Selasa, 25 Januari 2011

Meledek Penyair, Menghormati Puisi

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Aziz, Yusri Fajar, Denny Mizhar berfoto-foto dengan latar pendar-pendar kembang api pada malam tahun baru 2011 di lapangan rektorat Universitas Brawijaya, Malang. Nanang Suryadi, tak tahu kemana, mungkin ia suntuk menulis puisi di akun facebook-nya tentang sejauh apa kembang api dan puisi dapat memberi inspirasi bagi masyarakat untuk mulai menata harapan di awal pergantian tahun.

Malam itu, sebelum kembang api dibakar, Yusri dan Nanang membacakan dua puisinya di atas pentas gelar budaya untuk menyambut awal pergantian tahun. Denny sibuk menuruti permintaan Yusri dan Nanang untuk merekam dan memotret keduanya dengan kamera warna merah yang sepertinya selalu tersimpan di kantong jaketnya. Aziz duduk mengamati ketiganya, senyum sendiri, dalam hati ia meledek: Yusri dan Nanang, potret dan video yang kelak akan terpajang pada album foto maupun video dalam situs jejaring sosial facebook, akan menampung hasrat narsistik seorang penyair untuk membekukan beberapa pose, mengabadikan usaha bersikap indah penyair saat membaca puisi.

Di malam tahun baru 2011 itu, lelaki perempuan lalu lalang, sorot lampu dan lagu-lagu —dari keroncong sampai rock and roll— dinyanyikan sekumpulan dosen dan mahasiswa. Entah, berapa orang yang berpikir tentang jumlah rupiah yang harus dibayar oleh pihak rektorat Universitas Brawijaya demi kemeriahan itu. Berbaur di keriuhan pesta tahun baru, Yusri dan Aziz bertatap muka untuk pertama kali, keduanya saling berjabat tangan, sebelumnya mereka hanya bertemu kata di kolom obrolan facebook ketika Yusri masih melanjutkan studi di bidang kajian Sastra antar Budaya di Universitas Bayreuth, Bayern, Jerman pada tahun 2008-2010.

Di mata Aziz, Yusri lebih sebagai pemerhati puisi daripada seorang penyair. Aziz suka mengamati kerja-kerja Yusri dalam menelaah kemungkinan perambahan ucap dan perambahan wawasan yang dilakukan penyair-penyair dari Malang yang disyiarkannya di akun facebook. Semisal pada “Catatan Singkat atas Puisi-puisi Nanang Suryadi” (ditulis di Jerman, 4 April 2010), Yusri menelaah bahwa secara struktural, salah satu kekuatan puisi Nanang Suryadi terletak pada konsistensi “permainan” bunyi kata yang mengkonstruksi dinamika rima dan pada repetisi kata dan frasa yang berjalin kelindan dalam bingkai keutuhan. Lebih jauh, lanjut Yusri, dialog dan suara kadangkala ditekankan melalui “kalimat langsung” membuat puisi-puisi Nanang Suryadi menawarkan komunikasi yang mendekonstruksi otoritas tunggal ujaran sehingga memunculkan narasi yang dinamis.

Aziz kira, Yusri tepat dalam pembacaan strukturalnya terhadap keumuman cara ungkap puisi Nanang Suryadi. Nanang memang piawai “bermain-main” dengan repetisi kata dan frasa untuk membangun kekhasan ucap puisinya, simak penggalan puisi bertajuk “Ada yang Tiba-Tiba” —dimuat Horison, Tahun XLV, no.1/2011. Januari 2011. hal.7— berikut:

…dengan tanya dengan segala gelisah dengan segala cemas dengan
segala khawatir o kemana kan dilabuhkan ke mana segala mimpi
segala harap segala ingin segala kehendak karena tiba tiba saja
ada yang terasa menyelinap mungkin rasa cemburu atau sebuah
ketakutan akan kehilangan.

Di Malang, tak hanya puisi-puisi Nanang yang telah ditelaah oleh Yusri. Puisi dari penyair-penyair lain semisal Ragil Supriyatno Samid, Abdul Mukhid, Denny Mizhar, Tegar Prajaksa juga Yusri hayati. Kata Yusri pada Aziz di catatan bertajuk “Tentang Puisi-puisi Mukhid, Ragil dan Tegar Prajaksa” (ditulis di Malang, 2007), membaca puisi empat penyair dari Malang itu, Yusri mendapati cara berpuisi mereka ada yang mengikuti prinsip Sutan Takdir Alisjahbana yang ‘menuju laut’ meninggalkan ‘rumah’ dimana konvensi-konvensi tradisional dinegasikan, mengadopsi Eropa entah disadari atau tidak. Ada pula yang menjunjung hibriditas dengan intertekstualitas (baik struktur dan tema) yang bermuara pada puisi-puisi sebelumnya. Singkatnya, pada empat penyair dari Malang itu timbul rasa ingin melakukan emansipasi melalui peniruan untuk membangun identitas kepenyairan, tapi di lain pihak ada rasa ingin mempertahankan perbedaan.

Dipandang sebagai kajian tehadap karya-karya sastra dari Malang, setidaknya catatan-catatan Yusri bagi Aziz merupakan usaha atau niat baik untuk sedikit demi sedikit menandai ragam perambahan ucap dan wawasan penyair dari Malang. Bagi Aziz, gairah bersastra sedang semarak produktivitasnya di Malang —contohnya Denny yang menyiarkan puluhan puisi di catatan facebook-nya dan terdokumentasikan dalam www.sastra-indonesia.com, dan sering diledek oleh Aziz bahwa perambahan wawasan puisi Denny semakin memperpanjang gerbong puisi yang menyelenggarakan sunyi— memang harus diimbangi kerja-kerja telaah sastra agar ditemukan keberbedaan visi masing-masing penyair.

Apalagi ketika ekologi sastra semisal lembar budaya surat kabar memiliki keterbatasan untuk memuat telaah-telaah sastra, sedang jurnal atau majalah sastra yang berniat diri untuk konsentrasi memuat telaah-telaah sastra minim diproduksi, maka jejaring sosial semacam facebook memang mau tak mau kudu difungsikan sebagai ruang alternatif. Kehadiran beberapa puisi-puisi dari penyair Malang, sepanjang pengamatan Aziz, memang tak hanya mewujud dalam buku antologi puisi. Kebanyakan diantara mereka, menulis dan menemui pembacanya di catatan facebook, blog atau merekam pembacaan puisinya agar didengar dalam situs tertentu semisal yang dilakukan penyair Lodzi di www.reverbnation.com.

Aziz memandang, kerja-kerja kepenyairan semacam itu adalah kerja mandiri, usaha berkreativitas seorang penyair untuk mendekatkan karyanya pada masyarakat luas. Ruang-ruang baru di luar buku, majalah maupun surat kabar membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi penyair untuk bebas melakukan eksperimentasi ragam ucap dan wawasan dalam puisinya tanpa harus berusaha untuk mengikuti selera redaktur, terbatasi oleh kolom atau berusaha menjadi placebo dengan mengikuti cara ungkap penyair yang telah dianggap mapan.

Dalam situasi semacam itu, yang diperlukan adalah hadirnya telaah, untuk setidaknya menemukan kekhasan ucap maupun wawasan kepenyairan mereka, menandai cara mereka memandang kota Malang bahkan Indonesia dalam puisinya, atau telaah menjadi masukan berharga untuk meningkatkan mutu bobot puisi bila kemudian sang penelaah menemukan kelemahan eksplorasi tema maupun struktural dalam puisi-puisi yang ia baca.

Aziz memang suka meledek penyair yang mengekor ragam ucap penyair lain, sedang Yusri menghormati puisi dengan berusaha menandai ciri ucap maupun wawasan yang terkandung. Aziz dan Yusri, tidak suka mengekor pada penilaian asal hantam yang kerap terjadi dalam iklim sastra Indonesia, bahwa sastra di luar buku, kolom budaya koran, majalah sastra adalah karya sastra sampah.

Sri

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Sri namaku. Aku lahir ketika musim kemarau panjang. Keluargaku di himpit kesusahan. Sawah yang ditanami padi tak juga kunjung menuai panen. Kekeringan melanda desaku. Hingga semua warga desaku harus berduyun-duyun menimba air di sumur syawal ketika pagi tiba. Sumur yang selalu ada airnya walaupun musim kemarau melanda. Hanya itu satu-satunya sumur yang tak pernah surut. Konon ceritanya yang menggali lubangnya bernama Syawal. Hingga sumur itu diberi nama sumur Syawal. Atau mungkin dalam dugaku lubang sumur itu di gali waktu bulan syawal.

Matahari tepat di atas kepala. Cahayanya menembus genteng kaca rumah. Aku keluar dari rahim Ibuku. Aku tak lekas dibersihkan, darah masih menempel di kulitku. Sebab tak ada orang yang tau. Di rumahku hanya Ibuku sendiri yang berjuang hingga aku keluar dari rahimnya. Baru ketika ada tetangga lewat di depan rumahku sepulangnya dari sholat Istisqa’di sawah. Sholat meminta hujan pada Tuhan agar segera diturunkan. Dan dilanjutkan berdo’a hingga petang. Dia mendengar tangisku. Dimasukinya rumahku. Itupun sudah hampir senja. Dengan tergesa-gesa dia memanggil tetangga yang lainya. Baru ketika azdan magrib tiba, tetanggaku yang bernama Parti memandikan aku.

***

Ibuku, meninggal ketika usiaku 6 bulan. Bapakku entah kemana. Aku di asuh oleh Mbak Parti, begitu aku memanggilnya. Mbak parti orang kaya. Suka berdandan. Dan primadona kampungku. Dia janda kembang. Sehabis menikah dapat sebulan suaminya meninggal tertabrak kereta ketika hendak ke kota untuk kula’an barang-barang yang akan dijual di tokonya. Dia sempat hamil tapi nasib berbicara lain, kaguguran menimpa kandungannya. Itu tepat ketika suaminya meninggal. Mbak parti berjanji untuk tidak menikah lagi. Karena saking (sangat) cintanya pada suaminya yang namanya Bejo.

Aku dianggap anaknya sendiri. Segala hal dituruti. Sampai sesuatu yang sepele hingga sesuatu yang penting. Dia melakukan itu semua karena sayang sama aku. Tetapi kesendirian Mbak Parti tidak berjalan lama. Dia lupa akan janji yang pernah diucapkannya.

Paijo namanya, yang membuat Mbak Parti tergila-gila. Setiap malam tiba, Paijo datang kerumah. Aku selalu suka ketika Mas Paijo datang, sebab selalu bawa permen untukku, tidak hanya permen kadang bakso yang dibelinya di lurung gede (jalan besar) sebelum masuk ke gang rumahku. Rumah Mbak Parti, sudah aku anggap rumahku sendiri, dia sendiri yang memintanya.

Malam minggu, Mas Paijo biasanya datangnya sehabis magrib. Lalu mengajak Mbak Parti jalan-jalan sampai jam menunjukkan pukul sembilan malam.

***

Tetapi malam minggu ini sampai tengah malam tak pulang. Aku menunggunya dengan resah. Aku tertidur di balik pintu menunggu Mbak Parti, terbangun ketika mendengar ketukan pintu.
“Sri… Sri…, bukakno lawange… (bukakan pintunya) “. Aku bergegas membuka pintu yang tidak jauh dari aku. Tinggal berdiri lalu membuka.
“Kok bengi Mbak mulehe” (kenapa malam pulanganya) Tanyaku penasaran. “Iyo Sri, dijak muter-muter karo mas Paijo, mari ngono dijak dolen neng omahe” (iya, sri di ajak putar-putar sama mas Paijo, habis itu di ajak main kerumahnya).
Mbak Parti bercerita banyak tentang Mas Paijo, dari rumahnya yang besar dan kekayaan-kekayaannya. Tak henti-henti sampai menjelang pagi.
Mas Paijo sering main ke rumah. Bahkan pernah menginap. Suatu hari, aku tidak sengaja habis pulang sekolah langsung saja masuk dapur tanpa salam untuk masuk rumah. Pintu kamar Mbak parti terbuka. Letak kamar Mbak Parti bersebelahan dengan dapur. Aku kaget bukan main. Mbak Parti dan Mas Paijo tanpa sehelai pakaian. Mereka mendesis seperti ular berbisa saling mencaplok. Aku mengigit jariku tak bisa melupakan kejadian itu. Aku lari menuju dapur dan meminum air kendi tak sadar air tumpah ke baju sekolahku. Dan Basah.

Mas Paijo, tanpa sadar sudah di belakangku. Melihatku yang gugup. Aku melihat masih ada sisa bisa yang keluar dari mulutnya. Aku manjadi takut. Aku lari. Tapi langkah Mas Paijo lebih cepat. Aku didekamnya. “Kau tadi melihat ya Sri” sambil matanya serupa srigala hendak memangsa hewan buruannya. Aku mengeleng takut. “Tak usah takut, Sri” dekamannya semakin kuat. Aku berteriak. Tetapi lebih cepat ubetan ular yang mbulet di tubuhku. Nafasku serasa sesak. Berlahan sengatan bisa menembus tubuhku. Aku kaku, diam, kosong, serupa orang tak waras.

Baju putihku berlumur darah. Roh abu-abuku yang baru aku beli seminggu yang lalu entah ke mana.

***

Sri namaku, aku lari dari rumahku. Seperti Ibuku, pergi tanpa pamit dan tak kembali. (mungkin mencari bapak). Sepertiku juga (mungkin mencari bapak) Meninggalkan mesjid dan kitab suci. Aku memuja tubuhku. Membakar kenangan tentang sumur syawal. Dan kampung yang kekeringan ketika musim kemarau. Kini aku menjelma menjadi ular yang selalu berdesis. Seperti Mas Paijo dan Mbak Parti. Dalam kerlip lampu-lampu, dalam gelap kamar, dalam gedung-gedung rapat.

Hidupku tak pasti, seperti yang aku tahu tentang hukum di tempat aku menyusuri jalan dan jalur hidupku. Akupun tak tahu. Di mana Tuhanku. Apa mungkin dalam desis malam atau dalam tubuh beningku. Kini kering, seperti musim di mana aku lahir dari rahim ibuku tanpa tahu Bapakku.

Sigi ‘Piningit’

S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/

INI adalah masa sulit hidupku. Melewati dua belas tahun usiaku, menjadi petaka bagi ruhaniku yang haus pengetahuan. Saatnya kutinggalkan semua kenang di puri kebijaksanaan. Dipaksa usai memamah hikmah menjadi duka yang tak ku suka. Saat paling mengerikan yang tak pernah kuharapkan kehadirannya. Aku harus berdiam di balik tembok-tembok keangkuhan adat yang menandaskan seluruh cita. Menaati tradisi yang tak kumengerti.

Akan kuhapus kelebat rasa yang membuatku duka. Saat aku dan teman-temanku yang berkulit putih menumbuk biji-biji pemahaman dari guru-guru kami yang bestari. Bagi teman-teman wanita sebangsaku, yang dipasung rigit tradisi, mendedah ilmu tidak mengundang keriaan. Tapi bagiku, yang telah diajarkan menatap dan merasai indahnya cahaya mentari, meninggalkan jendela pengetahuan laksana mandapati gerhana purna.

Apalah arti siang hari, jika surya tertutup bayang-bayang bumi.

Aku merana seorang. Sekelilingku tak memahami dukaku. Bagaimana aku akan menceritakan sulitnya hidup dalam kegelapan, jika gelap itu mereka anggap benderang. Dan kini aku dipaksa menerima semua sebagaimana mereka menerimanya. Mampukah aku legowo pada kenyataan? Dapatkah aku mengamini telikung tradisi sebagai kebenaran jika telah kurasai indahnya kebebasan mengenyam pengetahuan? Akankah kuanggap dunia selebar kamar, sementara kutahu banyak negeri-negeri maju di belahan bumi yang jauh. Kulempangkan kaki, kutuju pintu agar terbebas impit pingit, tapi pintu itu selalu terkunci. Sedang anak kaitnya terlempar di samudera ketidaktahuan.

Hari terakhir manuju rumah pengetahuan menjadi saat paling memilukan. Kuhitung tapak demi tapak dengan dada sesak. Tiap pijak mewakili hari-hari yang sudah, penuh damba sampai ke sekolah. Bertukar pikir dengan gairah tiada menyerah.

Ingin kukembalikan seluruh mula yang mengenalkanku pada bangku-bangku ilmu. Agar tak kurisaukan datangnya hari ini. Hari perpisahan. Berpisah dengan teman-teman, terlepas dari para pengajar. Terberai dari cahaya kehidupan. Meninggalkan jajaran kursi yang menjadi saksi setiap ilmu yang kusigi. Melupa halaman sekolah, syahadah segala ria bersama teman sebaya. Tapi yang lebih memilukan, berpisah dari pelajaran-pelajaran yang mencerahkan.

Aku peluk guru dan teman-temanku satu per satu. Dengan dekap bayi yang takut kehilangan ibu. Ibu kehidupan, yang mengasuh anak-anaknya menjadi manusia purna. Aku bukan sekadar memeluk tubuh-tubuh itu, melainkan roh yang senantiasa berpijar oleh nyala pengetahuan.

Setelah ini, aku akan menjalani hari-hariku yang sunyi. Merentang dari tembok ke pagar, meniti hari dari sunyi ke sepi. Mananti temali takdir yang semakin menelikung seluruh ingin.

Aku mencoba menerima apa-apa yang bisa disangga wanita-wanita Jawa. Berdiam tanpa kata, bergeming tanpa cita. Mengiyakan apa-apa yang digariskan leluhur tanpa bisa mempertanyakannya. Mengamini tradisi dan membiarkan nurani mati.

Sehari demi seputaran mentari waktu kurambati. Pergantian masa kurasa begitu lama. Kubunuh jenuh dengan buku-buku dari Kanjeng Romo. Tapi seberapalah arti buku-buku, tanpa bimbingan sang guru. Kepada siapa aku tanyakan makna-makna di balik isinya. Biasakah si buta berjalan tanpa tongkatnya. Luruskah berjalan di pekat malam tanpa pelita.

Aku begitu cemburu pada teman-teman Eropaku, juga kangmas-kangmasku. Mereka bisa menumbuk pengetahuan ke mana saja, kenapa aku tidak? Meski aku terlahir sebagai Jawa, pelajaranku tak tertinggal dengan mereka yang Eropa. Sekalipun aku wanita, daya tangkapku tak kalah dengan para pria. Apa salahku terlahir sebagai Jawa? Apa yang tidak benar dengan kodratku sebagai wanita?

Aku tak kan membiarkan diri dilumat tradisi begitu lama. Ada gelap berarti ada cahaya. Ada tembok berarti ada cela. Dan, di hati Kanjeng Romo kuharapkan cahaya kasih itu. Pada jiwanya kudamba celah baru.

Kanjeng Romo… ya… hanya Kanjeng Romo yang sangat tahu gejolak manah-ku. Padanya selalu kucurahkan segala ingin. Kanjeng Romo yang mengerti kedalaman batinku. Padanya kusandarkan patahan jiwa.

Kanjeng Romolah yang mengenalkanku indahnya pengetahuan. Meski semua menjadi pertentangan karena melawan kelaziman.

Di sini, di bumi Jawa ini, tak terhormat wanita ningrat membawa senjata kertas dan pena. Seorang raden ajeng diajar menjadi wanita sumarah; nerimo, selalu diam dan tersenyum, meski hatinya tercabik sidik. Seorang raden ajeng dididik meredam dendam, memendam keinginan-keinginan, meski hatinya terluka purna.

Karena kelak, ketika dia menjadi raden ayu, semua akan berguna, ketika dia memanen luka demi luka. Saat menyaksikan suaminya membawa pulang perempuan lain tanpa persetujuannya. Dia harus menerima dengan senyum pembungkus hatinya yang lara. Memendam sakit demi citranya. Berapa pun selir di kediamanya, tak boleh ada yang menyaksikan pedih batinnya. Raden ayu dipaksa menerima semua sebagai ketentuan yang tak bisa dipertanyakan keadilannya.

Raden ayu…raden ayu, engkau manusia kayu. Terlahir untuk merawat ayu, sementara sukmamu tercerabut hingga layu. Dan Kanjeng Romo tak membiarkan aku menjadi raden ayu tanpa bekal ilmu. Kanjeng Romo juga yang memberiku setiap buku-buku yang kumau. Untuk menemani setiap hari yang berwarna sunyi.

Oh… Kanjeng Romo, begitu berartinya dirimu. Andai ku tak memiliki Romo sepertimu, mungkin telah tandas jiwa ini dalam keputusasaan. Kau sirami jiwaku dengan piwulang agung. Tak kau biarkan otakku beku diselubungi adat yang kaku. Tak kau biarkan putrimu mencecap gelap di bilik-bilik nestapa. Meski kau harus menjadi bahan gunjingan banyak orang, karena membiarkan anak perempuanmu melompati pagar tradisi.

Kepadanya kini akan kuwedarkan inginku. Segugus cita menuju menara budi, melanjutkan memamah pengetahuan. Bersanding dengan bangsa kulit putih, duduk tanpa tunduk, berdiri menjajar diri. Aku akan menyusul kangmas-kangmasku. Untuk beradu pikir, mendedah cakrawala batin. Akan kuyakinkan Kanjeng Romo, aku akan belajar sebaik-baiknya. Tidak akan mempermalukannya, membawa serta buah ilmu yang membanggakannya.

Kutemui Kanjeng Romo di singgasana agungnya. Kuberjalan dodok menghampiri. Setapak demi setindak ku mendekat. Setiap depa adalah sekumpulan pahatan doa. Berharap penuh Kanjeng Romo memberi restu. Meski tundukku setakzim gending, kutahu, Kanjeng Romo sedang menatap kebanggaan hatinya dengan kasih. Sampai di hadapan Kanjeng Romo, kutandaskan seba. Disambutnya sembahku dengan senyum tulus. Aku mendekat, hingga rapat pada helanya yang menenteramkan. Kukatupkan tangan di atas kedua lututku. Kuberanikan menatap kedalaman jiwanya. Sepenuh damba ku bermohon padanya. Meski tersimpan telaga kekhawatiran di sana. Seorang wanita, raden ajeng pula, bisa mencecap sekolah dasar, sudah luar biasa. Tapi aku menawar lebih. Sebab kutahu, sekolah dasar saja tak memenuhi dahaga jiwa. Meski aku juga tahu, Kanjeng Romo pasti didera caci jika mengizinkannya. Rautku penuh harap, sebanding bayi mendamba puting ibunya.

Setelah haturku usai, detik kurasa begitu lama. Ruang melampaui kesunyian angkasa. Kutahan napas demi mananti jawab yang menentukan. Detak jantungku menyamai roda kereta. Kuberhenti bernapas beberapa jeda. Kurasai tangan kukuh Kanjeng Romo mengusap kepala. Menyibakkan anak rambutku sepenuh tulus. Membelai mahkota dengan nada jiwa, tapi tak cukup menenangkan sukma. Karena hatiku menanti jawaban dari pertanyaan yang menentukan. Menentukan nasibku, hari depanku, hidupku, dan bahagiaku.

Akhirnya yang kutunggu datang juga. Dengan kelembutan sempurna, diperdengarkannya jawaban yang kunantikan.

“Tidak!”

Jatiagung, April 2010

*Ditulis berdasar surat R.A. Kartini kepada Nyonya Abendanon, bertarikh Agustus 1900
** Untuk Mamak tersayang, wanita pertama yang “mengenalkanku” pada R.A. Kartini.

Minggu, 16 Januari 2011

SISWA DAN ASPEK PEMBELAJARAN DRAMA

Yusri Fajar
Seputar Indonesia 4 Feb 2007

Drama adalah karya sastra yang menggambarkan aktivitas kehidupan manusia yang dalam penceritaannya menekankan dialog, laku dan gerak. Meski drama adalah karya sastra yang bisa dibaca dan dianalisa secara tekstual karena menggunakan medium bahasa dalam penciptaannya, namun drama pada dasarnya ditulis untuk dipentaskan di atas panggung (stage). Oleh karena itu, dalam teks drama, selain terdapat unsur dialog sebagai penanda alur cerita, pembaca juga akan menemukan gambaran ekspresi dan laku (stage direction) yang ditulis pengarang untuk memberikan gambaran kepada para pembaca, calon aktor, dan juga sutradara tentang tingkah laku, ekspresi, gerak dan juga mimik tokoh-tokoh dalam drama.

Collie (1997) menyatakan bahwa memberi kesempatan kepada para siswa secara berkelompok untuk mementaskan teks drama akan membawa mereka pada sebuah pengalaman yang menarik dan menyenangkan karena pada dasarnya siswa senang dengan pementasan yang di dalamnya melibatkan unsur lampu panggung, kostum, tata rias, properti dan juga ilustrasi musik pengiring cerita. Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pementasan teks drama maka apresiasi teks drama dapat dilakukan secara maksimal, baik secara kognitif (pengetahuan/nilai), afektik (sikap) dan psikomotorik (gerak). Perpaduan kajian teoritis dan praktis atas naskah drama diharapkan dapat mengantarkan siswa pada pengalaman dan keterlibatan secara langsung dalam atmosfer cerita. Pada konteks ini, siswa tidak lagi berhenti pada alam imaji saja, tetapi secara konkret akan melihat bagaimana cerita dalam drama dihadirkan di hadapan mereka.

Jika pengajaran drama, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, hanya mengedepankan analisa teks dan pembahasan teori tanpa memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menghayatinya melalui praktek pementasan (practical performance) akan menyebabkan pengajaran drama menjadi membosankan. Lebih dari itu, kurangnya variasi metode dan strategi dalam pengajaran drama dengan penekanan sisi afektif dan psikomotorik telah membawa pada sebuah generalisasi bahwa pengajaran drama terkesan disajikan seperti mata pelajaran atau mata kuliah prosa dan puisi yang memang penekanannya pada analisa teks dan teori, padahal drama, sebagai karya sastra, menuntut perlakuan berbeda dalam pengajarannya mengingat struktur teks drama yang dirancang sedemikian rupa untuk sebuah pementasan.

Berkaitan dengan domain tujuan pembelajaran drama yang mestinya mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, maka terdapat tiga tahap pengajaran drama yang bisa diaplikasikan oleh pengajar yaitu tahap penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi. Pada tahap penjelajahan pengajar harus memberikan rangsangan untuk mempersiapkan siswa untuk membaca atau menonton suatu drama. Secara spesifik penjelajahan ini bisa menyangkut: perkenalan dengan drama, membaca dalam hati dan menonton pertunjukan drama. Pada tahap interpretasi, hasil bacaan atau tontonan mereka didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan menggali pendapat siswa terutama mengenai kesan siswa terhadap watak, tokoh, latar dan sebagainya. Dengan proses ini guru secara tidak langsung telah membimbing murid mengenal dan memahami jalan cerita drama tersebut secara aktif, tidak disuapi dengan informasi. Jadi, pengajar hanya memancing mereka dengan topik diskusi yang sederhana dari kehidupan sehari-hari.

Sementara pada tahap rekreasi pengajar melatih siswa membaca peran-perannya dan mencoba mementaskannya. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam kelas tatap muka dan dilanjutkan di luar kelas sebagai tugas terstruktur. Pada tahap ini pengajar dapat melakukan pembagian peran, membuat pagelaran dan melakukan evaluasi kemudian melakukan latihan ulangan dan mengadakan pagelaran kembali. Penekanan sikap dan gerak dalam tahap ini akan meningkatkan gairah siswa untuk menyelami peristiwa-peristiwa dalam teks drama secara langsung karena mereka terlibat sehingga teks drama tidak lagi menjadi suguhan yang semiotis dari segi kata-kata tapi sudah masuk pada tataran visualisasi yang dipanggungkan.

Pementasan naskah drama bila dikaji lebih jauh akan memberikan beberapa manfaat bagi siswa. Pertama, siswa akan belajar memahami heterogenitas budaya (multikulturalisme) yang tercermin dalam sebuah pementasan, baik yang berwujud ide, benda dan kebiasaan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa teks drama merupakan cerminan dari hasil budaya yang lahir dan berkembang dalam negara dan bangsa tertentu dengan etnis dan sukunya. Filosofi dan keunikan sebuah budaya akan telihat dari kostum, kebiasaan dan tradisi yang ditampilkan oleh aktor, dan dari properti dan dekorasi panggung. Teks drama yang dipentaskan selalu menghadirkan potret kebudayaan dan peradaban manusia yang pasti sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan perasaan aktor dan juga para penonton.

Kedua, siswa akan lebih memiliki rasa percaya diri terutama ketika berhadapan dengan publik. Beban psikologis untuk berbicara, beraktualisasi, dan bertindak di hadapan orang banyak dengan sendirinya akan terkikis melalui serangkaian proses bersama yang dijalani dalam bermain drama. Rasa canggung dan minder akan hilang secara perlahan ketika siswa berada di atas panggung, dan, melalui dorongan dan motivasi guru dan teman-temannya, mereka dilatih untuk tidak ragu-ragu lagi memerankan tokoh dalam naskah drama.

Ketiga, siswa akan mendapatkan kesempatan luas untuk bersosialisasi dan meningkatkan kemampuan dalam mengorganisasikan kerja tim. Hal ini tidak terlepas dari kompleksitas sumber daya yang dibutuhkan dalam pementasan mulai dari pemain, sutradara, penata rias, penata musik dan tim artistik panggung. Kerjasama dalam proses mengangkat teks tertulis dalam sebuah pertunjukan ini diharapkan akan memberi ruang bagi siswa untuk tidak hanya sekedar mengenal berbagai karakter anggota kelompok tetapi juga meningkatkan kemampuan dan pengalaman dalam manajemen, khususnya seni pertunjukan.

Bermain drama bagi siswa merupakan kesempatan berharga untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tekstual serta pengalaman praktis (pementasan). Tuntutan kompetensi siswa di era global yang tidak hanya terfokus pada aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik menjadikan pementasan drama sebagai salah satu media pembelajaran yang berguna dan bermakna dalam mengantarkan siswa dalam kehidupan nyata di masyarakat.

*) Pengajar di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang.

Sabtu, 15 Januari 2011

Puisi itu…! Menerjang Pecundang

Sabrank Suparno

Detik detik penutupan serangkaian acara Gebyar Pesta Seni Rakyat Jombang yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) beserta lembaga terkait di gedung PSBR, dipungkasi dengan pertunjukan Teatrikalisasi-Puisi-Musik persembahan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang angkatan 2009. Pementasan sesi pertama digelar pukul 15:30 dan pementasan ulang pukul 19:00, dengan 4 judul puisi sekaligus: Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, Menghisap Kelembak Menyan karya Emha Ainun Nadjib, dan terahir MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesi karya Taufik Ismail.

Seperti ada serabut di tempurung kepala penonton. Kalau pun tidak, pasti ada gumpalan di rongga dada yang pada saatnya akan meledak. Seminggu, semenjak acara berlangsung, saya kerap klitar kilter hingga larut menyaksikan seluruh pementasan di gedung itu. Dan ketika sekitar jam 2:00 siang, seluruh mahasiswa tampak melakukan persiapan di pelataran masjid dan area parkir, dengan memoles diri, memoles temannya sesuai peran masing-masing. Saya jadi ingat sebilik tobongan yang dipakai berias para pemain ludruk sebelum tampil. Sebilik ruang sederhana yang kerap saya masuki ketika meliput ludruk bersama rekan Fahrudin Nasrulloh. Itupun hanya di kerumuni hanya sekitar 60 awak seniman. Tetapi mahasiswa STKIP angkatan 2009 yang berjumlah sekitar 250 berjubel menyesaki pelataran PSBR.

Ada catatan tersendiri di sana. Canda canda kecil, wajah belepotan, over menor, menyiapkan alat adegan dll. Meski belum menyamai pementasan Sumpah Gajah Mada yang ditulis Sri Murtono pada tahun 1952 di depan musium Sonobudoyo (Keraton Yogyakarta) yang melibatkan 350 aktor termasuk 125 diantaranya aktris, 8 ekor kuda, sepuluh kereta yang ditarik 20 ekor sapi, di seluas panggung berukuran 50 kali 135 meter.*

Ah, ini buakan zaman perang. Sungguh. Pagi setelah malam penutupan itu, seperti desingan peluru berhamburan memberondong. Ledakan kanon, thank, pistol, bedil, bayonet, martil, koka, granat masih membekas di pendengaran saya. Seperti ada pertempuran semalam.

Macapat Sasana Gebyar Seni

Acara dibuka dengan penampilan Sasana Gebyar Seni pimpinan Bapak Suhartono yang berpadepokan di Perumahan Jombang Indah. Komunitas ini menampilkan paduan lantunan macapat dengan teatrikal dalang. Dimana salah satu anggota mereka berperan memegang kelir, bertempur dengan kelir itu, yang dalam pementasan wayang kulit dikenal dengan istilah ‘nyirep goro goro’menyingkirkan prahara.

Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta

Seiring pergantian musik setelah goro goro menyingkir, barulah keluar ratusan para pelacur. Orasi pembacaan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta pun berselang seling menyelinap diantara kerumunan para pelacur. Saya, sempat lupa kalau para pelacur itu hanyalah penampakan puisinya Rendra. Hingga saya sempat bertanya pada rekan Jabbar Abdulloh selaku networker yang sedang meliput, “ Jabbar, tarife pelacur iki piroan?” sambil tersenyum Jabbar menjawab “selawe nggeblak dewe”, haha.

Demikianlah ketika puisi diteatrikalisasikan. Adalah misi yang digagas seniman dengan harapan agar maksud isi puisi yang ditulis sastrawan efektif membekas di hati dan kesadaran penonton. Proses kerja teatrikalisasi itu sendiri mencoba menerjemahkan keterbatasan bahasa dalam menggambarkan sesuatu (visual). Jalan ini juga ditempuh Afrizal Malna dengan gagasan Puisi Art: Penyampaian puisi yang didesain dengan vidio. Untuk menggambarkan kilat misalnya, atau kecepatan pesawat super sonik, tak cukup hanya mengandalkan bahasa. Tetapi akan lebih paham jika ditampakkan ilustrasi visual.

Dalam proses teatrikalisasi puisi atau puisi musik, diperlukan garapan yang seimbang antar civitas: Penonton, pemain, penulis naskah, kritikus, bahkan peliput. Terutama hal yang menyangkut konseptual, termasuk memahami kondisi ruang. Sebab, pada kadar intonasi yang tidak reflektif terhadap ruang bisa menenggelamkan puisi itu sendiri. Disinilah letak kegagalan pementasan.

Pada pementasan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, sutradara seperti kurang memahami konsep ‘kesamaan derajat’ yang ditawarkan Rendra. Bukan kesamaan gaya, kostum, cara, bahkan predikat kesejatian pelacur itu sendiri. Nyaris tidak ditemukan pelacur yang bergaya-berpakaian kantoran, anak kuliah, bahkan cabutan usia SMA. Sehingga tidak sertamerta mewakili realitas yang ada. Pelacur disitu hanya dipahami sabagai PSK kelas rendahan yang dijajahkan di pinggir jalan. Kalaupun agak elit, taruhlah tempat tempat prostitusi seperti Padang Galak, Ketewel (Denpasar), Padyang Ulan (Banyuwangi), Tretes (Pasuruan), Gang Dolly dan Kremil (Surabaya), Balong Cangkring/BC (Mojokerto), Tunggorono, Klubuk (Jombang), Guyangan (Nganjuk), Lembah UGM (Yogyakarta), Jurang Songgoriti (Malang) dll.

Namun kekurangan akting itu dalam batas kewajaran. Seperti dikatakan Henri Nurcahyo Esais Surabaya saat diskusi teater di gedung PSBR tanggal 6 Januari 2011 pagi, bahwa dunia teater adalah dunia seolah-olah. Maka tak heran jika para pelacur di panggung PSBR adalah pelacur yang diragukan kepelacurannya. Artinya, meski pun mereka bergaya dan berpenampilan ala pelacur, tapi tidak sungguh sungguh berprofesi sebagai pelacur. Andai pun ada yang terlanjur (maaf), sehina hinanya pelacur yang dicolok Rendra dalam puisi ini, ialah orang yang sembodo, ksatria dalam hidupnya. Sebab mereka nyata dalam transaksi menjual dirinya secara total. Sementara para penguasa malah menjadi pelacur ter-hina yang menjual rakyat (tubuh lain) demi eksistensinya.

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Kejanggalan pada pementasan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo dapat kita lihat dari penuangan momentum sejarah. Apakah sesuai tahun terbunuhnya Atmo Karpo dengan interpretasi gaya konflik yang dibangun diatas panggung? Memang, dalam naskah itu, atas nama dendam kesumat, Joko Pandan menelikung kematian Atmo Karpo dari 4 penjuru mata angin. Armo Karpo terjungkal setelah bahu kirinya tertembus anak panah. Sepertinya zaman nomaden. Lantas, kenapa 4 wanita pemanahnya tidak memakai BeHa koteka sekalian?

Keadaan demikian akan menyulitkan format para penonton. Hendak dikemanakan konsep format yang demikian? Kesannya, tragedi itu hanya terjadi di masa lampau. Padahal sesungguhnya bahaya selalu mengancam siapa pun dalam berbagai bentuk. Termasuk kekejaman tekhnologi cyber yang lebih bahaya bagai busur angin.

Menghisap Kelembak Menyan

Pengemasan Edy Haryoso selaku sutradara tidak jauh melebar dari teks format aslinya ketika dibacakan Emha Ainun Nadjib sendiri bersama teater Dynasti. Seting backround pementasan Menghisap Kelembak Menyan formatnya tidak berubah. Naskah ini tergolong sublim. Perebutan eksistensi digambarkan dalam perang dialog antar dua teori yang bertabrakan akibat kondisi kekinian yang dialami generasi penerus bangsa. Orang tua dan kaum feodal menjadikan pitutur kuno sebagai bius demokratisasi, sedang kaum intelektual muda menemui kenyataan berbalik 180 derajat.

Benturan dua teori di atas diharapkan menjadi serbuk /glepung yang disebut ‘irama pembusukan’. Berawal dari teori medok, mogol, tanggung, entah gak entah-mateng gak mateng. Setelah mati, busuk, barulah muncul kehidupan baru, file file baru yang lebih tertata.

Karena pakem dengan format aslinya, menjadikan pementasan Menghisap Kelembak Menyan kurang menghenyak penonton. Meskipun dari alur teks penonton terpukau. Kentaranya, sutradara hanya menguasai intensitas teks, tetapi lemah intensitas ruang. Dengan hanya berdiri monoton di pojok, penonton yang paling belakang tidak terdengar. Apalagi para penonton yang belum pernah dikursus menjadi penonton yang baik, bisik kegaduhannya acapkali menenggelamkan suara orator. Saya sekedar membayangkan seandainya pembaca puisinya sambil berjalan menguasai panggung, mengacung-acungkan teks, mengibaskan atau bahkan membanting teks ke lantai. Dan sah juga sambil menghampiri kerumunan penonton. Setahu saya, Emha sering mengatakan “kalau anda meniru saya, Emhais, nyakNun, artinya aku gagal membangun kemandirian kalian. Anggaplah aku garam bagimu yang kau ramu untuk sekedar ngepyuri bumbu masakan sosial”*

MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)

Ada kreativitas ide pada pementasan MAJOI. Yaitu penuangan panggung yang bersifat elastis. Hanya dengan alat sederhana, sesi peralihan adegan yang bernuansa kehidupan modern efektif seperti menonton layar kaca. Sayangnya si tokoh yang pemalu (penyebab), yang kemudian bersedih (akibat malu) gagal mewakili kesedihan Taufik Ismail yang didera oleh kabar tentang keburukan negerinya yang disimbolkan dua orang samar (media). Tokoh tidak menggambarkan ekspresi wajah kesedihan yang sesekali mengernyitkan dahi. Bahkan tidak berani bertatapan mata dengan penonton. Seperti ada rasa kekurangan akting dalam dirinya. Si tokoh seperti orang yang tidak pernah putus cinta, yang mengajarkan hidup meratap-ratap serasa mati dalam kehidupan.

Disinilah pentingnya mencari aktor yang digali berdasarkan kondisi keseharian seseorang. Seperti dikatakan R. Giryadi (Ketua DKJT) saat nyambangi diskusi teater dan penutupan pentas seni tanggal 6 Januari di Jombang perihal konsep detail mengenal ruang. Ia mencontohkan soal latihan mengenal alam, tidak harus dilakukan di gunung, pantai, hutan seperti teori lawas. Bagi warga kota lebih baik di mall, dsb yang dekat dengan kesehariannya.

Awal pertempuran terbuka dalam pementasan Teatrikalisasi-Puisi-Musik oleh angkatan 2009 lalu dimulai keberaniannya memilih puisi ber-alur pemberontakan atas ketimpangan sosial. Selanjutnya gencar memberondong bertubi-tubi tembakan bait kata kata ke penonton. Kata Matori A Elwa:

Setiap pertempuran pasti ada yang terluka
Satu meninggal dunia
Dua luka parah
Selebihnya dirawat di rumah sendiri sendiri

Kamis, 13 Januari 2011

Skenario Salju

Heri Latief

seorang teman di fb bilang arti salju itu salah jurusan. sebenarnya kita lagi ada di jurusan anti kemapanan, tapi kayaknya perhatian dialihkan ke arah bolamania. ya gapapalah, dihibur oleh kemenangan di lapangan bola, lagian kita perlu semangat yang merakyat, perlu musuh bersama.

o gitu ya? baru tau. sekarang ini kita gak punya musuh bersama. lain waktu dulu itu, 12 tahun yang lalu, pecahnya sang telor busuk, lalu bersatunya semua kekuatan rakyat. demi cita cita keadilan sosial buat semua bangsa indonesia. rakyat menuntut keadilan hukum akibat dari dari penderitaan trauma sejarah.

12 tahun yang lalu harapan ditanam dalam sanubari orang yang percaya pada demokrasi. hasilnya hari ni adalah kembalinya karakter kekuasaan yang tak memihak pada rakyat.

seorang teman fb bilang skenario dari lingkaran satu istana adalah mempertahankan kekuasaan selama-lamanya, jika perlu bikin saja kerajaan yang seolah olah republik, uangnya toh berlimpahan, siapa yang gak ngiler dimanjakan kemewahan jabatan dalam birokrasi yang rawan korupsi. mesin birokrasinya orba dengan gampang dirubah sesuai kebutuhan penguasa, siapapun dia namanya.

begitulah ceritanya, masih banyak lagi kejanggalan yang terjadi di pemerintahan saat ini, tapi tak ada yang bisa merubah keadaan, semua orang sibuk mempertahankan posisinya, lalu persatuan tak punya basis musuh bersama, yang ada sekarang hanya histeria rebutan lahan demi masa depan. penguasa mempergunakan situasi dengan licin dan dingin seperti salju membeku, tapi bisa terpeleset kau nanti.

Amsterdam, 19/12/2010


Minggu, 09 Januari 2011

Sajak-Sajak Zawawi Se

http://sastra-indonesia.com/
Di Gaza Kami Rindu LemahlembutMu

di jalur ini
telah berabad-abad rakaat
kami rindu KemahalemahlembutanMu

melalui anak-anak manjaMu
melempari kami dari segala penjuru
dengan berbagai alat pemusnah
paling mutakhir

di jalur ini
telah lahir begitu banyak ratapan
ketika kehilangan demi kehilangan
menjadi mimpi selalu kami temui
dari kelam ke kelam

apakah kami benar-benar bebal
hingga tak dapat menangkap
isyarat kekerasanMu
selalu Engkau timpakan
selama berabad-abad khianat
diantara ratap-ratap
pada jalur-jalur pengap
oleh kefakiran kami

Januari 2009



Poster-Poster 2009

ini tentang wajah-wajah
terpampang ramah
di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian
dengan akting paling rupawan
berharap-harap sekali tikaman
di bagian manapun yang paling aman

ini tentang wajah-wajah
terpampang murah
di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian
dengan slogan-slogan semanis durian
berharap-harap sekali tusukan
buat nangkring di kursi nyaman

ah, ini hanya tentang muka-muka
dengan senyum paling ceria
seperti bersenandung dan meminta:
”pilihlah aku jadi……………….”

membuat aku berlagu pilu:
”how can I explain the sorrow and my pain…………….”

Januari 2009



Lembah Hijau

aku ingin berguru
kepada engkau, lembah hijau
tetap indah meski tempat ngalir
segala limbah segala resah
menuju rata tanah

aku ingin berburu
dalam engkau, lembah hijau
agar jiwaku menyatu
dengan onak dengan semak

ah, ternyata aku hanya bergurau
kepada engkau, lembah hijau
begitu banyak puncak-puncak
menjulang di gunung hatiku
mengharap dongakan dan tundukan
wajah-wajah ramah

Ujung Desember 2008
judul terinspirasi setelah mendengarkan lagu Lembah Damai – Ahmad Albar



Di Pasar Senggol

membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
sepanjang jalan Arif Rahman Hakim
sebuah surga bagi para pedagang kaki lima
pada jarak lintasan pipa dan rel kereta tua
semua ada semua tersedia

aku pesan pada seorang pelayan
wajah bening lumayan
dua porsi makanan
satu untukku satu untukmu
karena engkau tak ada disisiku
akupun menghabiskannya untukmu

membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
sepanjang jalan Arif Rahman Hakim
aku tak ingin seperti mereka,
seperti seorang kekasih tak setia
menunggu dan berharap-harap
hampiran lalu lalang orang-orang
untuk sebuah penghidupan

membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih
duduk pada sebuah kursi jati berjajar rapi
aku hanya bisa meredam kata-kata hati
agar tak bergerak dan memberontak
seperti gerbong-gerbong kereta tua
berderak-derak ke stasiun kota

ketika aku saksikan berpasang para muda
saling bergenggaman dan bersuapan
mesra seperti tak ada siapa-siapa
menarik anganku pada suatu masa
ketika kita tak hirau sekitar kita

Gresik, 24 Desember 2008

Sajak-Sajak Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Syair Ini Untukmu, Sasmitha

Serpihan waktu kita giring menuju sebuah rumah melewati lorong setapak jalan berbatu
Di kanannya tembok kokoh cat putih berlumut, bermulut, dan tak bertelinga
Di sebelah kiri berpagar bilah, ada pohon kapuk dan mangga. Di ujung jalan itu, nampaklah sebuah pelita yang menjadi pertanda sudah dekat akan kediaman yang kita idamkan sejak lama.
Semakin dekat terasa kian jauh, karna menanjak tebing. Kau meminta istirahat sejenak
Berpikir dua kali aku jadinya; bersandar pada tembok atau berteduh di bawah pohon mangga?
Tatapanmu bertanya
Aku tersenyum memandang sambil kuseka keringat di keningmu.
Kau pun lakukan yang sama terhadapku.
Lalu menggelegaklah semangat, kiri atau kanan memang pilihan. Sebab itu kita tempuh perjalanan ini.
Sasmitha, kau dan aku adalah anak zaman yang menepis garangnya warisan masa lalu
Mencoba melawan dengan tangan, kertas, dan percakapan di tengah iklan dan berita yang berlomba saling menjelas-jelaskan.
Kita lanjutkan langkah!,
Mengurai peristiwa demi peristiwa hingga tiba masa meraih apa yang dinamakan sebagai mimpi.
Syair ini untukmu, Sasmitha
Sebagai tanda kita mulai mengerti tentang makna perjalann panjang.
Warungkopi – bawah jendela kamar,

30 November 2010



Syair Seorang Senja

Peristiwa demi peristiwa terurai, sepertinya tak pernah henti.
Terurai seperti puisi ini yang malu-malu mengabarkan tentang diriku yang tengah dimabuk oleh ketakmengertian akan hidup dan kehidupan. Akan tetap i…
Di jalanan
Anak-anak berlarian saling mengejar mendahului mimpi-mimpi, berebut bola seperti memperebutkan kuasa.
Sementara di sini aku bertambah tua dan keriput, digiring usia yang semakin senja.
Aku rindu masa kanak-kanak. Dimanjakan, dibuai sekaligus dibuat menangis lalu ditimang-timang.
Apakah kembali muda adalah kebohongan?
Siapa yang mampu berikan jawab atas tanyaku ini?
Siapa …?!
Waktu bergerak, aku akan hilang ditelan umur, menjadi kembali pada keajaiban sebagai manusia.
Apakah aku kalah?
Karena apa kekalahan ini?
Ow …, penyakit!
Aku sakit dan menderita.
Apakah hanya si Jalang itu saja yang boleh hidup seribu tahun lagi?
Orang-orang sepertiku ini mau diapakan!?
Aku sepi mengulas mimpi dan peristiwa. Terhanyut dalam masa silam yang penuh canda kebahagiaan, berlari, dan berebutan …
Syair ini adalah kesunyian, tentang anugerah hidup.
Bahwa nafas adalah kebahagiaan, usia tua bukanlah kekalahan hanya saja waktu kian dekat memanggil-manggil dari kejauhannya.

Kamar di atas beranda, November 2010



Bela Sungkawa

Secangkir kopi hangat sedikit angkuh di atas meja, sebatang kretek menyala mengepulkan asap seperti keluar dari terowongan maut
Aku gelagapan menghadapinya, Ia tersenyum membuatku waspada
“Ada yang bisa saya bantu?” katanya.
Serak seperti suara Memedi
“Ada yang bisa bantu saya?” tanyaku.
Ia terkekeh mengejek, aku tersenyum cemas
Meremas-remas jemari sambil sesekali membenarkan lipatan map berwarna merah itu
Kubuka perlahan lalu suaranya terdengar lagi
“Kalau mau minta bantuan dana lain kali saja, KAS sedang Kosong!”
Kututup lagi lebih pelan, aku dendam.
“Terima kasih Bapak”
Kuletakkan korek api di atas meja tak tahu Ia
“Permisi Bapak”
Sahutannya datar saja “Ya …”, bersama kepulan asap rokok
Dua langkah menuju ambang pintu bersamaan dengan panggilannya yang lenyap ditelan ledakkan gas bensol aku tersenyum lagi, kali ini dengan segenap ucapan bela sungkawa.
“Bapak Memanggil saya?”

12 Desember 2010



Membakar Malam

Kunyalakan sebatang cigaro dengan korek api lidi
Membakar
Asapnya mengepul lalu pecah bersama nafas
Membentur dinding malam

Agustus, 2010



Sajak Hujan

Derai rerintik jatuh menetes di negeriku yang katanya bertuan baik lagi darmawan
Tanahnya subur
Bayangkan tongkat dan batu saja bisa tumbuh
…???

Januari 2010



Perang Hari Ini

Kawan kau dengar derup buruh melangkah pagi ini melintasi jalan raya yang pedas meski pagi begitu segar

Bendera-bendera merah tercancang kokoh di genggaman
Poster-poster kokoh
Spanduk-sepanduk kokoh menantang angin

Degap jantung mereka menjadi tabuhan yang mengalahkan genderang di medan perang
Teriakan mereka bertenaga dari kantung-kantung diapragma

Dan di hadapan sana telah berdiri pagar betis sembunyi di balik tameng-tameng fiber
Bersandar pada pentungan, bedil senjata, dan satu dua tiga tanki water pomp
Garang paling depan

Adu tanding perang hari ini
Dan kita Cuma jadi penonton, sekaligus juri, sekaligus sutradara yang paling jitu.

Perang hari ini.

Juli, 2010

Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.

Barka

Siti Sa’adah
http://sastra-indonesia.com/

Jika hatimu pernah dipalu godam oleh seseorang, dengan beringas dan dia sama sekali tidak peduli kondisimu saat itu apakah kamu tidak akan merintih perih? Kemudian dengan susah payah kau lap air mata yang tak berkesudahan dan akhirnya lelah. Lelah merasa merana. Lantas hanya tekad yang mencuat: tidak akan ada lagi tentang lelaki itu dihidupmu.
***

Dia kembali setelah menebas habis segala rasa bahagia dihatiku. Menyeretnya dengan kasar kemudian menimbunnya ke dalam bumi masa lalu seperti mengubur bangkai anjing, menginjak-injak dengan jijik. Setelah puas dia enyah di pelabuhan harapan yang entah.

Kawan-kawanku menjelma ranting yang berusaha menjeratku kembali dengannya. Rupanya mereka menyayangkan kisah yang punah. Dan ingin menemaniku bermesrah lagi, tentu saja dengan lelaki itu. Lelaki yang membongkar percintaan yang lanjur dikremasi. Dia merajuk mengusung bangkai kemesrahan, gunungan sesal dan memintaku untuk menerimanya. Bagaimana jadinya, luangan yang tersisa sekarang hanyalah lorong tanpa namanya. Bagaimana pula aku kuat membawa gunungan yang jadi bara itu?! Tolong bawakan pecahan laut saja kawan-kawanku, biar luruh api ini.

Dia mematung bermaksud mengerami telur-telur penyesalannya, berharap aku akan menetaskan kemudian lebur aku membuka pelukan. Tubuhnya tidak sehangat dulu pasti. Aku yakin benar dia adalah gumpalan bara yang bisa menjadikanku arang. Tidak, aku tidak rela. Aku masih punya mimpi keindahan.

Kuharap mulutnya bungkam, namun terus saja dia meluberkan ratap setelah melumat hatiku. Sekarang dia menirukan tangisanku yang dulu saat dia pergi dan acuh kepadaku. Tangisku yang meraung perih seperti angsa hidup yang dicabuti bulu di sekujur badannya. Ahai, begitu rapuh lelaki ini.

Rupanya aku menikmati posisi dimintai.
Dia telah binasa oleh harapan mencari penggantiku. Dia kalah. Sungguh mati aku tidak peduli. Biarkan kuberanjak dari kubang tangisan.

“Kau seperti mengerat nyawaku, Nila.” Tatapannya mengunciku.
“Apakah kau ingin mati sekalian?” Aku menantang kekalutannya. Aku tidak boleh luluh.

“Katamu dulu jika kita mulai membenci, ingatlah saat berkasih.” Dia berusaha mengumpanku dengan masa lalu. Tatapan matanya menyiratkan keinginan untuk menguasaiku.

“Bukan mulai, tetapi benciku sudah mengerak Barka!” Kubanting kenyataan.

Sungguh jahanam. Dia menyodorkan rekam perkasihan dulu. Dimunculkannya slide-slide hangat dekapan, panas ciuman dan kobar percintaan. Semua itu terakit dan melingkar mengepungku.

“Sejak kapan kau tuli Barka!” Aku lelah dan malu mengenang itu semua.

“Pesonamu yang menulikanku.” Datar dan dingin, matanya seperti lubang yang memintaku merasuk kedalamnya. Hampa.

“Ha ha ha…” Hanya tawa getir yang keluar dari mulutku, selanjutnya menjelma ngungu.
***

Maghrib berteriak dari micropon mushola. Menyeret gelap kemudian menyelimuti kengerian yang serentak menikamku. Senja masih tersisa, saat dia berkabar hendak menjalin tali yang terberai. Hendak menggenggam hatiku yang telah laju.

Bukan untukmu lagi, tetapi mengapa kau menghantui? Wujudmu benar-benar hantu yang aku tak mau berjajar. Muak aku sudah. Enyah kau dari hidupku. Harapan kemarin sudah jadi remah dari bingkai kaca yang indah, kau yang lantakkan! Dan kini tanganmu hendak menggenggam untuk mengutuhkannya kembali? Kau mau bersamaku dengan cara terus mengejar dan menikam dengan luka masa lalu? Aku harus memakai bahasa apa untuk mengungkapkan aku sudah tidak mau. Mengertilah. Berapa kali kita mengecap nikmat bersama. Namun itu tidak menjamin keabadian benar nyata. Bukankah kita adalah dua kayu kering yang terus bergesek dan mampu membakar hutan kemarau yang terus kita tangisi: kapan hujan rahmat sanggup dirasa?
***

Sekarang, aku harus memaklumi ketuliannya atau harus rela buta kenyataan? Tidak, aku tidak buta kenyataan. Kenyataan bahwa aku telah disakit-kulitinya. Sakit yang mencacatkan perasaan. Sakit yang mengoyak kebahagiaanku. Aku tidak buta, tetapi aku tidak sanggup lagi untuk bertahan…

Bentengku retak.
Airmatanya terus menggerus. Menggenang dan membandang. Lantak.
Dipuncak petang yang disambut terang pagi, Barka mendatangiku lagi, tidak banyak cakap,
“Bukankah kelaminku masih tertinggal di rahimmu?!”

Kalimatnya menyambar ketegaranku. Menelikung lantas dengan kuat menghujam. Kemudian dia berlalu. Barka masih sempat melihat tubuhku yang kaku dan keringat dingin yang menyumber dari kulitku.
***

Dia datang untuk mengusik dan membangunkan kisah yang kulelapkan. Mengail perasaan yang telah kularungkan. Dia mengunciku didekapnya saat ini. Dan aku tidak berdaya. Bentengku retak. Airmatanya terus menggerus. Menggenang dan membandang. Lantak.

Sekarang aku belajar untuk mengikis ingatan dengan mengerami kelaminnya yang bersemayam di rahimku. Meski aku bisa menjalaninya, aku jelas tidak bisa menikmati penyiksaan semacam ini. Aku lebih keras dari kayu, membatu. Kuturuti semua kemauan Barka namun sungguh aku tidak terima. Hari-hari bersamanya saat ini adalah pengepulan dendam. Keinginan untuk membuatnya menangis, mengemis lagi kepadaku, bahkan kalau perlu dia harus bunuh diri karena menyerah. Tetapi aku yang kalah. Dia meninggalkan kelaminnya di rahimku. Sebagai wanita aku tak sanggup mengeluarkannya…

“Barka, tolonglah lepaskan aku dari hujam cengkerammu!” di tengah payah aku meradang. “Bukankah kau dulu telah mantap untuk meninggalkanku. Biarkan aku pergi…”

Sebenarnya aku ingin meraung dan berteriak keras, tetapi tenggorokanku seperti digorok. Suaraku tercekat. “Ada penantian untukku diluar sana Barka… tolong lepaskan aku kesana…” Suaraku seperti igauan saja. Pelan dan tertelan.

Tidak kusangka, mendengar kalimatku yang terakhir dia terhenyak. Amarahnya terlibas. Darah mengumpul diwajahnya yang kasar. Dia mencengkeram bahuku, begitu kencang sampai aku tidak bisa bergerak. Aku tidak takut, kemarahannya justru menantangku.

“Ada apa Barka? Kau ingin tahu siapa lelaki yang membawa hatiku saat ini?!” dengan suara parau kupancing dia. Mulutnya tidak bergerak, hanya tatapannya yang menghujamku. Penuh amarah dan api cemburu.

“Madun, Barka.” Kusebut nama lelaki yang kerap menyita waktuku selama Barka pergi.

“Tidak mungkin! Bagaimana bisa?! Gila!” Barka menceracau. Diguncang-guncangkannya bahuku.

“Kau tidak terima?” Barka tidak menyahuti. Pelan cengkeramannya merenggang, kemudian kedua tangannya lemas terjatuh. Ini adalah kesempatan berharga bagiku untuk melumpuhkannya lagi.

“Dia yang mempertemukan kita. Membuat kita lebih dekat. Saat dia abai kau memaksaku melekat dalam dekapmu! Dan kau menghujamkan kelamin bangsatmu itu Barka! Laknat kau Barka!” Tangisku pecah mengingat guncangan kenyataan yang pernah menderaku. Kenyataan yang kukutuki sebagai pintu kemudahan untuk kerap menyesap kenikmatan yang sebenarnya amat suram. Slide-slide hangat dekapan, panas ciuman dan kobar percintaan. Semua itu terakit dan melingkar mengepungku. Berselang-seling antara Barka dan Madun.

“Bagaimanapun juga kita telah sama-sama takluk Nila.” Suaranya datar.

“Kebangsatanmu telah memangkas semua harapanku. Aku jatuh tak berani menapaki waktu dan kau dengan segala bujuk menggamitku yang kosong…” Sebenarnya aku tidak sanggup mengurai kenangan kelam. Tapi ini adalah peradilan bagiku.

“Kita sama-sama menikmati.”

“Jangan lancang kau berucap seperti itu Barka! Kau menyeretku! Kau telah membunuhku!” Aku tidak bisa menerima kelitnya. Meskipun aku berusaha menambal nganga magma dengan keberadaan Madun.

“Semua orang tahu, kau telah menyimpan kelaminku. Mau apalagi?! Marilah kita kembali bersenang-senang.”

Kurang ajar! Keberaniannya bangkit.
***

Kuseret kisahku pergi. Aku ingin mendinginkan segala bara luka. Kenyataan yang tidak ramah dan membuatku lunyah. Dosa yang kugulung terhampar lagi. Terdedah bergelimang resah. Aku tidak sanggup menamati sekedar untuk berguling di atasnya. Sesekali tubuhku hendak tertarik kedalam gulungannya, tetapi jalan lurus yang masih remang menyangkal keabadian dosa. Titik putih dalam hitam masa lalu berpendar, meski kawan-kawanku belum bisa melihatnya. Agh… mengapa harapan kugantungkan kepada mereka? Bukankah aku bisa mencari jalanku sendiri, melepas gelimang lalai.

Kuputuskan tidak untuk Barka, juga Madun. Atau lelaki lain yang hanya bisa menyesap atau bergelayut memanja. Kulenyapkan Barka yang tidak berdaya dengan cara yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

“Bagaimana kau sanggup mengalahkannya Nila?!” di senja yang dibalut rinai hujan, Madun bertanya kepadaku.

“Kau ingin tahu Madun?” Aku mencoba untuk menegaskan.
“Tentu saja.”

Kubiarkan beberapa waktu pertanyaannya tidak kujawab. Dia nampak begitu penasaran. Dia mendekat dan hendak menyesap, namun aku lebih sigap memalingkan muka.

“Kau benar-benar ingin tahu Madun?” Kuulangi pertanyaanku dengan tetap menjaga jarak.
“Tetapi jika tidak kau beritahu pun tidak menjadi bebanku.” Rupanya dia menyerah. Pasti dia heran dengan penolakanku atas hasratnya untuk menyesapku baru saja.

“Kelaminnya mati tanpa daya. Kusumpal jalan rahimku. Aliran kehidupan untuk kelaminnya yang seharusnya membesar di rahimku, putus.”

Madun diam. Menyadari keberadaannya yang terguncang. Tetapi kulihat dia berusaha menenangkan diri.

“Lupakan Barka. Mari merentas jalan bersamaku.”
“Ha ha ha… Mengapa kau tidak menyadari sekaratmu Madun?!” Kutantang matanya.

“Apa maksudmu?” Mimik mukanya tampak bingung.

“Tidak ada jalan lagi ke rahimku. untuk Barka, juga kau Madun. Atau lelaki lain yang hanya bisa menyesap atau bergelayut memanja.” Ku hirup nafas dalam-dalam, kupejamkan mata,
“Bahkan untuk nafsuku sendiri.”

Madun layu, kejantanan yang sering dipamerkannya dihadapanku luluh. Sejak saat itu dia pergi. Ku melesat kepada titik putih yang berpendar, meski sulit ku mencari. Meski payah tak lelah mengikuti bersamaan kelamin yang terus membusuk di dalam rahimku.
***

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Ketika Obor Menyala

Liestyo Ambarwati Khohar
http://sastra-indonesia.com/

Cemloteh ringan tawa anak-anak mengiringi tarian Api diatas obor-obor yang baru saja dinyalakan. Sementara di sudut dan lekuk tiap kampung, gema tabkir terus saja menggema membentuk ritme merasuki jiwa siapa saja pendengarnya.

Lebaran selalu seja melahirkan suasana melankolis dan romantis terhadap Tuhan ataupun kita sesama manusia seperti tahun-tahun sebelumnya aku melewati lebaran di rumah induk. Rumah dimana aku dilahirkan, dibesarkan. Serta ditumbuh dewasakan.

Diruang tengah dengan aroma “Bunga sedap malam” yang merebak dan kue-kue lebaran yang sudah tertata di tiap-tiap meja, aku masih saja suka melihat foto keluarga dengan figora yang kokoh, sehat dan kaca terawat yang terpanjang di ruang tengah. Terlihatlah Alm ayah di foto dengan gagah dan kumis garangnya, dan alm ibu dengan kerudungnya yang anggun dan disebelah kanan kiri mereka adalah aku dan mbakyuku poninten.

Takbir terus saja menggema atmosfer lebaran semakin terasa, dan semakin kuat menerkamku dan membawa ke masa lampau, mau tak mau aku diseretnya ke masa itu. Tentu saja masa itu masih terekam bagus dalam memoriku karena masa itu bagian dari masa yang sekarang ini.

Cerita dari masa itu….
Hujan deras mengguyur kampungku. Aroma tanah basah saling berserobot ingin menusuk – nusuk hidung. Di pendopo depan rumah bercak-bercak bekas tapak sandal basah membuat bau lantai semakin amis. Aku tak tau, Ayah bekerja sebagai apa waktu itu.

Yang kutau, setiap malam banyak orang berkumpul dirumahku, mencatat, menimbang menurunkan sebagian barang dari truk-truk besar. Barang-barang itu adalah gula, beras, tepung dan juga minyak. Ayah hanya berkeliling dan memimpin.

Orang-orang yang sebagian besar adalah warga kampungku sesekali ada beberapa orang asing datang mereka berseragam lengkap dan bersepatu. Orang-orang yang menimbang dan mengangkut barang terlihat gugup dan bingung. Tapi dengan bijaksana dan berwibawa ayah memberi amplop putih pada orang berseragam, setelah itu orang-orang kampung kembali bekerja.

Waktu terus saja berlari tanpa kompromi aktivitas bekerja orang-orang kampung dirumahku semakin rampai bila ayah mengawasi orang-orang kampung bekerja aku seringkali mengekor di belakang ayah. Tapi ibu selalu saja memanggilku menyuruhku mengerjakan ini itu.

Aku tak pernah tau sebagai apa ayahku bekerja pada saat itu, dan tak lama dari itu ayah diangkatlah oleh warga kampung sebagai kepala dusun mendadak ayah dipanggil pak polo tentu saja jabatan baru membuat aktivitas di rumah semakin penuh. Banyak sekali warga kampung berdatangan entah mengurus surat ini ataupun surat itu dan tak lupa di akhir pertemuan dengan ayah mereka menyelipkan amplop atau sekedar meninggalkan sebungkus rokok, merek kesukaan ayah. Semenjak diangkat menjadi “polo” sepertinya orang-orang di kampung semakin ramah saja kepadaku. Aktivitas kerja menimbang, menghitung dan menurunkan barang sekarang hanya diperuntukkan untuk warga kampungku. Selain warga kampungku tidak diperkenankan untuk bekerja. Dan ayah tetap hanya mengawasi mereka dan sesekali mengecek ngecek barang. Di dalam malam yang larut sekali, ayah suka berkumpul dengan beberapa temannya di dalam ruang tengah, mereka menuang air di dalam botol-botol ke dalam gelas – gelas kecil, nyaris kecil sekali gelas-gelas itu. Aku sering melihatnya jikalau tengah malam aku ke kamar mandi rasa penasaran itu terus saja menggerayangiku sebenarnya apa isi dalam botol-botol itu sepertinya ayah sangat menikmatinya. Tetapi pagi-pagi selalu saja si mbok sudah membersihkannya. Seolah semalamnya tak pernah terjadi apa-apa. Aku mengejar kemana larinya botol-botol ternyata bekas botol botol itu di dalam gudang belakang ada sedikit sisa air dibotol itu maka kucoba rasanya woekk…..aku muntah kepahitan di buatnya.

Sampailah suatu sore ayah berbicara dengan ibu dan mbakyuku poninten.Mbak yuku akan dipersunting teman ayah yang suka datang dia bersergam, lengkap dan bersepatu. Poninten, terseduh. Tapi manut tak bisa menolak ayah. Pesta berlanjut dengan meriah seluruh warga berpesta. Setelahnya poninten di boyong pergi keluar dari rumah.

Masih kuingat di pernikahan mbakyu ku poninten usiaku sudah 22 Tahun dimana waktu itu aku sudah mulai mengerti apa sebenarnya pekerjaan Ayah. Setelah mbak yuku diboyong suaminya jadilah aku anak semata wayang di rumah. Tidak seperti poninten aku tidak suka dan sangat tidak suka dengan aturan.

Aturan ayah, ayah sangat membatasi gerak dan bergaulanku dan aku berontak dengan mentah-mentah “mau jadi apa, kamu, bergaul dengan mereka apalagi sampai tengah malam begini kata-kata itu sangat menusuk telinga dan dadaku seperti ditancapkannya ujung pedang yang runcing dan bergeming kata-kata itu di dadaku, ayah mengatakan ibu ketika aku intens. Bergiat disanggar kesenian, ayah sangat tidak menyukainya. Sudah beberapa kali aku bertengkar dengan Ayah karena beda pendapat dengan Ayah, tidak seperti poninten mbak yuku… mulutku ini terus saja meweli jikala ayah marah dan itu membuat ayah semakin naik darah.
Entah darimana ayah mencium bau yang kuciptakan aku memang lagi kasmaran dengan “Mas Adi” pemusik di sanggar seniku.

Waktu aku pulang malam ayah sudah menungguku “mau jadi tukang ngamen, kamu kawin sama Adi”.

Sontak amarahku langsung di ubun-ubun meskipun ayahku, betapa sok sucinya, orang ini, dengan emosional aku mencoba menguak menegaskan bahwa aku ini bukan anak kecil lagi, bila ayah malu melihat anaknya bergaul dengan gelandangan, anakmu ini lebih malu bila mempunyai ayah seorang pencuri dan pemabuk dengan mata menyala ayah mengusirku dari rumah dan dengan bangga dan bagiah aku sebagai anak muda pergi dari rumah.

Tepukan tangan Poninten mbak yuku yang menempati rumah induk membuyarkan lamunanku “kangen ayah sama ibu ya?”
Makanya seringlah kesini…

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Jiwa-jiwa Merpati yang Lara

Endah Wahyuningsih
http://sastra-indonesia.com/

Aku adalah Rosita Angraini,kekasih Roi Pramudya. Sesosok pemuda tampan yang begitu dikagumi oleh kaum wanita namun mempunyai sifat angkuh dan tak pernah mau peduli dengan perasaan orang lain.Sedangkan Saskila adalah kekasih Roi yang dahulu dan kini telah meninggal karena sebuah penantian pahit yang tak bisa ia lalui seorang diri. Tanpa Roi Pramudya. Saskila begitu mengaguminya namun baginya sudah tak ada harapan, karena sifat Roi yang begitu egois, acuh dan tak pernah mau mengerti tentang perasaan orang lain. Tapi Saski tetap setia, selalu berusaha memahami karakter kekasihnya dengan menanti sebuah harapan yang tak jelas. Hingga akhirnya jiwa merpati yang lara itu mulai lemah dan putus asa kemudian memilih mati tenggelam disebuuah lautan.

Disebuah pantai kujumpai Roi seorang diri.kulihat ada sedikit gundah yang tengah mengusik fikirannya. Kuhampiri dia sembari kutepuk pundaknya.memang sudah kuduga bahwa ia akan mengabaikanku dan kenyataan yang terjadi memang seperti itu, ia hanya menenggok sebentar kemudian kembali mengacuhkan keeberadaanku.Masa bodoh bagiku, yang terpenting aku bisa meengungkapkan apa yang tengah menganjal rasaku.

“ Hai Roi “. Sapaku rama namun tak ada jawaban. Hanya menenggok sebentar kearahku lalu kembali acuh. “kurasa kau tengah mengingat Saskila “.

“ Tidak sama sekali “. Jawab Roi senggit.

“ sudah hampir dua tahun Saski meninggalkanmu. Namun tak sekalipun kau datang kemakamnya walau hanya sekedar untuk menyapa bagaimana kabarmu disana Saski ? dia yang selalu menderuh dengan rasa sakit. Menantimu tanpa sebuah kepastian dan akhirnya meninggal. Mengapa kau tak pernah menghargai pengorbanannya. Mungkin sesaat lagi aku juga akan seperti dia “.

Roi menjalani dari sisi dirinya yang buruk. Tak pernah mau peduli dengan derita dan pesona orang lain. Begitu juga dengan pengorbanan Saski yang sangat mencintainya namun tak pernah mendapat balasan baik dari Roi.

“ kenapa kau bicara seperti itu. Sangat tidak penting buatku “.

“ Kau memang tak punya hati Roi. Kau buat begitu banyak wanita terpesona dan mencintaimu, kemudian kau buat mereka menderita lalu mati. Apakah kau tak sadar bahwa aku tak jauh berbeda dari mereka. Aku yakin kau masih mengingat Saski. Bersama siksa yang kuat ia tak pernah bersuara.Hanya tetes air mata yang menandakan sebuah isyarat luka yang begitu dalam namun dia tak pernah membencimu. Apa kau sadar hanya demi cinta. Demi dirimu yang tak pernah mau tau tentang dirinya “.

Begitu panjang lebar kujelaskan tentang masa lalu dan isi hati ini. Tapi nampaknya Roi tetap tak peduli. Aku heran mengapa ia seacuh itu akan penderitaan orang lain. Tak pernah kusangkah bahwa seorang Roi sekeras itu akan sebuah rasa.

“ Kuharap kau diam “. ucap Roi membentak hingga membuatku tersentak.

“ Tapi Roi “.
“ Diam kubilang. Untuk apa kau bicara terus tentang Saski yang sudah mati ? “.

Seketika Rosita tersentak, sangat tidak menyangka kalau Roi akan bicara sekeras itu. Sejenak suasana terasa hening. Hanya terdengar suara debur ombak mengisi ketegangan dan keheningan mereka dan Rosita, karena dia tak berani lagi bicara, akhirnya dia mengambil buku dan bolpen dalam tas lalu menuliskan sebuah kata – kata dan diberikan pada Roi.

Dimana hati nuranimu Roi. Ketika dia hidup dengan harapan yang tak pasti. Sekarang katakan padaku ? mengapa saat hidup, Saskila tak pernah ada artinya dalam dirimu. Katakan juga padaku, mengapa harus ada kematian baru kau akan menghargai pengorbanan dan kesetiaannya. Meski aku sadar,bahwa kau tetap takkan peduli dengan semua yang telah dikorbankan olehnya. Apakah aku akan seperti dia Roi? menjadi merpati kedua yang mati karena cinta hampa.

Kau manusia sombong. Kau selalu berpikir tanpa orang lain kau akan tetap merasa bahagia. Apa yang kau tau dari cinta, apa yang kau mengerti dari kesetiaan serta arti sebuah pengorbanan. Apa kau sadar, aturan dari hati telah membuatmu menjadi manusia yang angkuh dan sombong. Kau tak pernah mau mendengar dan juga tak pernah mau mengerti tentang dia, aku juga orang lain. Kapan akan kau pahami bahwa kau butuh cinta, butuh aku, dia juga orang lain.

Kuakui kau begitu pandai, kau tampan, kaya juga dambaan semua wanita. Tapi untuk apa ? jika kau tak punya hati dan perasaan.kau begitu senang mengorbankan orang lain dan menganggap dirimu paling benar. Omong kosong Roi. Kau bukan laki –laki sejati. Lihatlah, suatu ketika kau akan banyak ditinggalkan oleh orang –orang yang kau sayangi dan disaat itu kau baru akan merasakan, bahwa kau memang butuh mereka.

“ Apa maksudmu ? “. Tanya Roi seusai membaca tulisan dari Rosita.

“ Aku tau kau tak pernah membutuhkanku. Bahkan saat kematian nanti, kau juga pasti takkan menghargaiku. Sungguh kasihan Roi Pramudya, karena kau tak pernah sadar bahwasanya kau akan menjadi orang yang paling menderita “.

“ Aku tak butuh saranmu “. Jawab Roi angkuh
“ sudah kukira bahwa kau akan mengatakan itu. Hatimu terbuat dari batu Roi, percaya suatu ketika kau akan tenggelam bersama kesombonganmu dan tak seorangpun yang akan memperhatikanmu “.

“ Diam…..aku sudah muak dengan saran dan ucapan – ucapanmu “. Sentak Roi hingga membuat Rosita kaget.

“ Heeemmm……kenapa Roi ? kurasa kau memang tak pantas untuk dikagumi, ditakuti dan yang lebih tak pantas adalah untuk dicintai. Jika harus ada kematian dihari esok, maka dari detik ini aku sudah siap. Tapi kau tak perlu bangga Roi Pramudya, karena aku tak pernah butuh kamu untuk menghargai pengorbananku “.

“ kau benar – benar gila. Kenapa kau rela mati demi aku? “.

“ Aku adalah kekasihmu yang tak pernah kau anggap.sekarang kau baru tau aku memang gila. Aku gila karena sebuah penantian yang tak pasti akan datang atau tidak. Tapi perlu kau tau, bahwasanya aku orang gila yang beruntung, karena masih punya hati dan rasa. Punya kepekaan atas penderitaan orang lain dan punya arti sebagai manusia dalam hidup ini.bisakah kau bandingkan dengan dirimu? . semua orang pasti akan mati Roi. Seperti halnya Saskila.tapi kau harus tau, bahwa dia mati ketika ia telah tau apa arti ketika ia hidup dengan cinta dan pengorbanannya.

Rosita segera beranjak meninggalkan Roi seorang diri dengan rasa gundah.Rosita berpikir bahwa ini akan sia – sia karena takkan pernah membuat seorang Roi menjadi jerah dan luluh dari keagkuhanya.

Aku memang kekasihnya, sudah hampir satu tahun aku bersamanya namun selama itu aku tak pernah punya arti dalam dirinya. Tak heran jika Saskila kekasihnya yang dahulu lebih memilih mati dari pada menanti sebuah harapan tanpa kepastian. Berhadapan dengan layar kosong memang sangat menyakitkan namun tak mudah bagiku untuk mengatakan “ aku bisa hidup tanpamu Roi “.

Seketika itu juga aku sudah putus asa. Ingin rasanya kutuliskan garis kematianku sendiri seperti halnya Saskila. Akupun mulai berpikir. Kematianku mungkin akan semakin dekat setelah hari ini. Tapi disaat sepelik itu, ada ruang yang tiba –tiba hadir membantuku menerangkan kembali lentera yang telah redup. Hanya dengan sebuah kata.

“ Aku butuh kamu Rosita “.

Kini kusaksikan sosok api yang telah menjadi air. Hati yang dulu sekeras batu kini telah menjadi selembut kapas. Aku tentu terkejut namun aku senang,karena dengan kekuatan cinta bisa menghadirkan keajaiban. Seorang Roi…..kini dia telah sadar bahwa dalam hidupnya dia butuh cinta, dia butuh aku, dia juga butuh orang lain. Dia butuh kata untuk menjadi mutiara yang bisa membuatnya mengerti akan arti hidup dan sebuah pengorbanan.

“ Hidupku memang telah kalut Rosita dan kini aku telah sadar bahwa aku butuh kamu untuk menjadi air ketika aku menjadi api. Aku juga baru menyadari tak ada kebahagian yang lebih utuh, ketika kita hidup dengan cinta dan bersama orang yang kita cintai untuk menciptakan arti hidup yang kuat. Trimakasih dan maafkan aku Sita “.

Aku hanya mampu tersenyum. Memandangi wajah yang kini telah menjadi cahaya. Aku tak bisa berkata apa – apa. Hanya mampu menatap wajah sayu dengan butiran air mata. Aku juga tak bisa berkata, bahwa aku tak pernah mencintainya.kubiarkan dia bersama arti hidup yang baru ia sadari.bersama cintanya, bersama tawaku dan kebahagiaannya. Bersama cerita baru tentang pengorbanan seorang perempuan yang tak pernah berhenti berharap untuk mendapatkan Roi sepenuhnya. Mendapatkan Roi bersama pengorbanan dan cintanya.
***

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Jakarta

Fathurrahman Karyadi
http://sastra-indonesia.com/

Angin sepoi-sepoi menyibak rambutku tanpa izin. Menyapu muka hingga kelopak mata. Menyegarkan, kawan. Telingaku bising. Bunyian kereta terdengar amat nyaring. Apalagi kini aku tengah di atasnya. Di luar jendela sana pemandangan asri terus berganti. Sayang aku tidak bisa menikmati dengan jelas karena kereta terus berjalan.

Sementara di sampingku semua orang terlihat sibuk. Beratus-ratus jiwa dalam satu tempat. Ada yang berjualan mencari pelanggan, ada juga yang panik belum dapat tempat duduk. Meski keadaan sumpek dan ruwet seperti ini, aku tetap gembira. Sebab sore ini aku pulang ke Jakarta.

Lama sudah aku hidup di Jawa. Terhitung sejak lulus SD hingga di janggutku tumbuh rambut. Mungkin sekitar enam tahun-an. Kangen rasanya aku pada Jakarta dan, segala yang ada di sana. Mulai tempat wisata, hiburan, peribadatan, sampai makanan khas gado-gado yang lezat itu. Tak sabar aku ingin segera tiba. Seandainya aku adalah masinis kereta niscaya akan kupercepat lajunya dengan kecepatan turbo. Oh Jakarta aku rindu kamu!

Tujuanku meninggalkan Jakarta hanya satu: menunutut ilmu. Bukan berarti di Jakarta tidak ada lembaga pendidikan yang bagus, tidak. Justru di Ibukota-lah semua pendidikan terjamin mutunya. Lihat saja sekolah unggulan, berprestasi, berbasis Internasional semuanya ada di Jakarta. Tak hanya itu, kawan. Lembaga pendidikan non formal pun banyak berdiri. Mulai kursus cepat berbahasa, computer, keterampilan ini dan itu, bahkan pesantren dan majelis taklim pun tak terhitung jumlahnya.

Tapi mengapa aku justru memilih untuk menempuh pendidikan di kampung halamanku, bukan Jakarta? Di samping ingin merasakan hidup di desa, sebagai pemuda yang setia, aku juga harus mencintai tanah asli kelahiranku. Fenomena yang menyedihkan banyak terjadi, di mana seorang miliarder yang asalnya ‘wong deso’ lupa–atau bahkan tidak tahu–tempat kelahirannya. Aku tidak mau seperti itu, kawan.

Sejak pertama kali di Desa aku tidak betah. Kehidupan di sini amat berbanding jauh dengan Jakarta. Jangankan untuk memanfaatkan teknologi, air untuk mandi saja harus mencari berkilo-kilo meter jauhnya. Inang…Sungguh dulu aku tak betah. Rasanya ingin tinggal di Jakarta saja selamanya. Ya begitulah manusia, selalu berharap yang enak-enak saja. Namun jika kita mengingat kembali tujuan awal yang telah kita rencanakan pasti semuanya akan lancar. Buktinya sampai enam tahun aku bisa bertahan hidup di sini hanya berbekal niat: AKU INGIN PINTAR.
***

“Masnya mau kemana?” seorang Ibu yang duduk tepat di dihadapanku bertanya. Sapaan ‘mas’ sudah tak asing lagi di telingaku. Dalam bahasa Jakarta bisa diartikan ‘bang’.

“Mau ke Jakarta, Bu.” Sejenak aku lipat surat kabar yang tengah kubaca. “Ibu sendiri mau ke mana?”

“Ibu mau ke Cirebon. Kira-kira sampai sana jam berapa ya? Ibu kok ndak tahu, maklum baru kali ini naik kereta.”

Akhirnya kami berbincang-bincang panjang. Ibu itu cerita tentang banyak hal. Mulai soal keluarga hingga masalah pemerintah. Benar apa kata banyak orang, kalau kita sedang dalam perjalanan hanya ada satu cara yang dapat menghilangkan rasa kejemuhan, yakni dengan obrolan. Dan, dalam konteks seperti inilah berkenalan dengan orang yang belum kita kenal amat dianjurkan. Siapa tahu dari sini hidayah Tuhan akan menemui kita. Dan, percayalah bahwa ta’aruf menyimpan banyak manfaat, kawan.
***

Cahaya matahari pagi menyingsing tajam. Menembus kaca menembak mukaku dengan kasar nun panas. Aku terbangun dari tidur nyenyakku. Bunyian kereta tak lagi terdengar di telinga. Kereta berhenti di sebuah stasiun. Entah stasiun apa aku kurang tahu.

“Mas mau turun dimana?” seorang bapak bertanya.
Suaraku masih belum jelas,“Jatinegara, Om.”
“Untunglah, tepat. Ini sudah di Jatinegara.”

Aku segera merapikan barang bawaanku. Tentunya dengan tergesa-gera dan panik. Kalau tidak, bisa-bisa tertinggal aku nanti.
“Dergh……. Dergh……”

Suara keras menggoyangkan kereta! Bertanda kereta akan memulai star menuju stasiun Senen. Setelah yakin tidak ada barang yang tertinggal aku langsung beranjak turun dari kereta. Aku tak perlu melompat lagi sebab stasiun di Jakarta berbeda dengan stasiun lainnya: trotoar samping rel dibuat sejajar dengan pintu kereta. Sehingga mempermudah penumpang ketika hendak keluar. Tampaknya sepele memang, tapi bagi perempuan–apalagi ibu-ibu–mereka amat kesal kalau jalanan tidak dibuat sejajar dengan pintu. Harus dibutuhkan kehati-hatian dan doa agar tidak jatuh terjungkur.

Perutku keroncongan. Selama perjalanan aku belum makan nasi kecuali saat berbuka puasa. Subuh pun aku tidak sahur saking nyenyaknya tidur. Bagi musafir sepertiku diperbolehkan tidak puasa, mengingat perjalanan jauh yang menguras tenaga sekalipun hanya duduk di atas kereta saja. Sebelum mencari mikrolet aku belokkan langkah ke warung dekat stasiun.

“WARTEG.” Kau tahu apa artinya? Baiklah: warung Tegal, kawan. Itulah sebuah warung yang penjualnya asli warga Tegal dengan menu yang khas. Meskipun dinisbatkan pada Tegal, jika kau mencari wareg di Tegal tidak akan ada. Warung ini hanya dijumpai di Jakarta. Sejak kecil aku juga binggung kenapa yang ada hanya warung Tegal saja, tidak yang lain. Kalau ada warung Semarang mungkin bagus, WARSEM!

Aku memesan makanan dengan porsi sederhana, sekedar mengisi perut. Satu piring nasi campur dan teh hangat tanpa gula. Saat hendak membayar aku teringat trik jitu yang pernah ditawarkan temanku di pesantren. Namanya Faqih dia asli Tegal.

“Kalau kau ingin menikmati masakan warteg dengan harga murah kau harus pakai jurus ampuhku ini: GUNAKAN BAHASA JAWA! Dengan berbahasa Jawa nanti si empunya warung akan simpati. Minimal dia akan memiliki gambaran ‘sama-sama orang Jawa di Jakarta harus bersaudara.’ Artinya, tak mungkin dia akan menembak dengan harga tinggi. Percayalah!”

Kini kucoba jurus itu.
“Sampun, Pak. Sekul kalian teh anget pinten nggeh?” untungnya aku sudah lancar berbahasa Jawa. Aku menyana pasti akan berhasil, semoga saja demikian!

Sejenak dia terdiam, mungkin agak heran melihat ektingku barusan.
“Lima ribu, Mas,” ucapnya santai.

Kukeluarkan uang sebesar Rp.10.000. Kusodorkannya lalu dijamah sopan. Aku sedikit kecewa. Susah payah aku bahasa Jawa, eh bapak itu malah menjawabnya bahasa Indonesia. Kuperhatikan terus gerak-geriknya.Tangannya tampak sibuk mencari kembalian. Mungkin karena masih terlalu pagi ia belum dapat pelanggan, apalagi di bulan Ramadhan ini semua orang tengah berpuasa. Bisa jadi aku adalah orang pertama sekaligus terakhir yang mengunjungi warungnya.

Tiba-tiba,
“Jenengan tiang Jowo tho, Mas?”

Ucapan itu membuat hatiku berbunga. Seperti seorang pelamar kerja yang mendapat SK diterima lamarannya.

“Oh enggeh, kulo asli tiang Jowo, Pak” jawabku agak terbata-bata.
“Sami, kula nggeh Jowo, Tegal kiyek” logat enyongnya kentara sekali. Andaikan dia tidak berkata demikian aku juga sudah tahu kalau sesungguhnya dia asli Tegal.

Dia merekahkan bibirnya tersenyum akrab.
“Niki wangsulanipun,” ia memberikan uang kembalian.

Sepertinya ada yang aneh. Uang kembalian yang seharusnya kuterima adalah Rp.5.000 tapi dia memberiku Rp.7.000, lebih dua ribu. Belum sempat aku menanyakan, bapak itu berujar.

“Enggeh sampun, wong podo Jowone kok. Ngitung-ngitung sodaqoh di bulan Ramadhan, Mas,” senyumnya ramah. Aku jadi tidak enak.
“Matur suwun sanget nggeh Pak. Mugo-mugo barokah. Assalamualaikum,” aku pamit meninggalkan warung setelah salamku dijawabnya.

Visi dan Misiku tak sia-sia. Walaupun hanya dikorting dua ribu, aku merasa beruntung. Dua ribu rupiah juga besar, kawan. Jangankan dua ribu, kalau kau punya uang satu juta tapi kurang seratus rupiah saja uangmu tidak dikatakan satu juta, iya bukan?

Ternyata tak begitu susah mencari kendaraan di Ibukota. Baru beberapa menit aku keluar dari Warteg, mikrolet berbagai jurusan sudah siap mengangkut penumpang ke segala penjuru Jakarta. Untung aku masih ingat mikrolet mana yang harus kunaiki untuk bisa sampai ke Kampung Rambutan. Mikrolet biru nomor punggung 06A.

Dalam perjalanan antara Jatinegara-Kampung Rambutan, banyak hal-hal aneh yang kutemui. Maklum kawan, aku tidak mendengar kabar Jakarta enam tahun lamanya. Hampir aku tak kenal kota apakah ini kok indah nian? Jalanan bagus dihiasi aneka lampu. Aspal hitam tanpa benjolan luka membuat penumpang betah dalam perjalanan. Tak ada gempa sugra. Hijau-hijauan turut menghiasi pinggiran jalan. Ini adalah salah satu upaya agar udara tetap sejuk, terhindar dari polusi kendaraan. Pak polisi lalu lintas yang gagah tiada henti mengawasi pengguna jalan. Kendaraan mewah yang biasa aku lihat di televisi kini ada di hadapanku semua. Takjub bukan main aku kini.

Sebentar…! Ada satu kendaraan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Persis seperti Bus, panjang dan mampu memuat banyak penumpang. Tampilan body indah enak dipandang. Melintas di jalur khusus dan berhenti di sebuah tempat pemberhentian yang–kalau tak salah seingatku–namanya halte. Tapi halte kok di tengah jalan? Sempat terbesit pula dalam benakku, “Sesampainya aku di rumah nanti, aku akan tanyakan pada orang-orang, sebenarnya mobil apa sih itu?”
***

Kedatanganku di Jakarta disambut luar biasa. Keluargaku sangat mengharapkanku sejak dulu. Apa lagi Ibu dan Bapak, tak henti-hentinya aku diperlakukan layaknya seorang raja, padahal aku adalah anaknya sendiri. Aku juga sempat tak percaya melihat kakakku yang paling besar kini sudah menggendong anak, dua! Kukira dulu ia tak akan menikah. Tak tahunya tidak. Malahan suaminya asli Betawi. Setahuku kakak tak suka orang betawi karena satu alasan yang cukup umum: lelaki asli Jakarta sukanya makan jengkol! Mungkin paradigma ini memang benar adanya, tapi jangan dikira dibalik kekurangan pasti tersimpan kelebihan: lelaki Jakarta tak mau makan sebelum Isterinya sudah makan! Paham kau, kawan?

Bapak yang dulu tak beruban sekarang rambutnya nyaris putih 60% hanya dalam jangka enam tahun. Ibu masih terlihat awet muda, entah racikan apa yang dipakai hingga tak sedikitpun wajahnya tampak keriput. Adikku, yang juga anak terakhir, kini sudah besar. Tumbuh dewasa layaknya seorang artis di pangggung pesta. Meski cantik dan manis tak mungkinlah aku berbuat yang tak semestinya. Dia adalah adikku selamanya.

Teman-temanku yang dulu satu sekolah di SDN 01 Rambutan Jaktim, kini pun berubah derastis. Hampir aku tak mengenalnya. Apalagi Ermi yang dulu terkenal julukan ‘Si Wanita Gajah’ kerena tubuhnya yang super besar, sekarang langsing singset. Hampir aku tak percaya. Ah…wajarlah namanya Jakarta apapun obat tersedia. Yang awalnya burik bisa saja cantik seketika. Asalkan kau punya uang itu saja.

Hari-hariku di Jakarta kumanfaatkan untuk berkeliling kampung. Suasana sungguh berubah. Bangunan rumah banyak yang megah sekalipun ini bukan di perumahan orang kaya. Penampilan mereka rapi dan bersih. Aku sudah mengamati berkali-kali. Sampai aku punya gambaran: anak muda Jakarta tidak ada yang berjerawat, amboi! Muka mereka putih pula. Aku jadi bingung masak iya terik matahari di Jakarta dapat menjadikan orang lebih mempesona? Hampir tak pernah aku melihat orang Jakarta yang berkulit hitam apalagi kusam gelam. Tidak ada kawan, percayalah!

Aktifitas warga Jakarta pun unik dan berfariasi. Jika pagi tiba–selain bulan puasa—mereka mengantri beli bubur ayam atau nasi uduk. Biasanya di setiap RT sudah ada yang menjualnya. Setelah itu mereka sibuk sesuai jabatannya. Anak-anak pergi sekolah, ayah bekerja dan sebagainya. Ketika suasana sepi inilah kaum ibu banyak yang keluar rumah, sekitar pukul 08.00. Tujuan mereka membersihkan halaman masing-masing. Tapi sebenarnya ada lagi yang lebih penting, yaitu NGERUMPI! Bu RT, Ibu tukang nasi, maupun Bu Haji tak ada bedanya. Mereka berkumpul dalam satu tempat yang sekiranya asyik untuk ngobrol. Problematika yang mereka usung cukup beragam, ada kalanya masalah keuangan, tataboga, model busana, kabar artis terkini, dan bahkan aku pernah mendengar mereka berbincang-bincang tentang permasalah pribadi dengan suaminya. Kalau diniati diskusi mungkin terhitung ibadah tapi jika tidak, mungkin kau lebih tahu…

Siang hari kebanyakan mereka mengisi waktunya untuk beristirahat. Atau bagi yang tak berminat mereka bisa membeli bakso yang sudah mangkal di dekat rumah pak RT. Sore hari setelah asar tak jarang diantara mereka yang berolahraga. Cabangnya ada sepak bola, tennis, basket atau sekedar bersepeda santai. Tentunya tidak di kampung ini mereka berolahraga. Kami biasa menuju komplek perumahan kaya yang bersebelahan dengan kampung kami namanya BHP: Bumi Harapan Permai. Di sana lahan amat luas.

Malam hari, sudah pasti ini acara khusus anak muda. Entah sejak kapan pemerintah Jakarta menetapkan hal ini. Di setiap tempat di Jakarta, pasti kita akan menemukan yang namanya anak muda. Aktifitas mereka pun berfariasi. Ada yang mejeng di pinggiran jalan, nongrong bareng-bareng sambil bergitar, browsing di warnet, shoping dll. Aku pun sering nimbrung dengan mereka. Ternyata mereka berhati baik, apalagi soal materi aku sering ditraktir makan. Aku jadi teringat sebuah syair indah:

Kalau kau orang pintar manfaatkanlah ilmumu
Kalau kau kaya, jadikan hartamu sebagai amal
Kalau kau bodoh dan miskin panjatkanlah doa,
Niscaya surga tempatmu kelak

Ibu selalu memperingatkanku saat aku ingin berkumpul dengan teman-teman.

“Kau sekarang di Jakarta, harus bisa menyesuaikan penampilan. Pakailah baju yang rapi, cuci muka dulu, kalau perlu pinjam minyak wangi Bapak. Biar nanti dalam pergaulan tidak ada yang canggung. Risih kayaknya kalau diantara mereka ada yang belum mandi atau baju yang culun…”

Nasihat Ibu memang benar, aku sendiri mengakuinya. Tapi aku rasa teman-temanku di sini tak pernah berperasangka buruk. Selama aku bergaul tak ada satu pun di antara mereka yang mengejekku karena aku berpenampilan katrok, jadul dan semerawut. Inilah salah satu yang aku salut dari pemuda Jakarta. Mereka sudah terbiasa menghormati orang lain, tidak ada istilah mengejek satu sama lainnya.

Akhir Ramadhan Jakarta sepi, kawan. Di sini ada budaya yang mungkin sering kita dengar. MUDIK, namanya. Mereka yang bukan penduduk asli Jakarta, kebanyakan memilih berlebaran di kampung masing-masing.
***

Saking betahnya aku di Jakarta tak terasa sudah lebaran. Kepayahan selama tiga puluh hari berpuasa seakan terbayar di hari yang fitri ini. Ketupat dan sayur opor sebagai menu khas lebaran warga Jakarta. Busana kebaya dengan payet gemerlap menjadi kebanggaan mereka. Pagi setelah salat id usai, tak ada yang menuju rumah masing-masing. Mereka bersalam-salaman satu sama lain. Tebaran senyum merekah di setiap wajah. Tetesan air mata melebur dosa. Inilah yang dinamakan halal bi halal. Sekalipun istilahnya berbahasa Arab, anehnya di Arab sendiri tak dijumpai budaya semacam ini.

Aku sedih meninggalkan Jakarta. Namun apa boleh buat, mau tak mau aku harus kembali ke Jawa. Pendidikanku belum usai, kawan. Meski hanya dua minggu di Jakarta aku cukup–atau lebih tepatnya amat–bahagia. Baru keliling kampung saja aku sudah puas. Apalagi kalau seumpama aku keliling ke banyak tempat di Jakarta, mungkin aku akan lupa Jawa. Kita akan bisa melepas setres di Ancol dengan seribu permainan fantastis, kita juga akan tahu banyak sejarah Indonesia di Museum Fatahillah atau Museum Gajah, kita bisa tahu bagaimana pernak pernik budaya Indonesia secara keseluruhan di TMII, kita akan merasa lebih bangga menjadi bangsa Indonesia jika mengunjungi museum proklamasi dan monas, kita bisa menemukan buku apa saja di Perpustakaan Nasional, kita bisa melihat langsung semua fauna dan flora Indonesia di ragunan, dan… Ah masih banyak lagi, kawan!

Di tengah lamunanku aku teringat sesuatu. Aku lupa menanyakan nama bus yang aneh itu. Tak apalah mungkin suatu saat nanti akan terjawab dengan sendirinya.
***

Sesampainya di pondok, aku menceritakan semua pengalamanku di Jakarta. Mereka takjub bukan main. Apalagi, Faqih. Dia sumringah luar biasa saat tahu kalau jurus ampuhnya kupraktikkan dan berhasil. Bahkan, ada satu hal yang sangat menyentuh hati. Aku sempat terharu membaca tulisan temanku di buku diarynya:

“Hari ini aku baru tahu bagaimana indahnya Jakarta. Temanku baru saja dari sana. Ia menceritakannya dengan detail tentang budaya, gaya hidup dan semua pesona yang ada di Jakarta. Ceritanya membuat hasratku ingin mengunjunginya. Menikmati sejuta keindahan di Ibukota Indonesia. Tuhan, kabulkanlah hamba semoga bisa ke Jakarta meski beberapa hari saja!”

*) Penulis adalah cerpenis dan redaktur pelaksana Majalah Tebuireng. Email:atunk.oman@gmail.co.id
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Antara Banaspati dan Mbah Jarmi

Vyan Taswirul Afkar
http://sastra-indonesia.com/

Langit belum terlalu gelap, Matahari masih menampakkan ujung kepalanya di cakrawala. Mega merah berjajar di ufuk barat kampungku. Burung-burung kelelahan belum sampai sarangnya. Bahkan, kelelawar hanya belasan yang sudah berterbangan di langit pasca senja. Tetapi di RT-ku ramai sekali. Bukan karena ada konser dangdut kawinan anak Pak Lurah seperti kemarin, melainkan salah satu rumah terbakar. Rumah itu adalah rumah Mbah Jarmi.

Para bapak berlarian membawa ember-ember berisi air yang digunakan untuk memadamkan api yang menjulurkan lidah-lidah keemasannya pada tiap bambu-bambu penyusun rumah Mbah Jarmi. Mas Hendi bahkan sampai melemparkan air sekaligus embernya. Tetapi tidak satupun orang yang menertawakannya. Karena semua yang ada di situ saat itu pasti meraskan hal yang serupa dengan Mas Hendi.

Ibu-ibu berteriak histeris hingga melupakan anak yang digendongnya. Aku yang melihatnya dari jauh masih bias merasakan panas menderu ke tubuhku. Abu berpijar dari bambu-bambu terbakar melayang-layang menerangi langit remang. Suara api itu mengingatkan aku pada waktu naik perahu di laut utara saat liburan semester satu dulu. Seperti angina yang berhembus ke arah telinga. Suara puing-puing jatuh terkadang juga terdengar menggaduhkan.

“Bima, mundur!”perintah Mas Hendi
“I-iya,”aku mundur tiga meter. Tetapi panas masih terasa.

Aku ditarik Ibu mundur lagi, hingga terlihat olehku sawah tebu di belakang rumah Mbah Jarmi.

“Bima, ajak adikmu pulang sana! Disini berbahaya.”titah Ibu

“Ibu tidak kembali?”

“Nanti, barengan sama Ayah. Cepatlah pulang!”

Dengan hati yang eman meninggalkan momen kebakaran seperti ini, aku terpaksa pulang menggandeng Tio,adikku.

“Mas, lewat jalan aja,” rengek Tio
“Nggak,ah kelamaan. Lewat sawah saja.”
“Takut , Mas,” ia mempererat pegangannya pada tanganku
“Mas gendong?”
“He’em.”
Tio merungkup erat di punggungku.

Baru tiga langkah berjalan ia menangis keras sambil semakin mengencangkan pegangannya, hampir mencekik leherku. Acuh tak acuh , aku terus berjalan menjauhi rumah Mbah Jarmi yang ada di belakangku.

“Mas!” teriaknya kencang
“Apa?”sentakku mulai jengkel
“I-itu apa?”
“Setan!” kataku menakuti.
“Aah, Mas!”
“Apa?”
“Itu,”
“Mana sih?”
“Itu lho”

Tio menunjuk ke belakang , tetapi matanya terpejam erat dan menempel di punggungku. Aku menoleh ke belakang.

“Se..,set..,setan!” Aku takut gemetaran, kakiku lemas ingin roboh tapi kutahan. Seseorang bertubuh api melolong kesakitan seperti serigala. Makhluk itu berteriak-teriak di tengah hamparan tebu.

Hatiku terus memerintahku lari, tetapi tak bisa.
“Yo, Tio!”
“Apa, Mas?”
“Mas takut, Yo”
“Aku, juga mas”

Tio lalu menangis lebih kencang karena ia baru saja sadar kalau yang dilihatnya tadi adalah kenyataan. Karena aku juga melihatnya.

Satu..Dua..Tiga. Lari! Aku berlari tunggang langgang dan terseok.

“Maas!Maas!” Tio terus berteriak.
Aku tidak memikirkannya. Aku tidak sempat memikirkannya. Atau, memang aku hanya berusaha menyelamatkan diriku sendiri.

Sesampainya di rumah, Aku mengunci rapat seluruh pintu dan jendela. Ayah dan Ibu belum pulang. Tio terus menangis ketakutan. Aku terengah-engah , keringat mengucur deras di pelipisku. Aku segera ke kamar, berbaring di atas kasur, dan menutup sekujur tubuh dengan selimut bersama Tio.
*

“Bima..!Bima..!” Seseorang memanggilku dari luar jendela. Suaranya sangat aku kenal, Ayahku.
“Iya, Yah. Sebentar!” Aku mengerjap lalu turun dari atas ranjang meninggalkan Tio yang sedang terlelap sendirian.
Aku membuka pintu, tampak Ayah dan Ibu dengan wajah lesu.
“Kenapa, Buk?” Tanyaku.
“Mbah Jarmi…,tewas!”
“Kebakar?”
“Nggak.”
“Lha terus kenapa?”
“Ibu tidak tega bercerita. Tanya Ayahmu saja.”
“Kenapa Yah?”
“Gantung diri,”
“Nggak mungkin! Mbah Jarmi itu orangnya baik, nggak mungkin dia melakukan hal seperti itu.”
“Kenyataanya?” Tanya Ibu
“Iya. Di rumahnya saja hanya ada uang tiga ribu. Kalau dibunuh, untuk apa coba?” Timpal Ayah
“Paling habis dibunuh uangnya dicuri. Nggak mungkin, pokoknya.”
“Uangnya tersimpan rapi di lemarinya,Nak. Lemarinya tidak terbakar.”
“Oh..” Aku menggeleng tak percaya
“Bima, cepat tidur! Besok kamu harus sekolah,” Pinta Ibu
“Baik, Buk. Selamat malam,”

Aku masih belum bisa tidur. Kulihat, bulan sudah berada tepat di atas atap rumahku. Air mataku menetes membasahi bantal. Aku ingin menangis terus-menerus mendengar kabar tentang Mbah Jarmi. Mbah Jarmi sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri sejak nenekku yang sebenarnya meninggal lima tahun lalu.

Pada saat ibu marah dan mengunciku dari dalam rumah, hanya ada satu tempat yang kutuju. Rumah Mbah Jarmi. Mbah Jarmi selalu membukakan rumahnya untukku. Terkadang aku juga tidur di rumahnya. Paling tidak, sampai Ibu memaafkanku.
Sekarang kudapati berita ini. Berita pahit. Tidak mungkin.
*

Langit cerah, awan stratus sedikit berserakan di langit timur. Sinar redup sang surya belum mampu melenyapkan butir-butir embun semalam. Aku duduk dikerubungi teman-temanku yang ingin mendengar pengalamanku semalam. Tapi bisa ditebak, mereka memasang mimic kecut setelah mendengarnya.

“Itu namanya Banaspati!” Kata Habib, satu-satunya anak yang percaya dan tidak bosan mendengar ceritaku meski sudah ku ulang berkali-kali.
“Banaspati?”
“Iya. Banaspati itu manusia setengah api. Biasanya makan anak kecil.”
“Masa’.”
“Aku belum pernah melihatnya, sih. Tapi semua orang tua di kampungku mengetahuinya.”
“Ooh..”

Sepulang sekolah aku menceritakan perihal Banaspati itu kepada orang tuaku. Awalnya mereka tidak percaya, namun berkat bantuan Tio mereka akhirnya Percaya juga.

“Dimana kau lihat Banaspati itu?” Tanya Ayah.
“Di belakang rumah Mbah Jarmi.”
“Ayo kita kesana!”
“Kenapa?”
“Ayah pingin tahu, kau berbohong atau tidak.”
*

Aku dan Ayah sampai di belakang rumah Mbah Jarmi. Oh, iya. Jasad Mbah Jarmi sudah dikebumikan saat aku masih di sekolah tadi. Tali tambang yang kata Ayah digunakan gantung diri oleh Mbah Jarmi masih terikat pada plavon rumahnya. Rumah bambu itu kini tinggallah puig-puing gosong berserakan.

“Ayo, kita cari.” Ajak Ayah
‘Misi dimulai.’ Bisikku dalam hati.

-Langkah Pertama (14.00)

Pertama, kami mengumpulkan benda-benda yang mencurigakan atau yang menurut kami tidak layak ada disana. Aku merasa lebih hebat dari Sherlock Holmes yang pernah aku baca di perpustakaan sekolah. Lebih keren dari Sinichi Kudo dan Conan Edogawa yang biasanya ku lihat bersama Tio setiap minggunya.

Sekitar lima belas menit kemudian, kami sudah mengumpulkan barang-barang yang mencurigakan. Antara lain: sebilah celurit, korek api kayu, botol bensin kosong, dan lentera yang kacanya pecah karena terjatuh.

-Langkah ke Dua (14.15)

Sekarang saatnya kami menduga dari mana datangnya barang-barang ini. Aku duduk di tanah sambil menggambar rumah dengan lidi. Ayah lalu berdiri.

“Mula-mula celurit ini! Ini milik Mbah Jarmi.” Kata Ayah dengan yakin.
“Lho, tahu dari mana, Yah?”
“Nih, ada inisialnya” jawab Ayah sambil menunjuk tulisan “J” pada pangkal celurit.
“Hah? Kalau korek api nya?”
“Mmm…ini punya Lek Mat.” Jawab Ayah dengan mantap nya lagi.

Aku heran kali ini. Memang sih, rumah Lek Mat tepat berada di sebelah timur rumah Mbah Jarmi. Tapi kenapa harus Lek Mat? Kenapa bukan Lek Supar yang rumahnya tepat di sebelah barat?
“ Kok bisa?”
“Nih, ada tulisannya lagi, Matches.”
Aku tertawa terpingkal-pingkal kali ini.
“Ayah, ayah. Matches itu Bahasa Inggris. Artinya korek api!”
“ya, maklum lah , Nak. Ayahmu ini kan, sekolah nggak sampai lulus SD.”
“Ayah tetap hebat kok. Kayak Jaka Tarub.”
“Jaka Tarub? Nggak. Begini-begini Ayahmu lebih hebat dari Jaka Tarub.”
“kok bisa?”
“Ayah bisa menjaga kesatuan keluarga. Sedangkan Jaka Tarub? Tidak, kan?”
“Ooh.”
“Yah, kalau botol ini milik siapa?”
“enggak mau , ah. Nanti kalau salah kamu ketawain, lagi. Tapi kalau lentera ini, Ayah tahu.

Ini milik pencari kodok yang biasanya mencari di sekitar sini itu lho.”
Kali ini aku percaya.

“Ayah memang hebat!”

Ayah tersenyum. Kami terduduk lelah di bawah pohon akasia yang berdaun jarang.

-Langkah ke Tiga (15.45)

Inilah langkah terakhir sekaligus tersulit bagiku. Membuat hipotesis. Karena jika salah bisa jadi fitnah. Bila benar pun pasti menimbulkan masalah. Ayah menyuruhku mengajukan hipotesis terlebih dahulu.

“Kalau hipotesis mu masuk akal, meskipun ngawur kamu akan Bapak belikan rujak kesukaanmu di warung Mbak Ngat.” Ayah berjanji.

“Ada seorang pemburu katak. Lha, pas saat dia mencari katak di sini, dia mendengar pekikan Mbah Jarmi. Dengan penasarannya pencari katak itu mengintip rumah Mbah Jarmi dari luar. Lalu sangat kaget ketika melihat Mbah Jarmi sedang di gantung orang. Sampai-sampai lenteranya jatuh, dan kebakar deh.” Aku tersenyum bangga “bagaimana, Yah? Masuk akal ,kan?”

“Nggak. Kamu masih membela Mbah Jarmi.”

“Maksudnya?”
“Tadi kamu bilang Mbah Jarmi di bunuh orang. Padahal sebenarnya kan , Mbah Jarmi bunuh diri.’’
Aku tertunduk malu. Aku merasa bersalah pada Ayah.
*

(Pukul 16.45)

Hari sudah sore. Sejak tadi Ayah telah mengajakku kembali. Tetapi aku selalu menolak. Karena aku ingin membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pembohong. Jadi, aku harus menemukan Banaspati itu. Atau paling tidak bekas dan jejaknya.

“Pulang, Nak. Sudah sore. Ibumu kasihan sendiri di rumah.”
“Nanti dulu, Yah. Pencariannya kan belum selesai.”
“Tidak usah dicari. Ayah percaya sama kamu.” Aku tak yakin dengan ucapan Ayah. Setahuku, itu hanya alasan Ayah agar kami bisa cepat pulang. Aku menggeleng.

“Ya sudah. Begini saja, di sebelah mana kamu melihat Banaspati itu?”
Oh, iya. Kenapa sama sekali tidak terpikirkan olehku.

Aku berlari menerjang persawahan tebu setinggi lututku. Ayah mengikutiku di belakang. Dia hanya berjalan saja.

Tiba-tiba aku terjatuh. Mataku kemasukkan debu. Aku memjamkan mata sesaat. Saat aku membuka mata, ku lihat sesuatu berwarna hitam tergeletak di depanku. Awalnya ku kira kayu bakar bekas petani membakar singkong. Tapi setelah ku amati benar-benar, itu manusia!

Tubuhnya hitam bak malam. Wajahnya tak lagi membentuk muka-muka manusia pada umumnya. Baju yang dipakainya ikut menggosong, mungkin karena api. Aku berteriak.

Ayah kaget. Lalu berlari ke arahku. Saat dia melihat melihat makhluk itu, dia langsung berlari. Aku ditinggalnya. Aku takut lalu berdiri mengikuti larinya entah ke mana.

Ayah terus berlari tanpa menghiraukanku. Saat berada di depan rumah Pak RT ia berbelok sambil berteriak-teriak. Pak RT kebingungan. Ayah pun menceritakan semua yang baru saja kami alami.
*

Usai dari rumah Pak RT kami langsung pulang. Namun saat melewati rumah Mbah Jarmi tadi sempat ku luhat ada beberapa polisi dan sebuah mobil ambulans di sana. Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Esoknya. Saat aku sedang duduk sendiri di teras rumah, Ayah mendekatiku dan duduk di sampingku.

“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, Yah.” Aku terdiam, lalu bertanya “bagaimana mayat yang kemarin?”
“Oh, itu. Ternyata itu pencari katak.”
“Kok bisa sampai begitu, Yah?”

“Kata Pak Polisi, saat orang itu mencari katak, dia mendengar suara Mbah jarmi yang memkik. Mungkin karena penasaran atau apa, dia mengintip. Saat melihat Mbah jarmi menggantung tanpa tenaga, dia kaget. Sampai-sampai lenteranya jatuh. Minyak gas dari lentera itu menyirami tubuhnya sendiri dan juga gedhek rumah Mbah Jarmi.. karena minyak itu, tubuhnya dan gedhek itu terbakar. Api cepat membesar. Dia sudah berteriak tetapi tidak terdengar karena teriakannya kalah dengan teriakan histeris ibu-ibu yang melihat kebakaran.” Ayah mengelus kepalaku.

“Terus?”
“Dia lari ke sawah mencari air. Tetapi telat. Begitulah jadinya.’’
‘’Jadi, Banaspati yang Aku lihat itu orang itu ?’’
‘’Mungkin saja. ‘’

Kami berdua terdiam dalam lamunan kami masing-masing.
“Eh, ayo ke warung Mbak Ngat, yuk!”
“Ngapain, Yah?”
“Kamu mau Ayah belikan rujak.”

Aku memeluk Ayah. Kami berjalan beriringan menapaki jalanan yang retak menuju ke sana. Aku tersenyum.

Saat ini Aku senang sekali. Tetapi, aku juga sangat sedih. Senang karena bisa membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pendusta. Sedih karena kenyataannya Mbah Jarmi tewas bunuh diri.

Sama sekali tidak ku sangka. Orang sebaik Mbah Jarmi mengakhiri hidupnya dengan cara yang semua agama mengecamnya. Bunuh diri. Hanya karena jeratan ekonomi yang semakin menjepitnya dalam jeruji kesusahan. Apalagi dia hanya seorang pemulung yang hidup sebatang kara. Tidak bisa aku bayangkan betapa kasihannya dia.

Namun bagiku tetap, Mbah Jarmi tidak bunuh diri. Pembunuh sebenarnya adalah pemerintah yang terus menaikkan harga kebutuhan kami. Mbah Jarmi hanyalah korban dari ulah mereka.

Masalah Banaspati itu, biarlah. Biarlah ia hanya menjadi misteri yang selamanya takkan terkuak dalam hidupku. Lagi pula, aku tak tahu akan bagaimana seumpama benar-benar bertemu dengannya. Ku harap, selamanya aku takkan pernah melihatnya. []

Ket:
Banaspati : manusia setengah api dalam mitos masyarakat Jawa.
Awan stratus : lapisan awan tipis yang letaknya paling dekat dengan Bumi.
Gedhek : dinding kayu yang biasanya terbuat dari anyaman bambu.

*) Penulis adalah siswa kelas 9B sekaligus redaktur majalah sekolah “Pink Star” di SMPN 3 Peterongan.
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi