan berbagai peristiwa; kontak senjata, pemberondongan mobil aparat, penculikan, dan kehadiran para Petrus (penembak misterius) yang tidak pernah mempertimbangkan siapa korbannya. Namun yang paling menyakitkan adalah penembakan seorang intelektual yang juga dosen kharismatik di daerahnya.

Semua itu mengatasnamakan kebenaran masing-masing pihak bertikai. Jumlah jiwa yang mati saban hari tak lagi terhitung jumlahnya. Namun yang banyak jatuh korban adalah masyarakat biasa, yang tak tahu perkara apa yang sedang diperebutkan itu. Sementara hasilnya semakin tak menentu, terbalut kabut yang tebal dan menggelapkan nilai-nilai kemanusiaan.

Masing-masing pihak mengambil keuntungan yang amat besar di balik perang itu. Para gerilyawan yang tujuan utamanya masuk ke dalam barisan perjuangan untuk melepaskan diri dari permasalahan sosial. Seperti Ali Bopeng yang masuk gerilyawan karena banyak hutang dan setelah ia menjadi bagian penting di tubuh organisasi kombatan itu tak ada lagi yang berani menagihnya. Begitu pula dengan Pak Kus, seorang jenderal berbintang satu dari pulau seberang, mengeruk keuntungan dari perang itu dengan menjual senjata kepada kaum gerilyawan. Yang memang, saat mereka bertemu, ia selalu mengatakan membela gerilyawan karena mempertahankan tanah kelahirannya dari penjarahan.

Waktu terus berlanjut. Namun peperangan belum juga reda. Berbagai isu dan kabar penambahan dan penggrebekan rumah masyarakat yang tak berdosa itu, dengan sendirinya menyulut hati mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tentara. Namun, inilah daerah perang, semua tindakan aparat keamanan dianggap sebagai pembelaan. Sehingga, tragedi berdarah yang amat memilukan itu menimpa empat puluh lebih masyarakat yang berunjuk di simpang pabrik kertas.

Mereka ditembak secara brutal oleh tentara yang mengatasnamakan beladiri akibat serangan warga, sebut sebuah media yang dibaca oleh Tasrif setelah peristiwa itu terjadi. Tapi entahlah, Tasrif tidak tahu bagaimanakah kebenaran peristiwa itu bisa terjadi, yang juga terselimuti kabut dalam pikirannya.

Pengiriman tentara dari pusat bertambah banyak. Pendirian pos dan markas mereka bertebaran seluruh pelosok kampung, yang tidak hanya terdiri dari Angkatan Darat, tapi Angkatan Laut dan Udara. Sehingga, pihak yang menyatakan dirinya sebagai pembela masyarakat, mengintruksikan agar semua warga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Baik itu di mesjid, rumah sakit umum daerah, atau di di ruang serba guna kampus Politeknik. Yang penting mereka tidak lagi berada di kampungnya yang sedang diduduki tentara.

Ada pula pemicu ide itu menyebut dirinya Panglima Pengungsi. Dengan bebas dan pidato politik yang berkoar-koar di hadapan para khalayak itu mereka mengatakan bahwa hal ini dilakukan untuk mengundang perhatian dunia luar terhadap nasib rakyat yang sedang mendapat penindasan, akibat konflik bersenjata. Namun mereka pun tak lupa meminta belas kasih dari para pengendara kendaraan berbagai jenis yang melewati tempat pengungsian tersebut dan kepada pemerintah. Tapi sang Panglima Pengungsi dan para konconya, jelas, tidak mau menerima bantuan berbentuk barang, alasannya karena para pengungsi kekurangan uang untuk membeli kebutuhan yang tidak disediakan di tempat pengungsian itu.

Hal ini semakin jelas diketahui oleh Tasrif, karena ia dengan bebas keluar-masuk kota, membaca yang diberitakan oleh berbagai media. Setelah itu ia mengkhabarkan pada Pemimpin. Sikapnya yang selalu antusias terhadap berbagai informasi penting tersebut, menambah kepercayaan Pemimpin untuk menjadikannya sebagai informan, yang selalu mendapat izin untuk menemani para wartawan lokal dan asing. Bahkan ia mendapat izin pula untuk menemani Yoshimi; seorang wartawati dari Jepang.

Dengan modal kamera di tangannya milik para wartawan itu, yang telah mengetahui bahwa ia seorang gerilyawan, ia bebas bergerak ke mana saja. Namun tetap saja berhati-hati terhadap berbagai kemungkinan yang bakal terjadi di hadapannya.

Walaupun demikian, ia tetap aktif bergabung dengan para gerilyawan dalam berbagai aksi penyerangan tentara pemerintah. Bahkan itu menjadi harapannya yang sangat besar untuk memuntahkan peluru dari senjata laras panjangnya yang bermerek SS-2. Tapi, walaupun nasib baik seringkali berpihak padanya di masa sebelumnya, tidak kali ini, ketika ia dan rekan-rekannya menyerang iring-iringan mobil tentara dari atas sebuah bukit. Salah satu butir peluru yang ia lepaskan dari senjatanya mengenai seorang anak perempuan pelajar SD, yang sedang berada dalam mobil bersama ayahnya yang berada di belakang mobil tentara dan tidak tahu bahwa sedang terjadi bentrokan senjata.

Sejak itu pikirannya semakin kalut. Kian hari perasaannya semakin bersalah. Bahkan ingin keluar dari anggota gerilyawan, yang katanya perjuangan suci itu. Tapi apa lacur, sekali maju tak mungkin lagi mundur. Bahkan bagaimanapun, Fauzi; seorang temannya yang paling dekat, Apa Lah; yang memimpin penyerangan itu, menasehatinya dengan berbagai alasan, semua itu tetap tak membuatnya tentaram. Kegelisahan-kegelisahan membuat tubuhnya demam, dan semakin parah. Akhirnya ia diantar ke rumah seorang simpatisan. Kemudian ia dirawat di sana selama beberapa hari. Setelah ia sembuh, Pemimpin dan Ali Bopeng memintanya agar tinggal di losmen di kota untuk sementara waktu. Ia menyetujuinya, untuk menenangkan pikiran, pikirnya.

Namun tak mudah ditebak apa yang selanjutnya terjadi, bahkan untuk sebuah rekaan dari sebuah situasi yang saling bersangkutan, Pemimpin tertembak pada pahanya, Ali Bopeng sedang berbulan madu dengan istrinya ke-empat di luar daerah, operasi tentara semakin ketat, para gerilyawan hampir sekarat karena kekurangan logistik di markas di belantara.

Kondisi inilah yang membuat Tasrif harus mengantar bahan-bahan makanan itu, setelah beberapa lama kedatangan Ali Bopeng untuk membelinya. Namun Ali Bopeng, ia tidak mau mengantar langsung logistik itu sampai ke tempat yang dituju dengan alasan ia bisa tertangkap tentara. Ia menyuruh Tasrif agar menaikkannya ke mobil angkot yang berdesak-desakan dengan para penumpang lainnya. Ketika mobil angkot itu melewati pos Marinir, harus berhenti karena ada razia KTP, sebuah razia yang tak bosan-bosannya dilakukan oleh alat negara di masa konflik.

Saat itulah nasib buruk menimpanya. Seorang tentara tak memakai seragam, pemakai shebu dan penutup kepala, menjeratnya hanya dengan sekali anggukan terhadap pertanyaan tentara yang sedang memeriksa Tasrif. Dengan anggukan itu pula, tentara itu membawa Tasrif ke dalam ruang pengap di pos mereka. Semula ia tak bisa memastikan siapa tentara bershebu itu, karena tubuhnya gemuk dan pendek. Bahkan, jika tentara bershebu itu tidak berada dalam kawanan tentara, ia hanya bisa dianggap seorang kuli atau pekerja bangunan yang memiliki otot kekar.

Namun, karena gayanya berjalan, yang seolah pernah dekat dengan orang itu, Tasrif mulai bisa menebak dalam batinnya. Bahkan ia tahu pasti dan sangat jelas identitasnya, saat ia sudah berada di ruang pengap itu, saat tentara bertubuh pendek dan berwarna kulit gelap mengeluarkan suara, “Hmm…Iya!” Yang ternyata itu adalah Azhar, seorang rekan gerilyawannya yang dikahabarkan telah mati saat menembak Helikopter di bandara perusahaan Gas. Berarti dia pengkhianat, batin Tasrif. Azhar begitu tega melakukan hal itu kepadanya. Semua ideologi perjuangan telah musnah di dada laki-laki gemuk dan bertubuh pendek itu.

Tasrif berkesimpulan, bahwa ia tak mungkin mampu melepaskan diri, tangan dan tubuhnya sudah diikat pada kursi yang ia duduki. Kini ia hanya menanti, siksaan apa yang ia terima menjelang ajalnya. Dengan teriakan seorang tentara, ia memerintahkan anak buahnya untuk pergi shalat Jum’at, Tasrif sadar, bahwa hari ini Jum’at. Hari kematiannya. Sebab ia memeracayai sebuah mitos, bahwa seseorang mati pada hari kelahirannya.

Dengan keunikan dan kekayaan imajinasi sang penulisnya, novel ini begitu mudah menyisir jalan ceritanya. Namun, tentunya, tak diharapkan bahwa novel ini hanya menjadi bacaan belaka. Tapi, yang teramat penting, mengambil hikmah dan ibrah yang bermanfaat bagi masa depan Aceh kelak. Kita bisa bercermin dari apa yang telah dipaparkan di sini oleh Ayi Jufridar, di mana, kabut telah menyelimuti roda kehidupan orang Aceh sekian waktu lamanya.

Kebenaran hanya sebuah impian bagi seluruh masyarakat Aceh saat itu. Namun, kabut perang telah menyelimutinya. Oleh karena itu, sekali lagi, marilah kita bercermin pada rentetan kisah dalam novel ini atau bersikap, “Buruk rupa cermin dibelah.”[]

Judul buku : Kabut Perang
Penulis : Ayi Jufridar
Penerbit : Universal Nikko
Tebal : 358 halaman
ISBN : 976-602-95476-2-7
Cetakan : I, Juni 2010

*) Mahdi Idris, Sekretaris FLP Lhokseumawe. Menetap di Dayah Terpadu Ruhul Islam Tanah Luas, Aceh Utara.

“Film Yogya” Dilacak Sejak FKY XV 2003

Ken Rahatmi
http://www.kr.co.id/

Enam film karya pelajar dan 19 film bikinan mahasiswa/umum, mendaftar di Festival Film Video FKY XV-2003. Dari sejumlah film buatan Yogya, Purwakarta, Solo dan Semarang itu, diambil lima film terpilih dari masing-masing kategori. Saat pemilihan di TVRI Yogyakarta inilah muncul gagasan “Kenapa musykil, suatu ketika muncul Film (Independen) gaya Yogyakarta?”

FESTIVAL Film pertama di Yogya —yang disepakati lebih berupa “pesta bersama”-ini, tidak memakai idiom “independen”. Lugas saja, panitia ‘lomba’ sejak jauh hari mencanangkan label “Festival Film Video”. “Supaya tidak terjebak oleh perdebatan panjang tentang jabaran Film Independen” kata Bambang JP, Seksi Film FKY XV-2003.

Toh demikian, di sela-sela kriteria penilaian yang dipatok —(sinematografi, directing, cerita, tata-artistik, editing)- tetap ada sejumlah hal yang berkait dengan kemandirian missi dan produksi, perlawanan orisinalitas dan kreativitas, serta penekanan substansi dramaturgi, menyelinap di balik proses kurasi dilakukan oleh Suprapto Soedjono (Dosen ISI Yogyakarta), Arie Sudibyo (Seksi Seni Budaya Film PWI Yogyakarta) dan Achmad Sofyan (Asisten Manajer TVRI Yogyakarta).

10 Film terpilih FKY XV-2003 akan ditayangkan TVRI Yogya mulai 29 Juni 2003 sore. Tapi bukan oleh kepentingan itu saja maka karya-karya yang ‘good looking’ kemudian terpilih. Agaknya, inilah “Film Yogya” yang akan ditawarkan sejumlah orang Yogya ke pelataran film independen yang di sejumlah kota selama ini dibeceki oleh karya-karya pendek yang ekspresif, individualis tapi acap melawan kepentingan populer.

Seiring dengan perjalanan musik indie yang sempat pada awalnya didominasi karya-karya (rock) alternatif yang bisa disebut memberontaki pola-pola yang sudah laku di major label, tren film independen —di banyak kepala sineas muda kita— juga dipangkali oleh kehendak melawan arus yang sudah jadi di layar lebar atau pun televisi.

Melodi diberangus. Logika dan alur cerita dilawan. Struktur dibongkar. Dramaturgi dipangkas. Dari sinilah muncul karya-karya (musik atau film) indie yang seolah dibikin untuk kalangan sendiri. Sampai kemudian jambangan besar itu melebar, lalu muncul pro-kontra tentang jabaran musik indie dan film independen.

FKY XV-2003 ‘bersuara’ dengan memunculkan 10 film terpilih tahun ini. “Tapi kita harap masyarakat maklum, kita memilih 10 karya dari 25 film yang masuk. Tentusaja meskipun terpilih, film-film ini juga belum 100% mewakili selera kami” kata Daru Maheldaswara, Ketua Panitia Festival Film Video.

Lima film mahasiswa/umum

Sketsa Kasih berkisah tentang perempuan bernama Kasih yang melacur karena tuntutan ekonomi, sampai suaminya mati, dan lalu ia bertemu dengan pelukis yang tak pernah menyentuhnya, ia hanya menggambar dan mendengarkan keluhan Kasih, memberinya uang, sampai akhirnya seniman itu meninggal karena sakit.

Aisyah bertutur tentang pengamen cilik yang dihina teman-temannya di sekolah karena bapaknya sopir becak sementara ibunya penjual nasi pecel. Aisyah kecil ngamen di perempatan, sempat ditangkap polisi, dan akhirnya ia menjadi penyanyi rekaman yang sukses.

Dewa Pinulung menggambarkan anak indekosan yang bermimpi sebagai dewa penolong bagi siapa pun : Warung yang hampir dikutil orang, cewek yang ponselnya nyaris diserobot waria, sampai tiba saat induk semangnya digerebeg rentenir beserta dua tukang pukulnya karena utang yang tak terbayar. Sang Dewa Pinulung pun terbangun dari mimpi buruknya.

Tembang Kecil di Sudut Kota memaparkan perjalanan bocah bernama Sekar yang saat bayi dibuang orangtuanya, lalu diasuh pemulung tua yang suka nembang, setiap hari diajak keliling kota, dan perjalanan itu dimanfaatkan oleh Sekar guna mencari orangtuanya. Sampai bocah ini menerobos sidang DPR, dan yang ia temukan di ujung film adalah “Teruskan bertanya, Sekar. Sampai kamu temukan jawaban yang sebenarnya”.

Suwung menceritakan perubahan Gesang, mahasiswa tanpa orangtua yang dihidupi oleh adik kandungnya, Ratih, dan ia tak tahan memaknai getirnya kehidupan sehingga Gesang pun stres. Ngengleng.

Lima film karya Pelajar

Pahitnya Kopi Tanpa Gula menggambarkan pelajar yang menggunakan uang SPP dan uang buku untuk berjudi di play-station rental. Padahal bapaknya tukang sapu, ibunya buruh cuci. Ia menyesal setelah dipanggil pihak sekolah. Tujuh tahun kemudian tokoh cerita ini digambarkan sukses dan membangunkan rumah bertingkat untuk orangtua dan adik-adiknya.

Selembar Kertas di Persimpangan idem-dito, bermissikan anti-korupsi dalam pelbagai bentuk. Dari siswa yang menggunakan uang sekolah untuk mentraktir gadis yang ditaksirnya, pelajar lain yang memalsu surat cinta temannya, guru yang korupsi waktu, ditutup dengan kematian si tokoh cerita.

Kutilang Atau… adalah film komedi tentang siswi kelas 2 SMU —umur 16 tahun— punya sepedamotor baru, yang ditugasi oleh bapaknya untuk beli pakan kutilang tapi di tengah jalan ia kena tilang.

Salahku Pengertianmu menceritakan kesalahpahaman terhadap seorang siswi yang pernah dilihat masuk kafe bersama cowok, sehingga ia dikucilkan oleh teman-teman sekelasnya. Di ujung cerita baru diketahui, cowok itu kakak kandung siswi yang bersangkutan.

Wasiat Slamet memotret kehidupan pengecer koran yang frustrasi setelah membaca berita-berita tentang korupsi dan ketidakadilan, dipungkasi dengan tewasnya pemuda itu dalam peristiwa kecelakaan lalulintas, tapi sebelum mati ia sempat meninggalkan wasiat yang ditulisnya pada selembar kertas.

DENGAN durasi 14-30 menit, film-film terpilih FKY XV-2003 itu dianggap sebagai awal lacakan warna ‘film Yogya’. Meski mereka dibikin oleh sineas-sineas bukan bertempat tinggal di Yogya. Dan meski pula mereka belum sempurna sebagai karya yang patut mewakili film mahasiswa atau film pelajar.

Bahwa film sependek apa pun, dibeayai semurah apa pun, se-independen apa pun, ketika oleh pembuatnya sudah dilepas —dengan sengaja— untuk ditonton orang lain, maka karya itu harus bertanggungjawab sebagai tontonan.

Ia tidak berhak menjadikan pemirsanya gelisah oleh hal-hal di luar kreativitas.
Ia tetap diikat oleh aturan-aturan estetis, logika dan moral, meski kesepakatan itu sebagian tak pernah tertulis.

Warna inilah barangkali yang sedang dialternatifkan oleh sejumlah ‘orang Yogya’ untuk merintis lacakan tentang bagaimana sebaiknya film dengan beaya sendiri dibikin oleh orang-orang yang belum sepenuhnya meletakkan profesinya sebagai pembuat film.

BEYE, LURAH BANCI

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Orang-orang telah garang karena banyak ketimpangan yang terjadi. Kelurahan tetangga terus menyusup ke halaman. Kadang merembes ke hijau sawah pertiwi. Mencuri ketimun atau kangkung. Mereka, Kelurahan Maling itu menggunakan tangan petani, menginjak padi yang merunduk. Mengambil segala yang bisa diambil. Seperti perompak dalam cerita-cerita bajak laut Wilayah Barat. Petani kelurahan tetangga mencuri, petani Kekurahan Luruh Indon menahan lapar yang sangat. Pencurian itu membuat petani di Kelurahan Indon meradang. Merah membara. Mengasah senjata dan berteriak-teriak kesetanan mengajak perang. Para petani tidak terima atas penghinaan kelurahan tetangga. Menginjak harga diri Kelurahan yang diperjuangkan dengan segenap tumpah darah seluruh rakyat Luruh Indon.

Kemarahan memuncak. Sebatas kemarahan petani yang memegang cangkul dan sabit. Bukan kemarahan pejabat kelurahan yang mampu melempar granat pembelaan. Sore menjadi pagi. Menghantarkan kemarahan. Pagi ke sore dan terbungkus malam, kemarahan masih membara di dalam dada. Beberapa orang desa, pemuda, bapak-bapak, nenek-kakek, dan bahkan anak kecil pergi bersama-sama mendatangi Kantor Kelurahan. Di dalam kerumunan berjubel, ada Kangmas Gothak yang telah menyiapkan Panah dan Tombak. Dia pun mengajak serta Dhimas Gathuk setelah selesai membenahi pagar. Berbondong dari pinggiran, sawah dan ladang ditinggalkan, demi mengajak Pak Lurah Beye membela tanah tumpah darah. Dahulu direbut dengan tetesan darah bercampur air mata. Warga desa Luruh Indon, menuntut perjuangan berlanjut. Mengisi kemerdekaan ke 65 dengan mempertahankan kedaulatan.

“Seharusnya, Pak Beye bisa tegas dengan masalah ini!” ucap Dhimas Gathuk ikut-ikutan marah sedangkan dia sendiri tidak mengikuti kasus ini.

“Halah, Dhi, kamu itu ngomong apa?? Lha dari kemarin kamu juga sibuk sendiri dengan pagarmu. Aku ajak buat senjata persiapan perang saja tidak mau.”

“Kan sudah aku bantu, Kang!”

“Halah,”

“Sekarang kan sudah jaman Nuklir kok masih buat bambu runcing. Kan aneh, Kang. Bangsa ini mengalami kemunduran. Perang kok kayak anak kecil. Perang-perangan.”

Kangmas Gothak juga tidak lekas menjawab. Berjalan terburu membawa lembing yang diujungnya bendera Luruh Indon berkibar. Angin bertiup, genit menggoda sang merah bercampur putih.

“Masalah ini bukan masalah, kita, Kang. Kita hanya warga biasa. Ini urusan Pak Lurah Beye.”

“Kamu, Dhi, kok seperti pejabat yang suka melempar tanggung jawab. Dimana pikiran kritis yang selama ini kamu agungkan? Pikiran kiri jalan terus yang membuatmu kehilangan pekerjaan itu??”

Dhimas Gathuk langsung menarik pandangan dan menghujamkan kepada Kakangnya yang membalas dengan pandangan lebih tajam lagi. Dua bersaudara itu, saling bersiteru dalam pandangan dan pendapat.

“Kita mau apa, Kang, kalau mereka yang diupah untuk membela Kelurahan ini hanya diam?”

“Husss.. kamu itu semakin nglantur Dhi. Bela Kelurahan bukan hanya tanggung jawab pejabat. Walau mereka memang digaji untuk menjalankan pemerintahan. Hak dan kewajiban kita juga, Bela Kelurahan itu!!”

“Ah, Kang, kamu sudah pandai cing-cong. Macam politisi yang mau nyalon jadi Lurah. Kata-kata penuh darah nasionalis kelurahan, tapi mlempem, kayak krupuk kehujanan.”

“Kamu ngomong apa, Dhi?” sahut Kangmas Gothak cepat, dua mata seperti kelereng siap ditolak. Bambu tajam yang diselimut merah bercampur putih itu mengambang. Horisontal. Sementara Dhimas Gathuk berdiri di ujung satunya. Menghadapi tajam bambu yang ditusukkan pada katak mati.

“Lho, aku bukannya nantang Kakang Gothak. Mengatakan kejujuran tapi selalu seperti ini. Diancam dengan senjata. Ditakut-takuti dengan kekuasaan. Kakang Gothak memang Kakangku tapi jangan sewenang-wenang. Orang tua itu penguasa yang tahu cara ngemong. Seperti sewaktu Kakang menggembala kambing itu.”

Pelan-pelan, Kangmas Gothak mengangkat lembing dan mendirikan tegak. Merah bercampur putih kembali menari sama angin.

“Kemarin sengaja, aku membuat pagar. Membuat garis batas dengan tegas. Kalau pagar itu masih diterobos juga, berarti orang itu cari mati. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.”

“Walah, Dhi, jauh-jauh sampai Malang! Hahahahahahaha…. “ Kakang Gothak tertawa, merasa menang dari adiknya. “Harusnya bagaimana?”

“Penguasa harus berani. Jangan pengecut. Jangan seperti lelaki beraninya sama banci. Kalau berani dengan laki-laki tulen. Baru terbukti. Ya sama saja, banci, Kang.”

“Lha, siapa yang banci. Dhi?”

“Lurahmu, itu!” Dhimas Gathuk langsung diam. Nafasnya ngos-ngosan. Amarahnya membludak. Jadi banjir bandang.

Wajah Pak Lurah Beye yang gemuk dan agak memerah itu muncul di kelopak matanya. Pak Lurah Beye menebarkan senyuman kepada warga desa. Menuntut ketegasan akan perang. Bergelut dalam simbah darah demi harga diri yang terinjak. Wajah gemuk itu menciptakan senyuman. Lalu, suara mengalun pelan. Merdu. Seperti kucing yang mengeong di malam hari. Penuh bujuk rayu yang menggelikan sekaligus menggairahkan. Tentunya,bagi sesama kucing, pikir Dhimas Gathuk yang berusaha mengambil alih lembing dari tangan Kakangnya.

“Warga desa sekalian tidak perlu berkumpul seperti ini. Perang dengan Kelurahan Maling yang berasas baik itu sungguh tidak perlu. Saya sudah mengirimkan surat pada Kanjeng Sultan Maling di Istana Maling. Jadi, saya mohon, warga desa sekalian, harap pulang ke rumah masing-masing.

“Pulang bagaimana?” sahut Kangmas Gothak dalam teriakan keras di tengah kerumunan.

“Pulang! Yang petani mulai mengerjakan sawah. Yang nelayan mulai saja berlayar. Yang guru lekas mengajar. Yang seniman, berkarya lah. Lanjutkan!” Lurah Beye tersenyum lebar. Matanya syahdu menyebar ke mata penduduk yang berkerumun bak semut.

“Bagaimana kami akan bertani, kalau banyak sawah kami coba libas…??” tanya seorang yang menggunakan caping.

“Ikan habis, Pak Lurah.”

“Lho, bagaimana ikan bisa habis?” sahut Pak Lurah Beye dalam senyuman merah merona, “Makanya, kalian, kalau menangkap ikan tidak boleh pakai BOM! Harus dengan cara yang baik, agar Tuhan tidak bosan membesarkan ikan untuk kita.”

“Ikannya dicuri, Pak!” teriak seorang nelayan.

“Siapa yang berani?”

“Orang dari Kelurahan Maling!”

“Itu hanya salah paham. Mereka tidak sengaja memasuki wilayah kita. Sudah saya katakan tadi. Kemarin saya juga sudah berkirim surat.”

“Mereka itu sengaja menantang kita, Pak Lurah. Lebih baik ayo, sekarang kita ganyang saja. Seperti dulu.”

“Iya, Pak! Jangan diam saja. Ganyang Maling.” Teriak seorang dari belakang yang menirukan gaya Lurah pertama Kelurahan Luruh Indon.

“Kita tidak akan berperang dengan mereka. Mengalah itu lebih baik. Kita musti bersabar. Rahmat Tuhan tercurah untuk orang-orang yang sabar.” Pak Lurah Beye kembali tersenyum sambil menebarkan pandangan pesonanya. Pandangan dan senyuman itu yang dahulu memberikan kemenangan mutlak yang terus dibanggakan. Namun, dari senyuman itu terasa ada yang hilang. Sudah tidak ada tahi lalat di pipi. “Ayo, sekarang pulang. Lanjutkan pekerjaan masing-masing. Jangan malas. Jangan berpangku tangan. Saatnya orang-orang di Luruh Indon mengencangkan ikat pinggang.”

“Untuk mengganyang Kelurahan Maling, Pak Lurah?”

Seorang berambut panjang tiba-tiba merebut megaphone. Dia berdiri di atas pagar Kantor Kelurahan. Lalu, selembar kertas menutupi muka.

“Lurah…!!” suaranya menggelegar berdesingan ke delapn penjuru. “Siang bolong, kita ditantang. Di depan hidung besarmu, mereka mencuri. Tahi lalat juga tercuri, Lurah…!! Tiba saatnya beraksi. Kita gempur. Kita arangkan seluruh negeri pencuri. Itu kalau Engkau, tersenyum patriot sejati. Atau… “ dia diam sejenak memandang orang-orang yang menunggu. “Beye, Lurah Banci di atas tanah para satria sejati?”

Semua orang bertepuk tangan. Selembar kertas dihempaskan sehingga muka itu nampak jelas. Wajah itu milik Dhimas Gathuk. Dia memakai rambut palsu agar tidak dikenali. Panjang dan gimbal. Lusuh dan luruh. Namun sesaat saja, orang-orang diam. Membeku. Bisu. Malu… BANCI..!!! teriak mereka sambil melemparkan telur busuk dan membakari bendera.

Lengkong – Banjarnegara, 05 September 2010.

DEMO

Arie MP Tamba
http://www.sinarharapan.co.id/

Buruh menginginkan perbaikan upah minimum dan tunjangan lembur. Para mahasiswa menginginkan pergantian penguasa. Para aktivis lingkungan menginginkan pergantian menteri lingkungan hidup yang memiliki visi lingkungan sehat. Para pekerja profesional yang menggelar demonstrasinya di depan Bursa Efek mengharapkan adanya ketegasan pemerintah tentang arah kebijakan ekonomi, tegaknya supremasi hukum, dan ”pembersihan” para politikus dari rezim lama….

”Gawat! Seluruh penjuru kota kini tercekam oleh demo, demo, dan demo!”

”Dan jangan lupa. Ada puluhan ribu massa yang mulai mendekat ke arah perkantoran kita… Hallo? Hallo?!”

”Iya, apa lagi? Sudah menemukan narasumber?”

”Narasumber banyak, Pak. Beberapa sudah saya wawancarai, termasuk para mahasiswa dan wartawan yang terkena peluru nyasar. Saya nanti akan mengerjakannya di rumah. Tapi sekarang saya dan teman-teman wartawan lainnya sedang membentuk lingkaran pertahanan…. Dengar-dengar banyak sniper yang sengaja mengincar para demonstran…. Entah dari pihak mana. Kami para wartawan yang selamat akan melingkari para mahasiswa yang sedang terjepit. Kami akan mengarahkan mereka ke tempat terbuka, agar dapat disaksikan orang banyak dari gedung-gedung dan jembatan di daerah sini!”

”Hati-hati! Tapi, bukannya semakin berbahaya kalau di tempat terbuka?”

”Yah…adduhh! Saya kena lemparan batu! Duuh!”

”Hallo? Hallo?!” Bonang sontak berdiri gemetar, dengan tangan yang juga gemetar mencekal gagang telepon. ”Hallo…? Halllo…Rifi? Rifi, ada apa?”

Bonang memusatkan pendengarannya. Tak ada sahutan dari Rifi kecuali suara-suara galau, dan lamat-lamat terdengar juga teriakan-teriakan yang berbaur dengan suara tembakan. Lalu, trak, traak! Hening menyekap!

Bonang terduduk dengan pikiran kalut. Cemas. Pikirannya menerka-nerka apa yang sedang terjadi di seberang sana. Dan serentak, ia pun benar-benar merasa sendirian di ruangan redaksi yang terhampar luas itu.

Para wartawan telah lama pulang, dan sebagian sengaja bertugas di lapangan untuk melengkapi berita utama dengan perkembangan politik terbaru. Lalu sebagai redaktur yang bertanggung jawab untuk penyusunan berita utama kali ini, Bonang harus bertugas menjaga kantor. Menunggu setiap berita terbaru yang bisa saja langsung dikirimkan oleh teman-teman wartawannya melalui internet atau fax.

Sejak pagi segalanya berjalan lancar. Bayangan akan memperoleh berita hangat menyemangati para wartawan untuk meliput beberapa demonstrasi yang serentak menggoncang Jakarta. Dan Rifi, salah seorang wartawan mereka yang paling ”nekat”, telah berjanji secepat mungkin akan menyetor berita-berita ”khas” yang tak akan diperoleh media lain.

Dan kabar dari Rifi sejak sore hari adalah, ia dan beberapa wartawan dari media lain tanpa sengaja ikut terkepung petugas keamanan dan massa, di dekat sebuah jembatan besar yang diapit oleh jajaran gedung-gedung perkantoran. Pembakaran kendaraan umum dan pribadi, perusakan gedung-gedung perkantoran dan toko-toko, saling lempar antara demonstran dan petugas keamanan, dan juga massa yang semakin banyak jumlahnya, telah berlangsung sejak sore.

Dan sekarang sudah hampir tengah malam. Sementara hubungan dengan Rifi baru saja terputus!
Maka, setelah mengembalikan gagang telepon ke pesawatnya, lamat-lamat Bonang pun mulai mendengar suara-suara ”massa” yang semakin mendekat dan menggelegar ke arah gedung perkantoran mereka itu. Suara-suara itu agaknya sudah muncul sejak beberapa menit lewat. Cuma, karena Bonang sempat termenung memikirkan Rifi, ia terlambat mendengar suara-suara itu.
”Bakar! Bakar! Bakar majalah kapitalis! Bakar!”

Dari ruang kerjanya di lantai dua, sambil merapatkan wajah ke dinding kaca yang menjadi pembatas dengan teras kecil di beranda lantai dua itu, Bonang memandang jauh ke bawah, ke halaman dan ke luar pagar, memperhatikan betapa sibuknya para satpam yang kali ini tampak ”siap dan tegang”, mondar-mandir mengantisipasi setiap kemungkinan. Lalu terlihat juga sebuah truk penuh petugas keamanan datang menghampiri dan tampak berkoordinasi dengan para satpam. Mereka telah siap dengan berbagai peralatan. Para satpam bersiaga dengan pentungan, linggis, dan tentu saja dengan beberapa ekor anjing-anjing herder yang tegap-tegap dengan moncong-moncong yang sesekali menggeram dan menengadah membaui udara malam. Sementara para petugas keamanan telah berjaga dengan alat-alat pelindung antihuru-hara dan juga pentungan!

Bonang tercekat oleh semua itu. Ia tak menyangka akan ada semacam pengamanan darurat yang menyertakan petugas keamanan untuk gedung perkantoran mereka. Kalau ia mengetahui akan ada penjagaan ketat seperti itu, ia akan mengusulkan agar para Satpam tidak menggunakan anjing-anjing herder.

Gagasan siapa itu? Usul para satpam atau ketetapan si Bos? Sungguh ceroboh! Hal demikian akan menimbulkan antipati massa. Sementara itu, gelombang massa sudah mulai terlihat memasuki mulut jalan besar sana. Suara-suara mereka semakin terdengar utuh. Mereka bergerombol dan juga tampak membawa peralatan ”perang” masing-masing. Kelompok mana mereka? Mengapa mereka mengibar-ngibarkan slogan ”antimajalah kapitalis?”

Gedung besar itu kini seakan terjepit dalam situasi ”medan perang”. Bonang tak mampu berbuat apa pun kecuali sesekali menggerutu dan menyesali nasibnya! Sebagai seorang redaktur mestinya ia bisa melengkapi berita utama kali ini dengan tulisan sendiri. Dan itu dapat dikerjakannya di rumah. Tapi segalanya sudah terlambat. Ia kini hanya menjadi seorang pegawai yang harus menerima konsekuensi dari sebuah pekerjaan ”24 jam”. Bukankah tak ada libur bagi seorang wartawan? Sekalipun ia terancam akan kehilangan segalanya malam ini? Kehilangan keluarga? Kehilangan teman-teman? Karena serbuan massa yang membenci koran kapitalis?

Hanya beberapa menit Bonang termangu memandangi halaman kantor yang dijaga ketat oleh para satpam dan petugas keamanan itu, ketika telepon berdering nyaring. Untuk sesaat Bonang kaget juga. Pasti Rifi! Kalau memang Rifi, ia akan menyuruhnya segera pulang saja ke rumah. Nanti mereka akan saling mengontak dari rumah masing-masing. Biarkan Rifi mengerjakan apa yang sudah diperolehnya di rumah dan Bonang akan melengkapi kekurangannya dengan opini. Daripada mempertaruhkan nyawa di bawah udara malam dan ancaman sniper dan massa yang kalap!

”Hallo Rifi…!” Bonang menyapa.

Untuk sesaat tidak ada sahutan dari seberang. Hampir saja Bonang menutup gagang telepon, karena mengira seseorang baru saja salah sambung. Hingga tiba-tiba sebuah suara yang sangat dikenalnya, terdengar jelas di telinganya.

”Hallo…Mas Bonang!”

”Heh! Bung Lukman?!” teriak Bonang. Sementara, di seberang sana Lukman pastilah agak menjauhkan telinganya dari gagang telepon genggamnya untuk menghindari ”seruan” Bonang.

”Tak usah teriak-teriak, Mas! Gugup sih gugup, tapi jangan membentak orang lain dong!”

Bonang dongkol dan agak tersinggung atas gerutuan Lukman itu. Tapi secara aneh, semacam keingintahuan menggerakkan kesadarannya untuk menahan diri dan menunggu. Tidak seperti biasanya, setiap kali berdialog dengan Lukman melalui telepon, Bonang cenderung ”menyalahkan”.

”Kamu di mana, Bung Lukman? Tumben menelepon malam-malam begini. Dan kok tahu saya masih di kantor?” Bonang melanjutkan pembicaraan, sekali lagi, dengan pikiran dan perasaan harus mampu menahan diri. Kali ini Bonang memang membutuhkan teman bicara untuk menetralisir kegugupannya.
Tapi, bagaimana Lukman mengetahui kegugupannya?

Dengan keakraban yang jelas sekali dibuat-buat, Lukman kemudian menjawab kaku, ”Barusan saya menelepon ke rumah. Kata istrimu Mas jaga malam, dapat giliran menyiapkan berita utama. Dan kuharap Mas tidak terkejut. Saat ini saya dekat sekali dengan kantormu. Saya berada di antara massa yang sekarang menuju kantormu! Biasalah, Mas, kami ingin membereskan masalah-masalah lama!”

”Sial kau! Jadi mereka itu kelompokmu ya?” sergah Bonang tak sabar. Lalu segera memperbaiki nada bicaranya. ”Maksudku, Bung terlibat ya?”

”Bukan kelompokku saja, Mas. Tapi gabungan dari beberapa gerakan perlawanan untuk menumbangkan media-media kapitalis…hahaha!” sahut Lukman dengan tawa mengejek.

Kalau tidak sedang membutuhkan teman bicara, dan sekaligus ingin ”menggali” berita dari Lukman, Bonang sebenarnya sudah ingin meletakkan gagang telepon dan melupakan saja sosok Lukman; sekalipun Lukman saat itu sudah mendekat ke arah kantornya.

Hutang lama! Itulah ungkapan Lukman. Ya. Karena Lukman dan kelompoknya pernah mendapatkan pemberitaan ”miring” di majalah mereka. Padahal, pemberitaan ”miring” tersebut, tentu saja menurut sisi pandang Lukman dan kelompoknya. Sementara majalah Bonang ketika itu, berbulan-bulan lewat, secara kebetulan menjadikan petugas kemanan sebagai narasumber utama. Dan masa itu, secara kebetulan semua petugas keamanan masih berseberangan dengan kelompok perlawanan yang dipimpin Lukman. Dan kini, apakah kelompok Lukman telah seiring sejalan dengan sebagian petugas keamanan? Bonang tak tahu pasti. Yang jelas, isu semakin santer, bahwa kali ini gerakan-gerakan perlawanan justru didukung oleh sebagian petugas keamanan. Untuk apa? Kenapa? Inilah berita yang harus digali dan dibeberkan untuk publik. Ya. Publik, atau masyarakat luas, harus mengetahui secara jelas apa yang sedang bergejolak di tengah-tengah kehidupan mereka!

Bonang melepaskan napas kesal. Untuk sesaat suara yang terdengar hanya dengus dan sisa tawa mengejek Lukman di ujung sana. Bonang mencoba membaca situasi. ”Oke, oke, Bung Lukman menang. Tapi mengapa harus malam-malam begini? Dan kalau hanya kelompokmu yang menuntut hutang lama, mengapa harus bersama kelompok-kelompok lain? Dan, Bung sendiri kan tahu, semua media massa kan memang miliknya para kapitalis. Apa kalian mau menutup semua media?”

”Persis! Kita buka-bukaan saja. Semua media memang milik kapitalis. Tapi di antara para kapitalis itu, media tempat Mas bekerjalah paling kapitalis. Seenaknya membuat berita-berita yang merugikan gerakan perlawanan, agar laku di pasar. Bosmu itu biangnya KKN dengan modal asing dan penguasa korup. Mau nggak mau, ya Mas juga bagian dari mereka!” ujar Lukman berapi-api. Kalau sudah kalap, Lukman memang akan ceplas-ceplos tentang apa saja.

Bonang jadi teringat peristiwa tiga tahun lewat, ketika ia memperkenalkan Lukman si tokoh mahasiswa yang getol meneriakkan yel-yel reformasi dan anti KKN itu, kepada si Bos pemilik majalah mereka. Lukman datang dengan proposal permintaan sumbangan dana untuk sebuah proyek penelitian. Tentu saja Lukman diterima baik dan dipersilakan mempresentasikan proyek penelitian yang akan dilakukannya bersama kelompoknya.

Tadinya presentasi berjalan lancar. Angka-angka bantuan dan kerja sama mulai didiskusikan. Termasuk kesiapan majalah Bonang untuk ikut menerbitkan buku hasil penelitian yang akan dilakukan Lukman dan teman-temannya. Lalu acara presentasi tiba-tiba saja sungsang, ketika tanpa sengaja, entah siapa yang memulai, si Bos mulai berdebat tentang politik dengan Lukman. Puncaknya, si Bos secara halus menarik semua dukungan yang beberapa menit sebelumnya sempat disanggupi. Dan untuk itu, Bonang sendiri memperoleh teguran, agar lain kali tidak sembarang membawa tokoh mahasiswa mana pun untuk meminta bantuan dari majalah mereka.

”Saya mengerti, Bung Lukman. Tapi, bagaimanapun kita hanyalah manusia biasa yang sama-sama memperjuangkan agar hidup kita menjadi lebih baik…”

”Hmkh! Kita tidak sama, Mas!” Lukman memotong.

Tapi Bonang meneruskan. ”Dan perlu Bung ketahui, kalian sudah ditunggu oleh para satpam dengan anjing-anjing herdernya. Petugas keamanan juga sudah berdatangan. Bukan saya mau menakut-nakuti. Maksudku, cobalah pikirkan para satpam yang akan menghadapi kalian. Mereka juga orang-orang kecil seperti kita, yang sedang berusaha meningkatkan kehidupan mereka…. Apa tidak ada jalan lain kecuali penyerbuan yang akan kalian lakukan?”

Seakan menyadari adanya semacam kontradiksi, Lukman terdengar menarik napas panjang dan mengganti topik pembicaraan. ”Sudahlah, Mas tidak akan mengerti bagaimana posisi kami. Mas tahu apa yang kami lakukan kemarin? Kami berhasil mengumpulkan sumbangan dari sebuah kampung di Jawa Barat, untuk perjuangan kami. Kau tahu apa kata mereka? Kalahkan orang-orang kota itu! Mereka telah mengeruk semuanya, sementara kita di kampung-kampung sini hanya kebagian yang kecil-kecil saja…. Jadi, jangan katakan kami memusuhi orang kecil. Kami hanya memusuhi orang-orang kapitalis dan kelompoknya. Artinya, yah, Mas dan para satpammu tetap saja kapitalis, meskipun kapitalis kecil…hahahah!” Lagi-lagi, terdengar tawa Lukman yang mengejek panjang.

Kali ini, Bonang tak tahu lagi mau bicara apa. Mau diteruskan berdebat, pasti ujung-ujungnya adalah kebuntuan. Dan lagi, di tengah malam yang serba panik saat itu, Bonang tak memiliki keinginan untuk berdebat panjang lebar tentang orang-orang kecil dan kapitalisme!

Jadi Bonang hanya dapat mendesah perlahan. Apa lagi yang dapat diperbuatnya?

Untuk sesaat mereka berdua terdiam, seakan saling termenung dalam arus pemikiran masing-masing, di tempat masing-masing yang semakin dekat jaraknya. Lukman mulai terdengar gelisah seakan ingin mengakhiri pembicaraan. Bonang sendiri sudah mulai enggan menggenggam pesawat teleponnya lebih lama lagi.

Akhirnya keheningan terpecah. ”Sudahlah, Mas Bonang. Sampai jumpa di tempatmu. Kalau mau dialog, kuharap Mas mau keluar menemui kami. Saya akan menahan teman-temanku, asal Mas mampu memberikan pernyataan-pernyataan yang memuaskan.”

”Tentang apa?” tanya Bonang.

”Yah apa saja! Mungkin semacam jaminan bahwa selanjutnya majalahmu akan berpihak dan menyuarakan tuntutan kami. Dan tentu saja…kalian juga harus minta maaf!” desak Lukman.

”Itu yang saya tak bisa, Bung Lukman. Wewenang saya malam ini hanya menanggung-jawabi berita utama…demonstrasi mahasiswa!” jawab Bonang.

”Kalau begitu, jadikan kami berita utama! Sampai jumpa di tempatmu!” Trak! Lukman memutuskan hubungan telepon.

Bonang tercenung dan meletakkan gagang telepon. Ia tak menyangka kalau Lukman akhirnya berhasil menekannya.

Dan baru saja Bonang meletakkan gagang telepon, Om Joko kepala satpam, yang biasanya sering melontarkan obrolan ringan dan guyonan ala Madura itu, sudah menerobos masuk ke ruangan redaksi dengan wajah tegang.

Dengan tersengal-sengal Om Joko berbicara, ”Cepat, Pak Bonang. Pak Bonang disuruh pulang oleh Bos. Lewat pintu belakang. Mobil bos sudah menunggu!” Om Joko menarik napas panjang, ”Harus cepat! Karena Bos akan langsung terbang dengan helikopter bersama keluarganya ke pulau!”

Bonang gelagapan. ”Bos masih ngantor?” tanyanya bingung.

Om Joko menjawab tak sabar. ”Bukan. Bukan begitu. Sejak siang Bos sudah pulang. Tapi bos terus memantau keadaan di sini, termasuk meminta bantuan para petugas keamanan. Dan barusan, karena tahu Pak Bonang masih ada di sini, ia sengaja mampir mau menjemput. Pak Bonang akan diantarkan pulang!”

Bonang segera mengerti situasinya. Rasa terima kasih membias di benaknya karena si Bos ternyata masih menyempatkan diri ”menyelamatkannya”. Tapi, bagaimana dengan Rifi dan wartawan lainnya. Bagaimana kalau mereka menghubungi lagi? Siapa yang akan menampung ”berita” dari mereka?

Bonang kembali gelagapan setelah telinganya menangkap suara alarm menjerit-jerit membahana ke seluruh ruangan dan areal gedung. Bahkan beberapa lampu sorot berkekuatan ratusan watt di halaman telah dinyalakan, menjadi penerang bagi para satpam dan para petugas keamanan yang kini tampak bersiaga penuh seraya mencari-cari penyebab aktifnya alarm itu. Sementara, anjing-anjing herder mulai menggeram-geram dan menyalak menusuk-nusuk udara malam, sekalipun leher mereka terikat rantai yang dipegang kencang oleh para satpam.
”Cepat, Pak Bonang!” ujar Om Joko khawatir.

Dari arah halaman mulai terdengar bunyi pecahan kaca dan lemparan-lemparan batu. Lalu beberapa botol molotov telah meledak dan mengeluarkan asap tebal di beberapa bagian halaman dan luar pagar yang luas itu. Bonang berpikir cepat, menyadari bahwa gedung perkantoran itu pasti telah terkepung rapat oleh massa yang sedang mengamuk dan dapat membahayakan jiwanya. Tanpa pikir panjang diambilnya rangsel dan laptopnya, dan segera bergegas mengikuti langkah Om Joko menuju pintu belakang yang selama ini belum pernah dilewatinya.

Berdua mereka keluar menyusuri lorong-lorong di sisi gedung percetakan, dan keluar menuju pintu gerbang kecil di halaman belakang yang selama ini sumpek oleh barang-barang tak terpakai atau sisa-sisa majalah yang salah cetak atau tidak laku di pasar.

Om Joko menolak ajakan Bonang untuk ikut menyelamatkan diri dari amukan massa. Om Joko dan teman-temannya diharuskan tinggal bersama para petugas keamanan untuk melindungi gedung perkantoran dan isinya sedapat mungkin. Pikir Bonang, mau menyelamatkan apa lagi dari amukan massa yang benar-benar datang penuh kemarahan?

Si Bos mengangguk kecil ketika melihat Bonang memasuki mobil. Begitu mobil bergerak belasan meter menyusuri jalanan gelap di belakang areal gedung perkantoran itu, telepon genggam Bonang menyala. Rifi!

”Hallo Rifi…? Bagaimana…?” belum habis Bonang bertanya, Rifi sudah memotong ringkas.”Saya sedang menuju kantor, Pak. Sampai jumpa! HP saya terinjak massa. Ini HP teman!” Trak! Rifi memutuskan hubungan.

Bonang panik. Ia semakin panik lagi ketika melihat si Bos menoleh ingin tahu. ”Wartawan kita?” tanya Bos.

”Iya, Pak. Rifi!” jawab Bonang.

”Oh si nekat itu?”

Bonang mengangguk. Dan segera memanggil ulang HP temannya Rifi.

”Hallo?” terdengar suara seorang gadis menyahuti.

”Hallo, tolong sambungkan dengan Rifi!” kata Bonang.

Lamat-lamat terdengar suara memanggil-manggil nama Rifi. Lalu kembali terdengar suara si gadis. ”Maaf, Pak. Rifi baru saja berangkat dengan teman lainnya. Katanya mau meliput gerakan massa di kantornya, dan langsung menuliskannya malam ini…. Sudah, Pak, kami juga mau bergerak ke istana! Di sana masih banyak demonstran!” Trak! Hubungan diputuskan.

”Hallo! Hallloo!” Bonang memanggil-manggil. Tak ada sahutan. Dan di wajahnya segera membayang wajah Lukman yang saat ini pastilah kecewa karena tak menemukan Bonang di kantornya. Tapi, tak lama lagi Lukman dan kelompoknya akan ”bersua” dengan Rifi!

Ah, Rifi, si wartawan nekat itu. Mudah-mudahan ia lolos melewati demo kali ini! Bonang memandang kegelapan jalan di depan sana dengan bimbang. ***

Menengok Teater Pembebasan di Indonesia

Hasta Indriyana
http://www.suarakarya-online.com/

Teater menunjukkan satu konsep bahwa ia sesungguhnya adalah segala macam peristiwa yang terjadi di atas pentas yang mengandung cerita, dipertontonkan dan dilakonkan oleh pemain (aktor). Teater merupakan suatu kesatuan yang diciptakan oleh pemain, pengarang cerita, dan penonton (Asrul Sani). Definisi di atas mengandung pengertian adanya proses kolektif dalam sebuah pengalaman kelembagaan (organisasi), kaidah berkesenian (artistik), dan orientasi proses (idiologi), atau Organisasi-Artistik-Orientasi (OAO). Pengertian teater di atas penting dalam hubungannya dengan paparan Teater Pembebasan (TP) di Indonesia di bawah ini.

Ngomong tentang TP berarti berbicara tentang pendidikan, sebab ia sebenarnya media pendidikan bagi rakyat. Itu artinya mau tak mau mesti menyinggung Paulo Freire. Pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan yang menjadi wadah pembebasan kesadaran atas suatu realitas yang didominasi oleh elite politik. Kesadaran yang dimaksudkan Freire berarti usaha mengembangkan kesadaran pasif dan reseptif ke arah kesadaran kritis agar manusia terus-menerus bertindak sebagai subjek yang mengubah dunia, memasuki sejarah dan mengembangkan kebudayaan. Maka proses pendidikan di dalamnya sangat ditekankan aspek subjektivitas orang-orang yang terlibat. Tidak ada istilah ‘guru dan murid’, mediator menggali pendapat dengan bertanya, misalnya: kenapa, bagaimana, siapa, sementara semua yang ikut terlibat aktif, mengungkapkan, membahas, menyarankan, memutuskan, dan merencanakan.

Pemikiran tersebut awal mulanya adalah kenyataan adanya penguasa dan yang dikuasai, penindas dan tertindas. Masyarakat tertindas yang dimaksudkan adalah masyarakat yang selama ini tenggelam dalam mitos-mitos yang ditiupkan golongan penindas-elite penguasa. Harapan dari pendidikan ini dapat memberikan suatu kesadaran total pada masyarakat bahwa ketika ia hadir di dunia ini sebagai manusia maka ia mengalami dunia sebagai realitas objektif, tidak bergantung pada siapa pun. Munculnya pendidikan dialogis Freire ini merupakan antisipasi terhadap kekuatan penekanan kaum penindas yang membakukan dan mematikan kesadaran kritis masyarakat beserta hak-hak politiknya. Sebab kondisi semacam ini bakal melahirkan masyarakat yang pasif, yang selalu mengiyakan apa yang mereka alami sebagai akibat dari tindakan-tindakan penekanan pihak penguasa.

Nah, pada umumnya rakyat kebanyakan tidak memiliki kesanggupan untuk membebaskan diri dari penindasan dan penekanan tersebut. Anggapan masyarakat selama ini adalah bahwa penindasan tersebut dikarenakan takdir manusia, di antara sesama korban (rakyat tertindas) terjadi saling salah-menyalahkan, bahkan rakyat tertindas tidak merasa ditindas dan malah tercipta kebergantungan bagi hidup mereka. Akhirnya rakyat terbiasa dalam keadaan dikuasai kekuatan-kekuatan politik sehingga tidak bisa menangkap tugas-tugas zaman. Freire kemudian mengenalkan model pendidikan dialogis sebagai upaya melahirkan kebebasan kesadaran rakyat tertindas terhadap kondisi yang selama ini menekan. Pendidikan yang dimaksudkan berintikan pembebasan kesadaran dengan terus-menerus memancing mereka untuk berdialog, memberikan mereka nama, karena hanya dengan cara demikian mereka dapat merubah dunianya.

Sebagai alat perubahan rakyat, teater kemudian dipakai sebagai media pendidikan penyadaran. Pemikirnya adalah Augusto Boal, Brazil yang kemudian konsep turunan pemikiran Freire tersebut disebarkan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Sementara itu di Rusia setelah revolusi tahun 1917 masyarakat memraktekkan teater sosial secara keras. Teater Rusia pada awalnya hanya dipertunjukkan di kalangan menengah ke atas, kemudian menyebar setelah revolusi kaum buruh di mana mereka tidak pernah berkesempatan menyaksikan pementasan teater. Agar kaum buruh dapat mengerti apa yang dipentaskan, tentu ada metode tertentu yang digunakan. Maka dari situlah kemudian lahir apa yang dikenal dengan TP. Di sana, metode ini lazim disebut sebagai aliran realisme-sosialis.

Di Indonesia, fenomena TP dimulai pada dasawarsa 1970-1980 ketika pembangunan dipagari jargon ‘demi keamanan dan stabilitas’, yaitu ketika kebebasan dibelenggu demi kekuasaan. Ketika militer masuk kampus pada tahun 1978 kemudian disusul peristiwa Malari, kerusuhan-kerusuhan di hampir semua wilayah, dan semakin kentara kesenjangan antara si kaya dan si miskin, maka para aktivis, intelektual, seniman, jurnalis, dan pendidik turun ke masyarakat untuk memberikan penyadaran-pembelaan.

Di era sebelum itu, perkembangan teater di Indonesia menunjukkan kaitan dengan upacara adat dan keagamaan-tradisional, yaitu menonjolkan unsur utama yang berupa cerita, pelaku, dan penonton, sedangkan teater istana lebih banyak mengambarkan gagasan-gagasan kesantunan, kehalusan perasaan, dan keagungan. Pada 1950-an berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta dan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta, menunjukkan perkembangan teater modern Indonesia. Sejak tahun 1958 sampai tahun 1963 dikenal dengan zaman keemasan teater yang pertama.

Zaman keemasan teater kedua, yaitu ketika didirikan Taman Ismail Marzuki (TIM) di bawah kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), pada 19 Juni 1968. Perkembangan teater kemudian tidak terlepas dari segala macam bentuk kebijakan dan aturan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru sehingga pekerja-pekerja teater terjebak dalam penafsiran-penafsiran terhadap keinginan pemerintah. Hal tersebut menciptakan kesenjangan antara pekerja teater dengan penontonnya. Akibatnya adalah kemandekan perkembangan teater di dasawarsa 1980-an.

Maka kemudian mendorong kelompok kerja teater muda untuk menciptakan suatu teater yang dapat menyatukan penonton dengan pemain. Kemunculan kelompok-kelompok ini sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap kondisi masyarakat. Maka naskah-naskah yang ditulis menampakkan komitmen sosial mereka. Konsep teater seperti ini kemudian dikenal dengan istilah Teater Demokratik, yaitu teater yang gagasannya terlebih dahulu ditawarkan penonton. Dari sinilah kemudian mendorong lahirnya gagasan mengenai teater sebagai media pembebasan.

Menyebut beberapa nama yang konsisten pada teater pembebasan, misalnya Simon HT dengan Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI), Emha Ainun Nadjib dengan Teater Dinasti, Fred Wibowo dengan Puskat, dan Brotoseno dengan Teater Urakan-nya. Prosesnya, sebelum naskah disusun selalu dimulai dengan diskusi, semua dilakukan dalam kerja kolektif. Prinsip tersebut tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip TP yang dikembangkan Philliphine Educational Theatre Association (PETA), yaitu OAO.

Munculnya faham teater sebagai media pembebasan merupakan salah satu upaya menciptakan demokrasi kebudayaan dan demokrasi politik yang selama ini dibekukan demi kepentingan pihak penguasa. Kemunculannya karena kondisi yang melahirkan iklim demokrasi kebudayaan dan demokrasi politik dapat menciptakan iklim kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi kepada para pekerja kesenian. Hal tersebut dapat mengancam status quo pihak penguasa karena dengan kebebasan yang ada itu para pekerja teater dapat menciptakan bentuk-bentuk karya seni yang tidak selaras dengan apa yang diinginkan pihak penguasa, yaitu karya seni yang mempertanyakan kekuasaannya.

Pada perkembangannya, TP begitu banyak mengalami gempuran baik internal maupun dari luar dirinya. Tantangan itu misalnya tentang ruang masyarakat tertindas yang ternyata bukan ruang kosong, artinya negara juga mengoperasikan model-model politik kekuasaan, termasuk ‘pihak-pihak yang lain’ di dalamnya. Di dalam masyarakat sendiri juga berhadapan dengan berbagai kekuatan dalam berbagai bentuk. Tantangan yang lain misalnya tidak semua seniman yang punya kepedulian dan konsen pada kegiatan seni-kebudayaan bersikap tak acuh, bahkan sinis. Hal ini berkaitan dengan psikologi kesenimanan, misalnya kerja-kerja aktivis TP jauh dari popularitas, tidak mungkin ditulis di koran, cap ‘seniman orderan LSM’, dsb.

Ada juga misalnya stigma PKI yang dicurigakan masyarakat kepada aktivis TP. Sejarah Indonesia memiliki pengalaman gelap ketika Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dianggap sebagai ‘penjahat komunis’ oleh penguasa Orde Baru, sehingga stempel PKI pun dipakai negara untuk melakukan pembatasan terhadap upaya-upaya di luar negara. Tentu hal ini turunan dari stigmatisasi negara di dunia kesenian, sebab di luar dunia kesenian juga demikian, misalnya gerakan mahasiswa, petani yang menolak menanam tebu dicap sebagai anti-pembangunan; anti-pembangunan dicap anti-pancasila; anti-pancasila dicap sebagai PKI. Ketika negara mengecap PKI pada orang, kelompok orang, atau aktivitasnya sebagai PKI maka tidak harus negara yang mengeluarkan energi untuk melakukan pembatasan, masyarakat sendiri juga sudah defensif.

Tindakan represif pemerintahan Orde Baru yang dilakukan di tahun-tahun itu merupakan antisipasi pemerintah terhadap kemunculan faham seni untuk rakyat (L’art pour engage) yang pernah didengungkan Lekra. Ketakutan pemerintah Orde Baru kemudian diejawantahkan lewat politik kebudayaan, yaitu yang terpaku pada program stabilitas, harmonis, tanpa konflik guna mendukung pembangunan. Karena adanya penekanan dan pengendalian pihak penguasa terhadap teater, mendorong pekerja-pekerja teater melakukan semacam perlawanan untuk membebaskan teater dari kepentingan pihak penguasa. Mereka akhirnya kembali memilih bentuk-bentuk teater yang membumi, yang kembali pada persoalan masyarakatnya sebagai penerima karya mereka.

Gempuran terhadap TP yang berhubungan dengan masyarakat sasaran, misalnya setelah masyarakat ditinggal aktivis TP, lantas proses teater pembebasan mandek. Pengalaman TP yang dilakukan Joko Kamto (saat ini aktif di Kyai Kanjeng) dan Eko Winardi (keduanya aktivis KTRI) di Weleri, Kendal, disebabkan rata-rata pemuda-pemuda di sana setelah kawin memilih hengkang dari desanya dengan tuntutan utama ekonomi. Maka, menurut Simon HT, sesungguhnya TP tidak bisa berdiri sendiri, yang paling tepat apabila TP menjadi bagian dari proses pengorganisasian rakyat. Mediator-aktivis TP beserta metodologi dan orientasi yang diusungnya selayaknya menjadi bagian rakyat, terlibat dalam permasalahan-permasalahan rakyat. Hal ini mengandaikan ada sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan rakyat yang memberdayakan rakyat lalu di sana diperkaya dengan metode TP.

Wah, tapi hidup di sebuah negara di bawah cengkeraman kapitalis yang di sana rakyat dijejali material dan pernik-pernik modernitas, segala yang ditawarkan tidakkah lebih ‘aduhai’ dan mampu menjawab semua kebutuhan? ***

* Penulis adalah Manajer Komunitas di Yayasan Tandabaca, Yogyakarta.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi